Jumat, 01 Januari 2021

PINANDITA WIWA

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd


Pinandita Wiwa atau juga disebut Dane Jro Mangku Gde adalah orang suci yang disucikan melalui proses Ekajati / mawinten yang mempunyai wewenang sebagaimana dijelaskan dalam lontar lawarcapung Ki Dalang Tangsub, sebuah lontar yang berisikan tentang :
Tatalungguh Pinandita Wiwa yang meliputi kegiatan Pinandita Wiwa dalam urutan penyelesaian upacara yadnya di pura.
Pinandita Wiwa sebagai pelayan atau perantara antara manusia dengan Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai Pegandan Sang Sulinggih. Mereka yang telah melaksanakan upacara pewintenan Wiwa sampai dengan adiksa Widhi, ditapak dan amari aran. 

Kata "Pinandita Wiwa" berasal dari kata;
#Pinandita=Pemangku yang sebagaimana disebutkan dalam kutipan sesananing pemangku atau pinandita disamakan artinya dengan
  • “nampa” , 
  • “menyangga"
  • “memikul beban” atau 
  • “memikul tanggung jawab”. 
#Wiwa berasal dari urat kata Wi dan Wa, Wi=Wiwit/asal muasal; Wa=Tuwa/yang dituakan. 

Jadi Pinandita Wiwa memiliki arti menyangga asal muasal yang di tuwakan dan di hormati. 

Dengan sesana pinandita wiwa tersebut sebagai suatu batasan ugeran prilaku dan wiweka pinandita/pemangku untuk dapat mengetahui hal yang salah dan benar dalam memikul beban atau tanggungjawab sebagai pelayan masyarakat atau perantara umat manusia dengan Sang Pencipta yang dalam menjalankan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam kutipan tersebut hendaknya berpedoman pada kitab Silakrama kepinanditaan. 

Dalam lontar Raja Purana Gama, dibedakan menjadi dua belas jenis pemangku dilihat dari Swadharma maupun tempatnya melaksanakan tugas sehari-hari :
  1. Pemangku Pura.
  2. Pemangku Pamongmong.
  3. Pemangku Jan Banggul.
  4. Pemangku Cungkub.
  5. Pemangku Nilarta.
  6. Pinandita.
  7. Pemangku Bhujangga.
  8. Pemangku Balian.
  9. Pemangku Lancuban.
  10. Pemangku Dalang.
  11. Pemangku Tukang.
  12. Pemangku Kortenu.

Kewenangan dan hak seorang pinandita wiwa sebagaimana dijelaskan dalam kutipan tersebut :
  • Wewenang pinandita wiwa dalam menyelesaikan upacara upakara (yajña) sepanjang tidak bersifat prinsipil dan atas seijin / petunjuk pandita atau nabe yang bersangkutan. Adapun mengenai tingkat upacara yang dilaksanakan 
    • Terbatas pada tingkat pedudusan alit
    • Kewenangan lain yang ada pada seorang pinandita wiwa telah di eka jati yakni dalam upacara-upacara seperti :
  • Menyelesaikan upacara Bhuta Yajña, sampai dengan tingkat menggunakan Caru Panca Sata.
  • Menyelesaikan upacara Manusa Yajña, diberi wewenang dari mulai bayi lahir sampai dengan otonan, dan pawidhi widana tingkat kecil seperti melukat dan lain-lain.
  • Di dalam menyelesaikan upacara Pitra Yajña, terbatas sampai dengan mendem sawa (mekingsan Gni).
  • Membuat tirtha panglukatan / pabersihan dan lain-lain atas panugrahan nabe
  • Nganteb upakara piodalan pujawali di pura atau merajan yang diemongnya sampai batas ayaban tertentu manut panugrahan Nabe. 
  • Nganteb (bukan muput) upakara pada upacara yajña tertentu di lingkungan keluarga dengan tirtha pamuput dari pandita/nabe.
  • Membantu pelaksanaan yajña tertentu dari pinandita wiwa suatu pura dengan seijinnya,
  • Dalam menggunakan Genta,
  • Menggunakan mantra, dan 17 mudra tertentu bila sudah mewinten dengan ayaban bebangkit serta sudah mendapat bimbingan dan ijin dari pandita / Nabe.
  • Busana adat Bali yang dipergunakan berikut perlengkapan dari seorang pinandita wiwa antara lain :
  • Rambut panjang atau bercukur.
  • Pakaian: destar, baju, udeng, saput (selimut), kain dalam melakukan upacara, semuanya berwarna putih/memolos atau satu warna.
  • Dalam melakukan pemujaan menggunakan: genta, dulang, pasepan, sangku (tempat air suci atau tirtha) bunga, Gandaksata, genitri dan lain-lain
  • Penghargaan yang menjadi hak pinandita wiwa :
  • Menerima punia sesari;
  • Menerima hasil pelaba pura (bila ada).
  • Disiplin pinandita wiwa:
    • Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (bathiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan/ngajum tirtha dengan tatalungguh pinandhita wiwa;
    • Berpakaian sesuai dengan sesana kepinanditaan / kepemangkuan
    • Boleh menggunakan Sirowista
    • Boleh menggunakan udeng gonjer atau idak menggunakan udeng bila tidak ngemargiang sesana nganteb atau boleh t
    • dan lain-lain
  • Aturan bagi pinandita wiwa tan keneng kacuntakan
      • Tidak kena cuntaka karena orang lain
      • Pemangku istri terkena cuntaka bila haid
    • Bila kawin / melakukan pawiwahan pasangan yang bersangkutan hendaknya diwinten sama terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan prosesi pawiwahan dan terakhir ngelungsur pajayan-jayan. 
    • Pinandita yang kena hukum karena tindak pidana (kriminal) diberhentikan sebagai pinandita oleh nabe dan warganya.
    • Sawa pemangku tidak boleh dipendem wajib dibakar. 
    • Tidak cemer.
    • Selalu dislipin pada tata lungguh pinandita wiwa dalam ngajum tirta apapun dengan selalu menggunakan tirtha nabe sebagai pemuput serta memohon keberhadilan dan kesuksesan jalannya upacara kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
  • Larangan – larangan yang patut dipatuhi seorang pinandita wiwa seperti"Tan wenang mangan ulam : asu, celeng alas utawi bangkung, miwah sampi sampun memanakan.
Dalam mewujudkan pinandita wiwa yang ideal, disebutkan hendaknya pinandita wiwa menguasai materi tattwa sehingga bila materi tattwa tersebut telah dipahami, maka pemangku itu dapat mulat sarira, ngeret indriya, serta dapat mengendalikan diri secara kadhyatmikan, kajnanan, kaprajnan, dan kawisesan sebagai Pinandita Wiwa atau Pemangku yang sejati.

Perihal tingkatan pawintenan kepemangkuan menurut girikusuma sebagaimana disebutkan ada tiga tingkatan yaitu :
  1. Pawintenan Sari | upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku.
  2. Pawintenan Mepedamel | dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean.
  3. Pawintenan Wiwa 
  4. Pawintenan Bhawati atau Samkara Ekajati | sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Bhawati terlebih dahulu harus mencari Pandita Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron.
Beberapa kutipan tuntunan pinandita wiwa di dalam melaksanakan upacara Dewa Yadnya :
  • Tata Lungguh Pinandita Wiwa muja angga
  • Ngaskara Bajra, Sebelumnya bajra disiratin tirtha, ukup di dhupa, baru ngaskara.
  • Ngaksama
  • Nunas Waranugrahauntuk memohon anugerah dalam berbagai macam wujud dan bentuk.
  • Tata Lungguh Pinandita Wiwa ngajum tirtha
  • Panca Aksara Stawa, untuk memohon karunia tersendiri dalam menyelamatkan jiwa.
  • Ngurip Tirthamelalui mantra weda yang mampu menumbuhkan perasaan dan atau pikiran suci.
  • Ngemargiang Pecaruan untuk keharmonisan dan keseimbangan alam ini.
  • Nganteb sesayut, dalam mendoakan
  • Upasaksi bertujuan untuk menyatakan kebenaran perbuatan seseorang 
  • Nganteb banten antuk Tri Bhuwana Stawa.
  • Ngayab ke luhur.
  • Ngayabin Peras"OM Ekawara, Dwiwara, Triwara Caturwara, Pancawara, Purwa pras prasiddha rahayu". 
  • Ngaksama, selesai itu menghaturkan sembah, misalnya, Panca Sembah
    • Lalu semua yang hadir diperciki tirtha dan diberi bija
    • Setelah itu pinandita wiwa kembali menghaturkan Pengaksama
    • Pangluwaran
    • Simpen puja

Dudonan Pawintenan Wiwa


Mewinten Wiwa bisa dilakukan oleh semua orang terutama yang sudah memasuki masa wanaprastin asrama. Wanaprastin asrama adalah masa seseorang sudah melewati gryahasta asrama yaitu masa berkeluarga, atau sudah mempunyai istri, dan anak-anak. Ketika anak-anaknya sudah mandiri, disitulah saatnya ia memasuki masa wanaprastin. Biasanya sudah berusia 50 tahun keatas.


Urutan upacara pawintenan
  1. Sudah melakukan upacara manusa yadnya lengkap bagi pasangan yang mawinten
  2. Nyumbah kedua orang tua yang masih hidup. Ini dilakukan karena bila nanti sudah mawinten dia tidak boleh nyumbah layon (bila ortunya meninggal dunia)
  3. Mapiuning dan nunas panugrahan di Sanggah Pamerajan dan di Pura-Pura yang dipandang perlu
  4. Mejauman ke Nabe yang akan melaksanakan upacara pawintenan
  5. Urutan Upacara pawintenan
  6. Mabeakala, tujuannya: mensucikan stula dan atma sarira tahap pertama.
  7. Mapetik (mepotong rambut), tujuannya: mensucikan stula sarira, dan memberi tanda adanya peningkatan status sebagai manusia yakni dari seorang walaka menjadi seorang ekajati.
  8. Merajah, tujuannya: menstanakan aksara-aksara suci (modre) di anggauta tubuh tertentu, sebagai persiapan nuwur Ida Bhatara pesaksi.
  9. Masemayut, tujuannya: mengikat panca mahabhuta dan panca tan matra yang ada di tubuh yang bersangkutan dengan norma-norma agama: trikaya parisuda, yama-niyama brata, waspada pada musuh-musuh: sad-ripu, sapta-timira, dasa-mala, dan lain-lain. 
  10. Masalempang, tujuannya: meresapkan makna kesucian skala dan niskala.
  11. Me-sangga-urip, tujuannya: menyiapkan kedudukan Ida Bhatara pesaksi di Siwa-Dwara
  12. Mapadamel dengan sad rasa, tujuannya: menyiapkan sang mawinten agar mampu menjalani kehidupan yang baik/tentram, yakni: tahan menderita (rasa pahit), tahan pada kesusahan (rasa asam), tidak mudah marah (rasa pedis), disiplin (rasa sepet), suka belajar (rasa asin), dan tidak sombong bila berhasil (rasa manis)
  13. Mejaya-jaya, tujuannya: memohon kesucian Sapta-Gangga, yakni cipratan tirta siwamba, sebagai symbol kesucian tujuh sungai suci di India: Gangga, Sindu, Saraswaty, Yamuna, Godawari, Narmada, dan Sarayu
  14. Metapak/Nibakang Kasidian, tujuannya: nglungsur palugran ring Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba dan menstanakan Bhatara di Siwa Dwara sang mawinten, serta sebagai tanda (tapak) padma angelayang Nabe di ubun-ubun (siwa dwara) sang mawinten.

  15. Makarowista, tujuannya: mengukuhkan pe-tapakan dengan symbol Ongkara
  16. Makalpika, tujuannya: memohonkan umur panjang bagi sang mawinten
  17. Mabija, tujuannya: memohon panugrahan Bhatara Wisnu agar sang mawinten hidup makmur dan sejahtera.
  18. Mayoga Nindra/Ngamargiyang Pawisik/Nibakang Kasidian, tujuannya: menerima semua petuah dan ajaran dari Nabe
  19. Natab banten pawintenan, dan mohon wara nugraha Bhatara.
Berpuasa
Selama tiga hari setelah upacara pawintenan, yang bersangkutan wajib berpuasa “mutih” yakni dengan hanya memakan nasi putih dengan air dari bungkak nyuh gading.

Masida Karya dan Matirta Gamana
Sore dihari ketiga, sang mawinten natab banten sida karya sebagai tanda berakhirnya prosesi upacara mawinten. Setelah masida karya, esoknya dilanjutkan dengan matirta yatra ke Pura-Pura atau tempat suci menurut keyakinan dan tradisi masing-masing warga.


#tubaba@griyangbang//lontar lawarcapung#



Tidak ada komentar:

Posting Komentar