Rabu, 27 Oktober 2021

KATATWANING GENTHA DAN PINANDITA WIWA

  1. 1. OM SWASTYASTU Ketattwaning Genta Oleh: Jero Mangku Gde I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S.,M. P.d
  2. 2. • Lontar Dharmaning Kusuma Dewa dan Lontar Lingganing Kusume Dewa menyebutkan : “Nihan Pawekasing batara, ring pemangkun ida, yan rawuh patatoyan ida ring madia pada, kena pamangkun ida angasrening betara, angagem bajra patatoyan, maka weruh ikang mangku, kawit kertaning betara, yanora ngagem bajra, nora weruh ring kepamangkuan, angora-ora, angiya-ngiya sira, angasa- asa, nora kayun ida turun, apan sira tan meling ring kawit-kawitan kandaning pamangku”.  
  3. 3. BENTUK GENTA
  4. 4. CARA MEMEGANG genta
1. WINDU AMETENG (Ada 2 Sikap) 
a. Anyekung Lingga (Agem-ageman Sulinggih) 
b. Anyekung Sastra Sangha (Gagelaran Bhawati dan Pinanditha Wiwa) 
2. SAET MINGMANG (Ada 3 Sikap) :
a. Saet Dwimingmang

b. Saet Trimingmang

c. Saet Pancamingmang

3. DHARMADHATU (Ada 2 Sikap) :
a. Dharmadhatu Akasa

b. Dharmadhatu Pertiwi

  1. 5. Tehnik menyuarakan genta • Tabuh Suki, Tabuh Kelih, Brahmara Mangisep Sari, Lembu Mangan Dukut, Bhima Kroda, Gelagah Puhun, Sad Rasa dan Tembang Komoning. 
  2. 6. DISKRIPSI GENTA • Kelahiran Genta • Kitab Mahabrata (Santi Parwa) • Kitab Mahabrata (mandala 100) • Lontar Prakempa • Lontar Kundalini • Wisnu Purana
  3. 7. KITAB MAHABRATA (SANTI PARWA) Dua orang Pendeta dari sorga yaitu Bhagawan Narada dan Parwata datang kekerajaan bernama sanjaya untuk memenuhi undangan akan mengadakan korban suci (yadnya), agar raja Sanjaya mempunyai Putra. Setelah yadnya dilaksanakan, raja berputra dua orang.
  4. 8. Karena kesaktian kedua pendeta tersebut Bhatara Indra menjadi iri hati, lalu merubah wujud Genta kedua Pendeta menjadi dua ekor harimau untuk membunuh kedua putra raja. Pada saat itu pula kedua Pendeta itu datang, berkat kesaktian mereka kedua putra raja Sanjaya hidup kembali
  5. 9. KITAB MAHABRATA (MANDALA 100) • Diceritrakan Dewa Indra berperang melawan Wredasura. • Dewa Indra kalah. • Dewa Indra menghadap Dewa Brahma. • diberi petunjuk mendapatkan salah satu tulang rusuk Bhagawan Dadachi.
  6. 10. • Tulang rusuk itupun didapatkannya dan dijadikan Genta hingen hiasan angkus pada bagian ujungnya. • Dengan senjata ini wredasura dapat dikalahkan.
  7. 11. L0NTAR PRAKEMPA • Suara genta = inti alam. • Suara ini berasal dari suara alam (Prakempa ) yang lahir dariYoga Sang Hyang Tri Wisesa.
  8. 12. dan ada lagi wijaksara yakni di purwa rupanya putih aksaranya Sang, di tenggara rupanya dadu alksaranya nang, di selatan rupanya merah aksaranya Bang, di barat daya rupanya jingga aksaranya Mang, di barat rupanya kuning aksaranya Tang, di barat laut rupanya hijau aksaranya Sing, di utara rupanya hitam aksaranya Ang, di timur laut rupanya biru aksaranya Wang, di tengah ardah rupanya manca warna aksaranya Ing, dan di tengah urdah rupanya sarwa warna aksaranya Yang.
  9. 13. Suara yang ada dari masing- masing arah adalah : • Timur : dang • Tenggara : udang • Selatan : ding • Barat daya : uding • Barat : deng • Barat laut : udeng • Utara : dung • Timur laut : ndeng • Tengah : ndang
  10. 14. Suara-suara tersebut di atas digabungkan menjadi sepuluh suara yaitu panca suara patut pelog dan panca suara patut selendro. Dari sinilah ada tujuh suara yang merupakan inti sari dari percampuran sepuluh suara yaitu : ding, dong, deng, ndung, dang, dung. ndang. Ini sebenarnya suara yang sejati keluar dan berasal dari ciptaan Sang Hyang Bhuwana yang dinamai Suara Genta Pinara Pitu.
  11. 15. LONTAR KUNDALINI Diceritrakan perjalanan Dewi kundalini, bertemu dengan Mahayogi. Dengan kesaktian Dewi Kundalini berhasil masuk ke tubuh Yogin setiap kali Dewi Kundalini melewati candra yang ada dalam tubuh Sang Yogin selalu didengarnya suara halus. Adapun suara-suara halus itu tiada lain dari Suara Genta Pinara Pitu.
  12. 16. WISNU PURANA Ketika kelompok Asura Mandhena berkuasa, mereka tak segan-segan membuat keonaran di alam. Setiap akan menjelang senja selalu matahari dimangsanya, sehingga dunia ini menjadi gelap. Akhirnya Dewa Brahma beserta para Pendeta melakukan pemujaan dengan memercikkan air suci keangkasa.
  13. 17. Air suci itu berubah menjadi sebuah Genta. Genta ini dapat menumpas para Asura Mandhena. • Dari sumber metologi di atas, Genta pada mulanya dibuat berdasarkan penafsiran Genta Pinara Pitu dan di dalam Dewa-Dewa Hindu Genta di bawah oleh Dewa Indra dan Iswara.
  14. 18. HIASAN GENTA
  15. 19. HIASAN ARCA WISNU
  16. 20. ARCA BHATARA GURU
  17. 21. HIASAN LEMBU
  18. 22. HIASAN KAMBING
  19. 23. HIASAN NAGA
  20. 24. HIASAN SIWA DI ATAS LEMBU
  21. 25. HIASAN BAJRA (PETIR)
  22. 26. HIASAN GARUDA
  23. 27. HIASAN GANAPATI
  24. 28. Bahan Genta • Campuran Emas-Perunggu untuk Genta Utama • Campuran Perak-Perunggu untuk Genta Madya • Campuran Kuningan- Perunggu untuk Genta NIsta
  25. 29. Fungsi Genta • Sebagai sarana pemujaan • Sebagai simbol • Sebagai kulkul • Sebagai uter • Orag • Lonceng

KETATTWAN PINANDITA WIWA.
Dipetik dari Pustaka Sesananing Pinandita Wiwa.

I.  Tata Cara Menjadi Pinandita Wiwa.

Adapun tatacara untuk bisa "ngayah" sebagai Pinandita di Pemerajan, Panti, Pura Kahyangan Desa,  Pura Kahyangan Jagat, wajib mensucikan diri dengan cara mendapat pewintenan dari seorang sulinggih selaku Dhang Guru Nabe yang sudah mencapai tingkatan Yogi Agung. Pewintenan tersebut wajib mengikuti tata cara agama (Hindu Bali) yang berlaku, merajah (ditulisi) huruf huruf suci (bijaksara) di badan (angga sarira).

Kalau sudah demikian baru boleh melakukan kewajiban sebagai "pinandita/pemangku agelung sangka-anyangkul putih/busana mamolos", berhak melaksanakan semua ajaran dalan lontar Kusumadewa, berhak menyelenggarakan upacara Dewa Yadnya di pura (tempatnya ngayah menjadi pemangku/pinandita) sebab sudah mendapat anugerah  dari Sang Hyang Aji. Kalau tidak demikian (tidak melalui proses pewintenan tersebut diatas), berdosa orang itu kehadapan Dewa Betara Hyang.

II. Catur Bandana Dharma Pemangku/Pinandita.

Keberadaan seorang pemangku/pinandita diatur oleh sikap hidup yang disebut Catur Bandana Dharma Pemangku, yaitu :

(a). Awewehi aran (menambah nama).
Ingat untuk menambahkan  pungkusan "Mangku/Pinandita" pada namamu.
Contoh: dari nama semula I Gede Baba menjadi Jero Mangku Gde I Gede Baba. Dari Gusti Japa menjadi Gusti Mangku Japa. Dari Dewa Kutem menjadi Dewa Mangku Kutem. Dari Ida Bagus Ludi menjadi Ida Bagus Mangku Ludi.
Catatan: dalam lontar Sesananing Pemangku hanya ada aturan menambahkan kata "Mangku" pada nama asli. Tidak ada aturan mengganti nama bagi seseorang yang sudah menjalani pewintenan menjadi pemangku

(b). Magentos Wesa (berganti atribut/pakaian).
Wajib memakai pakaian putih-putih atau satu warna/memolos, pakai destar "agelung sangka", sebab sudah jauh dari indria/duniawi.

(c). Amari sesana (berganti sikap hiup).
Setiap tingkah lakunya hendaknya seperti orang tua.
* Tidak boleh membentak.
* Tidak boleh berkata kasar.
* Tidak boleh mengucapkan kalimat tanpa makna.

(c). Guru Susrusa (hormat dan bhakti pada guru)
** Wajib memiliki guru seorang sulinggih (biasanya gurunya adalah Dhang Guru yang memberi pewintenan) yang memberi tuntunan secara "sekala" (di dunia nyata) agar tingkah lakunya tidak mengakibatkan hal hal yang tidak baik.
** Wajib bhakti dan tunduk pada setiap petunjuk Dhang Guru.
** Tidak boleh "nguncarang" (mengucapkan) wedha-mantra bila belum mendapat perkenan dari Dhang Guru.
** Tidak boleh membantah petunjuk Guru.
** Tidak boleh membanggakan / menyombongkan diri.
** Tidak boleh berperilaku sebagai balian enggengan.
** Tidak boleh memikul barang dan sejenisnya.
** Tidak melakukan segala jenis perjudian.
** Tidak boleh bergaul dengan penjahat.
** Kalau seorang pemangku berperkara, tidak boleh melakukan sumpah. Yang diperbolehkan adalah "madewa saksi". Kalau ada pemangku melaksanakan sumpah, hilanglah Sang Hyang Pustakawidhi dari dirinya, harus diberhentikan sebagai pemangku. Sebab sudah jadi "tapakan" (pengikut) butha kala, terkena tulah pamidi, disalahkan/dikutuk oleh Betara.
** Kalau ada pemangku "nyulubin" (lewat di bawah) tali perlengkapan (mengembalakan) ternak (termasuk tali yg dipakai mengikat ternak), "pangringkesan" mayat, cuntaka/kotor pemangku tersebut, wajib kembali maprayascita seperti upacara dahulu. Kalau tidak demikian, Dewa Betara menjadi tidak senang. Akibatnya timbul penyakit dikalangan masyarakat pekraman.
** Jika seorang pemangku tapakan Widhi sudah melakukan pewintenan dengan tingkat Mapahayu Agung, ketika meninggal tidak boleh dikubur/ditanam. Tapi wajib di plebon. Kalau tidak demikian, berbahaya sekali, bumi ini (dalam wilayah desa pekraman yang bersangkutan) dilaknat oleh  Sang Penguasa Bumi.
Catatan : Mapahayu Agung adalah upacara dimana sanggar suryanya disebut Sanggar Aung. Banten yang munggah disana adalah Catur mukti atau catur rebah, ditambah sorohan banten ardhanareswari (dewa dewi) dan perlengkapan lainnya.

III. Asuci Laksana (Melaksanakan Penyucian diri).
Caranya, setiap hari baik/rerahinan, wajib mengheningkan diri, menyucikan angga sarira, melakukan puja mantra (sesuai dengan panugrahan  Dhang Guru ketika mawinten), serta mohon tirta swambha Dhang Guru dan tirtha gocara (tirta yang didapat dengan cara memohon pada betara) di pura tempat "ngayah" jadi pinandita/pemangku, sebagai pelebur kotoran di angga sarira.

IV. Brata Pemangku.

1. Pada saat hari Purnama /Tilem melakukan brata dengan makan nasi putih memakai lauk kacang kacangan  dan garam.

3. Tidak boleh makan daging babi yang sudah beranak. Kalau sudah satu tahun  tidak makan daging babi, lanjutkan dengan brata makan nasi putih dengan lauknya berupa bunga (yang biasa dipakai banten). Lamanya tiga hari.  Brata ini disebut Brata AMURTI WISNU.

3. Kalau sudah berhasil melaksanakan brata Amurti Wisnu, dilanjutkan dengan melaksanakan brata makan nasi putih dengan lauk sambal, tidak boleh minum air. Lamanya sebelas hari. Bata ini disebut RAJANING BRATA (Raja dari semua jenis prata) sebagai cara untuk menghilangkan segala jenis kekotoran didalam diri. Pahalanya, semua dewa "sih" dan semua bhuta kala tunduk,  hormat dan segan .

                   
#tubaba@griyangbang//munuhdruwenkidalangtangsub#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar