Jumat, 24 September 2021

Puja Pangabenan

"JATASYA HI  DHRUWO MRITYUR, DHRUWAM JANMAMRITASYA CA, TASMAD APARIHARYE RTHE NA TWAM SOCITUM ARHASI" ( Bhg. Pudja 1985:44 )
      Artinya: "Sesungguhnya setiap yang lahir, kematian adalah pasti, dan demikian pula setiap yang mati kelahiran adalah pasti, dan ini tak terelakkan, karena itu tak ada alasan engkau merasa menyesal".

Kematian adalah pasti bagi yang hidup. Untuk menyongsong kedatangan kematian itu perlu dipersiapkan . Persiapan bagi diri sendiri tiada lain dengan selalu berlaksana Tri Kaya Pari Sudha( Berpikir yang baik, Berbicara yang baik, dan berbuat yang baik). Persiapan bagi orang tua kerabat terdekat yang paling penting adalah melakukan selaian Tri Kaya pari Sudha tadi adalah sima Krama, hubungan kekerabatan , Sosial kemasyarakatan, Sebab bila terjadi atman itu meninggalkan badan maka badan itu tidak mungkin berangkat sendiri kekuburan/ Kremasi. Indikator orang itu baik adalah ketika ia meninggal banyak orang mengantarkan ke kuburan/ Kremasi.

Pelaksananan Pita Yadnya dalam Agama Hindu sangat beragam. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Acara atau bagian ke tiga dari tri Kerangka Dasar Agama Hindu memberikan peluang untuk itu .Hal ini disebabkan agama Hindu mengenal Nisata Madya dan Utama . Hal inilah yang memberikan petunjuk agar semua lapisan masyarakat dapat melakukan Yadnya dengan baik. Adanya  desa Kala dan Patra: Yaitu Daerah, Waktu dan dalam keadaan teertentu upacara ibni dapat disesuaikan. Adanya Drsata atau pandangan  Masyarakat tertentu / Lokal genius masyarakat dalam menterjemahkan atau memahami Weda.

Dasar Pelaksanaan Pitra Yadnya:
1. Piagam Campuan Ubud
Keputusan dari Dharma asrama para Sulinggih dan Para Walaka Hindu Bali yang dilaksanakan di Campuhan  Ubud dari tanggal 17 sampai dengan 23 Nopember 1961. Dalam piagam ini terdapat beberapa keputusan diantaranya tentang Dharma Agama pada angka VI yang rumusannya sebagai berikut:  “ Pelaksanaan Atiwa-tiwa/ Pembakaran Jnasah ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Tattwa, terutama menganai bebantenannya, dan diklaksanakan dalam 7( tujuh )  hari dengan tidak memilih dewasa. Upacara Salah pati, Ngulah pati, Kepengawan, Sakit ila/ Lepradan sebagainya, Upacaranya disesuaikan dengan orang mati biasa, dengan menggunakan upacara penebusa, setiap pelaksanaan pembakaran mayat dan semua upacaranya. Penyelesainnya hendaknya dilakukan di kuburan.

2. Kektentuan dalam Lontar Yama Purana Tattwa adalah sebagai berikut :
“ Nihan kecaping daging Yama Purana Tattwa, Prasidha tingkah angupakara sawa san mati, agung, ali, nista, madya utama, maka patuting ulah sang magama tirtha rin Bali Rajia, tan wenag mapendem mangda mageseng huga, Sahika subha caranya, prasida sang atma moih ring Bhatara brahma, apitwi tan pabya, swasta  ring sang hyang Agni, sida amanggih rahayu sang hyang Atma.
Artinya:
       Inilah ucap Yama Purana Tattwa : tatacara menyelesaikan jenasah oaring meninggal, besar, kecil, Nista, Madya, Utama, sebagai kewajiban orang beragama tirtha ( Hindu ) yang ada di Bali Rajia ( daerah Bali ) tidak boleh dikubur supaya dibakar juga sah itu tata caranya sampai sang Atma bertemu dengan Bhatara Brahma , walaupun tanpa biaya, Swasta di sang Hyang Agni, sakan mencapai selamat Sang Hyang Atma.

Kuneng  Upacaranya mageseng, rawuhing ring setra sigra tibanin tirtha pengentas, duking mageseng duluranya: Daksina asiki, Canag Sari pitung tanding, jinah bolong 225,Beras catur warna mawadah tamukur, ngangge krebsari sahasta,   kasa masurat  ONGKARA ring ikang sawa, arenge sapit kadicara penipis ring watu yadyapin sesenden pada wenang, raju wadahin nyuh gading adegkna puspa lingga , tamuli ayabin bubur pirata ketupat pesor , saji punjungan putih kuning, dius kumaligi ,. Wusan hanyut hanyut ikang puspa lingga tekeng kampuhnya, prsidha sihika kramanya”. 

Artinya:
       Demikianlah upacara kremasi setibanya di kuburan ketisin tirtha Pangentas, pada waktu kremasi sertakan : Daksina satu, canag sari tujuh tanding, uang kepeng 225 keping, Beras empat warna ditempatkan pada tamas, memakai tutp kain putih lebih kurang 35 Cm. Kain putih bertuliskan OMKARA ditaruh di atas dada jenasah kemudian dibakar. Setelah menjadi abu  jenasah itu, abunya di jepit ditaruh diatas batu ( Pne atau cobek) lalu dimasukkan kedalam kelapa gading ( yang sudah dikasturi airnya dibuang dibentuk menjadi puspa sarira, Puspa lingga/ sekah , dipersembahkan bubur pirata, ketipa peseor, banten ajuman putih kuning, dyus kamaligi . Setelah selesai hanyut / dibuang ke laut atau ke sungai yang bermuara di lauytPuspa lingga itu beserta kainnya de ngan demikian selesai dan sah itu pelaksanannya.




#Samodana ring Akasa
Ih Bhur Bhuwah Swaha, 
atangya ta siwa Bapa Akasa,
Anak ira aserah maring sira,
Tampi den rahayu, poma. 
Ih Bhur Bhuwah Swaha, 
pukulun Bapa Akasa,
Ater ingsun maring swargan Sanghyang Siwa, poma.

#Yan matelah sang mati
Ih Sang Jalimet, Sanghyang Rainsada, 
Sanghyang Surya, Sanghyang Lintang, 
Sanghyang Tranggana, Siwa, Sadasiwa, 
Paramasiwa, Kaki Siwagotra, 
sampun sira lali, 
Ring watangane si anu, 
sampun tutug wates ipun, 
Mangke angaturaken banten tetukon pisangjati, wehana bresih dalan ipun, 
Aterana mantuk maring swargan, 
Kahyangan ira Sanghyang Siwa Tunggal, poma.

#Nguningayang Banten Tetukon Pisangjati ring Bhatara sami
Ih pukulun paduka Bhatara, wwong manusa pukulun ......(si anu)...........
Wus kawituturana pangawruh paduka Bhatara,
Atman pun si anu, ingudalaken saking pasenentan,
Wus kawinugraha ring I Dewa Dalem Prajapati, 
Anyusup adegane sang byantara, 
Sampun sida angaturaken upakara tetukon pisangjati, jeng poma.

Om Ang tetukon pisangjati samarpayami ya namah swadah

#Nebus Sang Pitra
Ih Kaki empu atma, pukulun angodalana atmane si anu,
Iki atmane si anu, sabyantara anyusup madegan ipun, poma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar