Jumat, 25 September 2020

Sanggah Kemulan Wajib Ngemanggehang Pemangku

Sanggah Kemulan Wajib Ngemanggehang Pemangku

Ada beberapa cara untuk menyucikan diri secara sekala dan niskala. Selain malukat, ada tingkatan yang lebih tinggi  dinamai Mawinten. Bagaimana prosesi dan maknanya?

Mewinten atau Pewintenan adalah Upacara Yadnya yang bertujuan untuk pembersihan diri secara lahir dan batin. Kata Mawinten sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki makna “bersinar” dan “kemilau”. Dan bila diuraikan Mawinten memiliki pengertian sifat yang mulia, yang bersinar dan berkilauan yang mengindikasikan bahwa orang yang melaksanakan upacara ini secara lahir dan bathin akan disucikan, berkilauan dan bersinar bagaikan permata yang juga bisa bermanfaat bagi kehidupan banyak orang. Mawinten  biasanya dilaksanakan untuk mohon wara nugraha sebelum mempelajari ilmu keagaamaan. Selain itu, juga sebagai peningkatan kesucian diri. Sehinhga mawinten itu merupakan sebuah proses penyucian diri untuk meningkatkan kualitas diri. Dengan Mawinten berarti mengubah status kehidupan menuju lebih fokus pada masalah kesucian, keagamaan, dan spiritual. Lantas, siapa saja yang bisa mengikuti pawintenan ini?

Mewinten adalah salah satu jenis dari upacara manusa yadnya. Belakangan umat semakin menyadari bahwa Mawinten itu penting bila ingin belajar pengetahuan agama maupun masalah lainnya. Mengikuti pawintenan berarti ingin lebih meningkatakan diri dalam pengabdian kepada umat maupun Sang Hyang Widhi Wasa.

Pawintenan sejak kecil sejatinya dilakukan. Seseorang ketika bersekolah ada pawintenan yang dinamai upanayana. Pawintenan yang diakukan jika anak mulai akan menimba ilmu ini, sebagai pertanda  sudah mulai bisa belajar. Selain itu, ada pawintenan Saraswati untuk tingkat lanjutan agar bisa menerima ilmu pengetahuan dari Sang Hyang Aji Saraswati.

Selanjutnya ada pawintenan wiwa/ setingkat mangku gde yang mendapat palugran petanganan jangkep dari ida pandita, yang selanjutnya  bisa ngayah di sebuah pura.

Masyarakat Hindu di Bali sangat antusias melaksanakan tradisi maupun ritual yang tidak terlepas dari peranan aksara. Salah satu tradisi tersebut ialah Pawintenan Wiwa. Pawintenan Wiwa adalah pawintenan yang dilaksanakan sebelum seseorang naik menjadi Bhawati atau Dwijati. Guru Nabe atau Panglingsir Griya Agung Bangkasa melaksanakan Pawintenan Wiwa di dalam pelaksanaannya menggunakan aksara Bali.

“Tidak terbatas pada pura besar saja ya, bahkan dalam sebuah pura keluarga (merajan) juga bisa ada pemangkunya,” ujar Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba saat diwawancara selesai upacara pawintenan wiwa bagi 15 pasang peserta diklat angkatan ke 14 pasraman rangdilangit, yayasan widya daksha dharma, griya agung bangkasa. Proses pawintenan wiwa kali ini dilaksanakan di pura kahyangan dharma smrti linggih ida bhatara hyang sinuhun siwa putra parama daksa manuaba, pelopor pura panataran agung catur parhyangan ratu pasek linggih ida bhatara mpu gana di pundukdawa. Pawintenan ini dilaksanakan bertepatan dengan pujawali Ida bhatara kawitan mpu gana di pemacekan agung tanggal 21 september 2020.

Fakta yang unik dari Pawintenan Wiwa, bahwa jenis Pawintenan ini hanya dilaksanakan di Griya Agung Bangkasa, hal itu menuntut adanya sebuah pemaknaan. Hal ini didasarkan pada paradigma bahwa sebuah ritus atau upacara tentunya memiliki kedalaman makna.

“Menurut pendapat Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, sebuah Sanggah Kemulan juga perlu mempunyai pemangku. Bisa dipilih dari anggota keluarga yang dituakan,” imbuh beliau.

Tujuan adanya pemangku di kemulan, menurut Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, agar bisa memimpin persembahyangan di keluarga. "Selain itu, Kemulan adalah sejatinya yang paling utama untuk tempat kita sebagai umat Hindu bersembahyang. Dikatakannya,  Kemulan itu luar biasa, dari mantra 'Om Dewa Dewa Tri Dewanam, Tri Murti Tri Lingganam, Tri Purusa  Suddha Nityam, Sarwa Jagat Jiwatnam'. 

Artinya, Om, Para Dewa utamanya tiga dewa (Brahma, Wisnu, Siwa) adalah tiga wujud, Tri Purusa yang suci selalu, adalah roh (atman) semesta dan isinya. 

"Nah di sini kita tahu bahwa di Kemulan itu semua Dewa, terutama Tri Murti ada. Jadi sangat utama sekali Kemulan itu,” terang beliau.

Lebih lanjut Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba menerangkan tentang mantra 'Om Guru Dewam, Guru Rupam, Guru Madyam, Guru Purwam, Guru Paramtama Dewam, Guru Dewa Suddha Nityam', yang memiliki arti : Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (Nyata), Guru Madya (Sekala Niskala),Guru Parwa (Guru Niskala) adalah guru para Dewa, Dewa Guru suci selalu.


Dari mantra yang digunakan di Kemulan ini, Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba menjelaskan bahwa umat ketika sembahyang di Kemulan akan mendapat tuntunan juga. "Hal inilah yang menyebabkan walau seseorang hanya mawinten kepemangkuan untuk jadi pemangku di merajan sangat utama," urai beliau

Selain dua mantra yang disebutkan, Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba juga menambahkan tentang mantra 'Om, Brahma, Wisnu, Iswara Dewam, Jiwatmanam Trilokanam, Sarwa Jagat Pratistanam, Suddha Klesa Winasanam, Om Guru Paduka Dipata Ya Namah'. Matra tersebut memiliki arti : Om Hyang Widhi, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara yang berkenan menjiwai Triloka, semoga seluruh jagat tersucikan, bersih dan segala noda terhapuskan oleh Mu, Om Hyang Widhi selaku Bapak Alam, hamba memujamu.

Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba menjelaskan bahwa mantra ini erat hubungan dengan uttpti, stiti, dan pralina. Dijelaskannya, Kemulan menjadi representasi kelahiran, hidup dan matinya manusia. Manusia dari lahir melakukan berbagai upacara dari Tutug Kambuhan, Nganten (menikah) di Kemulan, dan akhirnya setelah diaben juga dilinggihkan di. Kemulan.


“Menjadi pemangku di Kemulan sangat istimewa. Jangan dianggap remeh, karena sembahyang di Kemulan sangatlah utama bagi umat,” tegas beliau.

Menjadi pemangku, lanjut  Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba adalah sebuah pengabdian. Niat menjadi pemangku harus karena ingin melayani umat ataupun membantu sulinggih. Tidak hanya itu, seorang pemangku menurut Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, tidak hanya bisa nganteb saja, tetapi juga harus bisa dharma wacana.

“Jika ingin ikut beryadnya dalam artian lebih daripada orang biasa, maka boleh ikut Pawintenan Wiwa,” terang beliau.

Bentuk aksara Bali pada Pawintenan Wiwa adalahbentuk aksara Bali yang dirajah pada tubuh (angga Sarira), berdasarkan bentuknya aksara Bali dibawah adalah termasuk aksaraaksara yang tergolong aksara Wijaksara (aksara Swalalita yang diberi pangangge atau busana) dan aksara Modre. Dalam pawintenan ini banyak ditemukan berbagai bentuk salah satunya aksara Wijaksara yang terdiri dari eka aksara, dwi aksara, tri aksara, panca aksara, dasa aksara, catur dasa aksara dan sodasa aksara. 

Adapun keunikan dari penggunaan aksara Bali pada pawintenan ini adalah jenis-jenis aksara yang digunakan dalam rarajahanrurub serta aksara Bali dirajah pada tubuh menggunakan aksara-aksara yang konotasinya melambangkan simbol-simbol dewa pada tubuh manusia dan lebih banyak menggunakan aksara Wijaksara serta aksara Modre tentunya dipercaya memiliki kekutan relijius magis berbeda dengan aksara Bali lumbrah menggunakan aksara Wreastra. Bentuk aksara Bali yang dirajah pada kain Rurub, secara klasifikasi isinya tidaklah jauh berbeda dengan yang dirajah dalam tubuh atau sarira. Aksara yang ditulis pada rurub ini adalah tergolong aksarawijaksara dan aksara Modre Bentuk aksara yang dirajah pada Pakaian busana, aksara Bali yang ditulis di dalam wastra merupakan jenis yang tidak berbeda dengan aksara yang ditulis baik ditubuh maupun dirurub, secara hakiki aksara tersebut tergolong aksara Wijaksara dan aksara Modre. 

Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba memaparkan, jika memang ingin jadi pemangku dan memakai atribut pemangku, seseorang harus  beranggung jawab atas apa yang ia gunakan. “Seorang pemangku tidak ngaturan canang sama nganteb, tetapi bisa bermantra dengan baik, minimal Tri Sandya. Selain itu, juga harus bisa dharma wacana,” beber sulinggih istri dari griya agung bangkasa ini.


“Saya selalu berikan pengarahan dan dukungan moral pada orang yang ingin ikut pawintenan wiwa. Saya pun juga memberikan opsi untuk belajar bersama di pasraman rangdilangit, yayasan widya daksha dharma, griya agung bangkasa. Misalnya mengikuti diklat selama 3 bulan setiap sabtu jam 13.00 s/d 17.00 dan minggu jam 09.00 s/d 13 melakukan pendidikan, latihan, membahas apa yang kurang, dan yang ingin ditanyakan serta kendala lain yang dihadapi,” tambah beliau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar