Sabtu, 25 September 2021

Pelaksanaan Upacara Yadnya Pada Manusa Yadnya Seperti Bayi Dalam Kandungan Hingga Bayi Berumur 42 Hari

Artinya: 

Dari itu laksanakanlah segala kerja Sebagian kewajiban tanpa harap keuntugan Sebab kerja tanpa keuntungan pribadi Membawa orang ke kebahagiaan tertinggi. (Bhagawad Gita III.19) 

Seperti yang telah disebutkan dalam sloka bhagawad gita bahwa ketika melaksanakan yadnya harus didasari dengan perasaan tulus ikhlas dan tanpa pamrih. Salah satu Upacara yadnya yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu adalah upacara Manusa yadnya. Upacara Manusa yadnya yang akan dibahas dalam makalah ini merupakan upacara yadnya pertama yang dilewati manusia yaitu upacara daur hidup. Upacara daur hidup ini merupakan rangkaian upacara yang dilewati manusia dari dalam kandungan hingga bayi berumur 1 bulan tujuh hari. Adapun urutan nama-nama upacara tersebut ialah: Upacara Magedong-gedongan, Upacara bayi baru lahir, Upacara mengubur ari-ari, Upacara kepus pungsed dan upacara 12 hari serta upacara 42 hari. Saat ini mungkin banyak masyarakat yang telah mengetahui rangkaian upacara manusa yadnya yang akan dibahas di makalah ini, Namun belum banyak masyarakat Hindu yang mengetahui detail dan fungsi dari upakara-upakara tersebut. Sehingga makalah ini dibuat, dan penjelasan mengenai upakara-upakara manusa Yadnya secara lebih rinci akan dibahas di bab-bab selanjutnya. 


1.2 Rumusan Masalah 

Dari latar belakang diatas, Adapun masalah yang dapat dirumuskan dalam makalah ini ialah sebagai berikut: 

1. Bagaimanakah pelaksanaan upacara bayi dalam kandungan (Upacara Magedong-gedongan)? 

2. Bagaimanakah pelaksanaan upacara bayi baru lahir dan upacara mengubur ari-ari? 

3. Bagaimanakah pelaksanaan upacara kepus pusar dan upacara 12 hari? 

4. Bagaimanakah pelaksanaan upacara 42 hari (abulan pitung dina)?


1.3 Tujuan Penulisan 

Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan dari makalah ini ialah sebagai berikut: 

1. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara bayi dalam kandungan (Upacara Magedong-gedongan). 

2. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara bayi baru lahir dan upacara mengubur ari-ari. 

3. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara kepus pusar dan upacara 12 hari. 

4. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara 42 hari (abulan pitung dina).

1.4 Manfaat Penulisan Dari tujuan penulisan diatas, Adapun manfaat penulisan yang ingin dicapai dari makalah ini ialah sebagai berikut: 

1. Manfaat bagi penulis 

Dengan adanya penulisan makalah ini, maka penulis dapat mengetahui pengetahuan lebih mengenai pelaksanaan Upacara yadnya khususnya pelaksanaan Upacara Manusa Yadnya yaitu upacara bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 1 bulan 7 hari secara rinci. 

2. Manfaat bagi pembaca 

Dengan adanya penulisan makalah ini, maka pembaca dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan yadnya yang baik dan sesuai dengan ajaran weda serta pembaca dapat mengetahui pelaksanaan upacara manusa yadnya yaitu upacara bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 1 bulan 7 hari secara lebih rinci. 

3. Manfaat bagi pemerintah 

Dengan adanya penulisan makalah ini, maka pemerintah dapat menjalankan perannya yaitu dengan mempertahankan adat dan tradisi yang ada di masyarakat umat hindu di Bali dalam melaksanakan upacara Yadnya khususnya Upacara manusa yadnya yaitu pada saat upacara bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 1 bulan 7 hari agar tetap ajeg karena budaya ini merupakan asset bangsa yang berharga.


BAB II PEMBAHASAN 

Yadnya berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari akar kata “Yaj” yang artinya memuja/korban. Yadnya menurut kitab Bhagawad gita adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Tujuan dari Yadnya ini adalah untuk mengamalkan ajaran weda, untuk meningkatkan kwalitas diri, untuk penyucian, dan sebagai bentuk rasa terimakasi kepada sang pencipta. Macam-macam yadnya: 1. Dewa Yadnya Adalah Korban Suci atau pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Para dewa dan seluruh PrabhawaNya. 2. Bhuta Yadnya Adalah Korban suci yang ditujukan kepada para bhuta kala beserta kekuatankekuatannya. 3. Pitra yadnya Adalah Korban suci yang ditujukan kehadapan para leluhur orang tua yang masih hidup maupun yang telah meninggal dan telah disthanakan. 4. Rsi Yadnya Adalah Korban suci yang ditujukan kehadapan para brahmana atau para Rsi atas jasa beliau dalam membina umat dan mengembangkan ajaran agama. 5. Manusa Yadnya Adalah Korban suci untuk memelihara dan menyucikan lahir bhatin manusia sejak terjadi pembuahan didalam kandungan sampai akhir hidupnya. Dalam Penulisan makalah ini akan dijelaskan lebih detail mengenai Pelaksanaan Upacara Manusa Yadnya yang merupakan upacara pembersihan dan penyucian lahir bathin manusia selama hidupnya yang dipandang perlu agar dalam hidupnya manusia tidak menempuh jalan sesat melainkan selalu dapat berfikir, berbicara dan berbuat yang baik.

Upacara manusa yadnya yang akan dibahas yaitu pada Upacara bayi dalam kandungan (Magedong-gedongan), Upacara bayi baru lahir dan upacara menanam ari-ari, Upacara kepus puser dan Upacara 12 hari serta Upacara 42 hari. 


2.1 Pelaksanaan Upacara bayi dalam kandungan (Upacara Magedong gedongan) 

2.1.1. Fungsi dan tata cara upacara Upacara magedong-gedongan adalah upacara yang terutama ditujukan untuk bayi yang ada didalam kandungan dan merupakan upacara pertama yang dialami oleh si bayi sejak terciptanya sebagai manusia jasmani bayi dianggap sempurna wujudnya ketika kandungan sudah berumur lebih dari lima bulan (perhitungan Bali) atau 6 bulan kalender. Oleh karena itu upacara dilaksanakan setelah masa ini dan sedapat mungkin sebelum bayi lahir. Menurut kepercayaan umat hindu di Bali, janin yang ada didalam kandungan diperlihara dan dijaga oleh Sang Hyang Catur Bhuana yang siap dengan senjatanya berupa bajra, gada, mentang nagapasa dan cakra. Disamping itu, kenyataannya janin perlu mendapat pemeliharaan dan penjagaan dari 4 unsur yaitu: 

1. Yeh nyom (Air ketuban) adalah merupakan cairan yang melindungi si bayi terhadap sentuhan/getaran dari luar. 

2. Lamad/Lamas adalah merupakan lemak yang membungkus jasmani bayi. 

3. Darah adalah yang mengedarkan makanan, air dan lain lain sesuai dengan fungsi darah. 

4. Ari-ari adalah merupakan tempat melekatnya tali pusar, menyeraap makanan dan lain lain Upacara magedong-gedongan berfungsi sebagai penyucian terhadap bayi. Secara lahiriah upacara ini bermaksud memperkuat kedudukan bayi dalam kandungan agar tidak gugur (abortus), dan secara bathiniah agar sang bayi berbathin kuat sehingga setelah lahir dan besar nanti menjadi orang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Demikian juga dimohonkan keselamatan atas diri si ibu agar sehat dan lancar pada waktu melahirkan. Secara umum hal ini dilakukan dengan memohon “penglukatan” yang khusus untuk orang hamil dari seorang “sulinggih” (orang suci) terutama bertepatan dengan hari sabtu keliwon wuku wayang (tumpek wayang) atau dipilih hari yang dianggap baik untuk maksud tersebut. 

2.1.2. Tata Cara Upacara Tata cara upacara magedong-gedongan sesuai dengan tingkatan upakaranya yaitu sebagai berikut: 

a. Orang yang hamil diantar ke sungai atau pancuran bertongkat bumbung (seruas bamboo yang sudah dibuang ruasnya) diikat dengan benang satu tukel dan ujung benang dipegang oleh suaminya. Ada juga yang membuat permandian sementara di rumah dan perjalanannya diwujudkan dengan berjalan mengelilingi tempat tersebut. 

b. Sesampainya di permandian terlebih dahulu menghaturkan banten “Pengerisikan” diteruskan kepada orang hamil. 

c. Selanjutnya orang yang hamil disuruh mandi, mencuci rambut dan selama mandi tetap menggunakan pakaian. 

d. Selesai mandi lalu berganti pakaian yang dilanjutkan dengan bersembahyang yang diakhiri dengan mohon penglukatan. 

e. Setelah selesai melukat permandian lalu kembali ke rumah (bertongkat bumbung) seperti ketika berangkat, untuk “mebyakala” dan memprayascita di halaman rumah atau di halaman merajan/sanggah sesuai dengan petunjuk pimpinan upacara. Dilanjutkan dengan mejaya-jaya serta ngayab/natab banten pagedongan dan tataban. Upacara ini dilaksanankan di kamar tidur orang yang hamil dan “banten pagedongan” dibiarkan sampai lewat tiga hari sedangkan yang lain boleh diambil pada hari itu juga.

Tata urutan pelaksanaan upakara pagedong-gedongan adalah sebagai berikut: 

a. Kedua cabang kayu dadap diikatkan benang hitam ditancapkan pada pintu gerbang arah benang agar menuju pintu. 

b. Ibu hamil menjunjung tempat angket-angketan untuk boreh dan tangan kanan membawa daun kembang yang berisi air, ikan sawah dan ikan tawar. 

c. Suaminya yang lanang, tangan kiri memegang benang dan tangan kiri memegang gelanggang tersebut tadi. 

d. Selanjutnya sang suami berjalan serta memegang benang tersebut menusuk air yang dijunjung oleh si ibu sampai ikan keluar dari air. Setelah itu sang suami bersembahyang mohon agar selamat sampai dilahirkan nantinya. Dan juga dihaturkan sesajen segehan untuk Bhuta kala agar tidak menggoda. Upakara dilanjutkan dengan melukat dan natab dapetan.

2.1.3. Tempat dan Peserta Upacara Apabila tingkatan upakaranya yang terkecil (nistaning nista) maka upacaranya dilaksanakan di tempat sulinggih, kemudian sampai dirumah dilanjutkan dengan bersembahyang dimerajan dan terakhir mohon wangsuhpada/tirta (air suci). Apabila tingkatan upakaranya lebih besar selain ditempat sulinggih yaitu mohon penglukatan pada hari sabtu keliwon wuku wayang, juga dilaksanakan di sungai yang besar atau pancuran dengan pembuangan air yang deras. Ada juga dengan membuat ermandian darurat di rumah (ini bila letak sungai atau pancuran jauh dari rumah). Dilnjutkan dengaan bersembahyang dimerajan serta mohon wangsuh pada/tirta dan terakhir orang hamil (yang diupacarai) natab banten pagedongan di kamar tidur. Ada pula di depan, sanggah kemulan (Betara Hyang Guru). Sesuai dengan tujuan dari upacara ini yaitu untuk memperkuat kedudukan bayi agar tidak gugur (abortus) sehingga dapat lahir dengan selamat dan tumbuh menjadi anak yang berguna. Demikian juga untuk si ibu agar lancar dan sehat pada saat melahirkan, maka sebagai peserta upacara ini adalah ibu hamil dan suaminya (sebagai pendamping istrinya).

Seperti yang dijelaskan diatas bahwa di Bali masyarakat yang beragama hindu, upacara Manusa Yadnya dilaksanakan dari dalam kandungan sampai dewasa. Upakara/sesajen masing-masing upacara tersebut sangat bervariasi sesuai dengan desa, kala, patra atau variasi tersebut oleh tukang sesajen sangat bervariasi namun setelah dianalisis mempunyai makna dan tujuan yang sama untuk keselamatan. Tujuan dari upacara pagedong-gedongan ini membersihkan dan memohon keselamatan jiwa dan raga si bayi, agar kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat.

2.1.4. Variasi sesajen upacara magedong-gedongan Variasi 1 sesajen upacara magedong-gedongan menurut kandapat rare: 

- Abyakala
- Pagedongan
- Sesayut pengambian
- Canang daksina

Variasi 2 menurut tradisi di desa Bongkasa kabupaten Badung:

- Dapetan tumpeng pitu
- Pejati munggah di dewa hyang guru
- Pejati mangku (nuur mangku)
- Soroan
- Tebasan prayascita
- Sodaan sesuai dengan kondisi      merajan/sanggah masing-masing.

Variasi 3 Untuk pebersihan

- Byakala
- Prayascita
- Sayut tututan
- Pengambian
- Peras
- Sodaan ketupat
- Dapetan dengan sesayut pramahayu tuwuh
- Segehan

Sesajen di atas mengandung makna antara lain: abyakala dan tebasan prayascita untuk menghilangkan pengaruh dar sang Bhuta kala serta bencana yang akan menimpa sang bayi maupun sang ibu. Secara keseluruhan banten memohon keselamatan pada sang manumadi ke mercepada. Sang manumadi dimaksud sang kamareka atau bayi dalam kandungan lahir kedunia ini. Banten daksina merupakan buah dari yadnya. Daksina dipersembahkan pada pemangku merupakan ucapan terimakasih. Beberapa pantangan untuk tidak dilanggar oleh si calon ibu dan si calon bapak dimuat dalam rontal Aji dharma kahuripan yang berbunyi sbb: Ana muah brata ri sang kesyanamrat Angwaweh mangan guling, lawan Sabda kasar muan tan mangan Surudan, mangda ayu sang mawresti Tan dadya tungkas, mangundanghyun sang patni. Artinya: Pantangan (brata) sang sedang mengandung antara lain jangan makan daging guling, berkata-kata keras dan kasar-kasar.


2.2. Pelaksanaan Upacara Bayi Baru Lahir dan Upacara Menanam Ari-ari 

2.2.1 Upacara Bayi Baru Lahir (Anak Ceria Mara Lekad) 

2.2.1.1 Fungsi dan Tata Upacara 

Upacara ini dilakukan pada saat bayi baru lahir dengan selamat ke mayapada ini. Upacara ini disebut juga Mapag rare. Mapag artinya menyambut dengan rasa tulus dan gembira, sedangkan Rare artinya bayi yang telah lama dikandung dalam perut si ibu. Upacara mapag rare ini tidak mempunya arti yang khusus kecuali hanya sebagai rasa gembira atas telah lahirnya si bayi dengan selamat dan sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang telah menganugrahkan seorang anak dan sekaligus memohon agar bayi yang baru lahir tersebut mendapat dirgayusa (umur panjang). Mengenai tata cara upacara yaitu semua sarana upacara (banten) ditempatkan di samping tempat tidur si bayi. Semua banten tersebut dihaturkan kepada Sang Dumadi (yang menitis kembali). Hal ini ditata oleh kepercayaan adanya reinkarnasi/penitisan kembali dalam kehidupan ini.

2.2.1.2 Tempat/Waktu Pemimpin Upacara Seperti telah diuraikan bahwa upacar ini hanya sebagai ungkapan rasa gembira dan syukur atas kelahiran si bayi dengan selamat, maka upakara (sarana upacaranya) juga sangat sederhana. Bagi setiap orang yang beragama Hindu di Bali setiap 6 bulan sekali (210 hari) upacara ini hanya dipimpin oleh orang yang paling tua dalam keluarga misalnya kakek dan nenek si bayi atau kalau si bayi punya, bisa langsung oleh orang tua si bayi. Mengenai tempat upacaranya sudah tentu dilaksanakan di rumah tempat tinggal si bayi yaitu di rumah dimana si bayi dan ornag tua si bayi tinggal setelah pulang dari tempat melahirkan atau rumah yang dituju setelah pulang dari melahirkna, misalnya orang tua si bayi sudah menempati rumah sendiri/pisah dengan orang tuanya tetapi oleh karena si bayi merupakan cucu pertama bagi kakek dan neneknya maka bisa saja si anak langsung diajak ke rumah kakek-neneknya terlebih dahulu selama beberapa hari. Maka upacara mapag rare inipun dilaksanakan di rumah kakek neneknya tersebut. Namun yang jelas sudah tentu dimohonkan (nunas Tirtha) di Sanggah Kemulan (tempat sembahyang keluarga) dahulu untuk diberikan atau dipercikkan kepada si bayi dan kedua orang tuanya untuk mohon anugrah dan perlindungan-Nya.


2.2.2 Upacara Mengubur Ari-Ari (Nanem Ari-Ari) 

Seperti telah diuraikan di atas bahwa “ari-ari” adalah salah satu dari empat unsur yang menjaga dan memelihara si bayi sejak dalam kandungan yang disebut juga “catur sanak”. Ari-ari merupakan tempat penyaringan sari-sari makanan yang diserap oleh si bayi dari ibunya. Setelah si bayi lahir ari-ari tersebut dipotong dan hanya sebagan kecil, sedikit yang masih melekat pada pusarnya dan baru lepas setelah beberapa hari (berbeda masing-masing Bayi), kemudia ari-ari yang telah dipotong dari tali pusar tersebut menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat Hindu di Bali upacara mengubur ari-ari seperti ini di Bali lebih lumbrah disebut upacara namem ari-ari. Upacara namem ari-ari, dalam upacara namem ari-ari selain menggunakan sarana upacara juga dipanjatkan suatu doa dengan mantra-mantra oleh yang memimpin/yang melakukan upacara tersebut. Salah satu bunyi mantra yang sering diucapkan yaitu: “Om sang ibu Pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, angemerthaning sarwa tumuwuh si bayi…(nama si bayi) mangdene dirgayusa nutug tuwuh”. Artinya: Atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) serta sang Ibu Pertiwi (kekuatan Tuhan yang berada di Pertiwi) yang merupakan sumber tenaga/energi, yang menghidupkan dan memberikan sumber maknan bagi seluruh mahluk hidup, kami mohon agar si bayi mendapatkan usia yang panjang sampai usia tua. Sesuai dengan isi doa/mantra yang digunakan dalam upacara tersebut, maka fungsi dari upacar tersebut adalah untuk mengembalikan ari-ari tersebut kepada alam/Ibu Pertiwi setelah selama si bayi dalam kandungan dan telah selesai melaksanakan tugasnya untuk menjaga si bayi dan setelah menyatu kan kembali kepada alam akan tetap menjaga si bayi dalam manifestasi-Nya yang lain menurut keyakinan masyarakat Hindu di Bali. Ari-ari tersebut setalah pisah dari pusar si bayi masih tetap ada namun dengan nama atau manifestasi yang lain. Oleh karena itulah maka ari-ari tersebut sangat dikeramatkan dan dijaga betul-betul selama belum dikubur dan setelah dikuburkan akan tetap dijaga. Selama tiga hati dinyalakan lampu dan untuk menjaga ari-ari dari gangguan binatang atau kekuatan jahat lainnya. Di atas diisi batu dan ditanami pohon pemalam berduri dan ditutup dengan keranjang.

2.2.2.1 Tatacara Upacara Nanem Ari-ari Terlebih dahulu Ari-ari dibersihkan dengan airdan sabun/seperti orang mandi, kemudian dibilas dengan air bercampur bunga dan minyak wangi (yeh Kumkuman), lalu dimasukkanke dalam sebuah kelapa yang telah dibelah dua, airnya dibuang, kelapa bagian bawah ditulisi “askara” kemudian diisi juga sirih lekesan yaitu berupa daun sirih yang dibentuk sedemikian rupa dengan segala perlengkapannya, juga beberapa jenis duri (duri mawar, duri terung dan lain-lain) lalu dibungkus dengan kain putih, diisi ijuk dan kemudian dikubur sebagai berikut. Bila bayi laki-laki dikubur di sebelah kanan pintu masuk bangunan tempat tidur si bayi dan bila perempuan di sebelah kiri (dilihat dalam bangunan) di halaman meten (bale daja). Setalah dikubur sesajen sesuai dengan petunjuk sulinggih atau sesuai dengan kemampuan.

2.2.2.2 Tempat, Waktu dan Pemimpin Upacara Upacara namem ari-ari biasanya dilaksanakan di rumah tempat tinggal si bayi. Walaupun ada suatu tradisi lain seperti ari-ari yang dihanyutkan ke laut/sungai dan juga ada yang dibakar kemudian abunya ditaburkan keudaya. Namun menurut tradisi masyarakat Hindu khususnya di Bali pada umumnya ari-ari tersebut ditanam atau dikubur di rumah tempat tinggal si bayi. Apabila orang tua si bayi merantau atau menempati rumah sewaan maka ari-ari tersebut bisa ditanam di rumah asalnya (tempat lahir orang tuanya). Kemudian sebagai simbolis untuk dibawa ke rumah tempat tinggal si bayi dengan tujuan si bayi tetap mendapat penjagaan, perlindungan dari ari-ari tersebut. Pada umumnya upacara nanem ari-ari dilakukan dan dipimpin oleh orang tua si bayi (ayahnya) dan orang yang dituakan dalam keluarga. Atau lebih sering dilakukan orang tua (ayah si bayi) dibantu oleh seorang sanak saudara dengan sebelumnya mohon petunjuk kepada orang tua yang berpengalaman dalam hal tersebut, yang biasanya sudah dilakukan jauh hari sebelumnya termasuk juga menyiapkan saeana yang diperlukan dalam upacara tersebut.

2.2.2.3 Perlengkapan, variasi upakara Arti simbol, sistem nilai, upacara bayi baru lahir. 

Seperti dijelaskan diatas umur kandungan vagi bayi rata-rata berumur 9-10 bulan. Sang Kamereka dengan kesakitian Dewa Siwa, melahirkan Bhagamandhala. Pada saat bayi akan lahir diikuti oleh Nyamanaecatur/Sandarab empat yang terdir dari air nyom, air ketuban, banyah (lendir), rah ( darah ) dan lamas (Vermis Caceosa). Nyama catur tersebut yang memelihara sang bayi dari dalam kandungan samai lahir. Masing-masing catur sanak tersebut mempunyai tugas seperti di bawah ini: 

a. Yeh nyom mempunyai tugas melindungi bayi dari getaran dalam maupun luar, rupanya beberbentuk cairan atau disebut juga air ketuban. Setelah pecah air ketuban si Bayi lahir, diikuti oleh ari-ari. 

b. Taman/lamad berupa lemak yang membungkus dan melindungi badan si bayi 

c. Darah/getih uang berfungsi mengedarkan sari makanan dari Ibu ke bayi melalui Talin pusar. 

d. Ari-ari tempat melekatnya lali pusar yang berfungsi menyerap makanan Maka dari itu ari-ari memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup si bayi dalam kandungan. 

Pada saat bayi lahir, bersama ari-ari dan keempat catur sanak tersebut. Ari-ari mendapat perlakuan yang khusus dan harus dibersihkan setelah kamir. Setelah Bayi dirawat, dan ari-arinya juga di rawat dan dibuatlah upakaranya yang sederhana. Cara merawat /nanem ari-ari sebagai berikut: Ari-ari dibesihkan dengan tangan agar bayu biasa mengambil dengan tangan kanan. Alat-alat yang dipersiapkan: 
- Nare /tempat yang terbuat dari tanah
- Kelapa dibelah 2 airnya dibuang
- Ijuk
- Kain putih
- Daun pandan wong
- Sanggah cukcuk yang dihian bunga merah
- Tabunan/ sekam agar setiap malam menyala. 

Setelah alat-alat tersebut disiapkan dengan perlengkapan upakara seperlunya, barulah dilanjutkan membersihkan air-ari dengan tatacara yang bervariasi.

Namun pada tulisan ini yang biasa tradisikan oleh masyarakat Bali khusus juga di Bongkasa adalah sebagai berikut: Ari ari dimasukkan ke dalam kelapa yang sudah dibelah dan airnya dibuang. Belahan kelapa sebelah atas ditulis dengan rerajahan Ongkara. Kelapa belahan dengan rerejahan/tulisan angkara, ahkara dan dimasukkan ke dalam kelapa tersebut: duri-duri (duri mawar), angetangetan, sirih lekesan, wong-wongan dan ari-ari tersebut dimasukkan dengan ijuk dan kain kasa/kain putih. Barulah ari-ari tersebut ditanam di sebelah depan Bale daja, kalau bayi laki-laki ditanam disebelah kanan, sedangkan yang wanita ditanam di sebelah kiri. Mantra pada saat nanem ariari adalah sebagai berikut. “Ong sang Ibu Pertiwi Rumaga Bayu, Rumaga Amerta Sanjiwani, Angemerting Sarwa Tuwumuh, Si Anu mangda Dirgayusa Nutug Tuwuh” Mantra untuk menanam ari-ari, sangat bervarisai menurut lontar yang digunakan dan tradisi yang berlaku. Semua dari upakara di atas, pada hakekatnya mengandung unsur pembersihan meliputi banten abyakala atau biokaonan dan mohon keselamatan, baik untuk yang numadi (penjelmaan kembali) atau pada Ibunya maupun ayah sebagai satu kesatuan. Menurut ajaran Hindu dalam buku Silakrama menyebutkan sebagai berikit : “adbhir gatrani sudhyanti manah satyena sudhayanti widyatapobhayam bhrtatmabuddhir jnanena sudyanthi” Artinya : Tubuh dibersihkan dengan air Pikiran dibersihkan dengan kejujuran Roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa Akal dibersihkan dengan kebijaksanaan Makna dari sloka di atas sangat luhur, dimana kita sebagai umut Hindu khususnya, dan sebagai manusia pada umumnya harus berlaku jujur, bijaksana dan tetap punya pengetahuan yang dilandasi oleh Dharma sehingga pengetahuan yang dimiliki tidak disalahgunakan. Menurut tradisi dan kepercayaan badan maupun jiwa dapat dibersihakan dengan upakara/sesajen abyakala, prayascita, banten tataban dan lain-lain. Sangat berfungsi sebagai sarana pembersihan terhadap bhuana alit dan bhuana agung khusus bagi orang yang diupacarai dan lingkungannya. Menuurt kepercayaan di Bali ari-ari yang selanjutnya ikut manjaga bayi secara niskala. Setelah ari-ari ditanam di atasnya diisi batu pipih dan pandan wong dan juga tabumam/api dalam sekam, dihidupkan setiap malam. Di samping itu selama 12 hari Sang Ayah Mesimbuh-simbuh/mesembur (bawang putih + jangu) Menurut kepercayaan kegiatan mesimbuh-simbuh sampai bayi berumur 12 hari mengandung makna, agar bayi tersebut selamat dan tidak digoda oleh kekuatan Black Magic. Di samping itu ada pula masyarakat setiap sore membakara rambut di depan sanggah Nyamane/tempat ari-ari ditanam. Tujuan agar bayi tersebut selamat terhndar dari kekuatan gaib yang dapat mengganggu si bayi.

Variasi upakara pada saat bayi lahir yang biasa dibuatkan dapetan tumpeng lima. Variasi yang kedua hanya dibuat tumpeng bungkul ditaruh di dalam wakul (Sebuah bakul kecil) yang diisi serobong daksina, biasa, diisi raka-raka/ buah-buahan secukupnya; kacang + saur + gerang, garam dan lain-lain di wadah ituk-ituk atau celemik jajan secukupnya. Sampian tumpeng atau boleh sampian nagasari/ juga disebut sampian kembang yang dibuat janur. Variasi uapakara bayi baru lahir yang menurut versi Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba

- Nasi muncuk kuskusan
- Buah-buah/raka-raka
- Kacang-kacangan
- Canang sari, canang genten

Sebuah penyeneng Upakara banten di atas tergolong yang kecil, boleh juga dibuatkan yang lebih besar sedikit ditambah jerimpen/wakul diisi tumpeng bungkul (satu tumpeng) raka dan rerasen, samping gaet. Variasi banten ini dianggap sudah besar.

Variasi upakara lainnya dengan menghanturkan segehan di bawah tempat tidur bayi dan di tempat ari – ari. Segehan 4 kepel dengan 4 warna yaitu : selem (hitam), barak (merah), kuning (kuning), putih (putih). Semua upakara di atas mengandung makna, bertujuan, agar sane manumadi/yang menjelma dapat dirgayusa/selamat. Numadi adalah refleksi dari konsep ada kepercayaan reinkarnasi/merintis kembali ke mercapada bagi umat Hindu, hal ini masih dipakai untuk menata kehidupan masyarakat. Di beberapa desa Bali, beberapa tradisi masih hidup sampai sekarang, bahwa ari-ari itu tetap dipelihara dengan baik, dianggap nyama dari rare. Hal tersebut dapat dibuktkan dengan menghanturkan sesajen berupa canang raka, rarapan dan sesegehan setiap hari sampai bayi berumur bulan pitung dina/satu bulan tujuh hari. Kadang juga terus-menerus sanggah Nak cenik (diatas tanam ari-ari) selalu dihanturkan sajen canang segehan. Segehan ini bervarasi ada segehan panca warna dengan warna merah, kuning, putih, brumbun, ada segehan warna putih. Menurut kanda pat sari warna empat yaitu barak, putih, kuning, dan selem. Di samping itu pula setiap ada upacara dewa yajna, manusa yajna, bhuta yajna. Ari-ari tersebut selalu mendapat perhatian dengan mengahuntarkan canang dan segehan setiap hari sehabis makan, dihaturkan sesajen nasi beserta lauk pauk disebut banten saiban, atau upakara disebut yajna sesa. Makna menghanturkan terima kasih pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, telah melimpahkan, anugrahnya berupa makanan dan juga agar gumatap-peranan ari-ari cukup penting untuk menjaga keselamatan Sang Bayi. Sehingga perhatian umat begitu besar pada Ari-ari yang diangggap catur sanak, untuk membantu Si Bayi dalam kehidupan telah selamat.

2.3. Pelaksanaan Upacara Kepus Puser dan Upacara 12 hari 

2.3.1. Upacara Kepus Puser 

Pada waktu bayi masih berada dalam kandungan, maka menyerap zat-zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhannya adalah lewat tali pusat yang merupakan saluran penghubung puser si bayi dengan ari-ari sebagai tempat penyaringaan makanan. Setelah bayi lahir, tali pusat itu kemudian dipotong, namun untuk beberapa hari (lamanya berbeda pada masing-masing bayi) sebagian tali pusat masih melekat pada pusernya, yang dimaksud untuk melindungi si bayi terhadap gangguan pada perutnya, Sehingga ketika tali pusat lepas dari puser sang bayi akan dibuatkan upacara yang disebut Upacara kepus puser. Upacara kepus puser sering juga disebut dengan “Mapenelahan” atau upacara penelahan, Bayi dalam kandungannya dijaga oleh empat unsure yang disebut catur sanak yaitu yeh nyom, lamad/lamas/lemak, darah dan ari-ari. Tiga diantaranya yaitu yeh nyom, lamad, dan darah sudah lepas dari bayi pada saat si bayi dilahirkan, maka dengan lepasnya tali pusat yang merupakan bagian dari ari-ari maka habislah bagianbagian dari catur sanak yang melekat pada bayi. Upacara kepus puser dilaksanakan pada dasarnya adalah untuk membersihkan jiwa dan raga si bayi. Dengan lepasnya tali pusat maka secara jasmaniah si bayi sudah bersih dan secara rohaniah si bayi sudah bebas dari pengaruh catur sanak. 


TATA UPACARA 

Bagi puser bayi yang lepas dibungkus dengan secarik kain yang baru lalu dimasukkan kedalam sebuah ketupat burung (tipat kukur) disertai dengan angetanget (rempah-rempah), kemudian digantungkan ditempat tidur bayi. Di atas tempat tidur bayi dibuatkan kemara (sebuah pelangkiran) sebagai tempat pemujaan kepada Sang Hyang Kumara/Sang Hyang Panca. Di pelangkiran dihaturkan banten kumara untuk memohon agar si bayi dijaga dari segala macam gangguan juga ditempat ari-ari si bayi dihaturkan banten ari-ari. Selanjutnya si ibu menghaturkan banten labaan ditempat seperti dapur, merajan dan apabila ada si bayi akan natab banten dapetan sebagai rasa syukur dan terimakasih kepada tuhan karena telah dianugerahi seorang anak dengan memohon agar si bayi tetap sehat dan panjang umur.

Perlengkapan dan variasi upakara/Arti simbol Upacara kepus puser dilaksanakan ketika tali pusat sudah kering dan terlepas dari puser sang bayi. Proses yang dilakukan pada upacara ini ialah sbb: Puser yang telah lepas tersebut dibungkus dengan secarik kain yang diberi angetangetan (mesui, cengkeh, katik) dengan tujuan agar pusar cepat kering yang kemudian setelah dibungkus akan diletakkan dalam ketipat kukur yang ditempatkan di teben tempat tidur bayi. Upakacara kepus puser bervariasi tergantung desa, kala, patra masing-masing. Variasi 1 Upakara kepus pungsed ialah sbb: 

- Canang genten
- Banten penelahan
- Banten kumara
- Banten labahan si ibu
- Banten ari-ari
- Banten tataban


2.3.2. Upacara 12 Hari 

Upacara ngelepas hawon (upacara roras lemeng. Berfungsi untuk melukat, membersihkan bayi dari kotoran baik dari sekala maupun niskala. Upacara yang dilaksanakan sangat sederhana yaitu membuatkan si bayi penglukatan, membuat banten kumara, banten di ari-ari (sanggahnya) dan juga membuat banten tataban yang ditujukan untuk sang numadi. Tempat upacara di rumah masing-masing dan sesajen juga ditempatkan pada tempatnya seperti banten kumara ditaruh di pelangkiran kumara. Banten untuk sang numadi yang ditatab sang bayi ditaruh di tempat tidur. Banten nunas tirta penglukatan di dapur ada pula yang nunas tirta di semeri sumur. Banten penglukatan dihaturkan pula di Betara Hyang Guru. Banten nunas tirta sangat bervariasi, bias dengan canang saja diisi sesari dengan air mewadah gelas dengan doa sesuai kemampuan sendiri. Selanjutnya banten ini dihaturkan oleh siapa saja didalam keluarga selain ibu dan bapaknya yang dianggap masih leteh. Bayi tersebut dilukat baru kemudain dipercikan tirta.

2.4. Upacara 42 Hari (Abulan Pitung Dina) 

Bayi dalam pertumbuhan dan keselamatan dalam kandungan sangat dibantu oleh empat unsure yang disebut dengan catur sanak. Sehingga sering disebut bahwa catur sanak (darah,lamad,yeh nyom dan ari-ari) merupakan nyama bajang. Setelah bayi berumur satu bulan tujuh hari sudah dianggap bahwa waktunya untuk mengembalikan si nyama bajang ini ke tempat asalnya karena dianggap sudah tidak mempunyai tugas lagi bahkan kadang-kadang sering mengganggu si bayi. Sebagai penggantinya adalah dua ekor ayam yaitu ayam jantan dan ayam betina yang dinamai pitik. Pada umumnya pitik ini tidak boleh disembelih demikian pula anaknya yang pertama tidak boleh dipakai sesajen atau disembelih karena dianggap sebagai pengasuh si bayi. Perlengkapan dan variasi upakara Upacara satu bulan tujuh hari sering juga disebut dengan upacara mecolongan, variasi upakara yang digunakan pada upakara ini adalah: Variasi 1 Upakara yang ditujukan kepada si ibu terdiri dari: 

- Byakala
- Prayascita dilengkapi dengan tirtha penglukatan dan tirtha pebersihan.

Variasi 2 Yang ditujukan untuk si ibu terdiri dari: dapetan sesuai dengan kemampuan. Dan banten yang ditujukan untuk sang bayi terdiri dari: 

- Banten pesmongan
- Banten kumara
- Banten jejanganan
- Banten pecolongan didapur, permandian, di sanggah/kemulan 19
- Banten tataban seadanya.

Variasi 3 Banten tataban Banten yang ditaruh diluanan bale disebut dengan banten pregembal. Pada umumnya terdiri dari: 

1. Tanem tuwuh 1 buah 

2. Daksina 5 buah 

3. Suci gede 2 buah 

4. Teteg 1 buah 

5. Pregembal 1 buah 

6. Sayut pangelebar 

7. Perangkat 2 buah 

8. Peras ajuman 1 

9. Lampad 

10. Peras ajengan 

11. Gebogan 1 

12. Tumpeng 22 buah 

13. Sayut 5 buah 

14. Suyuk betari 

15. Longkat nasi 

16. Tebasa 5 buah 

17. Jerimpen 2 buah 

18. Saji 1 buah 

19. Sesampian: sampian pengambian 4, sampian langsang, sampian sodaan 2, sampian jerimpen 3, sampian pregembal 1, Terag 1, peras 2 buah. Banten yang ditaruh teben bale, Pada umumnya terdiri dari: 

- Suci sibakan
- Soroan 5 buah
- Tumpeng 11 buah
- Penyisikan
- Sok penjagal
- Pengayak 20
- Sambutan
- Jejanganan
- Suci gede1 buah dan suci cenik 1 buah
- Lampad suci

Variasi banten menurut Kanda pat rare: Tugtug akambuh setelah bayi berusia 42 hari bertujuan untuk mengadakan pembersihan lahir dan batin bagi si ibu dan anak. Bantennya berupa: dapetan, sodahan, jejangan, amu-amuan, cuci laksana, dan banten kumara. Setelah dianalisis makna dari banten tersebut mengandung makna yang sama, awal dari upakara mebyakala, prayascita, natab, metirtha yang mengandung makna pembersihan secara sekala dan niskala dan mohon keselamatan agar si bayi dan orang tuanya terhindar dari gangguan sekala dan niskala. Disisi lain merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada ane numadi maupun kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan keselamatan pada umatnya.


BAB III PENUTUP

3.1. KESIMPULAN 

3.1.1 Upacara megedong – gedongan sampai dengan upacara satu bulan tujuh hari merupakan upacara tradisioal yang masih ditadisika oleh umat hindhu yang ada di bali khususnya umat hindu bali , dalam melaksanakan upacara keagamaan lebihdi tonjolkan sifat gugon tuwon. Dalam proses dinamika kebudayaan dan masyarakat sifat gugon tuwon tersebut mempunyai dampak yang kurang baik dalam perkembangan agama akan muncullah kefanatikan dalam melaksanakan/membuat upakara. Hal tersebut juga akan menghambat kemjauan khusus wanita di pedesaan , karena habis waktunya membuat upakara

3.1.2 “Ari-ari” adalah salah satu dari empat unsur yang menjaga dan memelihara si bayi sejak dalam kandungan yang disebut juga “catur sanak”. Ari-ari merupakan tempat penyaringan sari-sari makanan yang diserap oleh si bayi dari ibunya. Setelah si bayi lahir ari-ari tersebut dipotong dan hanya sebagan kecil, sedikit yang masih melekat pada pusarnya dan baru lepas setelah beberapa hari (berbeda masing-masing Bayi), kemudia ari-ari yang telah dipotong dari tali pusar tersebut menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat Hindu di Bali upacara mengubur ariari seperti ini di Bali lebih lumbrah disebut upacara namem ari-ari.

3.1.3 Pada waktu bayi masih berada dalam kandungan, maka menyerap zat-zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhannya adalah lewat tali pusat yang merupakan saluran penghubung puser si bayi dengan ari-ari sebagai tempat penyaringaan makanan. Setelah bayi lahir, tali pusat itu kemudian dipotong, namun untuk beberapa hari (lamanya berbeda pada masing-masing bayi) sebagian tali pusat masih melekat pada pusernya, yang dimaksud untuk melindungi si bayi terhadap gangguan pada perutnya, Sehingga ketika tali pusat lepas dari puser sang bayi akan dibuatkan upacara yang disebut Upacara kepus puser. Upacara kepus puser sering juga disebut dengan “Mapenelahan” atau upacara penelahan, Bayi dalam kandungannya dijaga oleh empat unsure yang disebut catur sanak yaitu yeh nyom, lamad/lamas/lemak, darah dan ari-ari. Tiga diantaranya yaitu yeh nyom, lamad, dan darah sudah lepas dari bayi pada saat si bayi dilahirkan, maka dengan lepasnya tali pusat yang merupakan bagian dari ari-ari maka habislah bagianbagian dari catur sanak yang melekat pada bayi. Upacara kepus puser dilaksanakan pada dasarnya adalah untuk membersihkan jiwa dan raga si bayi. Dengan lepasnya tali pusat maka secara jasmaniah si bayi sudah bersih dan secara rohaniah si bayi sudah bebas dari pengaruh catur sanak. Upacara ngelepas hawon (upacara roras lemeng. Berfungsi untuk melukat, membersihkan bayi dari kotoran baik dari sekala maupun niskala. Upacara yang dilaksanakan sangat sederhana yaitu membuatkan si bayi penglukatan, membuat banten kumara, banten di ari-ari (sanggahnya) dan juga membuat banten tataban yang ditujukan untuk sang numadi. 

3.1.4 Bayi dalam pertumbuhan dan keselamatan dalam kandungan sangat dibantu oleh empat unsure yang disebut dengan catur sanak. Sehingga sering disebut bahwa catur sanak (darah,lamad,yeh nyom dan ari-ari) merupakan nyama bajang. Setelah bayi berumur satu bulan tujuh hari sudah dianggap bahwa waktunya untuk mengembalikan si nyama bajang ini ke tempat asalnya karena dianggap sudah tidak mempunyai tugas lagi bahkan kadang-kadang sering mengganggu si bayi. Sebagai penggantinya adalah dua ekor ayam yaitu ayam jantan dan ayam betina yang dinamai pitik. Pada umumnya pitik ini tidak boleh disembelih demikian pula anaknya yang pertama tidak boleh dipakai sesajen atau disembelih karena dianggap sebagai pengasuh si bayi.


3.2. SARAN 

3.2.1. Saran bagi Penulis Penulis berharap dengan adanya penulisan makalah ini akan dapat menambah wawasan penulis sendiri mengenai pelaksanaan yadnya khususnya Manusa yadnya yaitu pada upacara bayi dalam kandungan hingga bayi berumur 42 hari. Dan kedepannya semoga penulis dapat membuat makalah sejenis mengenai Upacara yadnya yang lain dengan pemaparan yang lebih detail dan informatif lagi. 

3.2.2. Saran Bagi Pembaca Penulis berharap setelah pembaca membaca makalah ini akan mendapatkan informasi serta wawasan lebih mengenai pelaksanaan yadnya khususnya Manusa yadnya yaitu pada upacara bayi dalam kandungan hingga bayi berumur 42 hari. Dan semoga kedepannya pembaca yang beragama Hindu dapat lebih menghargai lagi pelaksanaan yadnya secara tulus ikhlas sehingga dapat melakukan yadnya yang benar sesuai dengan ajaran Weda. 

3.2.3. Saran Bagi Pemerintah Penulis berharap dengan adanya penulisan makalah ini akan lebih mengingatkan pemerintah untuk melaksanakan fungsinya yaitu untuk tetap menjaga adat dan tradisi yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Bali. Salah satunya yaitu pelaksanaan Upacara Yadnya pada Manusa yadnya seperti bayi dalam kandungan hingga bayi berumur 42 hari yang merupaan sebuah kebudayaan umat Hindu di Bali agar lebih dihargai dan dilaksanakan dengan baik sesuai petunjuk Weda.


DAFTAR PUSTAKA 

Oka Supharta, Gusti Ngurah. 1997. 

Panca Yajna. Proyek Sasana Budaya Bali Pemda Tk I Bali. 1994. 

Catur Yajna. Denpasar: Upada Sastra. S.Swarsi Geriya.Dra. 2004. 

Upacara Bayi Dalam Kandungan Sampai Bayi Umur 1 Bula 7 Hari. Paramita. Paramita Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar