BHISAMA SABHA PANDITA TAHUN 2005
MERUPAKAN PESANAN KELOMPOK PANDITA SAMPRADAYA ISKCON & SAI BABA AGAR BISA MASUK DALAM TUBUH PHDI PUSAT
MELALUI
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor: 04/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/V/2005
t e n t a n g
PEDOMAN PELAKSANAAN DIKSA DVIJATI
Saya mencoba mengkaji dan menganalisa mengapa para para pandita yang lahir dari Diksa Massal, yang mana tidak bisa dipungkiri mereka adalah simpatisan Sampradaya asing khususnya organisasi transnasional Sai Baba dan Hare Krishna (ISKCON) bisa demikian kuatnya sehingga bisa mengkerdilkan keberadaan Sulinggih Hindu Dharma Indonesia yang merupakan pemilik modal simbolik sebenarnya dari PHDI itu sendiri sesuai dengan sejarah proses berdirinya Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1959.
Menurut pendapat saya secara pribadi, BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT Nomor: 04/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/V/2005 t e n t a n g PEDOMAN PELAKSANAAN DIKSA DVIJATI ini dijadikan landasan utama untuk pandita yang berafiliasi dengan sampradaya asing Sai Baba & Hare Krishna (ISKCON) berkembang secara massal dan menguatkan posisinya di PHDI , padahal Bhisama ini baru di tataran filosofis, sementara kerangka berfikir belum muncul yang harusnya berdasarkan Desa Kala Patra, sehingga tata laku dan tata sarana ritual mereka menjadi kacau, di mana kita bisa lihat sulinggih dari kelompok Organisasi Transnasional Sampradaya Sai Baba, pakemnya tidak jelas , Sebentar jadi Hotri, di lain sisi juga jadi Pemuput Banten.
Salah satu Mantra Homa Yadnya Hindu Bali "Om sariram kundam ityuktam, Triantah Karanan Idanam, Saptomkara Mayo Bahnir, Bhojadantu Udinditah Ang Astra Kala Agni Rudra Ya Namah"
Menurut Putu Agus Yudiawan Poetoe Agus Yudiawan , Mantram ini biasanya digunakan saat Sulinggih akan menguncarkan Weda yg dikenal dengan Dagdig Karana. Mantram ini pula sebagai pembakar segala indriya sehingga seorang Sulinggih menjadikan dirinya sebagai Siwa terlebih dahulu sebelum memimpin upacara yadnya. Homa Yadnya yg dilaksanakan Hindu Bali menempatkan badannya sebagai tungku perapian bagi "Api Rahasya atau Siwa Gni". Siwa Gni inilah yg akan membakar Panca Indriya dengan menggunakan Budi, Ahamkara, Manah dan Tri Guna sebagai kayu bakarnya. Lalu tujuh Ongkara atau sapta atma atau tujuh cakranya sebagai api yang menyala terus menerus dan biji bijian sebagai yang dibakar dalam Siwa Gni.
Segala upacara yadnya Hindu di Bali adalah perwujudan atau simbolisasi dalam diri karena Buana Agung dan Buana Alit adalah sama. Hal ini dapat kita lihat dari makna banten yaitu raganta twi (buana alit) dan anda buana (buana agung). Sehingga proses pembelajaran dalam diri (raganta twi) dan diluar diri (anda buana) akan selaras.
Akan sangat berbeda dengan Agni Hotra ala organisasi transnasional sampradaya Sai Baba dengan menggunakan Dewa Agni sebagai penghubung kepada Tuhan. Disinilah letak perbedaan tafsir antara Agni Hotra versi organisasi transnasional sampradaya Sai Baba dengan Hindu Bali. Mereka kedalam diri sunya dan keluar diri berwujud, jadi antara Buana Agung dan Buana Alit di mana perwujudan atau simbolisasi ritualnya tidak selaras.
Dalam Bhagawad Gita jelas dikatakan "Aku berada di luar dan didalam diri setiap insani...". Keseluruhan upacara yadnya Hindu Bali tentang perjalanan roh atau mengenal jati diri yaitu dari sunya kembali ke sunya. Dalam Bhagawad Gita dijelaskan jelas dalam Bab II.28 berbunyi "mahluk mahluk mulanya tak berwujud, berwujud ditengah tengah dan tak berwujud kembali pada akhirnya, wahai Bharata (Arjuna). Apa yang mesti diratapi ?" Jangan anggap remeh upacara yadnya di Bali karena semuanya sudah selaras dengan mantranya.
Artinya antara mantra, aksara, mandala, wariga, tattwa, sila, acara dan atmanastuti saling terkait, selaras dan saling menjelaskan. Keseluruhan pakem hirearkis diatas terbungkus dalam Panca Yadnya implementasi dari Panca Sradha.
Pertanyaannya sekarang apakah Sulinggih Veda Poshanam Ashram (VPA) yang menggunakan Agni Hotra sebagai ritual utamanya sama dengan ageman Tri Sadhaka (Sang Siwa, Sang Bodha, Sang Bhujangga) sehingga mereka berhak mepuja dan muput di pelinggih padmasana dan pura pura umat Hindu Dharma Indonesia yang memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Bhatara Siwa Yang Esa dengan ista dewatanya, di mana semua proses pendirian padmasana dan pura pura tersebut menggunakan upacara mulang dasar dan pedagingan berdasarkan tradisi Hindu di Bali ?.
Apakah mereka menggunakan Caru kurban binatang mulai dari Eka Sata, Panca Sata hingga Tawur Eka Dasa Rudra ?
Apakah mereka mengikuti ajaran Siwa Sidhanta/Siwa Buddha sejak Mpu Kuturan yang telah menyeragamkan religi dengan konsep Tri Murti ?.
Dan banyak lagi pertanyaan lainnya sehingga selaras dari jnana hingga Catur Dresta dalam Hindu Bali. Hindu Bali tak mengenal ritual khusus menTuhankan Manusia, menyembah patung atau gambar atau foto atau hasil karya manusia. Apalagi foto Sai Baba yg dimuliakan, disucikan, bahkan disembah bak Tuhan Yang Maha Esa dengan ritual Arathi oleh pengikut Sai Baba di seluruh dunia .
Hindu Bali sesuai dengan mantram dalam Yajur Weda 32.3 "natasya pratima asti.." artinya "Tuhan tidak berwujud". Kemudian Yajur Weda 40.9 berbunyi "andatama pravisanti ya asambhuti mupaste.." dan dilanjutkan dengan "andhatama pravisanti ya shambuti mupaste.." artinya mereka memasuki kegelapan bila menyembah unsur unsur alam dan tambah memasuki kegelapan bila menyembah hasil karya manusia".
Dan yang paling penting adalah ketika seorang Sulinggih akan muput karya akan menjadikan dirinya Siwa terlebih dahulu. Bagaimana mungkin Siwa memuja photo Sai Baba yang seorang manusia ???
Sangat tidak sesuai dan kontradiksi. Dari sini saja sudah jelas apa yg dipraktekkan oleh Sulinggih Veda Poshanam Ashram (VPA) sangat bertentangan dengan ageman sulinggih Hindu Bali yaitu Tri Sadaka yang merupakan hubungan vertical ke atas dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sedangkan konsep Sarwa Sadaka sebenarnya di pergunakan dalam konsep horizontal/ke samping di mana sulinggih semua pesemetonan/semua soroh berhak memimpin upacara selama sang sadaka menggunakan tiga (3) ageman sulinggih Hindu Bali tersebut di atas.
Boleh boleh saja VPA mengklaim tidak berafiliasi dengan organisasi transnasional sampradaya manapun tetapi faktanya semua sulinggih VPA yang bergelar “ AGNI ”adalah bhakta Sai Baba. Mereka menggunakan mantra mantra diluar dari stuti stava Sulinggih Hindu Bali dan tidak selaras atau terkait antara mantra, yantra dan tantra.
Satu lagi pertanyaan jika melihat tata cara ritualnya, TATTWA apa yang digunakan oleh Veda Poshanam Ashram (VPA) dan Apa FORMAT Ritualnya ?.
Sebab ritual yg dilaksanakan oleh VPA, satupun antara mantra, yantra dan mandalanya tidak saling terkait satu sama lain atau tidak selaras sama sekali. (@ Putu Agus Yudiawan)
PERTANYAAN TERAKHIR : PEDOMAN GARIS PERGURUAN PARAMPARA VEDA POSHANAM ASHRAM (VPA), KATANYA BERASAL DARI GARIS GAYATRI SAVITRI – BRAHMARSI VISVAMITRA, MOHON DI JELASKAN SECARA DETAIL GARIS GURU PARAMPARA DARI BRAHMARSI VISVAMITRA HINGGA SAI BABA ATAU VEDA POSHANAM ASHRAM ???
Gerakan organisasi transnasional Sai Baba "mengutak-atik" dan mau merombak tatanan masyarakat Hindu Dharma Indonesia khususnya Pakem Hindu Bali yang telah mapan dan bertahan (ajeg) semenjak berabad abad lalu yang dianut komunitas besar Hindu di Bali, bahkan sudah ada contoh di mana Photo Sai Baba di gantung di Padmasana (tempat pemujaan untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia ) di salah satu ashram Sai Baba di Denpasar dan menempatkan Siwa Linggam di bawah Photo Sai Baba .
Organisasi Transnasional Sampradaya Sai Baba dengan Veda Poshanam Ashramnya (VPA) sering mengubah- ngubah tatanan upacara sekehendaknya lepas dari literatur- literatur sastra yang di gunakan oleh umat Hindu di Bali dan Nusantara ( Khususnya tidak sesuai dengan lontar Pelutuk Bebanten dan Tutur Rare Angon sebagai pedoman Bebanten dalam tradisi Hindu di Bali ), persoalan ini tidak hanya bersifat teologis lagi, tapi persoalan gerakan "merecoki" kedamaian agama Hindu yang mengakar di Bali dan Nusantara.
Realitas ini sudah menimbulkan benturan karena sebagian besar masyarakat Hindu Bali baik yang tinggal di Bali maupun di luar Bali sudah merasakan ada gangguan ketenangan dalam beragama.
Untuk itu ke depannya, Bhisama PHDI bisa diputuskan manakala Bhisama menjadi kebutuhan umat Hindu Dharma Indonesia secara menyeluruh, bukan karena pesanan kelompok tertentu seperti Bhisama Sabha Pandita PHDI Tahun 2005 ini
***************************************************************************
Lampiran: Keputusan Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia Nomor: 07/Kep/P.A.Parisada /VII/2005 Tanggal 13 Juli 2005
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT Nomor: 04/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/V/2005
t e n t a n g
PEDOMAN PELAKSANAAN DIKSA DVIJATI
Atas Asung Kertha Waranugraha Hyang Widhi Wasa Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
A. KEDUDUKAN DAN FUNGSI DIKSA
Eksistensi diksa dalam ajaran agama Hindu adalah salak satu pengamalan Dharma yang memiliki sifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Umat Hindu. Dengan demikian diksa merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus hukum moral yang wajib diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan dalam rangka menegakkan Dhanna. Hal ini dinyatakan dalam mantram Atharvaveda XII. 1.1 dan Yajurveda XIX. 36, sebagai berikut:
"Satyam brhad rtam ugram diksa ya topo brahmayajna prithivim dharyanii" (Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia).
Vratena diksam apnoti, diksayapnoti daksinam, daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate"
(Dengan melaksanakan brata, seseorang mencapai diksa, dengan diksa seseorang memperoleh daksina dan dengan daksina seseorang mencapai sraddha, melalui sraddha seseorang mencapai satya)
Usaha menyucikan diri melalui diksa sebagai salah satu perwujudan Dharma diamanatkan pula oleh Vrhaspatittatva sloka 25 yang merupakan kewajiban setiap umat Hindu yang dijabarkan melalui tujuh pengamalan Dharma, yaitu: si la, yajna, tapa, dana, pravrjya, diksa dan yoga.
Melalui keyakinan terhadap kebenaran diksa ini, mengantarkan umat memahaini Veda dan melalui diksa pula umat Hindu meiniliki kewenangan belajar dan mengajarkan Veda. Dengan deinikian diksa meiniliki kedudukan sebagai institusi yang bersifat formal. Melalui pelaksanaan diksa seseorang menjadi Brahmana, "janmana jayate sudrah samskarairdvija ncyate" semua orang laliir sebagai sudra melalui diksa/dvijati seseorang menjadi Brahmana).
Dari penjelasan tersebut maka pelaksanaan diksa memiliki tujuan untuk menyucikan diri secara lahir maupun bhatin sebagai sarana atau jalan untuk mentransfer pengetahunan ketuhanan (Brahmavidya) meialui media Guru Nabe atau Acarya, sekaligus sebagai pembimbing moral dan spiritual. Dengan melaksanakan diksa umat Hindu disebut Sadhaka atau Pandita yang meliputi berbagai nama abhiseka seperti : Pedanda, Bhagawan, Mpu, Dukuh, Danghyang, Acarya, Rsi, Bhiksuka, Vipra, Sadhu, Brahmana, Brahtnacari, Sannyasi, Yogi, Marti dan lain-lain yang memiliki kewenangan melakukan bimbingan Dharmopadesa maupun Lokapalasraya kepada umat.
Kemudian mengenaimaknadiksa dvijati adalali merapakan proses transendensi dan sakralisasi menuju peneapaian kesadaran penyatuan dengan Brahman. Selain itu diksa dvijati tidak hanya sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan adanya jalinan bubungan yang bersifat pribadi dan mendalam antara Guru Nabe (Acarya) dengan murid (sisya). Lebih jauh lagi Atharvaveda XI. 5.3 menguraikan bahwa saat pelaksanaan diksa dvijati seorang Guru Nabe atau Acarya seakan-akan menempatkan murid (sisya) dalam badannya sendiri seperti seorang ibu mengandung bayinya, kemudian setelah meialui vrata murid dilahirkan sebagai orang yang sangat mulia (dvijati). Dengan demikian pelaksanaan diksa dvijati merupakan transisi dan gelap menuju terang, dan avidya menuju vidya.
Dalam lembaga diksa dvijati kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya. agar tidak terjadi pengingkaran terhadap sasana dharmaning kawikon. Maka derai menegakkan Dhanna berdasarkan ketentuan sastra, seseorang yang akan menjadi Pandita wajib mengangkat Guru Nabe (manavagurn), Guru Vaktra, Guru Saksi, selain Siddha Guru ataupun Divya Guru.
B. PELAKSANAAN DIKSA DVIJATI
Mengingat pemahaman Umat Hindu di Indonesia tentang ajaran agamanya berimplikasi pula terhadap eksistensi lembaga diksa maka Sabha Pandita memandang perlu meninjau ketetapan Sabha Parisada Hindu Dharma Indonesia II Nomor: V/Kep/PHDU68 tentang Pandita, serta keputusan seminar kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa yang kurang mengakomodasikan dan memberikan kebebasan terhadap umat untuk memilih system diksa dvijati selain yang telah diputuskan dalam seminar tersebut diatas. Padahal sesuai kenyataan warga-warga tertentu khususnya di Bali telah memiliki mekanisme diksa dvijati yang telah ditetapkan dalam Bhisama leluhumya. Lebih-lebih dikalangan Sampradaya-sampradaya juga meiniiki mekanisme yang berbedabeda. Maka untuk itu Sabha Pandita menetapkan penyempumaan pedoman pelaksanaan diksa dvijati, sebagai berikut:
1. Lembaga diksa dvijati sebagai dasar sraddha dan hukum moral dalam agama Hindu adalali bersifat wajib, maka Sabha Pandita mengakui berbagai system diksa dvijati yang ada, sepanjang konsepnya mengalir dan ajaran Veda.
2. Memberikan keleluasaan serta kebebasan kepada umat Hindu yang bermaksud menekuni spiritual menjadi Pandita, untuk memilih sistem diksa dvijaii yang akan dilaksanakan sesuai ketentuan aguron-guron yang diikuti sepanjang dilandasi oleh atmanastusti.
3. Tugas pencerahan dan bimbingan Dharmopadesa merupakan tanggung jawab semua potensi umat Hindu secara profesional, maka Sabha Pandita mendorong lahimya para Pandita yang representatif, berwawasan universal dan membimbing umat dalam pencerahan rohani.
4. Pelaksanaan diksa dvijati untuk menjadi Pandita merupakan hak pribadi umat Hindu, maka segala persyaratan khusus dan mekanisme pelaksanaan diksa dvijati, atribut serta abhiseka kepanditaan sepenuhnya diseralikan kepada system aguron-guron yang diikuti oleh calon diksita.
5. Dalam proses pelaksanan diksa dvijati Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat berkewajiban memberikan dukungan administrasi dalam rangka diksa pariksa dan rekomendasi setelah pelaksanaan diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau yang ditunjuk, serta menerbitkan sertifikat setelah ada pemyataan dari Guru Nabe.
Demikian pedoman ini ditetapkan sebagai tuntunan bagi seluruh umat Hindu, baik secara perorangan maupun kelembagaan.
Ditetapkan di : Denpasar
Pada Tanggal : 7 Mei 2005
PIMPINAN PESAMUHAN SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Dharma Adhyaksa
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil Dharma Adhyaksa,
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar