Sabtu, 07 Maret 2020

PUNCAK PUNDUKDAWA

PUNCAK PUNDUKDAWA
(Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba) 
Tiga burung ketitir terbang dari Puncak Bukit Pundukdawa. 
Mereka melintas di atas selat bebukitan dalam iringan suara genta. 
Dalam tiga dentingan genta, tiga burung suci itu telah sampai di atas Padmanglayang. 
Mereka lalu bersiak tiga, membagi arah dan aras, melambat di antara gemulung awan kumulus. 
Seekor meliuk ke Ulu Danau Batur. 
Seekor turun di puncak Tolangkir. 
Bergemuruh Gunung Agung. 
Seekor lagi menembus keheningan kabut dan rumpun bambu Puncak Lempuyang.

Apa kabar pedusunan dawan?

Dawan adalah sebuah dusun di kaki Bukit Pundukdawa.
Angkutan dulu berakhir di sana. 
Dawan terdiri dari kata Dawa <panjang>, an <daerah>. 
Daerah yang panjang? 
Entah kenapa begitu nama dusun itu. 
Dawan itu titik berangkat orang-orang yang hendak mendaki bukit Pundukdawa. 
Jalan kaki dari sana. 
Dulu.......
Di saat Ida Sinuhun menetapkan Pundukdawa sebagai pilihan untuk Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana..... 

Banyak ada penolakan dan hambatan..... 
Namun sekarang....... 
Permohonan terakhir Beliau...... juga dihambat........ 

Ida Sinuhun telah membuat sebuah buku ”butir-butir pembangunan pura penataran agung catur parhyangan ratu pasek linggih Mpu Gana". 
Sesungguhnya bukan sejarah, lebih cocok disebut sebagai Realita. 
Saya membaca berlembar-lembar halamannya. 
Dan isi buku itu bukan bicara sebagai pelajaran sejarah yang meyakinkan dengan bukti-bukti ilmiah. 
Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa menghujam ke dada sebagai dongengan. 
Lalu tumbuh kekal sebagai rasa yang tak ternamai. 
Dan dongengan ini, saat rindu pada diri, datang membuai malat-malat sunyi, ia kembali berdentang, meredam segala niat bercerdas-cerdas. 

Geguritan Pundukdawa pun beliau tuliskan, sebagai pada lingsa menguntai dan menyembunyikan rindu penyair atau lango dalam berbagai pupuhnya, yang tak ternamai itu gurit dengan yang tak ternamai juga.

Dalam Purana Pura Pundukdawa Ida Sinuhun memulai tulisannya dari diutusnya dua Dewa dan seorang Dewi, oleh Orang Tua-nya, yang beristana di Puncak Gunung Semeru. Menuju Bali, tiga utusan itu menjelma jadi burung ketitir, terbang cepat luar biasa, sehingga jarak Jawa-Bali ditempuh hanya dalam tiga dentingan genta.

”Anakku, pergilah engkau bertiga ke Bumi Banten (Bali), pulau itu sedang bergoyang. Tak ada yang menenangkan. Gunung Agung meluapkan lahar, gemuruh. Batur bergolak. Pergilah ke sana. Tenangkan pulau itu. Kelak, bila telah manusia berkembang di pulau itu, engkau akan dipuja sebagai Dewa-Dewi untuk selama-lamanya,” demikian perintah Sang Ayah, pada dua putra dan seorang putrinya.

Kisah kedatangan dua Dewa dan Dewi yang datang sebagai ketitir itu, dongengan itu, kini hampir tak banyak terdengar. Tapi oleh masyarakat Hindu Bali, tokoh-tokoh yang dalam dongengan itu, dipuja. Yang meliuk ke Ulu Danau Batur itu, kini dipuja sebagai Ida Betari Ulun Danu (Dewi Danuh); yang turun di Puncak Tolangkir, dipuja sebagai Ida Betari ring Tolongkir (Ida Bharata Putra Jaya); yang menembus keheningan kabut dan rumpun bambu Puncak Lempuyang, dipuja sebagai Ida Betara Lempuyang Luhur (Ida Bhatara Gni Jaya).

Semua petani-petani kini memuja Dewi Danuh, Dewi kesuburan pertanian, di Pura Ulun Danu; 
Ida Betara Putra Jaya sebagai pusat kekuatan hening pencapaian bathin; 
Bhatara Gini Jaya menurunkan putra-putra spiritual, muasal Sanak Sapta Rsi, para guru spiritual sebelum era serbuan Majapahit. 

Dalam kisah-kisah para orang tua, penekun ”ilmu bathin”, di jagad niskala Pundukdawa dengan susunan pelinggih dan tangga-tangga bathin, puncak-puncak langit pencapaian spiritual, dijalin bertapis-tapis. 

Apa kabar Pundukdawa?

Oh.....  Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa di Bongkasa) 
Terima kasih telah memberi kami titik keberangkatan menuju ke puncak ke puncak… dari jalan setapak yang panjang, perut rimba, garba, rahim penetas. 

Titik berangkat adalah ibu yang melahirkan saya, kupuja dalam plangkiran jantungku. 
Puncak-puncak itu, yang selalu di sini, terus dan terus menjelma, dari detik ke detik. 
Dimanakah tujuan tanpa titik berangkat? 
Manakah yang pertama kita puja: awal atau akhir? 
Apakah kehidupan adalah sebuah garis lengkung yang akan bertemu titik awal dan titik akhir ketika kita menjadi lingkaran? 
Inikah yang dimaksud ngewindhu dalam rahasia lontar-lontar? 
Titik awal dan titik akhir bertemu jadi lingkaran utuh? 
Berhentinya atas-bawah, awal-akhir?

Puncak Pundukdawa, tetes-tetes air keringat dari pasemetonan pretisentana Hyang Pasupati, berayun dalam kabut. 
Semesta terbuka di dada kiri. Berdentang genta pinara, bertabur mantra-mantra. 
Hujan bunga..... Gemitir kuning sepanjang setapak, tanjak-tanjak berlumpur. 

Dusun Dawan terima kasih. Titik berangkat, lolong anjing raung malam-malam.
#tubaba.eling ring pesan terakhir#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar