Sulinggih tergolong Dwi Jati atau lahir dua kali, pertama lahir sebagai manusia biasa, kedua lahir sebagai Brahmana (Rohaniawan).
Yang menarik untuk ditelaah adalah sebutan “Pedanda” yang banyak disematkan pada pendeta-pendeta Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Biasanya Pedanda-pedanda, selain memberikan siraman rohani (Dharma Wacana) juga sering “muput upacara”, memimpin kebaktian.
Sebutan pedanda-pedanda modern di Indonesia kurang eksis lagi dengan gelar yang disematkan, menyimpang dari tugas dan kewajiban yang sebenarnya. Bhagavad Gita, orang-orang yang menyimpang dari tugas/wewenang dan kewajibannya tergolong orang-orang yang berdosa.
Tugas dan kewajiban seorang Pedanda, apabila kita runut dari asal kata, sesuai namanya, tugasnya sebagai penegak hukum, dalam hal ini penegak hukum agama Hindu (Dharma). Kata “Ida” memiliki makna beliau atau Dia yang terhormat, sedangkan kata “Pedanda”artinya pemberi hukuman (danda) atau jika disederhanakan pedanda artinya hakim. Sehingga Ida Pedanda itu sebenarnya adalah Hakim Hindu yang berkedudukan di pengadilan, bukan bertugas sebagai pemuput upacara keagamaan, melainkan sebagai pemutus perkara.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? itu terjadi lantaran pemerintah Indonesia pada tahun 1957 atau awal kemerdekaan, pemerintah RI meniadakan atau melarang pengadilan Adat/pengadilan agama hindu, diganti dengan pengadilan negeri.
Sebelum Indonesia merdeka, di Bali terdapat beberapa pengadilan agama Hindu (Kalau tidak salah ada sembilan, pengadilan ini disebut Raad Van Kertha, dikembangkan Belanda) hakimnya adalah pendeta-pendeta Hindu (pedanda). Di Kabupaten Klungkung, pengadilan Hindu tersebut masih kokoh sampai sekarang, dijadikan museum “Kertha Gosa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar