Pertanyaan saya menjadi terjawab, kenapa bisame itu muncul, dimana leluhur mengingatkan agar semua warihnya stinut akan manunggaling kaule gusti,? Yg dimaknai Kyayi Agung Pasek harus mengalah dan menyerahkan kekuasaanya kepada raja majapahit dan kesatraya.
Kekalahan itu masih dihadiahi kekuasaan ditingkat prebekel di desa. Jro pasek diberi jabatan sebagai jro pemacek desa. Jabatan strategis sebagai pejabat desa yg membuat warga seluruh bali tunduk akan kekuasaan raja.
Lalu datang lah pendeta sakti wawu rauh, dengan kepintaran, kapasiti building yg hebat, menjadi kepercayaan raja, sehingga mendapat kepercayaan sebagai bagawanta kerajaan. Kawinlah konsep triwangsa yg hrs memimpin di bali. Warga bali mule, yaitu jero pasek tdk lagi hidup diarea kesatria, melainkan keluar yaitu ke jabaan atau keluar dari wewengkon kekuasaan. Maka julukan yg tepan untuk wangsa pasek, bendese, muang pande adalah warja jabe, yg kemudian berkembang menjadi pasek parekan seken.
Jaman pun bergulir waktu pun berjalan, sistem pun berrubah, menuju pada sistem kemerdekaan yg berbasis pada kehidupan demokrasi. Hanya sebagian kecil dari wangsa pasek yg sadar memanfaatkan kehidupan demokrasi, masih banyak sutinut pada sistem kwhidupan feodalisme yg mengungkung kemesdekaannya.
Kenapa hal ini bisa berlangsung lama, Jro pasek sdh sangat nyaman dengan jabatan sebagai pemacek desa, dengan kehormatan yg diterima oleh warga lainnya, sehingga selalu berusaha mempertahankan status ini. Semetom Triwangsa sdh barang tentu lebih berterimakasih, apalagi mereka yg kebetulan sebagai raja atau keturunan raja, dengan kekayaan harta yg diwarisi akan masih sanggup untuk membiayai monarki feodalisme ini.
Kegamangan terjalin dan dengan mimpi yg idah terbuai dalam suatu tidur lelap, keagungan masa lalu. Warga pasek adalah treh brahmana jati, semua slogan dibangun, sebagai obat untuk membuat tidur mimpi indah sang feodal terlelap.
Tanpa disadari waktu berlalu, dan kenikmatan aliran darah dana pasek ke dasar buana gelgel membuai mimpi feodal menyelimuti. Sehingga dengan bungkusan mempertahankan dreste kuna, pungah juari melarang sang sulinggih yg bulan warih dangyang nirarta muput duduk di bale pewedan. Karena feodal itu hanya membenarkan sulinggih itu yg punya hak atas bale pewedan itu.
Pikiran kritis, pewisik sang leluhur pun semakin menyusup kedalam semeton pasek, yg memanggil wangsa pasek, berani membuat dan menjadikan diri sebagai sulinggih, dan meninggalkan masa lalu yg telah mengukung,
Ide betare kawitan pun memberi sinar sucinya kepada warih wangsa pasek, membuat pemikiran kritis dan brani membela jadi dirinya.
Bom waktu pun meledak, ini pula merupakan bagian dari sinar suci ide yg bersemanyam pda setiap insan pasek yg bele pada sejarah jati mula awal dari ide betra kawitan.
Akhirnya terjawablah bisama pasek itu tdk terlepas dari politik saat itu.
Namun kita sadari beliau leluhur wangsa pasek memang sangat cerdas dan mampu menerawang sangat jauh ke sekian abad waktu, dimana bhisama dibuat bukan sebagai wujud serah diri pada kekuasaan politik saat itu, melainkan bhisama dituliskan sebagai upaya menghimpun dan pengikat pesemetonan pasek muang bendese, sebagai warih ide Mpu Gnijaye, agar selalu ingat pada kiblat ide betare kawitan, dan sebagai pengikat pesemetonan. Luar biasa jnane yg dimiliki oleh leluhur pasek, lebih lebih Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba Griya Agung Bangkasa di Bongkasa.
Hingga bhisame bisa mengikat menjadi kekuatan dasyat menyatukan wangsa pasek untuk bersama2 dlam satu barisan menuju PUNDUKDAWA stana Linggih ide Mpu Ghana.
Mensosialisasikan Bhisama Kawitan untuk Generasi Muda Pasek di era kebangkitan semeton pasek ring Punduk Dawa.
Om Awighnamastu nama siddyam.
Pangaksamaning hulun ring pada Bhatara Hyang mami, sang ginlari sariraning omkaratma mantrem, ri hredaya sunya laya, siddhaya yogiswaranem, sira manugraha purwani sang wus lepas, luputa mami ring tulah pamidhi. Om namo namah swaha.
Sesungguhnya kita tak tahu pasti, karena tak ada catatan sejarah yang otentik, kapan para leluhur kita menginjakkan kakinya di Bali. Leluhur yang dimaksud adalah para Pandita Mpu yang berjasa dalam membangun Bali, baik menata masalah sosial kemasyarakatan, maupun meletakkan dasar-dasar ritual keagamaan di Bali.
Leluhur itu dikenal dengan sebutan Catur Sanak, karena memang terdiri dari empat bersaudara. Mereka adalah putra dari Mpu Lampita, yakni Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan. Satu lagi putra dari Mpu Lampita, yaitu Mpu Bradah, namun beliau tak ikut ke Bali. Kelima putra Mpu Lampita ini disebut juga Sang Panca Tirtha. Seperti diketahui, Mpu Lampita adalah putra dari Mpu Wiradharma, sedangkan Mpu Wiradharma putra dari Mpu Withadarma. Akan halnya Mpu Withadarma adalah putra Hyang Gnijaya yang sudah jauh sebelumnya datang ke Bali dan membangun tempat yoga samadi di puncak Gunung Lempuyang yang kini dikenal dengan Pura Lempuyang Luhur.
“Empat Sekawan” Sang Catur Sanak menjadi penting bagi orang Bali, bukan saja karena mereka meletakkan dasar-dasar adat, budaya dan agama, tetapi juga membangun dasar parahyangan yang kini kita jadikan sungsungan bersama. Kedatangan mereka di Bali juga tak sekedar mengikuti jejak leluhur beliau yang sudah mondar-mandir ke Bali dari Jawa (Timur), namun keempat Mpu ini sebenarnya juga diundang oleh raja Bali saat itu, Udayana Warmadewa. Jadi, kalau memakai bahasa saat ini, tugas beliau adalah mengemban “dharma negara” dan “dharma agama”.
Meski catatan otentik tak ditemukan, dalam buku Babad Pasek karya sesepuh kita yang sudah tiada, Jero Mangku Soebandi, disebutkan Mpu Semeru datang pertamakali pada tahun Caka 921 atau 999 Masehi. Beliau menetap di Besakih dan kini parhyangan itu dikenal dengan Pura Catur Lawa Ratu Pasek, Pedharman Warga Pasek Sanak Sapta Rsi.
Menyusul datang Mpu Ghana pada tahun Caka 923 atau 1001 Masehi dan menetap di Gelgel.
Semeton mgpssr pidah dari dasar buana gelgel karena simbol2 MGPSSR dilecehkan dan kita sudah cukup mengalah, maka sekarang kita semeton pasek apa pun kita akan tetap solid kedalam. Skrng pura dasar buana adalah milik desa adat disana. Dan linggih Ida Mpu Ghana mulai tgl 9/4/2017 ditetapkan di Pura Panataran Agung di Desa Punduk Dawa Klungkung.
Lalu datang Mpu Kuturan pada tahun yang sama (1001 Masehi) dan menetap di Padang yang kini parhyangan beliau dikenal dengan Pura Silayukti.
Dan terakhir datang Mpu Gnijaya pada tahun Caka 971 atau 1049 Masehi dan beliau menetap di Bukit Bisbis dan parhyangan itu kini dikenal dengan Pura Lempuyang Madya. Jadi sebenarnya, kalau kita mengacu kepada temuan Guru Soebandi ini, belum tepat benar kita memperingati seribu tahun kedatangan Mpu Gnijaya. Tapi apalah artinya waktu, yang penting ini sudah kejadian yang sangat lama dan perlu kita kenang kembali, dan dikenang seterusnya.
Relevansi Bhisama Kawitan Saat ini
Apa yang dikenang dari keempat Mpu itu? Semua parhyangan beliau kini sudah dalam bentuk pura dan dijadikan pura kawitan oleh semeton Warga Pasek. Dalam Bhisama Kawitan jelas-jelas disebutkan, mereka yang lalai dengan Catur Parhyangan warisan Mpu Catur Sanak itu, tak akan menemukan kehidupan yang baik.
Baca penggalan Bhisama Kawitan ini: Kamung Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya ring giri Lempuyang Madhya, haywa ta kita lupa ring kahyangan nira Bhatara, mekadi ring Lempuyang Madhya, ring Bhasukih, ring Pura Panataran Agung Punduk Dawa, ring Silayukti. Yan kita lupa ring kahyangan nira Bhatara Kawitan tan abhakti sanisthanya dasa temuan sapisan, wastu kita tan anut ring apasanakan, setata anemu rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan.
Jadi, kalau kita lupa kahyangan Bethara Kawitan sampai sepuluh kali odalan, kehidupan kita tak tenteram. Tidak pernah cocok (anut) di pesemetonan, selalu menemui kebingungan, bertengkar sesama semeton, banyak kerja kurang makan – artinya rejeki tak bagus.
Bagaimana kita menghayati atau membaca Bhisama Kawitan ini jika dihadapkan kepada generani muda Pasek? Kita tak perlu lagi menekankan kata “wastu” yang artinya kira-kira “semoga” atau “dumadak” (bhs Bali). Penekanan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi bahwa Bethara Kawitan itu ternyata sangat pemarah, dendam, main kutuk, bukan bersifat welas asih sebagai mana Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Bhisama ini kita kembalikan kepada sastra Hindu yakni Weda, dan betapa luas pengetahuan leluhur kita di masa lalu dengan ajaran Hindu – meski kita tak tahu dengan cara apa leluhur kira mempelajari Weda.
Ajaran Hindu mengenal pemujaan kepada leluhur, selain kepada Tuhan dalam hal ini Brahman. Leluhur yang dipuja menyatu dalam sinar Tuhan – bukan berada di sisi-Nya seperti kepercayaan Muslim – namun leluhur yang sudah menjadi Pitara, Hyang Pitara, Ida Bethara tetap saja bisa kita pisahkan dengan Tuhan itu sendiri. Karena itu hendaknya selalu ditekankan kepada anak-anak muda, memuja leluhur (kawitan) beda dengan memuja Tuhan, namun bisa dilakukan dalam ritual berurutan. Itu yang membuat orang akan datang ke pura-pura kawitan.
Jika kita hanya menyebutkan, “mari bersembahyang ke Lempuyang Madya”, anak-anak muda akan bertanya: sembahyang di rumah juga bisa, Tuhan ada di mana-mana, untuk apa jauh naik gunung segala? Tetapi jika kita sebutkan, mari kita memuja Bethara Gnijaya ditempat beliau dulu melaksanakan yoga semadi. Orang mungkin akan tertarik, apalagi kalau kita jelaskan kembali bagaimana kisah leluhur itu di masa lalu dan vibrasi seperti apa yang didapatkan di Lempuyang Madya.
Jangan melupakan kahyangan kawitan selama sepuluh odalan – artinya antara enam sampai sepuluh tahun tergantung tegak odalan, apakah memakai hitungan sasih atau wariga— sebenarnya sesuai dengan konsep keagungan tirthayatra. Umat Hindu wajib melaksanakan tirthayatra disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Kini banyak orang melakukan tirthayatra dengan agak ngawur, melukat ke pura-pura yang dianggap keramat, padahal sekali pun tak pernah ke Lempuyang Madya, Silayukti dan sebagainya. Kalau mengunjungi pura saja sampai lupa bertahun-tahun, bagaimana bisa mengenal para semeton, lalu semeton saja tak dikenal bagaimana bisa rukun dan guyub?
Salah satu fungsi pura adalah sosialisasi, interaksi antara pemedek, dan akhirnya banyak teman. Banyak teman bisa saja mendatangkan banyak rejeki, bagaimana melakukan bisnis kalau tak punya teman?
Inilah cara-cara kita membaca bhisama dalam kehidupan yang sangat modern ini, sehingga bhisama tidak semata-mata menjadi catatan yang usang dan ketinggalan jaman.
Apalagi jika isi bhisama itu mengenai hal yang paling mendasar, tentang hak-hak kita yang lahir sebagai pewaris leluhur yang maha mulia. Saya kutip isi bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya: Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, Mpu Withadharma.
Jelas di sini disebutkan, “Kalian Pasek dan Bandesa, kalian sama-sama berhak menjadi Pandhita, sebab kalian adalah keturunan Brahmana sejati, turunan Arya Tatar….” Kalau sampai sekarang masih ada yang menyebutkan orang Pasek tak berhak menjadi Pandhita, apalagi disebutkan orang Pasek bukan keturunan Brahmana, itu pasti orang yang tak kenal leluhurnya sama sekali. Bagaimana bisa menjadi Hindu yang baik kalau leluhur saja tak diketahui?
Begitu pula kalau orang Pasek ngaben dipuput Sulinggih non-Pasek, jangan mau dikibuli bahwa jenasah orang Pasek tak boleh beralaskan biu Kaikik. Bhisama jelas mengatakan begitu, bahkan dalam Bhisama Mpu Withadharma hal ini dikatakan lebih lengkap lagi.
Dalam pergaulan modern, Bhisama Mpu Ketek harus disosialisasikan lebih luas kepada generasi muda warga Pasek. Begini petikan bhisamanya: Putungku Ki Pasek makabehan, yan hana wang angangken asanak ring Ki Pasek mwang Bandesa, haywa ta kita tan paryangken asanak ri sira, anghing pratyaksa rumuhun, yan wus anut ring katattwanta, kadi linging pujara kanda, munggwing prasasti kang piyagem, mwang wehana pramodo pajanji, saha upasaksi, yanya tan anut, dudu ya asanak ri kita. Yan wus manut ring panjanji ubaya upasaksi, ya tuhu asanak ri kita Pasek sedaya, wenang kita aweha ring apasanakan, haywa kita sandeha.
Bhisama ini menegaskan, kita sebagai warga Pasek dan Bandesa, harus mau mengakui dengan tulus setiap orang yang mengaku dirinya Pasek dan Bandesa. Jadikan mereka semeton. Tapi hati-hati, cek dulu kebenarannya, tentu dalam hal ini tingkah laku dan kesehariannya. Kalau dia mengaku Pasek tetapi tak mengakui keberadaan Pandita Mpu, malah Pandita Mpu disepelekan pandita lain diutamakan, ya, mikir dululah. Jangan cuma mengaku Pasek kalau ada pemilihan gubernur atau bupati, setelah menjabat diajak tangkil ke pura kawitan saja tak mau, apalagi medana-punia untuk warga Pasek.
Kalau dipikir-pikir Pandita Mpu kita di masa lalu sudah “betel tingal” melihat kejadian masa sekarang. Ida Mpu Ketek saja sudah memberi peringatan ratusan tahun yang lalu agar kita waspada, namun tak boleh curiga.
Semua bhisama, tak satupun mengajurkan kita untuk pecah berantakan, ini inti yang harus terus didengungkan. Semoga semangat yang sudah diwariskan ini tetap bergema di hati setiap semeton pasek.
Semoga spirit bhisame melahirkan kejayaan wangsa pasek di masa demokrasi ini, dengan kesamaan hak dan kewajiban. Di era demokrasi ini merupakan era kesempatan wangsa pasek untuk mengabdikan diri dalam membangun bali dan kejayaan kemanusiaan dan kesamaan hak, meninggalkan pasek parekan seken.
Om Awigham Astu