Karena kata Nila berarti kosong atau sunia sebagai alamnya siwa. Sedangkan kata Pati, berarti raja atau mulia dan agung. Sehingga Nilapati berarti menuju tempat sunia yang maha mulia nan agung.
Dari sudut etimologi, Nilapati berasal dari kata Nila dan Pati. Nila artinya biru, hitam (siwa itu sendiri) atau setiap zat atau bahan yang gelap kemudian secara semantik diartikan sebagai noda. Kemudian Pati berarti kematian, namun Pati juga dapat berarti raja, penguasa dan Tuhan. Berdasarkan arti leksikal di atas, Nilapati berarti kematian yang hitam, mati membawa noda atau dikuasai oleh noda/kegelapan sekaligus Tuhan yang telah ternoda. Dengan demikian secara maknawi dijumpai berbagai konsep tentang Nilapati, di antaranya (1) mati yang ternoda; (2) dikuasai oleh noda; (3) Tuhan yang ternoda.
Akibat dari noda itu menyebabkan hidup tidak selamat dan ketika meninggal sulit mencapai kelepasan. Selain itu adanya dasar keimanan akan kelahiran yang berulang-ulang (samsara) telah memberikan penguatan kelahiran sebagai manusia adalah menderita. Selain itu ajaran Samkhya dengan Panca Klesanya telah pula menjelaskan, bahwa kelahiran ini diliputi oleh klesa atau noda yang menyebabkan pati atau spirit Tuhan dalam personal ikut ternoda.
Dengan demikian, manusia wajib melepaskan diri dari noda. Noda atau klesa merupakan awal mula dari papa, sedangkan papa adalah awal mula dari dosa dan dosa menjadi awal mula dari neraka. Di dalam kakawin Ramayana dengan tegas dijelaskan, bahwa tujuan dari penjelmaan ini sebagai manusia adalah melenyapkan penderitaan yang bermula dari noda itu, “Ksayanikang papa nahan prayojana.” Bagaimana cara melenyapkan penderitaan itu, maka dalam Hindu ditawarkan berbagai solusi sesuai dengan teologi Saiva Siddhanta. Di antaranya melalui jalan Karma sebagaimana disebutkan dalam Sarasamuccaya sloka 4 yang menyatakan: “Apan ikang dadi wwang, utama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika.” Artinya, menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Selain melalui jalan Karma, noda kelahiran ini juga dapat dibersihkan melalui jnana atau ilmu pengetahuan absolut (para widya). Melalui pengetahuan sejati ini manusia diharapkan mampu membedakan mana yang absolut dan mana yang relatif (maya). Melalui pengetahuan manusia diharapkan memperoleh pencerahan (enlightenment) sehingga tidak terjebak dalam perangkap kuasa maya. Hal ini disebutkan dalam Bhagavadgita IV sloka 36: Api ced asi papebhyah, sarwebhyah papakritawah, sarwam jana plawenai’wa, wijinam samtarisyasi. Artinya, walau seadainya engkau paling berdosa, di antara manusia yang memikul dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan ini, lautan dosa engkau seberangi.
Jadi upacara Nilapati/Siwa Yadnya merupakan jalan bhakti (Bhakti Marga). Dan seberapa besar pengaruhnya upacara Nilapati/Siwa yadnya itu bagi penyucian leluhur tentu tidak dapat diukur secara kuantitas, mengingat upacara itu bukan kuantitasnya yang menjadi jaminan, melainkan kualitasnya.
Selain itu, meskipun lontar Atma Reka dalam pustaka lawar capung druwen Kiyai Dalang Tangsub dan Lebur Gangsa merekomendasikan suatu upacara Nilapati untuk menghapuskan dosa-dosa akibat kelahiran, maka juga dianjurkan pentingnya menjunjung moralitas yang baik untuk mencapai keselamatan. Di antaranya disebutkan: “Jika kamu mengharapkan kelahiran yang selamat, berbuatlah yang benar, dengan kebajikan lanjut sampai pada puncak pikiran yang suci. Hati yang sabar, penampilan dan tingkah laku mulia selalu menjadi pegangan. Jangan kamu bersikap tidak hati-hati. Utamakan segala perbuatan atau tingkah laku yang menyebabkan hidup menjadi selamat, karena akan mengalami kesulitan besar apabila dilandasi oleh suatu yang tidak baik. Selalu memiliki kecenderungan seperti keadaannya semula. Ibaratnya sebutir biji jawa yang dibelah menjadi seratus. Ditenggelamkan di tengah lautan, begitu sulitnya menjadi utuh kembali. Demikianlah dialami oleh orang yang berdosa, selalu menimbulkan kejahatan dilekati oleh dosa akibat kematian yang ternoda. Sulit untuk kembali menjadi bijaksana, jika tidak atas restu Tuhan untuk menjadi sempurna kembali.
Maksudnya adalah menyatu dengan sang pencipta atau disebut dengan moksa.
Karena sesungguhnya tujuan agama Hindu adalah Moksartham Jagadhita ya Ca Iti Dharma.
Yang artinya menuju ke alam kebahagiaan.
Sebab menyatu dengan Brahman atau di Bali yang disebut Bhatara Hyang Guru.
Maka di dalam pelaksanaan upacara Nilapati, daksina linggih yang menyimbolkan Bhatara Hyang (sang catur dasa pitara/14 bhatara hyang) ditedunkan, dibuatkan pipil pada daksina lingga, dihaturkan upacara panilapatian kemudian dipralina.
#tubaba@dokumen//griya agung bangkasa#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar