Sabtu, 04 Januari 2020

PENTINGNYA AKSARA BALI DALAM SETIAP RITUAL AGAMA HINDU DI BALI

Percakapan kecil sareng Ida Sinuhun dalam perjalanan HD di RS Dharma Yadnya
Tentang penggunaan Aksara Bali di Griya Agung Bangkasa khususnya pada upacara sedaraga.
Menurut Ida Sinuhun Aksara Bali merupakan sastra Widhi, simbol penyatuan dari Tuhan Yang Maha Esa 

Aksara Bali senantiasa digunaka oleh umat Hindu Bali dalam setiap melaksanakan upacara Yadnya dan ritual keagamaan lainnya.   Kerap juga dipakai sara pengobatan atau sesikepan berupa sabuk dengan berbagai rerajahannya.

Kenapa "Aksara Bali" begitu dominan mengisi ruang bhakti berdharma umat Hindu Bali khususnya di Griya Agung Bangkasa? 

Menurut beberapa sumber, jika aksara Bali khususnya aksara Ongkara apabila dibedah, maka semuanya melambangkan Panca Mahabutha. Nada simbol Bayu, angin, atau bintang, Windu merupakan simbol Teja, api, surya/ matahari,  Arda Candra merupakan simbol Apah, air, atau bulan, Angka telu melambangkan Akasa, langit, ether; dan Tarung/tedong melambangkan Pertiwi, bumi, tanah. 
Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba mengungkapkan,  Aksara Bali “Om” adalah bija mantra. Mantra “Ong” merupakan penyatuan dari semua bija mantra, seperti Dwi Aksara Ang-Ah, Tri Aksara Ang-Ung-Mang, Panca Aksara Sang-Bang-Tang-Ang-Ing, sampai Dasa Aksara Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang. “Bahkan sampai Satak (200) Aksara, intinya adalah Omkara,” ujar beliau sambil tersenyum tipis. 
Menurut beliau, seperti sabda Shri Krishna dalam Bhagawadgita, dinyatakan bahwa di antara aksara suci Akulah Omkara. “Omkara itulah penunggalan yang mewakili semua aksara suci atau mantra-mantra yang ada. Bahkan dengan mengucapkan mantra Om saja, kita sudah bisa connect atau menghubungkan diri dengan Tuhan, asal kita meyakini bahwa aksara tunggal itu bisa bermanfaat bagi kehidupan dan membahagiakan pengucapnya,” terang beliau. 
 
Lalu mengapa ada banyak bentuk ongkara dan lafalan mantra lainnya, apakah mantra “Om” belum cukup? 

Ida Sinuhun, mengatakan pada dasarnya manusia punya keinginan atau niat untuk menguasai lebih daripada aksara Bali lebih-lebih Omkara sesuai tujuan yang lebih spesifik. Apalagi para pendeta dan jro mangku memiliki kewajiban penguasana akan Aksara Bali dengan menghafal berbagai mantra sesuai paham yang diyakininya. “Itu pun bukan digunakan hanya untuk dirinya sendiri, namun untuk kepentingan umat,” ujar beliau. 

Sesungguhnya, lanjut beliau,  semua mantra itu berasal dan bermuara pada Aksara Bali Omkara. Jadi, yang lainnya itu bagaikan anak, cucu, dan sebagainya. 
Namun demikian, Ida Sinuhun mengatakan  tergantung individu. Kalau memang mampu menguasai Aksara Bali dan ngelinggihang ring sarira serta mampu menghafal mantra yang lain selain Omkara, asal diucapkan dengan baik dan benar, tidak apa-apa. “Tetapi kalau hanya asal-asalan menghafal, tidak tahu hukum bagaimana membaca aksara Bali dalam sebuah mantra dengan baik dan benar, tidak ada manfaatnya,” ungkap beliau. Lebih baik menurut beliau membaca atau pun menggunakan aksara Bali dalam mengucapkan satu mantra atau satu bija mantra, khususnya bagi para walaka atau penekun spiritual atau satu bija mantra, karena itu lebih cepat menghubungkan kepada Yang Universal atau Tuhan itu sendiri. “Jadi, tidak ada larangan bagi siapapun yang belajar Aksara Bali dan mantra yang lebih. Yang penting kita tahu makna dan tata cara pengucapannya,” jelas beliau. 
Ida Sinuhun asal Griya Agung Bangkasa banjar Pengembungan desa Bongkasa kecamatan Abiansemal-Badung tersebut, juga mengatakan hendaknya umat disaat membaca Aksara Bali mampu membedakan antara mantra, sloka, dan saa. Kalau sudah menyebut mantra, Ida Sinuhun mengatakan, sesungguhnya berasal dari Catur Weda, yakni Rig Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda. “Semua mantra itu memang dimulai dengan “Om” oleh yang mengucapkan. Padahal kalau kita teliti di Catur Weda, tidak semua mantra dimulai dengan “Om”,” ungkapnya. “Tapi kita sendiri yang menambahkan, agar selalu ingat kepada Yang Maha Tunggal, karena Aksara Bali dalam mantra “Om” itu adalah sastra widhi atau panunggalan,” jelas beliau. 

Di tempat terpisah Bapak Prof. Dr. Drs. I Made Surada, M.A menegaskan lagi dalam perkuliahan bahasa sumber II antara mantra dan sloka, ada hukum pengucapan sesuai Bahasa Sanskerta yang mesti diketahui oleh orang yang menekuni mantra itu. Misalnya ada huruf yang mesti diucapkan panjang dan yang ada garis di atasnya. “Itu namanya guru lagu atau chanda. Makanya kalau mengucapkan mantra itu yang perlu diperhatikan adalah chanda,” ungkapnya. Selain Sloka ada pula Sutra dan bija mantra, Ang namah, Ung namah, Mang namah, dan sebagainya. 
Kemudian ada saa yang berbahasa Kawi atau Jawa Kuna. Ada juga saa yang berbahasa ibu Bali. “Misalnya jro mangku di Bali tidak bisa menghafal mantra, dia memakai bahasa Bali. Apakah itu salah? Dalam konteks Kehinduan kita koktidak ada yang salah dalam hal itu,” jelasnya. 

Ditambahkan Ida Sinuhun, semua itu dibenarkan asal diucapkan dengan sungguh-sungguh dan yakin didasari bhakti yang tinggi. "Yang paling terpenting adalah bhakti,” tekannya. 
Lebih lanjut, Ida Sinuhun mengatakan bahwa fungsi Aksara Bali dalam bentuk Omkara adalah pengendalian, perlindungan, dan mendekatkan atau menguhubungkan diri dengan Paramaatman. Jadi, Aksara Bali dalam mantra Omkara sangat bermanfaat dan mempunyai fungsi yang sangat banyak bagi kehidupan. “Intinya adalah menyeimbangkan antara pikiran, jiwa, dan perasaan itu sendiri,” terangya. Bahkan mantra “Om” bisa memberi perlindungan secara jasmani dan rohani, seperti cuaca, roh jahat, black magic, dan sebagainya. 
Namun demikian, ada pula fungsi lainnya dari Omkara, seperti kesehatan fisik dan jiwa. Jika ingin memfungsikan pengucapan mantra Omkara untuk kesehatan, Ida Sinuhun mengatakan hendaknya diikuti dengan pengaturan pernafasan. Misalnya setiap mengucapkan “Om” tarik nafas terlebih dahulu, tahan di perut beberapa detik, kemudian dikeluarkan dengan mengucapkan mantra Om. “Ini baik untuk proteksi diri dikombinasikan dengan pranayama,” ungkapnya. Pranayama dikatakan dapat melancarkan peredaran darah, sedangkan mantra “Om” untuk penyucian. “Jadi sekaligus. Kita menjaga kesehatan dengan pranayama, kemudian disucikan oleh Omkara yang tiada lain Sang Hyang Widhi itu sendiri,” paparnya. 
Ida Sinuhun menjelaskan, tarik nafas terlebih dahulu, tahan sebentar, buka mulut sedikit dan ucapkan “Om” dengan perlahan. Saat mengeluarkan nafas dengan mantra Omkara, kita bisa membayangkan pada perut ada api dengan mantra Ang di sana. Kemudian di dada seperti mesin dengan mantra Ung yang berupa uap air. Terakhir di ubun-ubun terasa seperti getaran saat mengucapkan “M”. Di sana ada aksara Mang berupa udara. Jika dipelankan, maka ucapannya menjadi AUM. 
Idealnya dengan pengucapan 108 kali atau satu untaian ganitri mantra “Om” kita sudah keluar keringat dengan catatan pranayama dengan baik dan sikap padmasana atau Bajrasana. “Secara sendirinya cakra akan bergerak dan putarannya ke kanan. Sesungguhnya di dunia ini tidak ada satu pun guru yang mengaku bisa membangkitkan atau memperbaiki cakra. Itu semua tidak bisa. Kalau hanya mengarahkan bisa,” tegasnya. 
Mengenai tata cara pengucapan mantra, apakah dalam hati, berbisik, atau mengeluarkan suara, Ida Sinuhun mengatakan semuanya baik sesuai situasi dan kondisi. “Kalau dalam meditasi pengucapan dalam hati manfaatnya full karena terfokus. Koneknya lebih cepat,” ujarnya. Selanjutnya kalau untuk kesehatan, lanjutnya, sebaiknya diucapkan tapi jangan terlalu keras dan jangan pula tidak kedengaran. Karena dengan nafas dan pengucapan “Om”,  bisa merasakan energi yang masuk dan keluar dari tubuh. “Sesungguhnya energi yang masuk adalah energi positif dan yang keluar adalah energi negatif, seperti detoksifikasi. Sebenarnya dengan olah pernafasan dan pengucapan mantra Omkara, kita sedang mengeluarkan racun dari dalam tubuh,” jelasnya. 
Sedangkan pengucapan dengan suara yang standar biasanya diperuntukan untuk umat, supaya mereka bisa mengikuti. “Bahkan kalau umatnya banyak, bisa digunakan toa,” ungkapnya.
Ida Sinuhun menjelaskan, semestinya dalam proses pembelajaran kepada umat, pendeta atau jro mangku mengucapkan lebih dulu mantra, kemudian diikuti oleh umat. Dengan demikian, ketiga metoda pengucapan beliau katakan sebenarnya bernilai tinggi, asalkan didasari tulus ikhlas dan penuh bhakti. “Tapi, kalau dari segi rasa, yang tanpa diucapkan itu cenderung untuk konek  lebih cepat dengan Beliau. Jadi bagus untuk meditasi pribadi,” terangnya. 
Di Bali terdapat berbagai jenis Ongkara dengan berbagai fungsi masing-masing, seperti Ongkara Gni, Ongkara Sabdha, Ongkara Amritha, Ongkara Pasah, dan Ongkara Adu-mukha. Ongkara tersebut biasanya digunakan dalam rarajahan. Di samping itu, mantra-mantra nusantara, khususnya Bali, cenderung menggunakan bija mantra Ongkara daripada Omkara. Pun dalam penulisan sesuai aksara Bali, Ongkara ditulis dengan hulu candra yang menghasilkan suara “ng”,ucapannya keluar sebagai purusa, sedangkan jika ingin menulis Omkara menggunakan hulu ricem. Beberapa pihak masih mendebatkan hal tersebut. Belakangan ini bija mantra Omkara sepertinya lebih populer diucapkan oleh umat daripada Ongkara, namun dalam rarajahan tentunya tetap menggunakan Ongkara. Lain halnya dalam penulisan rerajahan caru Menggunakan Omkara ulu licem, sebagai wujud sakti dan pengucapannya kedalam (predana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar