PENGABENAN NISPRATEKA NIR PRABHAWA
Olih : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
Konsep dasar dalam penerapan ajaran
agama Hindu, dapat dipilah menjadi tiga jenis; Tattwa, Susila dan Upacara (Ritual). Secara ilmu dapat digolongkan seperti tersebut, tetapi sesungguhnya ketiga unsur Tattwa, Susila dan Upacara merupakan satu kesatuan yang utuh,
tidak bisa berdiri sendiri. Bagaikan sebutir telur; ada kulit, bagaikan ritual, putih telur bagaikan Susila dan kuning telur bagaikan Tattwa. Ketiga bagian telur menjadi satu kesatuan, saling melengkapi sehingga telur bisa menetas. Jika telah terpisahkan tidak mungkin bisa menetas. Diantara
ketiga bagian tersebut, yang paling nampak adalah kulit telurnya, demikian juga dalam melaksanakan ajaran Agama Hindu, yang dapat dilihat secara
kasat mata adalah ritual agama. Pelaksanaan Agama, sering dilihat dari
unsur Upakara dan Upacaranya, tanpa dimaknai oleh nilai – nilai filsafatnya. Lebih banyak melaksanakan upacara berdasarkan gugon tuwon, tradisi yang diwarisi secara turun temurun, tetapi
diyakini memberikan makna dan kepuasan batin bagi yang melaksanakan ritual tersebut. Ada yang beranggapan semakin besar ritualnya, semakin memberikan makna, berkah dan kesucian dalam
hidup ini. Kesemarakan dalam ritual dianggap dapat mengangkat prestise, seperti halnya upacara Ngaben sampai menghabiskan miliadan rupiah. Membuat upacara perkawinan yang berlebihan, harus dilaksanakan di hotel yang berbintang. Upacara melaspas biayanya hampir sama dengan biaya bahan bangunannya. Pelaksanaan ritual yang dilandasi dengan ketulusan hati, sesuai dengan kemampuan, ditinjau dari segi positifnya, dapat menggerakkan
ekonomi kerakyatan. Bahan upakara berupa hasil pertanian, peternakan diambil dari masyarakat, sehingga menumbuhkan lapangan kerja. Perputaran ekonomi semakin cepat. Salah satu contoh Upacara Piodalan di Pura Semeru Agung,
Lumajang, Pura di Gunung Salak Bogor, dirasakan membawa rejeki dan berkah bagi masyarakat. Demikian pula halnya dengan Upacara yang diselenggarakan di Bali dapat menggerakkan ekonomi kerakyatan. Orang kaya bagaikan gunung
es, jika esnya mencair, pasti akan menutupi lembah – lembah disekitarnya. Masyarakat akan menikmati dari proses pelaksanaan ritual tersebut. Apakah ritual yang serba besar, meriah dan semarak perlu dipertahankan ? Ini yang perlu
dikaji bersama.
Pembahasan
1. Landasan Pelaksanaan Yadnya.
Yadnya adalah korban suci yang
dilaksanakan dengan hati penuh kesadaran secara tulus ikhlas, merupakan salah satu kewajiban bagi umat Hindu tanpa mencari keuntungan di balik yadnya tersebut. Upakara dan Upacara
merupakan salah satu bagian dari yadnya sebagai dasar pengembalian tiga hutang manusia, hutan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan Bhuana Agung dan Bhuana Alit, hutang kepada orang tua / Leluhur, yang telah
melahirkan kita, dan hutang kepada para Rsi, yang telah menyempurnakan hidup dengan ilmu pengetahuan dan kesucia (Tri Rna). Upakara dan Upacara sepintas mempunyai makna yang sama, tetapi jika dicermati memiliki pengertian yang berbeda. Upakara berasal dari kata Upa dan Kara. Upa artinya hubungan dengan, Kara berarti tangan. Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan pekerjaan tangan (jejahitan / banten).
Upacara berasal dari kata Upa dan Car. Upa artinya berhubungan dengan, Car artinya gerak, prosesi. Upacara adalah prosesi pelaksanaan Yadnya. (Hasil Pesamuan Agung 2007: 64)
Landasan pelaksanaan yadnya dalam
bentuk upacara dan upakara, banyak dijumpai dalam kitab suci (Sruti, Semerti, Itihasa, Purana, Lontar) pada intinya semua menegaskan bahwa landasan utama dalam pelaksanaan yadnya adalah
ketulusan hati, tanpa pamrih, sesuai dengan kemampuan, utamanya tidak ada paksaan dari pihak manapun, termasuk memaksakan kehendak sendiri. Landasan pelaksanaan Yadntya, salah satu dikutip dari sloka Bhagawadgita dinyatakan
sebagai berikut:
karmaṇy evadhikāras te mā phaleṣu kadācana,
mā karma-phala-hetur bhūr mā te saṅgo stv akarmaṇi.
(Bhagavadgītā II.47)
Artinya:
Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu (yang kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tanpa kerja
Aphalakan ksibhir yajna, Vidhi – drsto ya ijyate
Yastawyam e veti manah, Samadhaya sa sat-
tvikah (XVII, 11)
Artinya;
Lakukan yadnya berdasarkan Widhi Drsta
(Catur drsta), tanpa mengharapkan keuntungan (pahalanya) dan diyakini sepenuhnya bahwa yadnya ini sebagai tugas dan kewajiban yang bersifat Sattwika. Berdasarkan sloka tersebut, memberikan landasan dalam pelaksanaan Yadnya, bahwa upakara dan upacara yang dilaksanakan harus sesuai dengan Kitab Suci (Sastra drsta). Kenyataannya yadnya yang dilaksanakan umat Hindu di seluruh dunia, mempunyai bentuk yang berbeda-beda, walaupun fungsi dan maknanya
sama. Bentuk upacara dan upakara tersebut diwarisi secara turun temurun, serta diyakini sebagai suatu kewajiban (Purwa drsta).
Yadnya dapat juga dilaksanakan menyesuaikan dengan wilayah, sosial budaya, kondisi sosial ekonomi
masyarakat setempat (Desa drasta). Banyak pula yadnya yang dilaksanakan berlandasan pada yadnya masa lalu, seperti upacara pengabenan, landasan yang dipergunakan adalah jenis upakara
dan upacara yang dilaksanakan oleh leluhurnya, diikuti sebagai landasan pelaksanaan Ngaben (Kuno Drasta). Diantara Catur Drsta manakah yang dijadikan landasan pelaksanaan Yadnya?
Sesungguhnya pelaksanaan yadnya pada dasarnya selalu berpegang pada Kitab Suci (Sastra Drsta) sebagai acuan menganalisis bentuk, fungsi dan maknanya. Pelaksanaan selanjutnya, diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun temurun, akhirnya dirasakan sebagai gugon tuwon (Purwa Drsta), demikian pula pelaksanaan Desa Drsta dan Kuno Dresta.
Landasan utama dalam penyederhanaan
ritual, dijelaskan dalam Bhagawadgita IX.26, dinyatakan bahwa :
Patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayascchati,
Tad aham bhaktya upahrtam asnami prayatat-manah.
Artinya;
Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada KU, dengan mempersembhakan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, seteguk air, akan KU terima sebagai ujud bhakti dari orang yang berhati suci.
Bhakti sebagai pelaksanaan Upakara dan
Upacara Yadnya, pada prinsipnya dilandasi dengan ketulusan, kesucian dan keikhlasan lahir dan bhatin, yang didorong oleh kesadaran sebagai suatu kewajiban dharma. Pelaksanaan yadnya bertujuan untuk meningkatkan Sradha dan
Bhakti, sebagai pengejewantahan pelaksanaan Dharma, melalui bentuk simbol – simbol (Nyasa) agar mudah dihayati dan dilaksanakan oleh umat
Hindu dalam upaya meningkatkan kemampuan diri dalam melaksanakan ritual. Keberhasilan sebuah yadnya berdasarkan sloka IX.26 tadi jelas
dinyatakan bukan karena kemegahan, kebesaran jenis yadnya, tetapi ketulusan dan kesucian bhatin, walaupun sangat sederhana mempunyai nilai dan makna yang sama pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar