Senin, 26 April 2021

Brahmana Purana

Brahmana Purana
Om Swastiastu
Om Awignamastu namo siddham

Bumi berputar tanpa pernah berhenti sepanjang Djaman, saatnya renkarnasi Brahmana Mpu Muncul kembali ditandai dengan menjamurnya Warga Masyarakat Bali membangun kembali Brahmana-brahmana yang bergelar Mpu. dan Pandita Mpu. Sesuai dengan Prasasty yang ada, bahwa Mpu adalah Brahmana Jati bukan Brahmana Sudra Wangsa. (Sulinggih Jaba) tak perlu ragu diberikan kepercayaan untuk memuput/ngajengin Upacara - Upacara Keagamaan Hindu (Panca Yadnya ) siapapun Warga Masyarakat Umat Hindu umumnya di P Bali. lebih jelas diuraikan secara gamblang didalam uaraian Prasasty dibawah ini, untuk menghindari terjadinya perpecahan antara sesama saudara sekandungan sekawitan, dan demi mejaga keutuhan NKRI ada baiknya kita pahami Cerita dibawah ini

Om Santih,Santih,Santih.
Sesuai dengan cerita dari Historycal ADIPATI I (DALEM KETUT KRESNA KEPAKISAN ) dibawah ini dicertakan bahwa, ANAK AGUNG ( DALEM KRESNA KEPAKISAN ) yang selanjutnya menurunkan (melahirkan ) yang bernama PRADEWA. dan Belaiu DALEM KRESNA KEPAKISAN (ANAG AGUNG) DWAGUNG/ DEWA AGUNG  adalah seorang Brahmana yang bergelar MPU KRESNA KEPAKISAN yang diangkat menjadi ADIPATI BALI I kemudian diberi Gelar DALEM SRI KRESNA KEPAKISAN.

ADIPATI BALI I
DALEM KETUT SRI KRESNA KEPAKISAN

A.Silsilah Keturanan Sri Kresna Kepakisan
Sesuai sumber yang ada http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/dalem-ketut-sri-kresna-kepakisan.html

Dasar Bhuwana distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali.
"Kepakisan" asal katanya "Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja AirlanggaRaja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.

diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu: Mpu LampitaMpu AdnyanaMpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu PanawasikanMpu AsmaranathaMpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra. Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu AngsokaMpu NirarthaMpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali.

Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Danghyang/ Mpu menjadi Sri.

B. Pengangkatan Dinasti Sri Kresna Kepakisan
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan

Dalam pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan/ Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu Adipatinya bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan

Dalam pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.

Dari Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.

Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama:
Ni Gusti Ayu Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah para melahirkan:
1. Dalem Wayan (Dalem Samprangan)
2. Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan)
3. Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak)
4. Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir). I

Dari Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya Kutawaringin , melahirkan:
1. Dewa Tegal Besung.

C. Sistem Pemerintahan
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.

Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu belia bawa.

D. Sistem Kepemimpinan
Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra

Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Dalem Sri Kresna Kepakisan dalam menjalankan pemerintahannya di bantu oleh para Arya yang terlebih dahulu menetap di Bali yang kedatangannya bersamaan dengan ekspedisi Majapahit bersama Patih Gajah Mada juga dibantu para Arya yang menyertai perjalanan Dalem Sri Kresna Kepakisan dari Majapahit ke Bali.
Para arya tersebut diantaranya :

1 Arya Kenceng mengambil tempat di Tabanan
2 Arya Kanuruhan mengambil tempat di Tangkas
3 Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu
4 Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal
5 Arya Belog mengambil tempat di Kaba Kaba
6 Arya Pangalasan
7 Arya Manguri
8 Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas mengambil tempat di Toya Anyar
9 Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon
10 Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung
11 Arya Belentong mengambil tempat di Pacung
12 Arya Sentong mengambil tempat di Carangsari,
13 Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal
14 Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti
15 Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet
16 Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana
17 Arya Melel Cengkrong mengambil tempat di Jembrana
18 Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem,
19 Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan
Demikian dikatakan di Babad Dalem.

E. Kehidupan beragama
Mengenai kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil sebagai akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama yang dianut masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting. Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.

Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande).
Dalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte Waisnawa, mungkin saja dari Sub Sekte Bhagawata , mengingat nama kresna yangbelau pergunakan sehingga wajarlah beliau dikelilingi oleh para Bujangga Waisnawa, baik Bujangga Waisnawa yang di bali maupun yang menyertai Belia dari Jawa.

F. Bidang Kesenian dan Kesusastraan
Kehidupan seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu masyarakat Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon topeng, diman pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan. Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.

G. Akhir Pemerintahan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan

Silsilah Ide Bethara Dalem Tarukan.
Sumber, http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/dalem-ketut-ngulesir-1380-raja-bali-iii.html
Sanghyang Pasupati berputra :
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh

Bhatara Hyang Gnijaya berputra, Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)

Mpu Withadharma berputra :
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)

Mpu Bhajrasattwa berputra :
Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)

Mpu Tanuhun berputra :
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)

Mpu Bharadah berputra :
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula

Mpu Bahula berputra :
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali

Mpu Tantular berputra :
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan

Danghyang Kepakisan berputra :
Sri Soma Kepakisan

Sri Soma Kepakisan berputra :
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)

Sri Kresna Kepakisan berputra :

1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung

Mpu Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu
1. Mpu Gnijaya,
2. Mpu Sumeru,
3. Mpu Ghana,
4. Mpu Kuturan, dan
5. Mpu Bharadah.
Kelimanya disebut Panca Tirta.

Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi, yaitu:
1. Mpu Ketek,
2. Mpu Kananda,
3. Mpu Wiradnyana,
4. Mpu Withadharma,
5. Mpu Ragarunting,
6. Mpu Preteka, dan
7. Mpu Dangka.
Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi.

Saudara bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai Warga Pulasari. Adanya tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh Warga Pasek di pegunungan di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan di pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka. Patutlah Warga Pulasari berhutang budi kepada Warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari ide pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek.

Di Bali gelar "Pasek" yang berasal dari perkataan "Pacek"(= paku) pertama kali digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk kelompok Sapta Rsi.

Ada juga Warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan Warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan. Beliau-beliau juga sangat besar jasanya menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan.

Kesimpulannya bahwa gelarKepakisan, Paku, Pasek bermakna dan berderajat sama yaitu sebagai fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah tertentu atau pemimpin suatu penugasan/jabatan tertentu yang didelegasikan oleh Dalem (Kaisar = Maha Raja, atau Raja)
1.Tidak merabas pohon atau memakan buah: Jawa, Jali.
2.Tidak mengurung, membunuh, atau memakan daging burung Puyuh dan Perkutut.
3.Tidak memakan beras mentah.
4.Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di arah Barat.
5.Tidak memelihara dan memakan daging Manjangan.
6.Tidak menerima sebutan/ucapan: "cai" dan "cokor I Dewa"
7.Boleh menerima sebutan/ucapan: "Jero", "Ratu", "Gusti"
8.Upacara pelebon boleh menggunakan:
• Sebagaimana layaknya seorang Raja.
• Pemereman Padma Terawang
• Pemereman Bade Tumpang Pitu
• Benusa
• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning
• Ulon
• Jempana
• Rurub Kajang 
• Daun Pisang Kaikik
• Bale Gumi berundak tujuh
• Bale Silunglung
• Damar kurung
• Upacara ngaskara lengkap
9.Tidak membuang atau menyia-nyiakan makanan, minuman, dan uang.

Minggu, 25 April 2021

Dharma Smerti Tattwa

Dharma Smerti Tattwa

Ong awighnam astu nama siddhi.

Kelaṡa ning nāma siddhi, dharma smerti ya jagat iti,

sarwa dewo prěsimetak, iṡwara pada kañcani.

Ikang Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba sira maněmbaḥ mamūjā ri Ida Bhaṭāra Kawitan kalawan Ida Bhatara Mpu Gana, ring pucak ning Pundukdawa, malinggiḥ ring padma kanaka lawan meru, sarwa dewa rowang nira, makâdi namika ring hayu ning kang rāt, adidewa ewaca, ujar Bhaṭāra, ling nira.

Wṛdhawa hana ṡabdopi, wīprane sranwa padana,

daṡaṡca ca kleñca, papa wighne winaṣakala.

Anaku kita Hyang Sinuhun, kěnoh ingka patakonta ri kami, nimitta nirâtma hajöng arěngönta wuwus mami, mahāpawitra, kata wěnang manghilangakna wighna, daṡa mala pāpa trimala, haywa ta kita tan prayatna, dlěngakna tmahanta haywa salah angěn-angěnta pawarah arěngön, marapwan ndi ta wruha mêwěḥ mwang sangṡaya lāwan hala hayu ning rāt, nihan kramanya // o //

Sodarangko mahā kāla, hayu dana maka karma,

dewa yandokrama tadwa, lokaraṇa.

Kalinganya ya mahākāla, pâwak ning mahākāla, yan durbala ning kang rāt, makweḥ prang, lahru winahingyang, kawah ikang rāt donya, matangyan hilangakna de sang amawa rāt // o //

Rāja purohita samyak, sangamaām ṡuddha ṡila,

trasadyoka pujarastwa, dino ratro muniṡwara.

Akaṡa wanmapadyane, prabho dirgha yamatrake,

mananatrakna tawyato, ṡriya wisoka matonya.

Kalinganya yogya purohita ikā, sang wiku wruh ing tattwâgama, wruḥ mangaji trayi, satya ring istrī, ring mās pirak, tan mithyā ring wacana, agělěm amūjā rahina wěngi mwang latri sadākāla tan kaluban, ring ṡiwa arcaṇam, mṛārthanakěn ring hala hayu ning prabhu, sira ta yogya purohita, maka manggalyan ikang rāt, sira sawuwus nira pinintuhu, katwangana pamūjā ning mās pirak de ning sang prabhu lāwan rāt, apan ikang rāt rahayu denya, matangnyan takonana sakâpti nira // o //

Prano karma tadibhakti, pūrwane sūrya sewanām,

Madhya dana bhuta yajña, Madhya ratro ṡiwarcaṇām.

Kalinganya ulaḥ sang prabhu, yan mahyun angajöngan i rāt, pangěban ing bhuwana hujěngana ta wungwa tan kacawuhan, na walu maṡucya ta sira, tumulwi amūjā ring Sanghyang Āditya, těngah ing wwe mamūjā tatawura ring sarwa bhūta, makâdi ring Sanghyang Rāma Rāja, těngaḥ wngi mamūjā ring Sanghyang Ṥiwa // o //

Awipako mascañuda, halěpya manahayato,

ayaso pinidewatya, nahan dana ta rakṡasa.

Kalinganya yan hana mantra alpa pamana-mana ring sang paṇḍita, ampah-ampahing sarwa kārya, apangadang bhawaninya atěngěr detaya ta hilang nāgara sang prabhu // o //

Manām na pūrwa karyamo, praja nupulana kūryat,

na muni na dewa murccha, payoge bhuta sutawan.

Kalinganya tingkaḥ ning sang mantra sang ginlar senapati, tan ampag-ampag, wiwekaněn rumuhun hala hayu ning kārya, wruha ring satopaya (sakôpāya?), wruha ring sarwa karma, saduha ring sarwa mala, ṡabda kamahata, tuhu-tuhu bhakti ring Tuhan // o //

Wiwekimba pikūryate,

harananiyatin rasta,

hakangoto mata prabhu.

Kalinganya wuwus mangkana, mangkana tang don sang prabhu dulurani wiweka, niyata jaya ṡatru sang prabhu nora nirwighna // o //

Kukule muni rityatu, mastra japi wicakṣaṇa,

samnaka jiwato nawa, utpatah rāja dūrbala.

Kalinganya wih anaku listuhayu, lakṣaṇa wruh ing angaji wruh i ṡiwâgama tuhu teja janma, cewanggana lwirnya, pañjar, canadana, pangkon, angamběng, padang pasir, ṡabhā ukir, cedani wiku. Pañjar, nga, wiku wus ning yan janma, kadang aji kunang. Candananya, nga, wiku matunggu aji, canaprāsāda, susuk simpuru, brāhmaṇa ṡewa sogata, mangkana, nga. Wiku tūs ning kabayan buyut, pasimanan siman, angamběng, nga, wiku tumūt alayar, kāryan dinaṇḍa dagang, patitihan, malapasir, nga, wiku mamañcing ceda pangupadeṡa ning amalaku mās pirak, guruyaga, ṡabha wiku, nga.

Wiku magawe taya pitra ning māti, mangūrwa mās pirak, guruyaga, phala bhoya (bhoga?), mwaḥ milu kāryani suratan, ya tika wiku cedangga ngaranya. Mawe sira tīrtha ring sang prabhu mwang rahup, utsāha těměn ikā, mangunyakěn hila-hila ning sarāt tan swasta sang prabhu denya // o //

Muni sukulastranta, ṡuddha ṡila sulakṣaṇām,

ginanadi yatsonata, sulabha pūrṇa lakṣaṇām.

Kalinganya sang paṇḍita sukula, pawitra janma, ṡuddha ṡila wruḥ mangaji, matrayi, angratmajapa pūrṇa lakṣaṇa, sira asunga tīrtha rawup ring sang prabhu, mangka lpanya kunang, sira matangyan ikang rāt rahaywa, paripūrṇa swasta dīrghâyuṣa sang prabhu, sulabha lakṣaṇa tměn ikā.

Kalanace len asih, kratañcaḥ tīrtho dwapare,

angkara lila patyantu, rakṣan anacaḥ wilokasya // o //

Nihan prakāra ning krama pāt kweḥ ning yoga. Lwirnya, kṛta, treta, dwāpara, kali sanghāra. Kajarakna maka nimitta karākṣa ning rāt.

Prajana rākṣa ning kṛto, yogyṡca satya padinām,

sisudani putěndātyam, municangmaya bhaktinām.

Kalinganya ikang rāt, dudū karākṡa ni sayuga sayuta. Kunang rākṣani rāt ring kṛta pajarakna rumuhun. Nāhan karākṣani rāt ring kṛta. Yuga rahayu maka nimittani yuga, samādhi lāwan kasuṡilan, kaparamârthan, kasādhu ning sang prabhu // o //

Lokaning rakṣajikuyat, titale patinidena,

sandimat dharma lepani, janadiroma karaṇa.

Bhuwanosya wanda name, dwapare sasane kāla,

sarwa yajña samantaranām, prabhū na mūji na kuyat.

Kalinganya ikang sang prabhu, sang paṇḍita de ning amahayu rāt, ring dwāpara yuga, mahajönga maka nimitta sarwa yajña, huma yajña, dewa yajña, pitra yajña bhūta yajña, paṇḍita yajña, mānuṣa yajña, saha mantra ṡakti // o //

Parajñoning pati kalitrām, loka mukena rakṣanām,

haněka dharma kappena, wadwo rāja sahataman.

Kalinganya karākṣa rāt mêwěḥ sādhu sakweh ing agawe hala, tamaḥ satara, pinangan mwang kâbhimānan. Kunang hetu ning kaliyuga mangajönga // o //

Narêndra bhiṣekamawi, munisěna mahā kāla,

mantra kamani sěkana, samya lokasya wadwākěn.

Kalinganya bhiṣekaněn lāwan mantra nira de sang paṇḍita wiṡeṣa. Sang Prabhu wehnang aji Sanghyang Êkacakra tīrtha. Sang Mantri wehnang aji bhuwana purāṇa // o //

Pañca duṣṭana ṡilañcaḥ, muke deṡa mapagamām,

tajetnaṣa guṇalokām, bhaye nagětyadanat.

Kalinganya ring wěkasan mara yan dāna n de sang nātha gumawayakěn jagatraya, matangyan mari mūrka, pāpa měněngnya matakut sira sarwa duṣṭa, maka nimitta guṇa ni sang prabhu, matěguḥ sira ring kaṡaktyan mulahakěn dharma prakṛtin ikang rāt // o //

Sarwa guṇajire naṣa, mantrad otsaha buddhinat,

krětana lepana wadwa, kayoki yatikasada.

Ring sěḍěngnya měnděk sang nātha, guṇa ning sang prabhu, sang mantra utsāha malasakěn ikang nīti, mapa ta nggwan ing prayatna ri ṡila hayu, matmahan kṛta yuga, ikang kali sanghāra yuga // o //

Dīrghâyuṣa na sawatadhah, niroga nirupa bhrawa,

ahasya sampadañcewaḥ, hanankaboraditaḥ.

Kunang wastu ning kaliyuga, ikang rāt tan agring upadrawa, dīrghâyuṣa ikang wwang akweḥ pinangan, pari nitya dadi // o //

Dana ratna suwarṇām, prakirnañca sabrěta,

lokekana dirghawaca, malo paṇḍita ṡuddhanaḥ.

Nāhan ikā cihna mwaḥ kang mās pirak, wartakahmanya denya, maka nimitta de ni kweḥ ni hudan, de ning pūjāni sang paṇḍita // o //

Wrěkṣo pipala sakinah, praṇampya pradisanta,

sūrya tejo nandahingkanām pakṣi mṛgo mahasukām.

Kalinganya ikang kayu-kayu sarwa nitya phala mawoḥ, tan knêng laws, ikang nanda kweḥ wkanya, teja Sanghyang Āditya tan apanas dahat, de ni megha nitya sumangsang ring ākāṡa // o //

Sarwa gamanta duksadwām, paja suklo karakṣanat,

brāhma wdak tranedade, ṡaraṇatwan acatur warṇa.

Ênak ta wijilan ing sarwa gama, maka nimitta rākṣa ni rāt, maka kāraṇa dewa mantra gěgönya de sang catur warṇa mwang catur jadma. Nihan lwir nya catur jadma, brāhmaṇa, kṣatriya, waiṡyā, ṡudra, dwija, pusi (Ṛṣi?) ṡewa sogata, brāhmaṇa ikā.

Prakadan catur ajanmanām,

brāhma gětya danaraṇa.

satriya, nga, prabhu rāja putra, kadang aji, kṣinatriya ikā, Waiṡyā, nga, tūs ning kabayan buyut, wwang tani, kulinya ring deṡanya, yêkā waiṡyā, nga. Ṥudra, nga, adagang, ampuhawang, apatitihan, amangka, nga, yêkā ṡudra, nga. ikā pāt mijil saking ṡarīra n Bhaṭāra Brahmā // o //

Ga brāhamaṇa paṇḍani,

tundani calaṡcewaḥ,

dṛṣyane bhuwana toha.

Kalinganya tiga tikang puruṣa, tan mijil sakêng ṡarīra Bhaṭāra Brahmā, lwirnya, pañcaka mahasta daṡa canala (cāṇḍāla?), mleccha, sadtwa // o //

Kṛta gadga mala gañca, citra karo murawañcaḥ,

nguṣadhani kamām, dharma yuddha canduraněḥ.

Kalinganya ikang Pañca Karma tan tūt ing catur janma tan tumūt cāṇḍāla. Kunang tinūtnya dharma yuddha. Kṛta kadga, nga, paṇḍe wěsi. Pala gañca, nga, paṇḍe ḍaḍap. Citrakāra, nga, anglukis, murawañcaḥ, nga, juraheng, uṣadhā, nga, surâtman, yêkā panca Karma, nga. // o //

Aneka candela wuktah, wṛkṣabih gata karaṇa,

tāstra malaning atañcaḥ, prakodayan pranantaḥ.

Bandaro ratna candañcaḥ, trimidaho jala graham,

sarwa datuni dandañca, toya kañcana sanggrahā.

Raktatuta krasranām caḥ, tělakriyakuñca karya,

dyatahetawa jatana, drawyasi brāhmāsta daṡa.

Kalinganya waluwlas kweḥnya cāṇḍāla krama, lwirnya, uṇḍagi, amalantěn, agungge, ajagal, abrakis, acwamani, akaris, apaṇḍe mās, manglimbang, ihanggabag, amědil, ikā ta kabeḥ, aṣṭa daṡa cāṇḍā karma, ngaranya // o //

Padha mleyo mṛta domlědo, kita danūya padina,

dharmana siddhā sidyasaḥ, sad sakya suta sanggrahā.

Něm kweh ning mleccha, lwirnya, agending, angawayang, amrak igěl, makidung, amula-mula, anika // o //

Tudany sadwiya yanaṡcaḥ, yanado duṣṭa sawana,

kiñcanakaḥ kling masangkya, sawaḥ monita daranaḥ.

Něm kweḥ ning cuta jadma, lwirnya, amandang, kuming, amurěng, angalor, tan dawūk // o //

Catur warṇanām, bedayanaṡca daṡajña,

brāhmaṇa baya maha mṛṣṭo, satriya deṡa sṛdaṡcaḥ.

Kalinganya tingkah ing catur jadma, lwirnya, brāhamaṇa, kṣatriya, waiṡyā, ṡudra. Bheda krama nira sowang-sowang, maka nimitta dudū katonya, saking ṡarīra Bhaṭāra Brahmā, dudū ngaran ira dūk sěḍěng niwasāna // o //

Jataweda karakṣya, brāhmaṇaṣya mahajanām,

kṣatriya mahopadyām, brāhmaṇa dewakaneṣya.

Sang brāhamaṇa mijil saking muka Bhaṭāra Brahmā. Kṣatriya mijil saking bāhu Bhaṭāra Brahmā // o //

Weṡya samani mitrahuḥ, huroanggawa hanangṣya,

pradapate ṡudrasya, hamapinta dyatmanya.

Ikang waiṡyā mijil saking pupu Bhaṭāra Brahmā. Ṥudra mijil saking Bhaṭāra Brahmā // o //

Brāhma ṡāstra sataṡcaḥ, kṣatriya lokakanām,

weṡya kṛti walas sewaḥ, ṡudra pitusadewara.

Kalinganya dharma ning sang brāhmaṇa, wruḥ ring ṡāstra sarwâgama, aglěm amūjā satlas ing sarwa trayi. Mangrākṣi tang rāt, mapagěḥ ring kaprabhun, wruḥ ring rasa ning bhuwana purāṇa, dharmâji ring waiṡyā, magaga sawaḥ, mangun ing kanali dawuhan, sumuluhana tamwi kaniṣṭa madhya mauttama, atěguha ring mānuṣa sāsana, dharma ning ṡudra angarěpakěn sarwa kārya rāt mayuhakna pasar, mangěyakna kitriyasa puṇya. Mwaḥ malěpasana dana pirak, sewaka ring sang prabhu, bhakti ring sang paṇḍita, pagěha ring katuladanya, matěngěta ring waraḥ sang paṇḍita // o //

Niṣṭa makṣayoyaḥ, musiko makarasonaḥ,

krimiho manakaṡcewah, na bhuktiye narêdra ya.

Nihan kaniṣṭa mānuṣa tan wěnang taḍahěn de sang prabhu, lwirnya, tikus, kadal, ula, ulěr, wiyung // o //

Niṣṭa mangsa tabakṣanataḥ, maloka ṡatru wamena,

hinakayām dutaṡcaḥ, agoyusrām bhumi kṛmpa.

Nihan tingkah ing sang prabhu, kāla yan ajěněk aniṣṭa mangsa, makweḥ doṣa ni rāt, sang wruḥ mangawa manaḥ hina ṡakti, ilěk, prang makweḥ, usik nikang rāt // o //

Kām subhakti mahamangsām, mitawaraho mragaṡca,

matipipakpi brāhmari, wrasabo prabhu nasuwi.

Nihan sinangguḥ mangsa rahayu, kataḍaḥ de sang prabhu, lwirnya, iwak tasik, bawi burwan, mesi, wahingsa, tawon, itik, ayam, antiga // o //

Triyayo sinarning prano, dyanisawe mahabakṣo,

dewa pudyakta rasamyak, pramaṡūnya lakṣaṇām.

Tingkaḥ sang prabhu yan pataḍaha, sôpacāra pangudětan, malinggiha ring pataraṇa, pahênakěn de nira běněngěn hiḍěp ira, mwang buddhi nira, rěgěpěn i karma ni kaprabhon, mamūjā ta sira rumuhun, maswara ring dewa mwang ring sarwa bhūta, nyata manggiḥ suka sira, wīrya magöng // o //

Kanta rājaswala iti, sanggama sparmasañca,

ndrěpaṇa wikaraṇat.

Ri sěḍěng istrī brahmahatya prawaning kunang, tan wěnang sira sanggamaha. Ila-ila těměn ikā, bwat magawe wighna // o //

Twām karma sanggamām rāja, budya nirmala ya bhogyām,

nirarya subhakṣanām, pawitra karma pujām tām.

Kunang sang prabhu yan hayun prasanggamaha lāwan binihaji sakala weḥ hayu ring hěning buddhi nira kaliḥ, pawitra těměn ikā, sākṣāt mamūjā ring Sanghyang smara ikā, yan mangkana // o //

Sanggrahā prabhodanasya, akisjinda loka durbala,

makinaka wadaṡcawaḥ, agniki wimala wadět.

Sang prabhu lah anggaměla pirak, durbala ikang rāt, makweḥ pañcawala, akweḥ mala ni rāt // o //

Bhumite rapitatṛṣṭa, cakṣyuḥ sadanam ewasya,

ṡāstra waktaḥ prabhu lakṣaṇām.

Ulaḥ ira sang prabhu, tuminghala juga sira, hulun ira kakaprasadaya de ning anggaměli pirak, mangkana tang lakṣaṇa yukti // o //

Prabho mrago pakṣi asta, mukěna astakami,

loka wyangisti rogana, yuddhe sanema kenena.

Sěḍěng mahima mrěga pakṣi sang prabhu, paka ṡaraṇa ng tang anda ning mūrka nira, denya tang manggiḥ hala ni rāt // o //

Wyakti majakěn i mās pirak, těkana sakâpti nira, marapraṇan sang prabhu manmak êkacatra. Nihan guṇa ni sang paṇḍita, widhi akārya mahābhāra, tan hana lěngka rāt de nira, tan kawnang sira de ning saptopada. Matangyan sira sang widhi, pati sira tangisana, sěkungěn sira de sang prabhu, ndan mêwěḥ rāt marohara, upadrawa de ning hyang ri makweḥ sang paṇḍita, widhi patita nghing samana nambanana satan sang prabhu. Haywa lamba sewaka dharma ring sang paṇḍita karuhun balantra nira. Māsa ning tang rāt kabeḥ, paḍa prajñanya wruḥ ring sapta upāya, catur parikṣa, ngasamakanan ḍanganya, tan wruḥ ring kamahābhāran tuhun sang tětěs. Wruh ing tattwa ning bhuwana hala hayunya, sira sang paṇḍita widhi pati juga makweḥ prang, marohara tang bhuwana // o //

Hamacaro mahapati, trusbrata hayu lakṣanām,

lokena tunayanapi, pralatmanaḥ kewalaḥ.

Yan tan pacaraha sang nātha mahala-hala āmběk ring wwang kabeḥ, sama hala ring āmběk marohara tang bhuwana // o //

Bhupati pralaya samya, sarwa caro rakṣa dagdha,

hanocara wipracawi, niyata bhumi nimalaḥ.

Prayatnaha sang prabhu, prayatna ikā rāt, mapan anūt tingkaḥ sang prabhu, manutur ing āmběk yukti, apagěḥ ring dharmanya sowang-sowang, ênak tingkah ing rāt kanāna katalutuḥ ring bhuwana // o //

Bape bhakti maha paṇḍita, suwarṇa dakadiyakti,

buktwanaya wilipato, sarwa karyahām sambhawām.

Tumūt ulaḥ sang hyang sinuhun siwa putra parama daksa manuaba lāwan mantra nira, bhakti sira ring kawitan sang paṇḍita, widhi pata purih ing upadeṡa ṡāstraha ngaranya, sakumaya alah i kita, udāsīna ngaranya, aji guṇanya irikā tan wruh ing sarwa guṇa, mangigěl aṡramaha maněmbaha, kandaga, curiga, itiwa mandi, ṡucya ta sira, ṡūra ring raṇa, satya wacana, bhaktya ring sang prabhu, guṇa graham, dharma buddhi, hana pangawruḥ sira, irikā sira wadwa ngaran ira, wruh ing nāgarâṡrama, mêngěta sahilaning sang prabhu, hana wwang mūrccha, pratilya. Atwang mūrka ngaranya ring nahasya de sang prabhu tinulaknya, tan ikā tinakonakěn, irikā winarahakěnya, wetasya, ngaran makweḥ sawurnya yan pangura, wruḥ ndātan panglingkara de nira wruḥ. Matangyan sang prabhu sira haywa tan padṛwya wiku widhi pati, matangyan sih êkacakra warti. Tělas // o //

Sulinggih Pegatwangsa

Nyambung Rah Mengentaskan Sulinggih Pegatwangsa
Parama Daksa Tattva

Hana hyun Bhathara Dalem Tangsub amrêdihakên Putro Kadharman Parama Daksa Manuaba, maputro brahmana sakti, maka wênang mratistha jagat, mijil ikang kukus ring urddhà ning raga nira, mahor agni murub sagunung tiba ring têlaga noja matêmahan kundi manik mésì amrêttha kamandalu, pinrayogga dé bhatharà matêmahan ONG ngkara sandi.

Malih pinrastistha dé Bhathara Dalem Tangsub kaping sapta, mijil wong raré mêné hana mijil, héñjang héñjing luhur, brahmana rupa, maparab Parama Daksa. Mwah Bhathara Dalem Tangsub ri sêdêng ginunitta ring brahmaloka, tan pasah làwan antên ira Jro Iti, marêk ring jêng Bhathara Brahma Wisnu Iswara, hinastwakên dé bhathara, padha rumaksa jagat, raksa rumaksa bhathara, padha kanugrahan amratisha bumi, kanugrahan dé Bhathara Guru salwiring sastra sarodrêsthi, manggêh angamêl jagat.

Siwa sasanà, wrêti sasana, brati sasana, rêsi sasana, brahma pùrwwana tatwa, brahma pùrwwangsa, kutaramanawa, bramokta, slokantara, pùrwwa tatwa, makwéh yan ucapên pidartanya, samapta wruh ring kawyañana sàrwwa wéda mantra pujà puji salwiring pinujà sakti wruh ring idhêp sàrwwa jagat. Padha lumaku tan anampaksiti, ling Bhatara Dalem Tangsub ring tanaya nira makabehan.

Kinwan Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba juga mratistha bumi, rumaksa jagat, samangkanà niti Bhathara Dalem Tangsub, tan sinanggan wacana bhathara, pisan sadulur samapta nugraha bhathara, padha rumaksa jagat, padha mratistha bumi, maraga Sanghyang ékabwan, tunggal rasa ning gumi, tunggal panes tis ing jagat, tunggal nayà, tan byapara jagat.

Pinisinggih dé Bhathara Dalem Tangsub, ingaranan sang wiku rakawi, hana panresthian ira ping kawulu abhiseka Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba Ingaranan aprayoga ing Kahyangan Dharma Smerti, padha sinung anugraha amuja-muja parikramà ning pinuja. Ri kalà sira jumênêng ring Teguhwana Bangkasa, sira Hyang Sinuhun amratistha wwang mati urip, laksana katon dé nira sang wiku rajakrêtha sàrwwa atma angucap-ucap ring sang guru.

Hana hyun Bhathara Hyang Sinuhun amrêdi putra sakti dharma pawitra, sàrwwa rum, dharma ring kaparamarthan, mapaulah ring akasa. Mwah mrêddhi putra, dharma sakti asih sàrwwa bhutha, mapaulah ring sor, mangkanà hyun Bhathara Hyang Sinuhun. 

Mwah tata kramaning satriya mét brahmàni maka strinya, yan kawêkasan kari satriya ika manak gumanak manih polih ngalap brahmana ping lima mulih dadi brahmana wangsa, pradana purusa wênang ngaba wangsa sor singgih, kadi pritiwi munggah dadi prasadhà, mangkana ilang malanya.

Yan brahmana mét pegatwangsa, tan nyambung rah, gumanak, ping , 7, ri treh ping 3, tan nyambung rah, satriya wangsa manih, têdas kabrahmananya, mangkana ling nitisastra. Parama Daksa Tatwa. Yan hana wangsà brahmàna nyambung griya, kadol, tinuku olih sudra, wêkasan mati sang nganuku, sudra ikà, tur tan pasantanà, sang katuku brahmànà ika, kumàlili réh amisésa kakarén sudra ika sami, tan misinggih samêton kalian rawosang guru wisésa, kêdêh maprih kasukan, patita wangsa, nga, brahmana ikà, têka wênang pêgatin masasana, tunggal basa parikramà, santanu putra sudra wang ika. 

Haywa andadi brahmana mwah dé sang ratu, sapratisantana nira wêkasan, yan anggénin pawitran gumi sanga ikang rat, mangkana palanya. Malih tata kramàning wiku, céda kalokéng rat, lwirnya céda tan katon ; loba moha mùrka, matsarya. Cédangga katon ; mala, kustha, ilà, kucihangga, gondong, képék, déyog rumpuh, tan wênang mratistha sawa, palanya tan kaparisuddhà lêtuh ning atma.

Manih hinênggah patita walaka, bot layaran, wanija karma, mamañjak ring pandé mas, undagi, jagal, ring wang amdêl, mamañjak ring amorong tangan, mangkana patita pegatwangsa ngaranya.

“Walaupun Sulinggih sebagai Dewaning Sekala, namun tidak menuntut kemungkinan Sulingih itu salah,” ujar Ida Sinuhun Siwa Putri Pawama Daksa Manuaba. Beliau menyebutkan harus ada tiga B-nya di antaranya Bibit, Bebet dan Bobotnya. Artinya Sulinggih itu harus datang dari bibit yang jelas (Ibu bapak dari keluarga Brahmana/Pandita). Kemudian untuk bebetnya calon Sulinggih semestinya siap sebelum melaksanakan kesulinggihannya tersebut dan bobotnya adalah dimikili setiap orang yang akan mau belajar tentang Weda ini.

Dalam Lontar Siwa Sesana diterangkan jika seorang Sulinggih tidak melengkapi hal tersebut maka dia tidak boleh melaksanakan kegiatan kesulinggihannya secara penuh. Juga jika calon sulinggih yang belum mempunyai Putra Purusa juga belum boleh muput karya agung.

Seperti apa yang dialami oleh Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba sendiri, dalam menjalankan sasana kapurusan selanjutnya. Namun beliau memiliki adik untuk tetap nyambung griya dan atau ngelimbakang griya serta beliau juga memiliki anak yang disiapkan untuk nyambung rah. Namun beliau mengetahui hal tersebut sangat berat mengentaskan sulinggih pegatwangsa untuk menuju arah brahmana jati. Menurut beliau sesuai dengan bhisama Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba keduanya diperbolehkan madiksa, namun memiliki keterbatasan dan tujuan yang sangat beda antara nyambung griya dan atau ngelimbakang griya dengan nyambung rah itu sendiri.  

Dalam Wrespati Tatwa :

Ida Bhatara Wraspati punya anak bernama Sang Kaca. Sementara di dunia ada Bhagawan bernama Bhagawan Sukra. Beliau mempunyai kelebihan yakni mampu menghidupkan orang.  Bhagawan Sukra ini adalah Bhagawan-nya para raksasa. Nah untuk menjadi muridnya Sang Kaca harus bersusah payah. Entah itu disuruh nyabit, membersihkan sawah, punduk sawah dan lain sebagainya. Selama berguru ini, ternyata pihak raksasa tidak setuju alias tidak suka dengan Sang Kaca ini karena begitu ngototnya ingin belajar.

Berkali-kali Sang Kaca ini dibunuh oleh para raksasa ini, namun berkat kesaktian Bhagawan Sukra, hiduplah lagi  Sang Kaca. Berkali-kali hal ini terjadi.

Pada suatu kejadian lain lagi, upaya untuk membunuh sang Kaca ini berubah. Raksasa membuat masakan besar mebat besar dengan membuat Lawar beraneka ragam. Dan ternyata lawar ini adalah berasal dari dagingnya Sang Kaca. Karena begitu setianya dengan Sang Bhagawan maka dihaturkanlah lawar ini ke griya.

Sejak sore Bhagawan kebingunan mencari Sang Kaca ini, dan pas malam harinya, dia merasa aneh dengan lawar yang dimakannya dan ketika ditanya, ternyata memang benar Sang Kaca sudah ada di dalam perut sang Bhagawan.

Di sinilah akhirnya kesaktian Bhagawan Sukra didapatkan oleh Sang Kaca. Sang Kaca disuruh merapalkan mantra pengurip. Dan setelah hafal, dia disuruh keluar lewat perut Sang Bhagawan. Setelah mantra matang dipelajari keluarlah sang Kaca dengan membedah perut Sang Bhagawan. Sesuai amanat, Sang Kaca pun  menghidupkan Sang Bhagawan lagi.  Dari sanalah muncul kenapa sulinggih tidak boleh mabuk, dan makan daging Babi. 


SESANA SANG DIKSA DWIJATI

Diksa Dvijati utawi Wiku / Pandita / Sulinggih ring agama Hindu ring Bali pinaka rohaniawan sane dahat kasuciyang linggihnyane, dwaning kasinanggeh sampun maraga suci. 

Ngulati Kawikon punika, nenten wantah kedasarin antuk pengetahuan miwah kasulukan pikahyun utawi sangkaning pinunas sisya kemanten, nanging patut kategepin antuk sila-sila sane nyihnayang sang calon diksha patut sehat/waras jati mula/lahir bathin miwah nenten cedangga, patutbmeparilaksana sane becik, selantur ipun taler pacang ketatasan malih olih para janane / masyarakat sami. 

Sila utawi kasusilan punika wantah marupa dasar sane pinih utama, tur kategepin antuk sesana, tata susila, silakrama, keanggehang sakeng kahuripane sane serahina-rahina pinaka untengnyane. Puniki sane dados dharma tetimbang sakeng calon Guru Nabe, sadurung jagi nyuciang calon nanak utawi sisya dados dwijati. 

Ring sajeroning sesana kawikon paiketan sisya kelawan nabe wenten sesana silakrama aguron-guron sane nenten dados kepasahanang manut kecap: "swargan sisya – swargan nabe, nerakan sisya – nerakan nabe”. 

Artosnyane tan patut utawi piwal (jele / melah) pidabdab sisya, jagi mekantenan tan taler patut ring linggih nabe. 

Paiketan “paguron-guron (kapurusan miwah garis parampara) ” inggih punika bratha (disiplin) lan kepatuhan sisya punika nenten wantah ring nabe kemawon, taler patut ring Guru Patni (Istri nabe), Guru Putra (putra nabe), Guru Wesi (cucu nabe) miwah Sanak Sandekan (Semeton ring dharma nabe / para wiku seperguruan).

Padiksan punika pinaka lanturan acara Rsi Yajna sekadi : mawinten (ngadegang pemangku / ekajati); pawintenan munggah bhawati (memasuki dunia brahmana); lantur madiksa upacara madvijati (sakeng walaka dados wiku / panditha / sulinggih); ngawangun parhyangan / kusala, madana punya ring sulinggih, tegep ring ajaran-ajaran sang acharya / para sulinggih utawi calon sulinggih).

#tubaba@griyangbang#

MARAHLAH UNTUK KEBAIKANMU

Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba, dulu pernah mengatakan, luapan kemaraha seseorang setelah mewinten sebenarnya hal-hal atau atmosfer negatif di dalam tubuh sang mewinten baru bereaksi dengan apa yang dia pelajari dari ajaran agama. Ida Sinuhun mengatakan, dalam semua agama, Tuhan merupakan sosok yang pengasih, penyayang, dan juga pengampun. Namun, Tuhan juga sering memberi hukuman kepada manusia yang berbuat dosa.

Apa kita bilang, Tuhan, Kau kan penyayang dan pengampun, tetapi kenapa hukum saya?. Nah saya melihat bahwa Itulah keadilan.

Agar keadilan sosial bisa tercapai, butuh ada hukuman-hukuman bagi orang yang berbuat salah.

Tapi yang titiang tahu, yang ga boleh itu kalau seseorang marah sepanjang hari, nanti bisa kena struk. Tetapi kalau marah dalam hal yang pantas membuat marah, dewa pun bisa marah. Kita punya sifat marah karena dari sananya. Marah itu ada baiknya sebenarnya. Titiang meyakini hal itu baik asalkan tidak dilakukan secara berlebihan.


#tubaba@marah//untuk sebuah kewajiban#


Kamis, 22 April 2021

BANTEN PIODALAN

BANTEN PIODALAN


Terdiri atas 4 tingkatan yaitu :
1. Tingkat Sayut Pengambiyan
2. Tingkat Udel Kurenan
3. Tingkat Pregembal
4. Tingkat Bebangkit


1.     ODALAN TINGKAT SAYUT PENGAMBIYAN
-         1 dulang gebogan jaja uli, begina, satuh, tape, dll
-         1 dulang buah-buahan
-         1 dulang rayunan dan ulam dalam takir-takir
-         Sayut banten
-         Pengambyan
-         Peras
-         Sodan dan 1 tanding ketupat (anaman) kelanan
-         Dapetan
-         Sesayut Sidakarya
-         Sesayut Sidapurna
-         Sesayut Ibu sugih
-         Pekumel
-         Prayascita
-         Arak,berem,asep
-         Canang, kwangen, bunga

Banten yang munggah  di pelinggih Ida Betara :
-         Banten danan
-         Pejrimpenan
-         Sodan pekideh
-         Canang
-         Segehan


 2.      ODALAN TINGKAT UDEL KURENAN
-          1 soroh suci
-          1 jrimpen
-          Sayut banten
-          Pengambyan
-          Peras
-          Sodan + ketupat kelanan
-          Dapetan
-          Penyeneng
-          Udel
-          Kurenan
-          Guru
-          Pengiring
-          Pengapit
-          Sesayut Sidakarya
-          Sesayut Sidapurna
-          Sesayut Ibu sugih
-          Sesayut sri sedana
-          Sesayut gunung Raun
-          Penyeneng gede
-          Gebogan buah
-          Gebagab jajan uli, begina
-          Jajan seserodan
-          Gebogan jajan basah
-          Gebogan ajengan dilengkapi dengan ulamnya
-          Pekumel bhatara
-          Lis
-          Prayascita
-          Canang, bunga, kwangen
-          Arak, berem, air, tirta asep dan pasepan

Banten yg munggah di pelinggih-pelinggih Ida Betara :
-          Daksina linggih
-          Banten danan
-          Jrimpenan
-          Yang penting-penting dapat munggah lekah
-          Sodan pekideh
-          Canang, pasucian
-          Segehan

Banten yang munggah di pelinggih Ida Betara Surya :
-          Banten pejati
-          Peras
-          Sodan + tipat kelanan
-          Daksina

 
3.      ODALAN TINGKAT PREGEMBAL
-          1 soroh suci
-          Pregembal dan tatakannya
-          Tempeh mesrobong
-          Paso masrobong
-          Pepletikan
-          Sayut banten
-          Pengambyan
-          Peras
-          Sodan + tipat kelanan
-          Dapetan
-          Penyeneng
-          Udel
-          Kurenan
-          Guru
-          Pengiring
-          Pengapit
-          Ancak
-          Bingin
-          Ungang
-          Tagog
-          Bulakan
-          Pancoran
-          Pengebek
-          Tebasan Giri Kencana Muka
-          Tebasan Betel Tingal
-          Tebasan Merta Sari
-          Sesayut Sidakarya
-          Sesayut Sida Purna
-          Sesayut Ibu sugih
-          Sesayut Munggah Tapa
-          Sesayut Ider Buana
-          Sesayut Pegoyan
-          Sesayut Mertha Dewa
-          1 soroh penyeneng gede
-          1 bh jerimpen
-          1 soroh lis senjata
-          1 pekumel
-          1 soroh prayascita
-          1 gebogan jaja uli, begina, tape, satuh dll
-          1 dulang jajan seserodan
-          1 gebogan jajan basah, lapis , bikang, bantal dll
-          1 gebogan buah-buahan
-          1 pajeg rayunan/ulam ebat-ebatan dan rerasmen dalam takir-takir
-          Canang, bunga, kwangen
-          Arak,berem, air dan asep
-          Segehan
-          Ulam banten (hiasan sesate yg ditusukkan pada 1 bh kelapa yg masih ada sabutnya)

Banten di panggungan
-          Tingkat Udel Kurenan
-          1 sorohan
-          3 soroh sesayut
-          1 buah penyeneng gede


Banten yg munggah di Surya
-          Daksina linggih
-          1 soroh suci
-          Peras
-          Sodan + tipat kelanan
-          1 bh kelapa muda gading
-          1 tamas seserodan
-          1 tamas janur sancak
-          Banten danan
-          Pejrimpenan
-          Canang aturan

Di pelinggih Bhatara yg utama :
-          Daksina linggih
-          1 soroh suci
-          Banten danan
-          Pejrimpenan
-          Sodan pekideh + tipat kelanan
-          Canang pasucian

Di pelinggih yg lainnya – bawahan
-          Daksina linggih
-          1 soroh lekah
-          Banten danan
-          Pejrimpenan
-          Sodan pekideh + tipat kelanan
-          Canang pesucian
 

4.      ODALAN TINGKAT BEBANGKIT
-          2 soroh suci
-          1 soroh pregembal
-          2 soroh tempeh mesrobong
-          2 soroh paso masrobong
-          1 soroh pepletikan
-          1 soroh tanem tuwuh
-          1 bebangkit dengan tatakannya
-          1 soroh bebangkit
-          1 daksina gede
-          1 sorh jejeg urip
-          1 soroh sayut agung
-          1 pemugbug tumpeng lima
-          1 guru agung puncak manik
-           1 tumpeng tunjang langit
-          1 soroh banten guling
-          1 tunggul ulam bebangkit
-          1 soroh gelar sanga
-          2 soroh pengebek
-          2 soroh sayut banten
-          2 soroh pengambyan
-          2 soroh peras
-          2 soroh sodan + tipat kelanan
-          2 soroh dapetan
-          2 soroh penyeneng
-          2 soroh banten guru
-          2 soroh banten udel
-          2 soroh banten kurenan
-          2 soroh banten pengapit
-          2 soroh banten pengiring
-          1 soroh banten ancak
-          1 soroh banten bingin
-          1 soroh banten ungang
-          1 soroh banten tagog
-          1 soroh banten bulakan
-          1 soroh banten pancoran
-          Tebasan Giri Kencana Muka
-          Tebasan Betel Tingal
-          Tebasan Mertha Sari
-          Tebasan Gunung Raun
-          Sayut Sidakarya
-          Sayut Sida Purna
-          Sayut Ibu Sugih
-          Sayut Pagoyan
-          Sayut Sri Sedana
-          Sayut Candra Geni
-          1 soroh penyeneng gede
-          1 jrimpen
-          1 gebogan buah-buahan
-          1 gebogan jaja
-          1 tamas jajan saserodan
-          1 gebogan jajan basah
-          1 pajeg rayunan dan ulam ebat-ebatan
-          1 soroh lis senjata
-          1 soroh pekumel
-          1 soroh prayascita
-          Canang, bunga, kwangen, bija, tirta
-          Segehan

Banten yang munggah di panggung :
-          1 soroh pregembal lengkap
-          3 soroh banten sesayut
-          1 soroh-sorohan dll

Banten yg munggah di Surya :
-          1 bh kelapa gading yg di kasturi
-          Daksina linggih
-          Pesucian
-          1 soroh suci
-          Banten danan dan pejrimpenan
-          1 soroh pejati
-          1 tamas seserodan
-          1 tamas sancak
-          Dewa-dewi

Banten yg munggah di sor Surya :
-          1 soroh pejati
-          1 soroh glarsanga

 Banten dihadapan Ida Sulinggih mapuja
-          1 soroh suci
-          1 tamas seserodan
-          1 soroh pejati dg sesari
-           1 besek buah-buahan
Dihaturkan sesudah selesai upacara

Minggu, 18 April 2021

Niti Sastra

Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Namah. 

Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka karena diambil dari berbagai sumber informasi, yang mungkin kurang tepat. Om Tat Pramadat Kesama Swamam. Om Santih Santih Santih Om

Niti Sastra Sargah 5

Kusuma wicitra ooo/o- -/ooo/o-o// 

Niti Sastra Ayat 1
Taki-takining sewaka guna widya.
Smara – wiṣaya rwang puluh ing ayusya.
Têngah i tuwuh san-wacana gêgön-ta.
Patilaring atmeng tanu pagurokên.
Seorang pelajar wajib menuntut pengetahuan dan keutamaan. Jika sudah berumur dua puluh tahun orang harus kawin. Jika sudah setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik. Hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru.

Niti Sastra Ayat 2
Dhana phalaning mona tan angucap wwang.
Ikang agalak ring waca nêmu duhka.
Ikang umênêng lyab dhana ya matumpuk.
Damar uga himpêrnikang açabda.
Harta adalah buah dari pada berdiam diri, tidak bercakap-cakap. Barang siapa yang terlampau hebat cakapnya, akan berduka-cita. Sifat yang pendiam, akan mendapat harta-benda bertimbun-timbun. Orang yang tidak suka bercakap-cakap adalah sebagai pelita.


Niti Sastra Ayat 3
Waṣita nimittanta manêmu laksmi.
Waṣita nimittanta pati kapangguh.
Waṣita nimittanta manêmu duhka.
Waṣita nimittanta manêmu mitra.
Oleh perkataan engkau akan mendapat bahagia. Oleh perkataan engkau akan mendapat kesusahan. Oleh perkataan engkau akan mendapat kesusahan. Oleh perkataan engkau akan mendapat sahabat.

Niti Sastra Ayat 4
Masêpi tikang waktra tan amucang wwang.
Masêpi tikang wecma tan ana putra.
Masepi tikang deca tan ana mukya.
Sêpinikanang try āpupul ing anartha.
Sepi mulut yang tiada memakan sirih. Serba sepi rumah yang tiada kanak-kanaknya. Serba sepi desa yang tidak ada kepalanya. Tiga “kesepian” itu dijadikan satu terdapat pada orang yang tiada beruang.

Niti Sastra Ayat 5
Lwiring awalā tinggalakêna denta.
Krêpana daridreka rêsêb awaknya.
Swaranika māwor drawa kamadhatri.
Agalak açabdāghrêṇa ya mapunggung.
Orang perempuan yang tidak layak diperistrikan ialah : yang miskin, yang berbau badannya, yang parau suaranya, mengeluarkan darha putih, tidak ada ucapannya, tidak berperasaan dan bodoh.

Niti Sastra Ayat 6
Lwiring awalā yogya pinaka patni.
Wara-guna rūpādhika kula dhāni.
Mapes ikang ambêk ghrêṇa ya suçilā.
Kadi panedengning kusumawicitra.
Yang pantas diambil jadi istri ialah orang perempuan tinggi budinya, elok rupanya, keturunan orang baik-baik, lemah lembut hatinya, halus perasaannya, baik perangainya seperti kusuma wicitra yang sedang kembang.

Sabtu, 17 April 2021

Iki Pawarah Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba


Om Swastyastu
Om Awignam Astu
Pangaksamaning ulun Ripada Batara Hyang Sinuhun, Sang gunelaring Sarining Ong Kara Mantra, Reda ya Nirmalayem, Muah ri Sang Sida Yogiswaranem, siraya Anugraha ring hana Wakya, ripurwa ira Sang wus lepas, luputing Mami ring tulah pamadi, Mwang sawigrahana mala petaka, tan kataman upadrawa,Denira Betara Hyang Mami, Wastu kita pari purna, lan anemu aken ayu, Dirgahayu-dirgayusa,ri purwa kala caritan.

"Kamung Pasek mwang Pretisentana Panca Rsi-Sapta Rsi, aywa lupa ring, kahyangan makadi ring Lempuyang, ring Besakih, ring Silayukti, Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana mwang Kahyangan Dharma Smerti ring Pundukdawa. Yan kita, lupa ring kahyanganta, wastu kita tan anut ring apasanakan, tanwus amangguh rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, tan wus amangguh rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan, mangkana, piteketku ring parati santana Sang Panca Rsi-Sapta Rsi, kapratisteng prasasti, Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba, kojara de kita prasama, kita tan wenang piwal ring piteketku, ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali.

"Mwah yan kita pageh ring piteketku, moga tan wus kita amanggihana dirgayusa, amanggih wirya gunamanta, sidhi ngucap, jannanuraga asihhing Hyang, dibya guna, susila weruhing naya, mangkana cihanyeng lepihan"

Artinya:

Kamu Pasek dan Keturunan Panca Rsi-Sapta Rsi, jangan lupa dengan kayanganmu yang ada di Lempuyang (Lempuyang Madya), Besakih (Ratu Pasek), di Silayukti, Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana mwang Kahyangan Dharma Smerti di desa Pundukdawa. Kalau kamu lupa dengan kayanganmu, akibatnya kamu cekcok dalam keluarga, tidak henti-hentinya menemui keresahan, selalu sengketa dalam keluarga, banyak melakukan pekerjaan tetapi kekurangan makanan. Demikian amanatku kepada keturunan Sang Panca Rsi-Sapta Rsi, tercantum dalam prasasti, agar dijunjung olehmu sekalian. Kamu tidak boleh menyimpang dari amanatku (Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba), sangat berbahaya, jangan lalai, dan jangan mengabaikannya”.

"Bila kamu taat kepada amanatku, moga-moga kamu senantiasa berada dalam keselamatan, keberanian, kekuatan, serta budiman, sakti dalam kata-kata, termasyur, dikasihi oleh Hyang Maha Kuasa. Mulia dan pandai, bertingkah laku yang baik, dan menguasai ilmu kepemimpinan. Demikian tersebut dalam prasasti”.

Rengonakna pewarahku ri kita kabeh, manira agya turun ring Parhyangan Pundukdawa. Pomo kita pretisentana Sang Panca Rsi, Sapta Rsi tunggil kawitan, aja kita predo, apan ingsun anaking Bhatara Ghana, mijiling Bukit Pundukdawa, aparab aku Bhatara Hyang Sinuhun, amukti kawi weruhan tingkahing manusa tataning Parhyangan Pundukdawa, Ida Bhatara Mpu Gana ring angen, ring sapanku.

Iki Bhujanggane ring Parhyangan Pundukdawa, kengetakne ring gegaduhaning Panditha duke nguni maring Dasar Bhuwana Gelgel, among jiwa Kapasekan wenang raksanta kabeh. Ri tithi kamoksan mwang linging rwa bhineda, sarining nirbhana sunya, tekening nirbhawa yasa, tattwaning astha brata kabeh, putusing Kapandithan. Ayuwa lipa ring pawarahku:

Santananku sedaya yan kita patita, numadi Arya, manadi Tani, manadi Citra penuh.
Wekasan santananku kita sedaya yan hana menonton manira, tan katindihing sastra, dudu sentahannku.
Yan hana santana kasantanan amurug lingku, mogha amungpang laku, kweh prabedhanya, hana kene hana keto. Salwir wedha japa tampu, mur sah hilang. 
Mwang wilasaning dharmaning Pandita, tan dadi kemuting rajah tamah, tan dadi rumaketing pancendrya, tan dadi temung artha, mwang irsya yukti, tanggak iri hati ginawe ambek krodha.
Ika dharma Sang Janna nuraga maring jagat, salwir waknya sidhi mandi.
Yan ana wong alpaka ambeknya. Kena kabhjra de Ciwa sidhi ajnanan manira Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba, mangkana kenget akne manira mawarah.
Wastunya kita pretisentana Sang Panca Rsi, Sapta Rsi, yan kita lali maring Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana kalawan Kahyangan Dharma Smerti manira, nora kita tang abhakti swenya dasa temwang, moga kita anemu kesasar, wastu kita tan manadi janma mwah.
Kita Pasek, Bendesa lawan pretisentana Sang Panca Rsi-Sapta Rsi, sapan ingsun ping tiga, kita sadaya segenahta eling akena piteketku nguni, awya kita pegat akadang, purusantha sembahen, asanak misan ming ro, wenang kita eling ring bhisama, bhakti ring kawitan, guyub ring pasemetonan, wenang kita saling sumbah, apan kita tunggil, mangkana.


SEKILAS SILSILAH HYANG PASUPATI

IDA HYANG PASUPATI
Maputra Pepitu;
Hyang Pasupati Berputra 3 berdasarkan Prasati Arya Wang Bang Pinatih dan Prasati Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi:
1. Ida Hyang Geni Jaya (Lempuyang Luhur)
2. Ida Hyang Putranjaya (Gunung Agung)
3. Ida Dewi Danuh (Ulun Danu Batur)
Make tetiga niki Tri Purusa sane nyentanayang semeton Bali sami

4. Ida Hyang manik Gumawang (G Beratan/Mangu)
5. Ida Hyang Tumuwuh (G Watukaru)
6. Ida Hyang Tugu (G Andakasa)
7. Ida Hyang Manik Galang (Pejeng)

IDA HYANG PUTRANJAYA
maputra
1. Bhatara Ghana
2. Bhatari Manik Gni

IDA HYANG GNI JAYA
maputra
1. Mpu Withadarma/Sri Mahadewa

Sri Mahadewa meputra
1. Mpu Bhajrasatwa/Wiradharma
2. Mpu Dwijendra/Rajakertha

Mpu Dwijendra maputra
1. Gagaking
2. Bubuksah
3. Brahmawisesa

Brahmawisesa maputra
1. Mpu Gandring
2. Mpu Saguna

Mpu Saguna menurunkan
1. Warga Pande

Mpu Bajrasatwa menurunkan
1. Mpu Tunuhun (Mpu Lampita)

Mpu Tunuhan meputra Panca Tirta/Panca Resi/Panca Pandita:
1. Mpu Gnijaya,
2. Mpu Semeru,
3. Mpu Gana,
4. Mpu Kuturunan (yang membawa lontar-lontar ke Bali) dan
5. Mpu Baradah

MPU GNI JAYA
meparahyangan ring Lempuyang Madya, menurunkan Sapta Rsi yang sudah samasama kawin dan berumah tangga dijawa, kemudian masing-masing memiliki keturunan.

1. Mpu Ketek mempersunting putri Ki Arya Padang Subadra, berputra dua orang lakilaki yaitu Sanghyang Pemacekan dan Arya Kepasekan. Sanghyang Pemacekan juga berputra 2 orang, yang pertama Mpu Pemacekan kemudian pergi ke Pasuruhan, lalu pindah ke Majapahit. Putra yang kedua adalah seorang putri bernama Ni Dewi Girinatha. Sedangkan Arya Kepasekan juga mempunyai 2 orang putra yaitu : Kyayi Agung Pemacekan dan Ni Luh Pasek. Mpu Pemacekan di Majapahit mempunyai 3 orang putra yakni Ni Ayu Ler, Mpu Jiwanatha dan Arya Pemacekan. Kemudian Kyayi Agung Pemacekan berputra 2 orang yaitu Kyayi Pasek Gelgel dan Kyayi Pasek Denpasar. Mpu Jiwanatha mempunyai putra Kyayi Agung Padang Subadra, lebih lanjut Arya Pemacekan mempunyai putra Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pemacekan. Kyayi Agung Pemacekan berputra Kyayi Agung Pasek Subadra dan Kyayi Pasek Tohjiwa. Kedua putra beliau ini berperan pada awal jaman Kerajaan Gelgel. Seterusnya Kyayi Agung Pasek Subadra berputra Pasek Subadra menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Suladri, ia berasrama di Taman BaliBangli. Dan yang terkecil adalah Pasek Kuru Badra. Kemudian Kyayi Pasek Tohjiwa berputra; Pasek Tohjiwa menjadi tabeng wijang Kerajaan Gelgel, adik-adiknya adalah Pasek Tanggun Titi, Pasek Penataan, Pasek Antasari, Pasek Alas Ukir, Pasek Langlang Linggah, Pasek Besang, Pasek Duda, Pasek Wanagiri, Pasek Medaan, Pasek Bantiran, Pasek Pupuan dan Pasek Sanda. Sedangkan Pasek Subrata menurunkan Pasek Subrata Bale Agung, De Pasek Sadra, De Pasek Tawing dan De Pasek Mubutin. Dukuh Suladri di pesraman Tamanbali menurunkan I Gde Pasek Sadri, Pasek Sadra yang menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sakti Pahang, Ni Luh Sadri diperistri oleh Sri Angga Tirtha Ksatrya Tirtha Arum. Luh Sadra diambil oleh Dalem De Madya.
Sedangkan Pasek Kuru Badra menurunkan Pasek Padangrata di Padang. Pasek Subadra Bale Agung menurunkan De Pasek Subrata menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Sidawa menurunkan Gde Pasek Tulamben di Tulamben. Selanjutnya Dukuh Sidawa menurunkan Wayan Sibetan, Made Desa, Wayan Tubuh, De Pasek Subrata, Ia ikut pembrontakan I Gusti Agung Maruthi. Dukuh Sakti Pahang menurunkan Ni Luh Pasek Sadri dikawini oleh Kyayi Agung Anglurah Pinatih, yang kedua De Pasek Pahang, ia menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Titi Gantung, ia yang memperlihatkan kesaktiannya kepada Anglurah Pinatih Kasiman, sehingga akhirnya Anglurah Pinatih Kesiman mengungsi ke Desa Minggir daerahKarangasem, putra Dukuh Sakti Pahang yang ketiga adalah Pasek Sadri. Dukuh Titi Gantung menurunkan 3 anak yaitu Gurun De Pasek Sadra menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sampaga, putra yang kedua Gurun Made Sadri, sedangkan yang ketiga Gurun Nyoman Sadriya dan yang paling kecil bernama Dukuh Bukit Salulung. Dukuh Sampaga menurunkan dua putra yaitu Made Pacung Mengwi, dan yang kedua Pasek Munggu yang bergelar Dukuh Sampagi.
Sekian banyaknya keturunan Mpu Ketek, mereka masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Tohjiwa, Pasek Tangguntiti, Pasek Padang Subadra, Pasek Wanagiri, Dukuh Sakti Pahang, Dukuh Sampaga, Dukuh Sampagi, Dukuh Bukit Salulung sebagai jati dirinya, sebagai pertanda keturunan Mpu Ketek.

2. Mpu Kananda menikah dengan putri Mpu Swethawijaya, berputra seorang laki-laki bernama Sang Kuldewa. Sesudah menempuh acara dwijati, sang Kuldewa bergelar Mpu Swethawijaya, sama namanya dengan kakek dari Pradhana (pihak perempuan). Mpu Sweta Wijaya berputra 3 orang yaitu : Sang Kulputih yang tertua bergelar Mpu Dwijaksara. Beliaulah yang menyusun pegangan “Seha” atau “Anteban” buat para pemangku di Bali. Pustaka suci ini bernama “Sang Kulputih”, putra yang kedua bernama Mpu Wira Sang Kulputih pergi ke Pasuruhan. Putranya yang ketiga bernama Ni Arya Swani. Mpu Wira Sang Kulputih berputra Ni Luh Sorga dan Ki Dukuh Sorga, ia pergi ke Bali. Inilah yang menurunkan para Pemangku Kulputih di Besakih. Demikianlah keturunan Mpu Kananda yang mempergunakan pungkusan Pasek Sorga.

3. Mpu Wiradnyana menikah dengan putri Mpu Panataran berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha. Beliau berasrama di hutan Tumapel, beliau berputra Mpu Purwa dan Ken Dedes. Ken Dedes dipersunting oleh Tunggul Ametung sebelum akhirnya dikawini oleh Ken Arok setelah dapat mengalahkan Tunggul Ametung, inilah yang menurunkan Raja-raja Jawa selama 4 Abad. Mpu Purwa berputra Arya Tatar dan Ni Swaranika. Arya Tatar pindah ke Bali dan mempunyai putra yang diberi nama Ki Gusti Pasek Lurah Tatar dan Ni Rudani. Ki Gusti Pasek Lurah Tatar menurunkan De Pasek Tatar yang kemudian menurunkan Pasek Tatar di Bali. Pungkusan Pasek Tatar di Bali dengan keturunannya yaitu Pasek Penataran, Pasek Tenganan, De Pasek Mangku Bale Agung, Pasek Bale Agung Buleleng dan Pasek Pidpid. Sekian banyak keturunan Mpu Wiradnyana masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Penataran, Pasek Tatar, Pasek Telengan dan Pasek Pidpid.

4. Mpu Withadarma mengawini putri Mpu Dharmaja berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiradaharma, beliau menjabat sebagai Raja di Bali antara tahun 1343-1350 Masehi sebelum Adipati Kresna Kepakisan datang ke Bali, didampingi oleh patihnya yaitu Kyayi Padang Subadra.
Kyayi Bendesa Mas hanya mempunyai putri-putri saja, oleh karena itu beliau tidak mempunyai keturunan. Sedangkan yang banyak menurunkan adalah Kyayi Agung Pasek Gelgel dan Bendesa. Sekarang keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel yang berleluhur Mpu Withadharma tersebar di seluruh Bali, termasuk “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapratisentannya merupakan keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Demikianlah banyaknya keturunan Mpu Withadharma, masing-masing memakai nama Pasek Gelgel, Pasek Bandesa, Pasek Tangkas, Pasek Dukuh Bungaya dan Pasek Dukuh Subandi.

5. Mpu Ragarunting kawin dengan putri Mpu Wiranathakung berputra seorang lakilaki bernama Mpu Wirarunting alias Mpu Paramadhaksa. Mpu Paramadaksa pergi ke Pasuruhan, lalu kemudian ke Majapahit. Di sana beliau berputra Mpu Wira Ragarunting dan Ni Ayu Wira Ragarunting, Ni Ayu Wira Runting.
Mpu Wira Ragarunting menurunkan De Pasek Lurah Kabayan, De Pasek Lurah Tutuwan, De Pasek Lurah Salahin. Ketiga putra-putri ini pergi ke Bali. De Pasek Lurah Kabayan menurunkan De Pasek Lurah Kabayan Wangaya dan De Pasek Kabayan Penebel. De Pasek Lurah Tutuwan kawin dengan Gunaraksa, putri Arya Timbul. Ia diputusi keluarga oleh saudara-saudaranya karena menyembah Arya Timbul alias Arya Buru, putra Prabhu Airlangga dengan seorang gadis gunung. Pasek Lurah Tutuwan ini berputra I Made Bendesa Banjar Crutcut. De Pasek Lurah Salahin menurunkan De Pasek Salahin Tojan. De Pasek Salahin Tojan menurunkan Bandesa Simpar, selanjutnya De Bandesa Simpar menurunkan I Wayan Kabayan Tulamben.
Demikianlah keturunan Mpu Ragarunting tersebar di Bali dengan pungkusan masing-masing diantaranya Pasek Salahin, Pasek Kubayan dan Pasek Tutuwan.

6. Mpu Prateka mengambil putri Mpu Pasuruan, berputra seorang laki-laki bernama Mpu Pratekayajna.
Mpu Prateka berputra seorang yaitu Mpu Pratekajnana atau disebut pula Mpu Pratekayadnya, beliau juga pergi ke Pasuruhan. Disini Beliau berputra Sang Prateka, Ni Ayu Swaranika dan Ni Ayu Kamareka. Sang Prateka berputra De Pasek Kubakal, ia kembali ke Balidan menurunkan De Pasek Pasaban, De Pasek Rendang, De Pasek Nongan, De Pasek Prateka Akah, Ki Dukuh Gamongan dan Ki Dukuh Blatungan. Ki Dukuh Gamongan menurunkan Ki Dukuh Gamongan Sakti dan Ki Dukuh Prateka Batusesa. Sekianlah keturunan Mpu Preteka masing-masing dengan pungkusan Pasek Prateka,Pasek Kubakal dengan pusat di Kubakal – Rendang, Pasek Dukuh Gamongan, Pasek Dukuh Belatung dan Pasek Nongan.

7. Mpu Dangka menikah dengan putri Mpu Sumedang, berputra seorang laki-laki bernama Mpu Wiradangkya.
Sama halnya dengan Mpu Prateka, Mpu Dangka juga sedikit pratisentananya, beliau berputra seorang yaitu Mpu Wira Dangkya, beliaupun pergi ke Pasuruhan kawin dengan Dewi Sukerthi menurunkan tiga orang putra-putri yaitu : Sang Wira Dangka, Ni Ayu Dangki dan Ni Ayu Dangka. Sang Wira Dangka juga kembali ke Bali, lalu menurunkan Ni Rudani, De Pasek Lurah Kadangkan, De Pasek Lurah Ngukuhin dan De Pasek Lurah Gaduh. De Pasek Lurah Kadangkan berputra I Pasek Taro, I Pasek Penida, I Pasek Bangbang dan I Pasek Banjarangkan. Demikian juga De Pasek Lurah Ngukuhin berputra I Pasek Nyalian, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pucangan, I Pasek Gaduh Blahbatuh dan I Pasek Gaduh di Banjar Watugiling.
Demikianlah keturunan Mpu Dangka masing-masing membawa pungkusan Pasek Kedonganan, Pasek Kadangkan, Pasek Ngukuhin, Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Penida dan Pasek Taro.

MPU SEMERU,
mengangkat Putra (Darma Putra) dari Bali Aga yg mediksa menjadi Mpu Driakah/Mpu Karmareka selanjutnya menurunkan Pasek Catur Sanak Pesramannya menjadi Pura Catur Lawa Ratu Pasek ring Besakih, yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem (Kayu Selem).

Dijelaskan dalam Mahagotra Pasek Kayuselem, Mpu Driakah/Mpu Karmareka, beliau di Tampurhyang (Batur) dan bertapa di Gwa Song (Songan) yang didatangi Bidadari Kuning. Dengan Bidadari Kuning Mpu Kamareka berputra :

1. Ki Kayu Ireng setelah dipodgala bergelar Mpu Gni Jaya Mahireng dengan Ni Kayu Ayu Cemeng menurunkan :
Sang Taruhulu menikah dengan Ni Ayu Ireng
Sang Kayu Selem / Wreksa Ireng
Ni Kayu Nelem

2. Sang Made Celagi bergelar Mpu Made Kayuan di Balingkang, Mpu Made Kayuan menurunkan :
Sang Panarajon
Ni Ayu Nguli
Ni Kayu Ireng
Ni Ayu Kinti
Ni Ayu Kaywan

3. Sang Nyoman Tarunan bergelar Mpu Tarunan di Belong Tulukbiyu, Mpu Tarunan menurunkan :
Sang Tarunan
Ni Ayu Dani
Ni Ayu Tarunan
Ni Ayu Taruni

4. Sang Ketut Selem bergelar Mpu Badengan,
4. Mpu Badengan berputra :
Ki Kayu Celagi
Ki Kayu Taruna

Dalam Babad Pasek Kayu Selem, diceritakan ketika telah selesai memberikan petüah kepada para sisya, Mpu Kamareka beryoga dan dengan tenang moksa menuju alam sunyata.

MPU GANA
Nyukla Brahmacari, Pesramannya di Gelgel menjadi Pura Dasar Buwana

MPU KUTURAN
Sewala Brahmacari, sekali menikah berpisah dgn Walu Nateng Dirah, berputri Diah Ratna Manggali, Pesramannya di Padangbai menjadi Pura Silayukti

MPU BARADAH
menetap di Lemah Tulis Kediri menurunkan
1. Mpu Siwagandu,
2. Dyah Widawati dan
3. Mpu Bahula.

Mpu Siwa Gandu tercatat sebagai Brahmana Jaya Pangus yg menolak perkawinan Raja Jaya Pangus dgn Kang Cing Wie,berputra Maha Resi Segening/Mpu Keling tinggal di Keling Jawa Timur, moksah di G. Agung. Mpu Keling berputra Dalem Mangori, dari istri Ni Berit Kuning putri Raja Airlangga yg melarikan diri ke Hutan karena sesuatu sebab, menurunkan Sentana Satriya Wangsa saat di Jawa, dan di Bali oleh Dalem Blesung diabiseka Ki Mantri Tutuan, dengan memberikan seluruh hak seorang raja kepadanya dan ditempatkan di Bukit Buayang/Bukitbuluh dan hak berupa pembebasan dari danda pati dll, yg selayaknya seorang Raja.

Mpu Bahula menikah dgn Diah Ratna Manggali meputra 5;
1. Mpu Tantular/Mpu Wiranatha
2. Ni Dwi Dwarawati
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amarthajiwa
5. Ni Dewi Amertha Manggali

Prasasti Manik Angkeran menyebutkan Mpu Tantular Berputra 4 ;
1. Mpu Panawasikan menurunkan seorang Putri
2. Mpu Sidimantra menurunkan Manik Angkeran
3. Mpu Semaranatha menurunkan Dang Hyang Angsoka yg menurunkan Brahmana Buda dan Dang Hyang Nirarta yg menurunkan Brahmana Siwa Kemenuh, Manuaba, Keniten dan Petapan
4. Dang Hyang Soma Kepakisan menurunkan Raja di Jawa Bali dan Sumbawa bergelar Dalem.

Kirang langkung nunas ampura

#idasinuhunputri//tubaba@griyaagungbangkasa//dibongkasa#