Rabu, 11 Maret 2020

HUBUNGAN WANGSA, KASTA, SOROH, DAN WARNA

HUBUNGAN WANGSA, KASTA, SOROH, DAN  WARNA

Agama Hindu dapat disebut sebagai isi dan budaya Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air di dalam wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama, univesal dan bersifat abadi.

Bekenanan dengan hal tersebut timbul pertanyaan:

1.      Apakah wangsa, soroh, kasta, dan catur warna itu sama?

2.      Apakah pemujaan yang dilakukan oleh masing-masing kelompok itu berbeda?


A. WANGSA
Menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia, wangsa Klasik Nomina (kata benda)

(1)   keturunan raja; keluarga raja: wangsa Syailendra;

(2)    bangsa

Arti: Wangsa adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Wangsa memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga wangsa dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Wangsa termasuk dalam ragam bahasa klasik.

Arti: Wangsa berarti keturunan raja; keluarga raja

Wangsa berarti dinasti, atau kelanjutan kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan (keluarga yang sama). 

#Caturwangśa
Pembagian kasta yang mengikuti sistem kasta di India, yaitu Brahmāna, Kşatriya, Waisya, dan Sudra. Selain itu, Bali juga mengenal istilah jaba atau "luar", yaitu orang-orang yang berada di luar keempat kasta tersebut.

Di dalam masyarakat Hindu dikenal adanya sistem warna, yaitu suatu sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi yang ditekuni, bakat dan keahlian yang dikuasai. Pada perkembangannya, sistem warna dari agama Hindu ini sering diselewengkan oleh penguasa penguasa feodal dan pengikut pengikutnya untuk melanggengkan pengaruh politisnya dimasyarakat. Sistem warna yang merupakan pengelompokan orang berdasarkan tugas dan kewajiban yang dijalankan di dalam kehidupan bermasyarakat berubah menjadi tingkatan-tingkatan yang membedakan derajat seseorang berdasarkan keturunan. Ide dasar dari sistem ini, yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi dan keahlian, sering atau bahkan terabaikan sama sekali. Tingkatan-tingkatan kelas inilah yang kemudian disebut dengan kasta.

Berbeda dengan sistem Warna yang bersumber dari ajaran Veda, sistem kasta yang sering tersamarkan dengan keberadaan sistem warna ini, adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa portugis yang berarti tembok pemisah. Penerapan politik devide et impera pada masa pendudukan Hindia Belanda membuat sistem kasta dalam masyarakat Hindu Bali menjadi semakin kuat dan bahkan menggeser pengertian sistem warna yang asli.


B. SOROH
Istilah “Tat Twam Asi” dan “Tri Hita Karana” sudah sejak lama kita dengar, tetapi hal itu masih berputar-putar di dalam sebuah wacana saja, sedangkan pengamalannya masih sangat minim sekali. Mengapa kita masih berputar-putar di wilayah wacana dan belum bersungguh-sungguh melaksanakannya? Tentu saja karena banyak ada faktor X yang mengganjalnya. Diantara faktor X itu, faktor garis keturunan yang diramu dalam istilah “kasta” adalah salah satunya. Meski istilah kasta itu kini sudah berubah berganti baju menjadi istilah “soroh” atau “wangsa”, namun pelaksanaannya di masyarakat masih saja terjadi banyak diskriminasi di sana-sini.

Terdapat 2 soroh yang saling berbeda pendapat, sebut saja “soroh jaba” yaitu soroh di luar Puri (di jaba) dan “soroh menak’ yang berada di “jeroan” (di dalam). “Soroh jaba” merasa yang dirugikan oleh praktek diskriminasi dari “soroh menak” sehingga mereka menuntut kesetaraan di dalam pergaulan di masyarakat tetapi soroh menak  merasa tidak ada merugikan siapa-siapa karena mereka menganggap bahwa hal itu sudah merupakan warisan tradisi secara turun-temurun dan sudah diterimanya dari nenek moyangnya  karena dari faktor kelahiran.

“Soroh jaba” menuntut kesetaraan dengan mendasarkan pada tradisi weda (Aham Brahma Asmi) yang lumrah juga dikenal dengan istilah “Tat Tvam Asi”. Filsafat Tri Hita Karana, UUD 1945 dan hukum positif lainnya dengan tegas mengatakan bahwa semua warga Negara Republik Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Awig-awig di Banjar sudah  menyatakan bahwa semua Krama Banjar adat mempunyai hak dan kewajibannya yang sama. Walaupun demikian, tapi tetap saja “soroh menak” berkeberatan dan menuntut mendapatkan keistimewaan. Selama akar permasalahan ini belum bisa terungkapkan, selama itu pula akan terus terjadi tarik menarik di antara kedua soroh itu yang akan berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat di Desa Pakraman.

Istilah soroh menak dan jaba itu sudah ada sejak lama di Bali. Hal ini menjadi sebuah perangkap maut yang sangat mematikan dan dimanfaatkan oleh oknum segelintir orang. Sebagaimana disebutkan dalam karya tulis I Made Kembar Kepun yang terdiri dari 15 Bab, dikatakan bahwa sejak tahun 1343 bahwa orang-orang yang cerdik pandai sudah mampu menciptakan “perangkap maut” untuk dapat menjebak orang-orang Bali yang bodoh yang akan dijadikan kuda beban secara turun-temurun. Perangkap itu dirakit sedemikian sangat rupa-rapinya yang terdiri dari 6 butir ketentuan berikut:

1.      Larangan memada-madaRatu (dilarang meniru-niru Raja dalam berbagai hal).

2.      Larangan asisia-sisia/ nyumuka (dilarang untuk berguru dan meniru Pendeta dalam hal muput upacara dan memberikan tirta pangentas meski sudah jadi Pendeta).

3.      Keharusan masor singgih (kaum Sudra harus terus tetap di bawah kaum Triwangsa dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat)

4.      Ketaatan dan ketakutan pada “ajawera” (dilarang mempelajari ajaran Agama dengan ancaman akan gila).

5.      Ketakutan pada paham Raja-Dewa (Raja dipersamakan dengan Bhetara yang harus dituruti segala kehendaknya).

6.      Ketakutan terhadap rekayasa “titah Dewa”. Dikatakan oleh para cendekiawan bahwa jika titah Dewa dilanggar akan menimbulkan bencana besar. Padahal hal itu adalah akal-akalan saja. Nama beberapa Dewapun dicatut dipakai meneror pikiran rakyat agar rakyat selalu menjadi ketakutan terhadap datangnya bencana, wabah penyakit, kelaparan dan lain-lain.

C. KASTA
Kasta dari bahasa Spanyol dan bahasa Portugis (casta) adalah pembagian masyarakat.

Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu (Bangsa-bangsa Kerajaan Nusantara):

1.      Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan dirinya dalam urusan bidang spiritual seperti sulinggih, pandita dan rohaniawan. Selain itu disandang oleh para pribumi.

2.      Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang menyandang gelar ini tidak memiliki harta pribadi semua harta milik negara.

3.      Kasta Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta benda sendiri petani, nelayan, pedagang, dan lain-lain.

4.      Kasta Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya.

Sedangkan di luar sistem kasta tersebut, ada pula istilah:

1.      Kaum Paria, golongan orang rendahan yang tugasnya melayani para Brahmana dan Ksatria.

2.      Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Warna, bangsa asing.

Kata "Kasta" berasal dari bahasa Portugis "Caste" yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya.

Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".

D. CATUR WARNA
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan kata "warna" yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.

#Warna Brahmana.
Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.

#Warna Ksatrya.
Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.

#Warna Wesya.
Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).

#Warna Sudra.
Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.

Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.

#tubaba@hidup untuk melayani#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar