Kamis, 29 Oktober 2020

SESANA MANUT LINGGIH

SESANA MANUT LUNGGIH
Ring sajeroning sesana kawikon paiketan sisya kelawan nabe wenten sesana silakrama aguron-guron sane nenten dados kepasahanang manut kecap swargan sisya – swargan nabe, nerakan sisya – nerakan nabe”. Artos ipun tan patut utawi piwal (jele / melah) pidabdab sisya, jagi mekantenan tan taler patut ring linggih nabe. Paiketan puniki “paguron-guron” inggih punika bratha (disiplin) lan kepatuhan sisya, nenten ring nabe kemawon, taler patut ring Guru Patni (Istri nabe), Guru Putra (putra nabe), Guru Wesi (cucu nabe) lan Sanak Sandekan (Semeton ring dharma nabe / para wiku seperguruan).

Rsi Sesana :

Kayatakna de sang Rsi, sang anggadoh sisya putra potraka ajar-ajar, ungon-ungon, parabaru, parakili, parapuputut, paraindang mwah para guntung, paramanguyu, parabaruniti, paracantrik, sami kumayatnaha, sarasaning Rsi-sesana, taya-taha; anaha kang amikaen pager arang, anglumpatana pager andap, mendek-mendekari apadang, aling-alingana katon, salwiraning lumaku dusta; ika ta katundung arusak, kajaraha sarajadrewene, kapupulana wong desa. Yamametugepeng kaparekena ring wates kasudukana ring andong, pati wangi nga.

Mwah yang hana kang amarabanga, amurugula, hana kang amurukununga, hana angentelana, hana kang alalawanana …(1600)… yan tan hana kayep, katabuhana penengen, urudakena tur jarahen danda pati nga.

Mwah wang anguntung, amanguyu, babarua kunang, yang lumaku anayab, amamalimg, yan hana dadi kadang mitranipun angalangi kakayopan …(1600)…; ahurip deniya, yan ahana angali gagadenengen, aparakena ring wates, tumbakana roning andong, turahakna pati wangi nga., ika udug edan malania.

Mwah puput anglawani indang-indang wong liyan kang awokani, tan hana pacorake mwang jalu istri, lanji kamenyeton, kakayep tinanggung …1600…, sepaha sisih, danda wangi nga.

Mwah yan hana wang alpa ring sang adiguru, kakayop …1600…, danda pitutur nga.

Mwah aja ngalap rabining guru, hana putuning guru, sanak sang guru, udug tan paturas kita, aywa ling linyok sang guru : binanyu mili kita,

aywa ngiliri gni tan panombah : tan parupa kita,

aywa angluhuri tan panombah : tan pawreta kita,

aywa nikelakon tuduh : tikel ing delahan kita,

aywa mada-aywa anyele : tan palambe kita,

aywa nglereki : dileng kita delaha,

aywa anudingi guru : picek kita,

aywa mareki guru, awak juta, ganga kayu daun lepanata. Yan anurukaken ring guru, tan kawasa yan tan amapaga ring paprasan, dupanamar, sasaring dewa nga. dadi pandita.

Aywa angideki riringgitan guru : pincang kita,

aywa anadaga guru : tan pasuku kita,

aywa amati guru : wudug pada samangko kita,

aywa amangan pareng awusan : kahonten sri kita, kari kita wusan, yan angaruhuni adus: bule kita,

aywa ahidu ariak ring arep sang guru : bacet catu kita, aywa anulis lemah areping guru : duguding wesi kita, mangkana dasasilaning guru.

#tubaba@griyangbang#

Rabu, 28 Oktober 2020

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI Arsitektur Bangunan Suci di Bali

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI Arsitektur Bangunan Suci di Bali

Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Namah. Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka karena diambil dari berbagai sumber informasi, yang mungkin kurang tepat. Om Tat Pramadat Kesama Swamam. Om Santih

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.

Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:

Tujuan Asta Bumi adalah

  • Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
  • Mendapat vibrasi kesucian
  • Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi

Luas halaman

  • Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran “depa” (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2×1,3×2, 4×3, 5×4, 6×5, 7×6, 11×7, 12×11, 14×12, 15×14, 19×15.
  • Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6×5, 13×6, 18×13

Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.

Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19×15), 5x(19×15), 7x(19×15), 9x(19×15), 11x(19×15).

Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18×13), 5x(18×13), 7x(18×13), 9x(18×13), 11x(18×13).

HULU-TEBEN

“Hulu” artinya arah yang utama, sedangkan “teben” artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
  1. Arah Timur, dan
  2. Arah “Kaja”
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

BENTUK HALAMAN

Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan – kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.

PEMBAGIAN HALAMAN

Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
  1. Utama Mandala
  2. Madya Mandala dan
  3. Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
  • Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
  • Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
  • Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih “Lebuh” yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.

Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah “Candi Bentar” dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah “Gelung Kori”, sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.

MENETAPKAN PEMEDAL

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut:
  1. Ukur lebar halaman dengan tali. 
  2. Panjang tali itu dibagi tiga. 
  3. Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah “as” pemedal. 
Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

JARAK ANTAR PELINGGIH

Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu “depa”, kelipatan satu depa, “telung tapak nyirang”, atau kelipatan telung tapak nyirang.
  • depa” sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. 
  • telung tampak nyirang” adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. 
Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok “penyungsung” (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke “Piasan” dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN

Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih
  • TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan 
  • PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu “putra” Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. 
Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah:
  • PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. 
  • BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. 
Di Madya Mandala dibangun
  • BALE GONG, tempat gambelan, 
  • BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. 
  • BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat “turut” 3,5,7,9, dan 11. “Turut” artinya “berjumlah”.
Turut 3, Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing yaitu:
  1. Padmasari, 
  2. Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan 
  3. Taksu. 
Turut 5:
  1. Padmasari, 
  2. Kemulan Rong Tiga, 
  3. Taksu, 
  4. Pangrurah, 
  5. Baturan Pengayengan” yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. 
Turut 7: adalah
  1. turut 5 ditambah dengan 
  2. pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan 
  3. Limas Catu (Gunung Lebah). 
Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan “Rua Bineda” atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll.

Turut 9 adalah
  1. turut 7 ditambah dengan 
  2. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. 
  3. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. 
Turut 11 adalah
  1. turut 9 ditambah pelinggih 
  2. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. 
  3. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).

Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

PENGERTIAN PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN

Pura berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu “Phur”, artinya tempat suci, istana, kota. Lebih khusus berarti tempat persembahyangan untuk umum atau kelompok sosial tertentu yang lebih luas sifatnya dari Sanggah Pamerajan.

Sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga.
Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lain sebagai berikut:
  1. Taksu: palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik. 
  2. Pangrurah: palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan. 
  3. Sri Sdana atau Rambut Sdana: palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sdana atau Limascatu, yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia. 
  4. Padma: palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya. 
  5. Manjangan Salwang: palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M 
  6. Gedong Maprucut: palinggih Danghyang Nirarta dengan Bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-15 M. 
  7. Gedong Limas atau Meru tumpang satu, tiga, lima: palinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga. 
  8. Bebaturan: palinggih Bhatara Ananthaboga dengan Bhiseka Saptapetala, yaitu sakti Sanghyang Pertiwi, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai bumi. 
  9. Bebaturan: palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan. 
  10. Bebaturan: palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa. 
  11. Gedong Limas: palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci. 
  12. Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung): palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang. 
  13. Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
Di beberapa Sanggah Pamrajan sering dijumpai beberapa Gedong Limas kecil-kecil yang merupakan palinggih tambahan. Menurut sejarah para leluhur terdahulu yang kebanyakan didirikan untuk menyatakan terima kasih dan bhakti, misalnya ketika sakit memohon penyembuhan dari Ida Bhatara di Pulaki; setelah sembuh lalu mendirikan pengayatan Beliau di Sanggah Pamrajan, demikian selanjutnya berkembang dengan berbagai kejadian, sampai akhirnya ada yang mencapai jumlah puluhan palinggih.

Palinggih pokok yang ada di Sanggah Pamrajan antara 9 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya.

Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda; ada yang memecah menjadi tiga kelompok, yaitu: Kawitan, Sanggah Pamrajan, dan Dewa Hyang dengan batas tembok panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.

Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar

Menyukuri kesejahteraan karunia Hyang Widhi, dibangunlah pura sebagai tempat pemujaan dalam manifestasinya, spirit geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu dengan-Nya untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang dari seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit, meru bayangan gunung, padma kemanunggalan dan kini penampilan jamak semarak dengan kemanjaan teknologi.

Kesadaran mendasar dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya. Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan hak atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala kesadaran palsu yang terjadi dalam beberapa kasus.

Proses Membangun Pura

Berawal dari nyanggra pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak, ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci, nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat terwujud.
Selanjutnya ngelakar sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan.

Pekerjaan komponen konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar. Pelaku tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan arahan undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka, namun wajib menaati brata ke-undagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi atas nama (ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang kapican, kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara.
Bahan bangunan, tukang dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal yang ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu karismatis.

Pemugaran Pura-pura kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa tanpa magis power yang menjiwai.

Pembangunan pura tanpa pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.

Pekerjaan Konstruksi

Setelah nyanggra, nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug, ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit. Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain.

Kemudian ngenteg linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah ruang ritual yang direncanakan.

Pekerjaan konstruksi ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang memang terbukti dalam kajian arsitektural tradisional.
Ngasren wewangunan (pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat fisis, chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati. Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah manakala perawatan diabaikan.

Ngurip Wewangunan

Prosesnya sejak awal, ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari, guli, guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang. Tata letak dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak, urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna pengurip wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan sebagai bangunan sesuai namanya.

Bahan-bahan bangunan telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.

TATA CARA MEMASUKI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN

Pura dan Sanggah Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Bersih lahir bathin; lahir: sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin: pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Yang Maha Kuasa.
  2. Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.
  3. Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh masuk karena masih “leteh”.
  4. Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan”) tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan: keasmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.
  5. Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.
  6. Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.
  7. Tidak dalam keadaan mabuk atau “fly”
Pintu/ Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru. Setelah berada di dalam Pura dan Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu diperhatikan antara lain:
  1. Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman bersembahyang.
  2. Tidak makan/ minum berlebih-lebihan
  3. Tidak membuang kotoran
  4. Tidak bertengkar/ berkelahi
  5. Tidak berbicara keras/ memaki, memfitnah atau membicarakan keburukan orang lain.
  6. Tidak bersedih, menangis/ meratap.

FUNGSI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN

Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan, yaitu:
  1. Pemelihara persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.
  2. Pemelihara dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dll.
  3. Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dll.
  4. Pengembangan kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dll. Pendorong kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.

ODALAN

Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir = hari di-stanakannya Ida Bethara di Pura dan Sanggah Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali.

Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal).
Hari-hari menurut pawukon yang digunakan sebagai hari odalan (enam bulan sekali) adalah:
  • Buda Kliwon: Sinta, Gumbreg, Dungulan, Pahang, Matal, Ugu
  • Tumpek: Landep, Wariga, Kuningan, Krulut, Uye, Wayang.
  • Buda Wage: Ukir, Warigadean, Langkir, Merakih, Menail, Klawu
  • Anggarakasih: Kulantir, Julungwangi, Medangsia, Tambir, Prangbakat, Dukut.
  • Saniscara Umanis: Tolu, Sungsang, Pujut, Medangkungan, Bala, Watugunung.
Susunan upacara Ngaturang Piodalan adalah sbb.:
  1. Mapiuning di Sanggah Pamrajan bahwa akan ngaturang Piodalan
  2. Macaru, bersamaan dengan Newasain/ Nanceb tetaring
  3. Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi
  4. Nedunang pratima-pratima Ida Bethara
  5. Mamendak Ida Bethara
  6. Makalahias
  7. Ngewangsuh dan masucian
  8. Ngadegang Ida Bethara
  9. Ngaturang Piodalan, pemuspaan
  10. Nyineb Ida Bethara
  11. Masidakarya
  12. Makebat don

TATA CARA DAN UPACARA MEMUGAR PURA DAN SANGGAH PAMERAJAN 

Tahap membongkar bangunan lama dan meletakkan batu pertama:
  1. Mareresik
  2. Mapiuning
  3. Macaru Pancasata
  4. Ngadegang Ida Bethara di Daksina linggih
  5. Maguru Piduka
  6. Mlaspas dan masupati batu papendeman
  7. Masupati trisarana (takir berisi: kalpika, beras, jinah)
  8. Ngingsirang Daksina linggih ketempat darurat (asagan)
  9. Mralina palinggih-palinggih lama yang akan dibongkar
  10. Ngereruak pondamen palinggih-palinggih lama
  11. Mendem batu papendeman, takir caru, dan takir trisarana
  12. Persembahyangan

MLASPAS

Mlaspas asal kata dari “paspas” artinya membersihkan atau membuang yang tidak perlu; di sini dimaksudkan bahwa bahan-bahan yang digunakan sebagai palinggih: batu, pasir, semen, besi, kayu sudah ditingkatkan statusnya, tidak lagi bernama demikian, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan nama palinggih.
Sebelum upacara mlaspas, untuk bangunan baru, diadakan upacara:
  1. Memangguh: asal kata: “pangguh” = menemukan tanah baru yang sesuai.
  2. Memirak: asal kata: “pirak” = nebus-menebus di niskala kepada Sedahan Karang/ Carik pemilik tanah pekarangan semula.
  3. Nyikut karang: mengukur panjang/ lebar karang yang akan digunakan sebagai lokasi pelinggih dengan berpedoman pada asta bumi dan asta kosala-kosali.
  4. Macaru asal kata dari “car” = harmonis, yaitu menciptakan keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit sesuai dengan konsep Tri-Hita-Karana (tiga penyebab kesempurnaan)
  5. Ngararuwak asal kata “wak” = membuka, yaitu membongkar tanah untuk pondasi
  6. Mendem dasar dengan batu tiga warna (merah merajah “Ang”=Brahma, hitam merajah “Ung”= Wisnu, putih merajah “Mang”=Siwa)
  7. Mamakuh asal kata “bakuh” = kuat; mengokohkan pondamen, bangunan lanjutan, sendi-sendi, paku-paku, atap dll.
  8. Ngurip asal kata “urip” = hidup; menghidupkan bangunan dengan mohon restu Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Brahma (tetoreh warna merah – di atas), Siwa (tetoreh warna putih – di tengah), dan Wisnu (tetoreh warna hitam – di bawah).
  9. Mendem pedagingan; asal kata “daging” = isi = jiwa bagi palinggih, yaitu Pancadatu, bersamaan dengan memasang Orti, asal kata orta = berita, mengandung simbol agar karya di Sanggah Pamrajan menjadi berita seketurunan, dan memasang Palakerti, asal kata Pala = pahala, Kerti = perbuatan, mengandung simbol buah perbuatan yang patut menjadi contoh bagi keturunan berikutnya. Selanjutnya memasang Bagia, asal kata bagia = landuh = makmur, mengandung simbol mohon kemakmuran kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Pada waktu mendem pedagingan semua keluarga agar menyiapkan takir berisi: kalpika, bija, jinah sesari dengan maksud agar dikaruniai umur panjang (kalpika), kemakmuran (bija) dan hasil kerja yang baik (sesari).
  10. Memasang ulap-ulap; asal kata ulap = panggil. Simbol ulap-ulap maksudnya memohon kehadiran Ida Bethara agar berstana di palinggih yang sudah disiapkan.
  11. Setelah itu barulah dilaksanakan upacara melaspas, dan seterusnya Ngenteg Linggih.

Minggu, 25 Oktober 2020

Mantram buhu-buhu, tepung tawar, segau, kekosok, tetebus

Mantram buhu-buhu, tepung tawar, segau, kekosok, tetebus

1. Buhu-buhu, 
Mantra : 
--Om sweta tirtanca nityam, pawitram papa Nasanam,
Sarwa rogasca nagasca, sarwa kali kalasu wina sanam
--Om Rakta tirtanca, Om kresna tirtanca, Om sarwa tirtanca
yawe namo namah swaha

2. Tepung tawar, segau, Mantra : 
Om Sanjna asta sastra empu sarining wisesa
Tepung tawar amunahaken, segau angeluaraken
Sakuehing sebel kandel lara roga baktanmu

3. Kekosok, Mantra : 
Om Tresna taru lata kebaretan kalinusan dening angin angampuhang mala wigna
Om Sidhirastu ya namah swaha

4. Tetebus, Mantra : 
Om raga wetan angapusaken balung pila pilu
Angapusaken otot pilu, den kadi langenging Sang Hyang Surya mangkana langgenging angapusaken kang tinebus-tebas, Om Sampurna ya namah

5. Byakala
1. Isuh-isuh,
Mantra : 
Om Sang Hyang taya tan panetra, tan pa cangkem, tanpa karna, Sang Hyang jati sukla nirmala, sira mangisuh-isuhing sarwa dewata, angilangaken sarwa bhuta dengen, kala ring sarwa ta kabeh, aja kari masenetan ring manusa kabeh , nyah ta kita saking kulit , ring daging, ring walung, ring sumsum, Mantuk ta kita maring jamur jipang sabrang melayu
Om am mam nama siwa ya swaha

2. Mantram telur pada isuh-isuh :
Om antiganing sawung, pengawaking Sang Hyang Gala Candu sailingan kalisakana lara rogha mala pataka kabeh,
Om sah osat namah, 
Om bam Bhamadewa ya , bhatara angiberaken lare rogha papa klesa mala wighnane, sarwa dewa dewi ne kabeh.
Om sri ya we namo namu namah swaha

3. Mantram Byakala :
Om sang kala kali, sira angruwak kala kali, sadaya kajenengan den ira Sang purusangkara, makadi Sang Hyang Triyo dasa sakti, manusanira angaturaken pabhyakaonan, angilangaken dasamala. 
Om siwa sampurna ya namah swaha.

4. Mantram memercikkan tirtha bhyakala :
Pukulun bhatara Hyang Kali , bhatara hyang sakti, sang kala putih, sang kala bang, sang kala pita, sang kala ireng, sang kala amanca warna, sang kala anggapati, sang kala karogan-rogan, sang kala papedan, sang kala sari, sang kala pati , sangkala sedahan kala, aja sira anyangkalen manusanira ngastuti hyang dewa bhatari ring parhyangan sakti, reh ingsun, angaturaken, tadahsajinira, bhatara kala puniki bhuktinen mudanira. 
Om kala kali, byo bhuktaya namah. 
Om ksama sampurna ya namah. 
Om sarwa kala laksana ksamam ya namah swaha

F. Prayascita/Durmanggala
1. Memercikkan tirtha dengan list (prayascita), 
Mantra : 
Pakulun ngadeg sira Sang Janur kuning turun Bhatara Ciwa hulun angaturaken busung mereke, busung meringgit, ron sarwe leluwes, mas aworane komala manik winten, angilangane sakwehning dasamala, sebel kandel awighna sudha, tutuga ring sapta wrdhah .
--Om sri ya namu namah swaha.

Lalu diperciki tirtha dengan mantra :
Om jreng jreng sabuh angadeng nagilang akna sarwa kalan ira sang linislisan
Om sabur sweta, sabur rakta, sabur pitha
sabur krsna, sabur manca warna sarwa karya prayascita ya suci nirmala ya namo namah swaha

2. Prayascita, Mantra : 
--Om prayascita kare yegi
Catur warna wicintayet
Catur wawtranca puspadyam
Ang greng reng bya stawa samam
--Om agni rahasia mukam mungguh bungkahing hati angeseng saluwiring dasa mala, teka geseng, geseng, geseng
--Om prayascita subagiyamastu

3. Durmanggala, Mantra : 
Om sang kala purwa sang kala sakti, sang kala braja, sang kala ngulalang, sang kala petre, sang kala suksma. Aja sira pati papanjingan pati paperet ngi, iki tadah sajinira, penek lawan trasi bang, bawang, jahe, anadaha sira tur lunga. Manawi kirang tadahan iki jinah satak sulawe, lawe satukel, maraha sira ring pasar agung nggena tuku ring pasar agung wehan sanak rabinira sowang-sowang ajasira mawali muwah pada ewahana, pada sidhi swaha
Om mrtyunjaya rakta saraya sarwa rega upadrawa, papa mretyu sangkara, sarwa kali kalika syah wigraha ngawi pada, susupena durmanggala, papa krada winasaya, sarwa wighnaya namah swaha

Sabtu, 24 Oktober 2020

Lontar Shanghyang Siwa Sesana

Translitrasi Lontar Shanghyang Siwa Sesana

TEKS
1b. Nihan sanghyang Siwa Sasana kayatnakna, de sang watek sadhaka makabehan, sahananira, para dhangacaryya saiwa paksa, lwir nira, saiwa siddhanta, wesnawa, pasupata, lepaka, sanaka, ratnahara, sambu, nahan lwir nira sang sadhaka saiwa paksa, pramuka sira dhangacaryya wreddha pandita, sri guru pada dhangupadhyaya pitha maha, bhagawantha, nahan lwir nira kabeh, yatika kapwa kumayatnakna mriha makmitana sanghyang agama siwa sasana, maka don karaksaning kabhujangganira, mwang kawinayanira, page/-
TERJEMAHAN
1b. Hendaknyalah Siwa Sasana ini diperhatikan oleh para sadhaka semua, semua Dang Acarya mazab Saiwa yang terdiri dari Saiwa siddhanta, Wesnawa, Pasupata, Lepaka, Sanaka, Ratnahara dan Sambhu. Demikian rincian sang sadhaka mazab Saiwa, terutama beliau dang acarya wreddha pandita, sri guru pata dang upadhayaya pitamaka, bhagawanta, demikian adanya semua, mereka semua hendaknya dengan seksama mengusahakan mempertahankan ajaran Siwa Sasana, dengan tujuan menegakan kependetaannya, dan tingkal laku,
TEKS
2a. -/haning dharmmanira, sela nira, mwang kasudharmmanira, nguniweh teguhaning tapa brata nira, ritan hananing wimarga manasara sakeng sanghyang kabhujanggan, nahan hetu sanghyang agama siwa sasana winakta de sang purwwacaryya wrddha pinandita, ndan lwi ra sang sadhaka dhang acaryya, sang yogya pinaka gurwan, mwang tan yukti pinaka guru, ya ta caritan kramanira rumuhun, nihan lwir nira: sajjana wrddha wehaso, sastrajna, wedaparagah, dharmajjah, sila sampanah, jitendriyah, drdha bratah. Nihan lwira sang sadhaka nung yogya
TERJEMAHAN
2a. berbagai pedoman hidup, kelangsungan usaha-usahanya, perilakunya yang baik, dan dharmanya yang mulia, lebih-lebih pula tetap berlangsung tapa bratanya agar jangan menyimpang dan menyasar dari hukum kependetaan. Itulah sebabnya ajaran Siwasasana diajarkan oleh sang pendeta guru agung pada jaman dahulu. Adapun sang sadhaka, dang acarya yang patut dijadikan guru, dan yang tidak baik dijadikan guru, itulah yang akan dijelaskan terlebih dahulu yaitu: orang sejati yang telah berpangalaman, pandai tentang sastra, ahli weda, mengetahui dharma, bertingkah laku baik, menguasai hawa nafsu, taat menjalani aturan. Inilah sang sadhaka yang patut
TEKS
2b. gawayen, dhangguru padhyaya dening loka, acaryya wrddha pandhita, wrddha ring wayah tuwi, acaryya prajna sabdi kawruh ring wala widya, mwang tarkka wyakarana, acaryya weda paraga, wruh ringangga pangupangga sang hyang catur weda, wruh ring kaswadayan sanghyang sruti smrti, acaryya sthiti gumawe dharmma sadhana, sakta ring kagawayaning yasa dharmma kirtti, acaryya suddha sila, apageh manutta sadhu winaya, pawitra sulaksana, acaryya jitendriya, tan tyaga kasakta ring bhaga wisaya, acaryya sudhira dharaka, tguh ring tapa brata, nahan lwira sang sadhu wnang gawayen dhangupa/-
TERJEMAHAN
2b. dijadikan guru pengajar oleh masyarakat, pandita guru yang senior, senior dalam umur, acarya yang menguasai ilmu bahasa, menguasai bermacam-macam pengetahuan, ilmu logika, tata bahasa dan lain-lainnya. Acarya yang ahli Weda, yang menguasai bagian-bagian Sanghyang catur Weda, dapat menghapalkan Sanghyang Sruti dan Smreti. Acarya yang teguh menerapkan dharma, mampu melaksanakan yasa, dana, dan kirti. Acarya yang suci hatinya, berketetapan hati untuk menuruti tuntunan hidup yang saleh, lagi pula suci, bertingkah laku yang baik. Acarya yang dapat menaklukan hawa nafsunya, dapat melepaskan diri dari ikatan kenikmatan duniawi. Acarya yang tabah, teguh, tetap hati dalam tapa brata. Orang mulia seperti itulah yang patut dijadikan dang upadhyaya.
TEKS
3a. -/dhaya, nga, dhangacaryya krtta diksita, pinaka guru, panadhahan sangskara, mwang bhasma, nahan sadhaka nung wnang dumiksa nangaskara sakala janma, sadhakasa parama, kinaryya nimitta wiku, tumut sadhaka saiwa paksa, sadhaka mangkana krama nira, sirata wiku maha pawitra, wnang sira dhangupadhyaya ngaranira, kuneng sang sadhaka nung sinangguh pangupadhyaya, pilihana jatinira de sang pudghala, ri sdeng nira hyuna saskara, ika ngacaryya sapatuduhi nghulun juga pilihana dledlen, salah siki gawayen guru, sangksepanya, madumpi-dumpi lana
TERJEMAHAN
3a. Yang disebut acarya krta diksita (pandita guru yang sudah didiksa) ialah gurunya guru, tempat mendapatkan sangaskara (penyucian) dan bhasma (abu suci), sadhaka yang berwenang memberikan diksa sangaskara kepada sesama manusia ialah keturunan sadhaka terus menerus, yang memang disiapkan untuk menjadi wiku, mematuhi dharma sadhaka mazab Saiwa. Sadhaka yang demikian itu, adalah wiku yang maha suci dapat disebut dang upadhyaaya (guru besar). Adapun diteliti keturunannya oleh sang penganut mazab Saiwa ketika ingin mendapatkan sangaskara. Hendaknya acarya yang aku tunjukan (kepadamu) juga dipilih. Perhatikan dengan sungguh-sungguh bila memilih salah seorang untuk menjadi guru.
TEKS
3b. juga, de ya ning sisya mangungsi guru, aywa tka ngnaken guru, ya tan pawitra laksana nira, pet maka guru, aparan ta phalaning manambah ring kadi sira, wiku maha pawitra, nyapan tahang kwa linganta, nihan kottamanya, kapawitraning guru sulaksana. Laksmi duh kasahasrani, sapara paparasanam, paratre naraka nasti siwa loke mawapnuyat. Nihan kadi wyaning tlas diniksa dening dhangacaryya wiku mahapawitra, huwus wrddha pandhita, byakta ilang mala kalusaning wang, athawa tan kataplan dening wighna sabhaya, duhka wedhana, lu/-
TERJEMAHAN
3b. Kesimpulannya, hendaknya sisya ikut berperan dalam usaha mencari guru. Janganlah anakku……Apakah pahalanya menyembah sang sadhaka, wiku yang maha suci. Mungkin demikianlah pertanyaanmu. Inilah keutamaan kesucian berguru kepada guru yang berbudi luhur. Laksmi duhkha sahasrani. Samsara papa nasanam. Paratre naraka nasty. Siva lokam avapnuyat. Inilah kemuliaannya dia yang telah didiksa oleh dang acarya. Yaitu wiku yang maha suci, pandita yang sudah senior, ialah hilangnya noda kecemaran orang itu. Atau ia tidak akan tersentuh oleh segala marabahaya, duka nestapa,
TEKS
4a. -/put sangkeng sangsara pataka, pira ta kwehaning pataka ning wwang, yadyan sewu kwehaning papa, sabhumi sasumeru genganya lawan bwatnya, niyata kaweri langanya matmahana mukta wisarjjana, mon diksan de dhangaryya maha pandhita, gati nyan lalu kapawitran sang sadhaka pandita maha wisesa, wnang umilangaken papaning sisya, dumehnya mangkana, ya ta pilihana dhangupadhyaya wnang makagurwaning sisya, ayywanang nang guru, nyapan tahan kadurus ngwang deni kadurlaksananing guru, ngaranya, umungsir guru maminta diniksan dening sadhaka mudha
TERJEMAHAN
4a. bebas dari sengsara malapetaka. Berapapun banyaknya beban orang, berapapun besarnya, meskipun seribu banyaknya, sebesar bumi dan gunung Semeru besarnya dan beratnya, tentu akan lenyap menjadi hilang sama sekali. Bila didiksa oleh pendeta guru maha pandita. Besar benar kesucian sang pendeta guru maha agung, mampu menghilangkan papa muridnya. Sebab itu maka hendaknya dipilih pendeta guru yang dapat dijadikan tempat berguru oleh sisyanya. Janganlah berguru kepada guru yang berbudi rendah. Boleh jadi orang akan terlanjur dipengaruhi oleh sifat-sifat aib sang guru bila mendatangi seorang guru, memohon agar didiksa oleh seorang sadhaka yang buruk tingkah lakunya,
TEKS
4b. dur naya, sadhaka mudha ngaranya, alpa sastra, dusprajja, kurang wiweka, nirwicaksana, pisaningun wruha pakretaningaji kdhik kdhik, ingdya durmeda mawiparya ya, lumud, jugul, jadha linglung, lengleng bingung, kumwa prekretinya, yeka sadhaka mudha, nga, acaryya duryasa, nga, adharma, crol niccha prakrtinya, ambeknya mada moha, durtta murkka madulur katungka, irsya matsara kimbhuru, geng raga, mretha wadami, dyasa wuwusnya, sinahajaring kadursilan, durniti durwinaya, wimukha ring ayu, melik ring kagawayaning yasa, manasasar kenga/-
TERJEMAHAN
4b. sadhaka yang bodoh artinya, yang tidak banyak mengetahui sastra, yang kurang berpengetahuan, yang kurang pertimbangan. Lebih-lebih lagi seorang sadhaka yang tahu sedikit-sedikit saja pengertian yang terkandung dalam pengetahuan, sehingga ia bodoh, sering salah, ditambah lagi bebal, acuh tak acuh, linglung, melongo, kaku, bingung, iri. Bila demikian perilakunya maka itu adalah sadhaka bodoh namanya. Acarya duryasa ialah acarya yang tidak melaksanakan dharma, curang, berbudi hina, congkak, mabuk yang menyebabkan ia bersifat lirih, angkara murka serta jahat, iri hati, tampak cemburu, “mretha wadami” yaitu segala kata-katanya tidak apat dipercaya. Serta pula dengan berbudi buruk, tidak memperhatikan tuntunan berbuat sesuatu, memalingkan muka dari yang baik, benci pada pekerjaan yang berbentuk yasa, menyimpang
TEKS
5a. -/gama rasa, ninda hyang mwang brahmana, drowi ring mitranya, talpaka ring gurunya, masampe ring yayah mwang bibinya, yapwan hana sira sadhaka kumwa kramanya, yeka sadhaka duryasa, nda tan yukti gawayen guru, de sang mudgala, aparan kari dosaning wiku mudha duryyasa, tan yukti guruaning rat, dumiksa ari sakala janma mahyun wikwa, nyapan tahan kwa linganya, nihan alanya mpih, katatwani kang wwang mudha tan wruhing nayopadeya, mwang parartha mwang tan wnang rumaksa dharmma, watning wiparyyaya yanya, matmahan patipurug manganaken gawe ayu, niya/-
TERJEMAHAN
5a. dari ajaran agama, menghina Tuhan dan Brahmana, bersikap bermusuhan terhadap teman, menentang guru, menghina ibu dan bapaknya. Bila ada sadhaka yang demikian perilakunya, itulah sadhaka duryasa. Itulah yang tidak benar untuk dijadikan guru oleh seorang yang Mudgala. Apakah lagi dosanya wiku yang dungu dan kurang mantap tidak benar dijadikan guru oleh orang banyak, melaksanakan diksa pada setiap orang yang ingin menjadi wiku. Mungkin demikian pertanyaanmu. Inilah buruknya. Dasarnya orang dungu, tidak tahu petunjuk-petunjuk tuntunan hidup dan kasih sayang kepada orang lain dan tidak sanggup melaksanakan dharma karena bingungnya sehingga menjadi terantuk kesana kemari jika malakukan suatu kebaikan,
TEKS
5b. -/tatmah dosa, namattana manamu dewa dhenda, rapuh ning dewa dhendha, mangdadyaken klesa, nirartha kahnenganya wkasan, nahan halaning mudha, kunang halaning duryasa, ikang wwang jnek ri ngadharmma, duma patiwasnya, mamreddhyaken kweh klesanya, mwang geng ning papanya, pamengaken babahaning naraka loka, agyagyan, mapalaywan, arepa mukti pancagati sangsara, nahan ta alaning duryasa, sang ksepanya, ikang wwang mudha duryasa, nga, tan hana gamananya, tan tiba ring naraka loka, ya tan mudha duryasa jatini kang wwang, ya tan tiba ring yama loka, amba/-
TERJEMAHAN
5b. selalu mendapat dosa, sehingga mendapat hukuman dewa. Bila hukuman dewa telah mengusut, akan menjadi aib, ia tak berguna dan akhirnya membisu tanpa kata-kata. Demikian bahaya kebodohan itu. Adapun bahayanya “duryasa”, tetap terlena dalam perilaku yang melawan dharma, tertutup hatinya, mengembangkan aibnya, dan besar papanya, membuka lebar-lebar pintu narakaloka dengan tergesa-gesa, berlari-lari ingin mengecap “pancagati sangsara”, mustahil akan berubah menjadi tingkah laku yang baik. Itulah sebabnya orang bila dungu, duryasa perilakunya, tidak patut diusahakan oleh seorang penganut ajaran, sehingga tidak diterima pada alam Naraka. Ia itu sebenarnya manusia bodoh, ia tidak diterima di alam Yama.
TEKS
6a. -/nya, tan wurung mamukti papati sangsara, pisaningudya mahelya mulem amaring kasugatin, ya ta mawangyan sahana nira padha ngacaryya, mon bhusana, nda tan yukti patan guru sang pudghala, sangksepanya sang tlas menget, aywa sira maguru ringadhama sadhaka duryasa, basama kelu tibeng yama laya, tuhun tikang sadhaka, kadi lingku nguni tambeyan, swikara peten guru, ikang wiku mahapawitra suddha pandhita juga sembahenta, mwang dumiksaha. Tlas kojaran sang sadhakanung yogya pagurwana, kuneng getakna tingkahning krama sang sadhaka sampun dhangu/-
TERJEMAHAN
6a. tidak bisa dihindari akan menemukan kesengsaraan, kesimpulannya orang yang sadar, janganlah berguru pada seorang sadhaka yang hina dan duryasa, boleh jadi akan terseret ikut jatuh ke Yamaloka. Hendaknya hanya sadhaka yang aku sampaikan dahulu saja usahakan dengan sungguh-sungguh dicari untuk menjadi guru. Wiku yang maha suci, pandita bersih saja hendaknya kamu sembah dan mendiksa kamu. Telah kusampaikan sang sadhaka yang wajar dijadikan guru. Akan tetapi ingatlah tingkah laku Sang Sadhaka yang telah menjadi guru utama
TEKS
6b. -/padhyayan sira caritan kramanira, ya ta sira dhangacaryya, sidamdawa gawayen pagurwana, nda haywa ta sira gya lumkas manahas karanira, mon turung nipunak ri ya, mwang turung tasak ri tatwa sanghyang kabhujangan, athawa yan turung niscaya ri rama sanghyang siwagama, aywa siragya lumkas, apayapan, tan dadi ring dhangupadhyaya, amuranga sanghyang kasiwatwan, kuneng deya nira, prakrtining sarira nira waswasen, rumuhun, rapwan tan katona ngamung, ndya deyanira dumleh prawretti, sugyan kwa linganta, nihan kramna mpih, dlenta hananing guna dosa
TERJEMAHAN
6b. beliaa apa yang telah diceritakan tentang apa yang dilakukan. Bila ada dang acarya yang pantas dijadikan tempat berguru, janganlah hendaknya ia tergesa-gesa melaksanakan diksa bila ia belum sempurna dalam pekerjaan dan belum matang tentang hakekat ajaran kependetaan, atau belum yakin benar akan isi ajaran Siwagama. Janganlah ia tergesa-gesa berbuat, sebab dang upadhyaya tidak boleh hanya menjadikan tanda dan bermaksud membawa kesana kemari ajaran Kasaiwan itu? Adapun usahanya ialah amat-amatilah pekerti diri sendiri terlebih dahulu agar tidak tampak ngawur. Bagaimana caranya mengamati perilaku itu? Boleh jadi demikian pertanyaanmu. Perhatikan akan adanya “guna” (sifat-sifat baik) dan dosa
TEKS
7a. ring awak, swikaran gonging sarwwa guna wehen parisuddha, aryyaken sahaning dosa, jnengakna sanghyang kabhujanggan, inget-ingeten, mula madhya wasananya, kriya sang sadhaka wehen samapta, pahenak byaktaning padarthanya, saha prayoganya, pahayun ta kapagehaning karmma mwang sila nira, nguniweh kasadhuning winaya nira mwang kasudharmma nira, kuneng sadhanaking pamagehana ri ya, hana sanghyang trikaya paramartha ngaranya, gegen sang sadhaka, Iwirnya nihan: Kayika wacika scewa, Manacika strasiyaka, Subha karmma niyowyantu,Trikayami kawyatesa. Tri Kaya, nga,
TERJEMAHAN
7a. pada dirimu, usahakan dengan sungguh-sungguh perkembangan semua sifat-sifat baik dan biarkan supaya menjadi suci. Tinggalkanlah segala macam dosa, tegakkan kependetaan itu, ingat-ingat awal, tengah dan akhir dari padanya. Tugas sang sadhaka selesaikanlah. Buatlah mudah isinya dan penggunaanya. Buatlah lebih baik kelangsungan akan tugas-tugas dan budi pekertinya, terlebih-lebih tentang keluhuran budi, kecerdasan akal dan kesudarmannya. Adapun sarana untuk mempertahankan itu ialah apa yang disebut trikaya paramartha, pegangan sang sadhaka. Diantaranya ialah: Kayika wacika scewa, Manasika stratiyaka, Subhakarmaniyowyantu, Trikayami kawyatesa. Tri Kaya artinya:
TEKS
7b. kaya wwang manah kaya, sarira wak, nga, sabda, manah, nga, ambek, kaya, nga, laku, ika ta katiga pinasangaken manutana dharmma karyya de sang pandita, kapwawine maka bhumya subha karmma, byaktinya dharmaning kaya, ya sinangguh kayika, dharmaning wak, ya sinangguh wacika, dharmaning manah ya sinangguh manacika, ika ta kapwa siniddhikara maprawrttya rahayu, maka bhumi dharma sadhana, ya kayika wacika manacika, nga, ri pageh nika katiga, yeka sinangguhan trikaya paramartha, nga. ling sang pandhita, ndayanung ta karih, de sang sadhaka rumegepa sanghyang trika/-
TERJEMAHAN
7b. perbuatan orang pikiran dan perbuatan, badan wak adalah kata-kata, manah ialah pikiran, kaya ialah perbuatan. Ketiganya itu hendaknya ditempatkan sesuai dengan usaha-usaha yang berdasarkan dharma oleh sang pandita. Semuanya supaya berdasarkan subhakarma (perbuatan yan baik). Sebenarnya dharma kaya disebut kayika, dharmanya wak disebut wacika dan dharmanya manah disebut manacika. Semuanya itu supaya diusahakan sampai berhasil berbuat yang baik berdasrkan atas pelaksanaan ajaran dharma. Itulah kayika, wacika, manacika. Bila ketiga-tiganya sudah kokoh, maka disebut tri kaparamartha. Demikian kata sang pandita. Apakah lagi yang patut sang sadhaka renungkan tentang trikaya?
