Penggunaan Hewan dalam Upacara Hindu
Ahimsa atau ahiṃsā atau ahingsā (Devanagari: अहिंसा; IAST ahiṃsā) adalah sebuah istilah Sanskerta yang berarti "antikekerasan". Ahimsa merupakan bagian penting dari agama Hinduisme, Jainisme, dan Buddhisme. Konsep ini pertama kali digunakan dalam sebuah kitab Hindu yang disebut Upanishad, yang salah satu bagiannya berasal dari tahun 800 SM.
Konsep ini kemudian dijelaskan lebih lanjut di Bhagavad Gita, Puranas dan kemudian teks-teks Buddhis. Dalam kitab Manusmrti, seorang pengikut Ahimsa adalah seorang vegetarian dan tidak membunuh atau melukai makhluk. (wekepedia)
Istilah ahimsa ini bertentangan dengan beberapa kitab suci hindu lainya. Karena beberapa lotar yang mengatakan bahwa untuk menopang agar bumi tetap seimbang maka harus dilakukan korban suci yang tak lain mempersembahakan binatang dan hewan lainya. Kemudian MD juga dijelaskan bahwa bumi ini diciptakan berdasarkan yajna.
Kendati demikian bagi umat hindu hal tersebut tidak dipermasalahkan. Masyarakat Hindu Indonesia menggap sebuah perbedaan adalah keindahan dalam hidup. Karena dijelaskan dalam salah satu kitab Hindu bahwa jalan apapun yang ditembuh maka Dewata akan tetap menerimahnya yang penting berdasarkan dharma.
Namun masalah pembunuhan binatang (persembahan) ini sering mendapatkan pertanyaan dari sejumlah masyarakat. Baik itu dari makna maupun fungsi lainya. Karena dalam masyarakat Hindu di Indonesia setiap upacaya tidak lepas dari pemotongan hewan (caruh). Maka dari itu penulis mencoba menjelaskan fungsi dan makna hewan dalam upacara Hindu.
Penggunaan hewan itu memiliki makna luas dan mendalam. Dalam Lontar Dangdang Bang Bungalan dinyatakan, penggunaan hewan dalam penyelenggaraan yadnya, dalam upacara Ekasata menggunakan seekor ayam brumbun sampai upacara Eka Dasa Rudra sampai Maligia Marebu Bhumi menggunakan puluhan ekor kerbau. Hal tersebut Sebagai visualisasi tatwa Agama Hindu yang tersurat dan tersirat dalam kitab suci Weda.
Dalam Manawa Dharmasastra V.40 dinyatakan, tumbuh-tumbuhan dan hewan yang digunakan sebagai sarana upacara keagaman kelak akan menjelma dalam tingkatan yang lebih tinggi. Penggunaannya dalam upacara memiliki muatan niskala untuk membangkitkan daya spiritual umat, agar dengan kecerdasan intelektual dan kepekaan emosionalnya meningkatkan pelestarian flora dan fauna.
Dalam Sarasamuscaya 135 dinyatakan, untuk menyukseskan tercapainya tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha terlebih dahulu sejahterakanlah alam itu. Alam sejahtera dinyatakan dengan istilah bhuta hita. Sloka Sarasamuscaya tersebut menegaskan lagi
"aywa tan masih ring sarwaprani"
Artinya:
"Janganlah tidak menaruh belas kasihan pada semua makhluk hidup"
Penggunaan hewan dalam upacara yadnya ini tidak sama di kalangan umat Hindu, meskipun tujuan utamanya sama, untuk melestarikannya. Di kalangan penganut Hindu yang waisnawa umumnya hewan itu tidak disemblih, malahan dipelihara dengan sebaik-baiknya terutama sapi. Hewan tersebut dipelihara dengan teliti sampai ia sehat dan gemuk serta mengeluarkan susu. Susu itulah yang dinikmati sebagai makanan dan minuman yang satwika.
Memelihara sapi dengan sebaik-baiknya itu sebagai simbol memelihara dan merawat bumi ibu pertiwi agar tetap subur. Bumi yang subur akan memunculkan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Ini berarti penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan itu secara simbolis memotivasi umat manusia agar senantiasa memelihara kesejahteraan alam lingkungannya terutama tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Ada juga kelompok Hindu dalam menggunakan hewan dalam upacara dengan cara menyembelihnya dan menjadikan hewan tersebut sebagai simbol tertentu dalam membuat upakaranya. Manawa Dharmasastra V.42 menyatakan, penggunaan hewan oleh seorang dwijati yang ahli Weda dengan cara menyembelihnya, tetapi berdasarkan petunjuk kitab suci dengan tujuan yang suci.
Hal itu menyebabkan beliau mencapai keadaan yang lebih bahagia bersama-sama makhluk tersebut di alam niskala. Penyembelihan hewan untuk upacara yadnya sesuai dengan aturan suci bukanlah penyembelihan dalam pengertian yang lumrah (Manawa Dharmasastra V.39).
Sesungguhnya makna utama penyembelihan hewan adalah menyembelih sifat-sifat hewan yang negatif yang ada dalam diri kita. Penyembelihan hewan yang tidak berdasarkan alasan suci akan menimbulkan dosa sejumlah bulu hewan yang disembelih. Yang menyembelih akan mengalami mati yang tidak wajar dalam tiap penjelmaannya (Manawa Dhatmasastra.V.38).
Kalau ketentuan tersebut benar-benar diterapkan, maka penyembelihan hewan akan sangat terbatas dan sangat terpilih. Yang dapat kita upayakan secara nyata adalah memelihara hewan itu dengan sebaik-baiknya sebagai upaya pelestarian alam. Kalau pandangan Hindu tentang penggunaan hewan ini dikaitkan seruan PBB terkait global warning akan amat sesuai. PBB menyatakan di AS tiap tahun disembelih 10 miliar ekor hewan darat. Penyembelihan itu menghasilkan 1,3 juta ton amoniak yang menimbulkan pengotoran udara. Karena itu penyembelihan hewan hendaknya dikurangi kalau tidak karena alasan-alasan yang suci yang diyakini.
Penggunaan hewan tertentu memiliki makna simbolis sebagai visualisasi ajaran Hindu. Misalnya itik,dalam Sarasamuscaya dinyatakan sebagai hewan yang bijaksana. Itik bisa makan nasi campur lumpur, tetapi yang masuk ke perutnya nasinya saja. Penggunaan itik dalam upacara agama Hindu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan wiweka jnyana atau kemampuan untuk membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.
Itik sebagai simbol guna sattwam. Ayam dan babi sebagai simbol guna rajah dan tamah. Penggunaan ayam dan babi sebagai simbol agar manusia dapat menguasai guna rajah dan tamah-nya agar jangan sombong dan rakus. Anjing sebagai simbol kesetiaan. Dalam kitab Cinakata atau fragmen ceritra anjing dinyatakan anjing amat taat dan setia membela majikannya. Berahi anjing juga tidak sembarangan. Kalau sedang Sasih Kesanga barulah muncul berahinya. Ini artinya anjing itu lambang yang memotivasi manusia agar jangan sembarangan mengumbar nafsu berahinya.
Penggunaan kambing bermakna untuk mengikuti sifat konsisten memegang prinsip dan si kambing seperti diungkapkan dalam ceritera Aji Dharma atau Angling Dharma. Berbagai jenis hewan yang digunakan itu juga bermakna agar semua makhluk ciptaan Tuhan dapat diajak bersama-sama ber-bhakti pada Tuhan, agar semua makhluk ciptaanNya meningkat terus, kualitas maupun kuantitasnya.
Hewan berkaki empat yang tidak dapat terpisah oleh upacara yadnya di termasuk pula di dalamnya hari suci Galungan. Sehingga setiap pelaksanaan Galungan segala bentuk persembahan atau sajian makanan selalu menggunakan bahan dasar daging terutama daging babi. Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba menjelaskan bahwa daging (daging babi) adalah sebuah simbol dari persembahan kepada Dewi Durga sebagai penguasa tantra bhairawa.
"Salah satu hewan yang dipotong saat penampahan Galungan adalah babi. Kenapa?
Karena Galungan sesungguhnya adalah pemujaan kepada Dewi Durga," terangnya.
Babi ini adalah simbol pemujaan bagi pemuja Durga Bhairawa karena selalu identik dengan persembahan yang berkaitan dengan paham tantrayana. "Karena pemujaan Durga selalu identik dengan persembahan hewan salah satunya adalah babi," jelasnya.
Istilah ahimsa ini bertentangan dengan beberapa kitab suci hindu lainya. Karena beberapa lotar yang mengatakan bahwa untuk menopang agar bumi tetap seimbang maka harus dilakukan korban suci yang tak lain mempersembahakan binatang dan hewan lainya. Kemudian MD juga dijelaskan bahwa bumi ini diciptakan berdasarkan yajna.
Kendati demikian bagi umat hindu hal tersebut tidak dipermasalahkan. Masyarakat Hindu Indonesia menggap sebuah perbedaan adalah keindahan dalam hidup. Karena dijelaskan dalam salah satu kitab Hindu bahwa jalan apapun yang ditembuh maka Dewata akan tetap menerimahnya yang penting berdasarkan dharma.
Namun masalah pembunuhan binatang (persembahan) ini sering mendapatkan pertanyaan dari sejumlah masyarakat. Baik itu dari makna maupun fungsi lainya. Karena dalam masyarakat Hindu di Indonesia setiap upacaya tidak lepas dari pemotongan hewan (caruh). Maka dari itu penulis mencoba menjelaskan fungsi dan makna hewan dalam upacara Hindu.
Penggunaan hewan itu memiliki makna luas dan mendalam. Dalam Lontar Dangdang Bang Bungalan dinyatakan, penggunaan hewan dalam penyelenggaraan yadnya, dalam upacara Ekasata menggunakan seekor ayam brumbun sampai upacara Eka Dasa Rudra sampai Maligia Marebu Bhumi menggunakan puluhan ekor kerbau. Hal tersebut Sebagai visualisasi tatwa Agama Hindu yang tersurat dan tersirat dalam kitab suci Weda.
Dalam Sarasamuscaya 135 dinyatakan, untuk menyukseskan tercapainya tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha terlebih dahulu sejahterakanlah alam itu. Alam sejahtera dinyatakan dengan istilah bhuta hita. Sloka Sarasamuscaya tersebut menegaskan lagi
"aywa tan masih ring sarwaprani"
Artinya:
"Janganlah tidak menaruh belas kasihan pada semua makhluk hidup"
Penggunaan hewan dalam upacara yadnya ini tidak sama di kalangan umat Hindu, meskipun tujuan utamanya sama, untuk melestarikannya. Di kalangan penganut Hindu yang waisnawa umumnya hewan itu tidak disemblih, malahan dipelihara dengan sebaik-baiknya terutama sapi. Hewan tersebut dipelihara dengan teliti sampai ia sehat dan gemuk serta mengeluarkan susu. Susu itulah yang dinikmati sebagai makanan dan minuman yang satwika.
Memelihara sapi dengan sebaik-baiknya itu sebagai simbol memelihara dan merawat bumi ibu pertiwi agar tetap subur. Bumi yang subur akan memunculkan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Ini berarti penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan itu secara simbolis memotivasi umat manusia agar senantiasa memelihara kesejahteraan alam lingkungannya terutama tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Ada juga kelompok Hindu dalam menggunakan hewan dalam upacara dengan cara menyembelihnya dan menjadikan hewan tersebut sebagai simbol tertentu dalam membuat upakaranya. Manawa Dharmasastra V.42 menyatakan, penggunaan hewan oleh seorang dwijati yang ahli Weda dengan cara menyembelihnya, tetapi berdasarkan petunjuk kitab suci dengan tujuan yang suci.
Hal itu menyebabkan beliau mencapai keadaan yang lebih bahagia bersama-sama makhluk tersebut di alam niskala. Penyembelihan hewan untuk upacara yadnya sesuai dengan aturan suci bukanlah penyembelihan dalam pengertian yang lumrah (Manawa Dharmasastra V.39).
Kalau ketentuan tersebut benar-benar diterapkan, maka penyembelihan hewan akan sangat terbatas dan sangat terpilih. Yang dapat kita upayakan secara nyata adalah memelihara hewan itu dengan sebaik-baiknya sebagai upaya pelestarian alam. Kalau pandangan Hindu tentang penggunaan hewan ini dikaitkan seruan PBB terkait global warning akan amat sesuai. PBB menyatakan di AS tiap tahun disembelih 10 miliar ekor hewan darat. Penyembelihan itu menghasilkan 1,3 juta ton amoniak yang menimbulkan pengotoran udara. Karena itu penyembelihan hewan hendaknya dikurangi kalau tidak karena alasan-alasan yang suci yang diyakini.
Penggunaan hewan tertentu memiliki makna simbolis sebagai visualisasi ajaran Hindu. Misalnya itik,dalam Sarasamuscaya dinyatakan sebagai hewan yang bijaksana. Itik bisa makan nasi campur lumpur, tetapi yang masuk ke perutnya nasinya saja. Penggunaan itik dalam upacara agama Hindu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan wiweka jnyana atau kemampuan untuk membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.
Itik sebagai simbol guna sattwam. Ayam dan babi sebagai simbol guna rajah dan tamah. Penggunaan ayam dan babi sebagai simbol agar manusia dapat menguasai guna rajah dan tamah-nya agar jangan sombong dan rakus. Anjing sebagai simbol kesetiaan. Dalam kitab Cinakata atau fragmen ceritra anjing dinyatakan anjing amat taat dan setia membela majikannya. Berahi anjing juga tidak sembarangan. Kalau sedang Sasih Kesanga barulah muncul berahinya. Ini artinya anjing itu lambang yang memotivasi manusia agar jangan sembarangan mengumbar nafsu berahinya.
Penggunaan kambing bermakna untuk mengikuti sifat konsisten memegang prinsip dan si kambing seperti diungkapkan dalam ceritera Aji Dharma atau Angling Dharma. Berbagai jenis hewan yang digunakan itu juga bermakna agar semua makhluk ciptaan Tuhan dapat diajak bersama-sama ber-bhakti pada Tuhan, agar semua makhluk ciptaanNya meningkat terus, kualitas maupun kuantitasnya.
Hewan berkaki empat yang tidak dapat terpisah oleh upacara yadnya di termasuk pula di dalamnya hari suci Galungan. Sehingga setiap pelaksanaan Galungan segala bentuk persembahan atau sajian makanan selalu menggunakan bahan dasar daging terutama daging babi. Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba menjelaskan bahwa daging (daging babi) adalah sebuah simbol dari persembahan kepada Dewi Durga sebagai penguasa tantra bhairawa.
"Salah satu hewan yang dipotong saat penampahan Galungan adalah babi. Kenapa?
Karena Galungan sesungguhnya adalah pemujaan kepada Dewi Durga," terangnya.
Babi ini adalah simbol pemujaan bagi pemuja Durga Bhairawa karena selalu identik dengan persembahan yang berkaitan dengan paham tantrayana. "Karena pemujaan Durga selalu identik dengan persembahan hewan salah satunya adalah babi," jelasnya.
Sementara bagi paham Siwa Sidantha dengan konsep Tantrayana sendiri sangat erat kaitannya dengan daging babi. Seperti misalnya dalam bebanten yang terbuat dari daging babi dalam bentuk bebanten Gelar Sanga, Bebangkit berisi guling babi, Sate Renteng yang berbentuk senjata Dewata Nawa Sanga yang semuanya berbahan dasar daging babi. Bebanten yang berbahan dasar daging babi ini semua ditunjukan kepada Bhatari Durga, baik dalam upacara apapun yang menggunakan bebanten ini sebagai persembahannya.
#tubaba@griyang bang#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar