Minggu, 24 Januari 2021

Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang) atau Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih Sawa)

Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang) atau Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih Sawa)
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S,. M.Pd


Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang) atau Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih Sawa) adalah prosesi setelah pembakaran atau kremasi jenazah selesai dilakukan terhadap abu sisa - sisa tulangnya yang bertujuan untuk membentuk puspa lingga yang identik badan fisik manusia.


Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang), Ngereka Tulang Pengabenan (Abu Galih Sawa), terdiri dari:

1. Memungut galih (tulang)

Setelah adegan atau jenasah selesai
dibakar, arangnya ditutupi pelepah daun pinang (papah buah) yang daunnya sudah
disurat bergambar “Cakra”. Kemudian disiram dengan Toya Pemanah. Selanjutnya arang tulang diambil satu persatu mempergunakan sepit.

Pekerjaan ini disebut “inupit” dan nyumput areng.


2. Ngereka Galih (mewujudkan) 

Bagian galih yang kasar yang telah disumpit direka dengan kwangen pangrekan. Disusuni dengan sekar sinom, canang wangi, didampingi pakaian baru setumpuk dan tigasan putih kuning. Setelah diperciki tirtha pemuput dari Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, diperciki dari bawah ke atas, (Upeti) lalu diganti dengan memerciki dari atas ke bawah (sthiti), seolah-olah orang yang mati hidup lagi dalam bentuk yang lebih halus. Setelah itu dimantra kembali untuk dipralina dengan memerciki tirtha.  Kemudian galih-galih itu disumpit lagi bagian atas, tengah dan bawah serta ditaruh  pada sebuah “Senden”. Setelah terkumpul disirati air kumkuman 3x, ditaburi sekarura 3x juga disertai mantra-mantra.

3. Nguyeg (menggilas) 

Nguyeg (menggilas) galih yang telah terkumpul pada senden setelah diisi wangi-wangian, lalu digilas (uyeg). Alat penggilasnya adalah tebu ratu. Pekerjaan ini dilakukan pada bale Pengastrian.

4. Ngiyas Sukutunggal

Kemudian bagian-bagian yang halus dari galih itu, diambil dengan “sidu” dan dimasukkan pada kelungah nyuh gading yang telah dikasturi. Kalungah Nyuh Gading itu lalu dikasi jalinan bambu berbentuk tri tunggal (segi tiga dengan arah lancipnya kebawah) dihiasi pakaian putih (udeng sekah) dibuatkan prarai dengan kwangen dan dilengkapi dengan hiasan bunga. Sebagai symbol Omkara, lambang kehidupan, yaitu untuk Bayu, Sabda, dan Idep (Tri Premana). Kemudian di perciki tirtha Penglukatan, Biyakala, Durmangala, Prayascita, Pengulapan. 

5. Prosesi Ngelinggihang Atma

Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, nguncarang Sapta Ongkara Atma, sambil memberikan Bunga Tunjung, Tirtha dan Bija pada Sukutunggal/Puspa. 

6. Proses Ngaskara 

Jika proses ngaskara dilaksanakan di setra, maka proses pangaskaran itu dilakukan setelah ngelinggihang atma pada sukutunggal dengan membawa (mundut) sukutunggal ke depan Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba untuk melakukan proses pepetikan dan pemberian tirtha padudusan, kalpika serta sirowista. Selanjutnya sukutunggal/puspa kembali ke bale Pengastrian untuk katur tarpana

7. Narpana

Setelah selesai pangaskaran lalu Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba memujakan tarpana. Sajen Tarpana terdiri dari: nasi angkep, bubuh pirata, panjang ilang, nasin rare, plok katampil, huter-huter, dengdeng bandeng, dan kasturyan (pesucian), guru, pras, soda panganten putih kuning, daksina, lis (satu soroh eedan). Di sanggar surya dipersembahkan: suci asoroh. Dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan: penyeneng, jerimpen, sayut pasang, jajan 4 warna yang dikukus, dan tigasan saaperadeg. Di sanggar surya dipersembahkan suci stu soroh. Upakara di pawedaan (di muka Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba memuja): suci, pras, daksina, periuk, kuskusan, dan cedok pepek, lis, prayascita, dumanggala sekarura, kwangen pangrekan dan uang kepeng 66 biji serta padudusan alit. 

8. Pebhaktian

Setelah selesai narpana keluarga melakukan persembahyangan kepada puspa. 

9. Ngirim (nganyut)

Setelah selesai sembah dari sanak keluarga, lalu dilanjutkan dengan upacara ngirim (nganyut). Sebelum berangkat sukutunggal/puspa diajak menghadap (tangkilang) pada Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba, yang disertai pawisik kepada Sang Atma. Setelah selesai memberikan pawisik itu, lalu jempana sebagai pengusungan sekah dan galih yang direka diangkat, lalu mengelilingi pembasmian 3x (mapurwa daksina). Di dalam perjalanan menuju sungai/batu pekiriman atau laut, setiap menjumpai pura sekah dipamitkan dengan sembah. Perjalanan hendaknya diikuti dengan kakawin atau kidung. Setelah samapi di sungai/batu pekiriman atau laut, kain dan perhiasan lainnya diambil.

# Makna berbagai uparengga yang
digunakan adalah:

1.    Penutup pelepah
daun pinang: makna kembalinya ke unsur2 Panca Maha Butha dan penumadiannya
nanti tergantung buah karmanya.

2.    Toya Pemanah
yang dipakai: bukan toya penembak.

3.    Arang diambil dengan cincin mirah: sarana pengentas agar unsur Panca Maha Buthanya cepat kembali ke sumbernya Sang Pencipta. 

* Cincin mirah sebagai simbul kekuatan Siwa. 

* Sepit sebagai simkbul kekuatan Ardha Candra sebagai simbul kekuatan nada.

Setelah selesai. Sang Sulinggih melaksanakan upacara pengiriman, sekah dihanyut.
Sebelumnya dilakukan meprelina dimana sekah tunggal dikelilingkan di Pengesengan
dengan arah prasawya (kekiri) kemudian baru nagkil ke Pemuput (wiku) untuk
memohon restu.

Proses selanjutnya yaitu melarung sisa-sisa tulang yang sudah dimasukkan kedalam Klungah (kelapa muda) dan beberapa sarana upacara Ngaben sungai terdekat (batu pekiriman).


#tubaba@griyangbang#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar