Minggu, 29 Desember 2019

Hari Raya Pagerwesi

Makna dan Renungan dalam Hari Raya Pagerwesi


Inputbali,- Pagerwesi artinya pagar dari besi. Yang melambangkan suatu perlindungan yang kuat. Hari raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak.

Hari Raya Pagerwesi  jatuh pada Buda (Rabu), Kliwon, Sinta. Jika diperhatikan dengan seksama, ada kaitan langsung dengan Hari Raya Saraswati yang jatuh pada Saniscara (Sabtu), Umanis, Watugunung. Dalam sistim kalender wuku yang berlaku di Bali, wuku Watugunung adalah urutan wuku yang terakhir dari 30 wuku yang ada, sedangkan wuku Sinta adalah wuku dalam urutan pertama atau awal dari suatu siklus wuku.

Makna Pagerwesi

Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati. Makna yang lebih dalam terkandung pada kemahakuasaan Sanghyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan pemusnah, atau dikenal dengan Uttpti, Stiti, dan Pralina atau dalam aksara suci disebut: Ang, Ung, Mang.

Saraswati yang jatuh pada hari terakhir dari wuku terakhir diperingati dan dirayakan sebagai anugerah Sanghyang Widhi kepada umat manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi, diartikan sebagai pembekalan yang tak ternilai harganya bagi umat manusia untuk kehidupan baru pada era berikutnya yang dimulai pada wuku Sinta.

Oleh karena itu rangkaian hari-hari dari Saraswati ke Pagerwesi, mengandung makna sebagai berikut:

  1. Setelah Saraswati, esoknya hari Minggu, adalah hari Banyupinaruh, di mana pada hari itu umat Hindu di Bali melakukan pensucian diri dengan mandi di laut atau di kolam mata air. Pada saat ini dipanjatkan permohonan semoga ilmu pengetahuan yang sudah dianugerahkan oleh Sanghyang Widhi dapat digunakan untuk tujuan-tujuan mulia bagi kesejahteraan umat manusia di dunia dan terjalinnya keharmonisan Trihita Karana, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam semesta.
  2. Kemudian esoknya, hari Senin disebut hari Somaribek, yang dimaknai sebagai hari di mana Sanghyang Widhi melimpahkan anugerah berupa kesuburan tanah dan hasil panen yang cukup untuk menunjang kehidupan manusia.
  3. Selanjutnya, hari Selasa, disebut Sabuh Mas, yang juga tidak lepas kaitannya dengan Saraswati, di mana umat manusia akan menerima pahala dan rezeki berupa pemenuhan kebutuhan hidup lainnya, bila mampu menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi di jalan dharma. Pada hari itu umat Hindu di Bali memuja Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Mahadewa.
  4. Hari raya Pagerwesi di hari Rabu, yang dapat diartikan sebagai suatu pegangan hidup yang kuat bagaikan suatu pagar dari besi yang menjaga agar ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah digunakan dalam fungsi kesucian, dapat dipelihara, dan dijaga agar selalu menjadi pedoman bagi kehidupan umat manusia selamanya.

Renungan Dalam Pagerwesi

Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan “pager besi” untuk melindungi hidup kita di dunia ini.  Inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat mengisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.

Banten Dalam Pagerwesi

Yadnya (Banten) yang paling utama disebutkan pada hari raya Pagerwesi yaitu :
  • Untuk Para Pendeta (Purohita) adalah “Sesayut Panca Lingga” sedangkan perlengkapan  tetandingan bantennya :
  • Daksina,
  • Suci Pras penyeneng, dan
  • Banten Penek.
  • Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi sebagai pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan.
  • Dan Bagi umat kebanyakan yadnya (banten) disebutkan adalah;
    • natab Sesayut Pagehurip,
    • Prayascita,
    • Dapetan.
    • Tentunya dilengkapi Daksina,
    • Canang, dan
    • Sodan.
    • Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu
      • Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta,
      • dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.

Semoga pemaparan dalam artikel ini tentang Hari Raya Pagerwesi dapat bermanfaat bagi semeton.Suksma…

Copas : input bali

(sumber:stitidharma,wedahindu,sejarahharirayahindu)

(foto:kfk.kompas.com)

Pura Pulaki

Pura Pulaki

  •  Dinas Kebudayaan
  •  29 Mei 2017

 

PURA PULAKI

Pura Pulaki terletak di pesisir pantai Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgrak, di tepi jalan Singaraja- Gilimanuk sekitar 53,5 Km dari kota Singaraja. Kondisi jalan cukup baik. Fauna pendukung terkenal yang sangat menarik ialah kelompok kera dan jalak putih.Pura Pulaki terletak di lereng pegunungan berbatu dan bersemak belukar.

Kisah berdirinya Pura Pulaki tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan Dalem Cri Waturenggong (1460-1550 M). Pura Pulaki merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dipuja (disungsung) oleh seluruh umat Hindu di Bali. Sejak pemugaran besar-besaran yang dimulai tahun 1984, kini Pura Pulaki  sudah tampak megah dan luas serta memungkinkan umat Hindu melakukan persembahyangan bersama dengan leluasa. Pura Pulaki sebenarnya merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu  Pura Kerta Kawat pada Km 51 dari Singaraja (sekitar 750 M di sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran. Urut- urutan upacara yang diadakan pada piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki, kemudian Pura Melanting dan Kerta Kawat, lalu di Pura Pemutaran dan terakhir di Pura Pabean. Letaknya yang strategis di tepi jalan raya sehingga tidaklah mengherankan  sangat banyak mendapat kunjungan dari wisatawan asing ataupun domestik. Sudah terdapat tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu , antara lain: berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat dari batu lainnya. Berdasarkan  hal itu dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitaan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut sampai dengan  peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.

Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku “Bhuwana Tatwa Maharesi Markadeya” yang disusun  Ketut Ginarsa. Kisah tentang Pulaki terdapat juga dalam buku “Dwijendra Tatwa” yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian seperti: “Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki”.

Keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun 1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran  Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga  maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.

Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, hariamau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu, menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Betara di Pulaki dengan naik perahu dari pantai Kalisada. Namun saat itu, Pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.

Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan (pemujaan dari jarak jauh) karena warga tak berani masuk ke dalam hutan mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk  ke pedalaman.

Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan ini kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu.Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran tidak bisa dipisahkan. Dilihat dari lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala atau 7 lapisan alam semesta.

Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar  perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk sehingga tata letak, struktur dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang menyatu.

Untuk sekadar tambahan, bahwa dalam sejarah Pura Pulaki ditanyakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama. Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah 8.000 orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar.Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting dalam Bahasa Bali).Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih yang disebut Pura Melanting.

Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya.

Di samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirarhta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-

purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi. Pura Pulaki disungsung  subak-subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kertha Kawat juga termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan untuk memohon tegaknya moral etika dan hukuman dalam berbisnis. Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Pura Gunung Gondol terletak 3 Km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesha.

Kamis, 10 Oktober 2019

KODE ETIK BAGI PENDETA (SULINGGIH).

KODE ETIK BAGI PENDETA (SULINGGIH).

Sulinggih berarti ia yang berkedudukan (linggih) mulia (su), yang setiap perbuatan, perkataan serta pemikirannya demikian ketat diatur dalam "Sesana" yang berlaku. Sulinggih juga memiliki tugas yang sangat berat secara "niskala", bukan sebatas menyelesaikan ritual, namun memastikan ritual tersebut berhasil mendatangkan manfaat yang ingin dicapai. Karena tugas berat itulah maka masyarakat Bali sangat menghormati sulinggih.

Seorang Sulinggih tidak boleh lagi melakukan hal-hal selayaknya kebanyakan orang lakukan, dan jika Sulinggih bersangkutan 'melanggar' maka ada beberapa kutukan, temah dan pastu yang ditujukan padanya. Sebagaimana dikutip dari Lontar Rajapati Gondala [dalam Buku Shastra Wangsa] berikut:

ASU AMUNDUNG:
Asu Amundung adalah satu istilah yang ditujukan kepada seorang pendeta yang bertengkar di tengah pasar. Menurut shastranya, pendeta ini harus diupacarai prayascita ulang. Apabila ada pendeta yang bertengkar di depan rumah guru nabhenya, menurut shastranya jaman dahulu harus didenda sebesar lima ribu uang kepeng bolong. Demikianlah seorang pendeta yang bertengkar disamakan derajatnya dengan anjing atau asu.

ASU ANGLULU RING LONGAN:
Asu Anglulu ring Longan adalah istilah yang ditujukan kepada pendeta yang membantu seseorang melarikan seorang gadis. Menurut shastranya jaman dulu, pendeta ini harus dihukum denda lima puluh kepeng, dan diupacarai prayascita ulang. Demikianlah, seorang pendeta yang terlibat dalam melarikan gadis disamakan derajatnya dengan anjing di bawah kolong. [RPG]

ASU BAMARONG:
Asu Bamarong adalah sebutan yang ditujukan kepada seorang pendeta yang ketahuan berselingkuh dengan istri orang lain, walaupun perselingkuhan itu dilakukannya secara sembunyi-sembunyi. Menurut shastranya jaman dahulu, pendeta seperti ini harus didenda sebesar sepuluh Suku. Perselingkuhan itu bisa menurunkan derajat seorang pendeta yang disamakan dengan seekor anjing. [RPG]
Asu Jembut nganting karang:
/ sisya melupakan nabhe /
Asu Jembut nganting karang adalah sebutan yang ditujukan kepada seorang murid (sisya) yang melupakan guru (nabhe). [RPG]

ASU MAKUMKUP:
Asu Makumkup adalah istilah yang ditujukan kepada seorang pendeta yang mengawini pembantu atau kawula sendiri. Menurut shastranya jaman dahulu, pendeta seperti ini dibuang di dalam sumur sekalian dengan kawula yang sudah menjadi istrinya itu. Perilaku pendeta ini disamakan dengan seekor anjing. [RPG]

ASU MANAHUT IKUT:
Asu Manahut Ikut adalah sebutan untuk pendeta yang terbukti memperkosa seorang perempuan yang sedang mandi di tengah perkebunan atau pun di hutan. Pendeta pemerkosa ini menurut shastranya jaman dahulu harus ditangkap, diikat tangan dan kakinya, kemudian ditaruh di kuburan untuk selama-lamanya. Demikianlah, pendeta pemerkosa gadis disamakan derajatnya dengan seekor anjing. [RPG]

ASU MANGKET BALUNG
Asu Mangket Balung adalah istilah yang ditujukan kepada pendeta yang kedapatan sedang makan di tengah pasar atau di warung. Menurut shastranya, pendeta seperti ini harus diupacarai prayascita ulang. Kalau tidak akan semakin merosot kesuciannya. Perilaku pendeta seperti ini disamakan dengan seekor anjing. [RPG]

ASU MEREBUT TAI
Asu Marebut Tai adalah istilah yang ditujukan kepada seorang pendeta yang senang bertaruh-taruh di dalam arena perjudian. Menurut shastranya, pendeta seperti ini harus di-prayascita ulang. Demikianlah, pendeta penjudi disamakan derajatnya dengan anjing pemakan kotoran. [RPG]

*******************
Dikutip dari Buku Shastra Wangsa Hlm 110-112. Banyak lagi materi-materi penting dibahas dalam buku ini, terkait pusaka, pustaka dan manusia Bali.

Sabtu, 13 April 2019

BUNUT NYEREKENGKENG GESING tinggal kenangan

Misteri Bunut Ngengkeng di Desa Gesing, Buleleng.


Angker dan Tertua di Bali


Bunut Ngengkeng itulah nama sebuah pohon yang berdiri kokoh di sekitar Pura Pecalang, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng. Pohon bunut ini diklaim sebagai pohon terbesar dan tertua di Bali yang menyimpan berbagai kegaiban serta keajaiban. Pun, selain sangat angker, penguasa pohon ini dikenal sangat bares.

 Reporter : Andiawan

Dengan kondisi tersebut, tak pelak tempat ini sering didatangi paranormal, dukun, hingga para pejabat. Apa yang membuat mereka tertarik datang ke tempat ini? Inilah hasil penelusuran wartawan TBA tentang keangkeran pohon bunut bersama pemangku pura setempat.

Bali terkenal dengan berbagai sebutan, dan memiliki getaran magis cukup tinggi. Hampir setiap hari tak luput dari ritual. Karenanya, setiap jengkal tanah menyimpan getaran gaib yang sangat kuat. Keyakinan masyarakat Hindu Bali terhadap kekuatan gaib sangat kuat. Bahkan, benda-benda tertentu seperti batu, pohon kayu, dan lainnya diyakini ada kekuatan gaib yang menunggunya. Di tempat-tempat itu pula masyarakat sering memohon sesuatu anugerah, baik keselamatan, rejeki, kelancaran usaha, dan permohonan lainnya.

Demikian halnya pohon bunut di Dusun Gesing I, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng, diyakini menyimpan kekuatan gaib penuh dengan berbagai misteri yang sulit dicerna akal sehat. Karena dari tempat ini sering muncul berbagai kegaiban dan keajaiban.

Pohon ini dikenal sebagai pohon tertua dan terbesar di Bali. Pohon ini sangat disakralkan dan tak satu pun yang berani mengusik keberadaannya. Konon, saat penyingkiranpernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang.

Penguasanya terkenal bares (murah hati). Banyak krama yang dengan tulus dan keyakinan tinggi, dikabulkan permohonannya. Tak heran, setiap piodalan banyak yang membayar kaulsebagai ungkapan terima kasih atas apa yang telah diterimanya. Pohon ini mampu menampung hingga ratusan orang.

Seperti diungkapkan Jro Mangku Wayan Weda, pemangku Pura Pecalang, keberadaan pohon bunut tersebut usianya diperkirakan mencapai 3 abad lebih. Konon, pada waktu jumlah penduduk Desa Gesing masih sedikit, dan setiap para penglingsirnya akan pergi ke hutan untuk berbagai tujuan, terlebih dahulu selalu ngaturang bakti di tempat ini, nunas keselamatan agar terhindar dari serangan binatang buas.

Kocap, dumun pada saat itu banyak terdapat binatang buas, seperti babi hutan, macan, dan binatang buas lainnya. Agar terhindar dari serangan binatang buas itu, penglingsir, selalu ngaturang bakti di palinggih yang kini diberi nama Pura Pecalang tersebut,” ujar Jro Mangku menjelaskan.

Pria kelahiran tahun 1930 ini lebih lanjut mengatakan, kebiasaan ngaturang bakti di palinggih itu telah berjalan secara turun-temurun. Namun, dalam waktu sekian lama tidak ada yang memperhatikan kondisi palinggih tersebut, selama berabad-abad tetap berupa palinggih dengan kondisi sangat sederhana.

Seiring perkembangan zaman, masyarakat mulai sadar dan tergugah untuk merenovasipalinggih yang ada dengan palinggih yang lebih bagus. Kemudian para manggala desa membentuk panitia pembangunan dan berdirilah pura tersebut. Sesuai fungsinya sebagai tempat memohon perlindungan,kemudian palinggih tersebut diberi nama Pura Pecalang dan disungsung semua masyarakat Desa Gesing. Piodalannya jatuh setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Anggarakasih Prangbakat.

Di areal Pura Pecalang juga terdapat sebuah Padmasana yang disebut Pura Perjuangan. Pura ini dijaga dua ekor macan yang diwujudkan dengan dua buah patung macan yang cukup menyeramkan.

Untuk mencapai lokasi sangatlah mudah, karena di sepanjang perjalanan telah terpasang papan petunjuk menuju Desa Gesing. Apabila krama datang dari Denpasar, sesampainya di pertigaan Desa Wanagiri, krama mengambil arah ke kiri menuju ke Desa Banyuatis.

Sepanjang perjalanan, krama dapat menyaksikan indahnya panorama alam serta dapat menghirup udara segar dan sejuk. Ketika memasuki Desa Munduk, pamedek dapat melihat hamparan kebun cengkeh serta indahnya pemandangan kota dan laut Singaraja.

Tetapi sebelumnya, krama perlu mempersiapkan kondisi badan maupun kondisi kendaraannya. Karena selama perjalanan akan melewati tanjakan dan turunan disertai tikungan yang cukup tajam. Begitu memasuki Desa Gesing, krama perlu ekstra hati-hati. Pasalnya, kondisi jalannya sedikit rusak, dengan tanjakan cukup tajam. Sedikit saja lengah, bisa terperosok dan menjadi santapan jurang.

Sebelum datang ke lokasi, sebaiknya krama menghubungi pemangku pura setempat yang tinggal tak jauh dari lokasi pura. Hal tersebut selain demi keselamatan juga untuk mengetahui lebih jauh tentang keberadaan pura dan pohon bunut tersebut. Sesuai namanya, pohon bunut ini berbentuk piramid. Akarnya yang begitu besar dan kuat mencengkram tanah, membuat pohon ini tumbuh subur hingga mencapai ketinggian ratusan meter.

Dilarang Masuk Sembarangan

Guna mengetahui secara langsung situasi di dalam pohon tersebut, kemudin ayah satu orang putra ini mengajak wartawan TBA masuk ke dalam pohon bunut melewati pintu khusus yang cukup sempit. Namun, sebelumnya tak lupa memohon izin kepada penguasa pohon tersebut dengan melakukan persembahyangan di Pura Pecalang. Sesampainya di dalam, kami merasakan getaran gaib cukup kuat seakan gerak dan langkah kami selalu diawasi, sehingga sempat membuat bulu kuduk merinding.

Sesuai pengamatan TBA, tempat ini kondisinya cukup menyeramkan serta menyimpan getaran gaib sangat kuat. Sehingga bagi mereka yang senang meditasi, kurang lengkap rasanya jika belum pernah datang mencoba dan mengetahui secara langsung kondisi tempat ini serta merasakan sejauh mana kekuatan getaran gaibnya.

Konon, saat melawan penjajah tempat ini sering digunakan para pejuang sebagai tempat persembunyian. Pengamatan TBA, memang tempat ini sangat strategis sebagai tempat persembunyian. Pasalnya, selain orang yang bersembunyi di dalam pohon ini tidak kelihatan dari luar, juga pohon ini mampu menampung hingga tiga ratus orang lebih.

“Tiang sarankan kepada krama yang ingin masuk ke dalam pohon ini, agar sebelumnya tak lupa ngaturang bakti dan rarapan untukmemohon izin. Sehingga tidak diganggu makhluk gaib penjaga pohon ini.,” tegas pria berjenggot lebat dan telah memutih ini.

Keangkeran dan kekuatan gaib tempat ini sudah tersohor hingga ke Mancanegara. Karena tempat ini sering kali didatangi tamu asing dari berbagai Negara terutama mereka yang bergelut di bidang spiritual.

Dumun ada tiga orang tamu asing, masuk dan mungkin tanpa permisi, ketiganya terjebak di dalam, bisa masuk tetapi tidak tahu jalan keluar. Setelah tamu itu berteriak, salah satu warga mencari tiang. Kemudian tiang memohon agar ketiga tamu itu dimaafkan dan diberi jalan untuk keluar dari tempat tersebut,” ungkap Jro Mangku yang dikenal mahir bela diri ini dengan nada datar.

Yang datang ke tempat ini tidak saja masyarakat Desa Gesing, melainkan banyak krama luar dari berbagai daerah, profesi dan status ekonomi yang berbeda serta dengan tujuan tertentu. Terutama saat Pilkada, banyak calon-calon kandidat datang ke tempat ini, berharap bisa terpilih. Bagi mereka ayang memohon di tempat ini dan apabila Ida Bhatara mengijinkan, maka berhasil atau tidaknya akan langsung mendapat jawaban lewat Jro Mangku.

Banyak dari mereka yang terkabul permohonannya serta mereka biasanya nawur sesangi (membayar kaul-red) saat piodalan berupa kain, tedung, hingga babi guling.

Kajeng Kliwon

Terdengar Suara Naga Misterius

Sementara, Ketut Lina salah satu warga yang sempat dimintai keterangan mengatakan, pohon bunut ini sering didatangi paranormal dari berbgai daerah di Bali bahkan luar Bali. Sebagian besar dari mereka meyakini tempat ini dijaga berbagai makhluk gaib.

Menurut pengakuan beberapa paranormal yang pernah bersemadi di sini mengungkapkan, di sekitar pohon ini banyak terdapat benda-benda gaib berkualitas tinggi. Karenanya, pohon ini dijaga ketat makhluk gaib dari berbagai arah.

Di bagian bawah pohon, dijaga makhluk kecil tidak memakai baju dan jumlahnya ratusan. Di bagian tengah dijaga makhluk tinggi besar dan seekor naga, sedangkan di bagian atas dijaga makhluk gaib berupa burung raksasa sangat menyeramkan.

Lebih lanjut pria kelahiran tahun 1949 ini mengungkapkan, salah satu ancangan berupa naga niskala sering mengeluarkan suara gaib, terutama pada hari-hari rerahinan tertentu, seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem dan hari rerahinan lainnya.

Namun, tak semua mampu mendengar suara gaib itu. Melainkan, hanya orang-orang tertentu yang memiliki kelebihan di bidang itu yang mampu medengar suara dan melihat makhluk gaib penghuni pohon yang dikenal sangat angker itu. Ada sebuah keunikan di tempat ini, di mana ranting akar yang telah tua akan dengan sendirinya putus dan potongannya menyerupai seekor ular.

“Dulu, pernah salah satu warga naik memasang pindekan (baling-baling dari kayu) dan menggunakan bambu bekas, tiba-tiba terdengar suara menggelegar sangat keras, seperti petir sedang menyambar pohon. Tak hayal pindekanitu hancur berkeping-keping,” ungkap ayah dua orang putra ini serius.