TEKS
8a. -/ya, aparan sadananing manuta ring dharmanya, nyapan tahan ta linga sang sadhaka, Om nihan pih, kagege nira, unyangulaha sang sadhaka, mon sampun dang upadhyaya, sarwa kriyodyuta. Protsaha ta sira mangadya sakagawayaning kriya, nityaha sira genga pakaryya yajna puja, japa, mangarccaneng bhatara satata, lota mangabyasa sastra mwangamarahi mangaji, magawaya yasa, mwang kirtti, byatka nitya magawe siwa smaranya nityakala, bwat swagata ring sadhaka tamuy, nahanulahanira sang sadhaka dhang upadhyaya, nyang posikaning sabda pajarakna
TERJEMAHAN
8a. Apakah syarat untuk menuruti dharmanya? Mungkin demikianlah pertanyaan sang sadhaka. Om inilah pegangannya. Hendaknya ia harus mantap bekerja, ia harus terdorong memperhatikan segala jenis kerja, Ia selalu meningkatkan membuat yadnya, puja, japa, memuja Bhatara, selalu mendalami sastra agama dan mengajar, membuat yasa dan kirtti, sopan menerima tamu sadhaka. Demikianlah perilaku sang sadhaka yang telah menjadi dang upadhyaya. Inilah sifat kata-kata yang patut disampaikan
TEKS
8b. denira, mujarakna kasthawaning dewa, mwang brahmana, nguniweh kasthawan sang maharddhika wreddha pandita, umucaranakna prakrttaning sastra wakya marahana mangaji, mamicara awala widya, mwangamiweka atatwa parijnana mwangagamokta, masari-saryya aswadhyaya guccarana weda mantra, mwang satya ta denirojar, satya ringutpana, kaspaangujaraken karnna sula, ring para, tan pangujaraken wak parusya mwang pisuna mresawada ring para, ndan aywa ninda para codya ring kapwa nira sadhaka, mwang kapwanira dhang upadhyaya, aywa ninda ring kriya mwang guna lawan brata nira
TERJEMAHAN
8b. olehnya, yaitu membicarakan tentang pemujaan para dewa dan pujian kepada Brahmana, lebih-lebih lagi pujian kepada pandita senior, yang maha bijaksana, menghafalkan perihal ucap-ucap sastra agama, memberikan pelajaran, memperbincangkan segala macam ilmu pengetahuan dan mengkaji pengetahuan filsafat dan ajaran agama, selalu mempelajari dan merapalkan mantra-mantra Weda. Dan ia berkata jujur, setia pada janji dan ia jangan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan telinga orang, jangan berkata-kata kasar, dan memfitnah, dan jangan berbohong kepada orang. Dan janganlah menghina orang, jangan mencerca kerja dan sifat brata
TEKS
9a. kapwa nira sadhaka, kewalya sira ngujarakna satya wakya, mwang madhurasawa komala rum, manohara sarjjawa, nahan lwiraning sabda wuwusakna de dhangupadhyaya, lwirning buddhi sang sadhaka dangupadhyaya, ambek suddha satya sadhu santa, dhreti, ksama pagehakna sang sadhaka, maka pakwanang buddhi dhira lbara ta nityasa, maka bhumi metri, karuna, mudita, upeksa, sama ta dhumana ring rat, aywa sira maka buddhi crol, dhurtta murkka mada mana, moha, ndan aywa sira gong krodha, senghit, magalak ring kapwa nira sadhaka, aywa bhangga irsya katungka matsaryya kimburu ring kapwa nira
TERJEMAHAN
9a. sesama sadhaka. Hanya berkata-kata yang benarlah, dan kata-kata manis, lemah lembut, menarik hati dan bersahaja yang harus ia ucapkan. Demikianlah kata-kata yang seharusnya disampaikan oleh Dang Upadhyaya. Inilah sifat-sifat sang sadhaka yang telah menjadi dang upadhyaya yang harus ditegakkannya. Yaitu pikiran yang bersih, setia, budiman, tenang, tangguh, dan pengampun yang harus dipegangnya teguh dan kuat, beralaskan keteguhan hati, selalu lapang hati, mendasarkan mentri, karuna, mudita dan upeksa dan sayang kepada orang. Janganlah engkau curang, licik, sombong, mabuk, congkak, loba, binggung. Dan janganlah ia cepat marah, galak terhadap teman sadhakanya, janganlah ia keras kepala, iri, busuk hati, cemburu kepada temannya sesama
TEKS
9b. sadhaka, mwang ring kapwa nira dhangupadhyaya, kewalya geng sreddha geng prasadara duga duga, paka budhi sang sadhaka, ring parampara mwang kapwa nira sadhaka, nahan lwira ning buddhi dhangupadhyaya, anghing samangkana juga gegen ta de dhangupadhyaya, dananing kreta diksita, sugyan ta linganta, nihan mpih, aywagya sira lumkas, anghera juga sakareng, yadyastun huwus henak pageh sila nira, mwang winaya sang sadhaka, nguwineh, samapta ring kriya nira tuwi, ndan aywagya juga lumkas, manangaskara, dukan wamtawuh nira, sangksepanya, aywa sang sadhaka lumkas
TERJEMAHAN
9b. sadhaka, dan terhadap temannya sesama dang upadhyaya, tetapi keikhlasan yang mendalam, budi baik, hormat, jujur saja yang menjadi budi sang sadhaka merasa pada seorang dan berlanjut pada yang lain-lain kepada temannya sesama sadhaka. Demikianlah budi dang upadhyaya. Hanya yang demikian itu sajalah hendaknya dipegang teguh oleh sang sadhaka sebagai sarana diksa. Barangkali demikian pertanyaanmu. Jangan juga terburu-buru berbuat, tunggu pula sebentar walaupun perilaku dan disiplin sang sadhaka sudah meyakinkan dan kuat, lebih-lebih pula sudah menyelesaikan tugas-tugasnya, namun walaupun demikian jangan juga terburu-buru berbuat. Hendaknya usianya ditunggu, teliti muda umurnya sang sadhaka untuk
TEKS
10a. kretta diksita, duganwam tuwuh anakbi nira, basama nemu wighnaning lumkas kreta diksita, mon sira tapwan panitiha ring samangka, kuneng deya niran pangantya, yan sampun wrddha nggawayah nira sira lumkas, kuneng ingananing yusa nira, mon sadhaka wet beting kreta diksita, putra potraka pinangkanggeh nira, yapwan gnep limang puluh tahun, hinganing wayah tuwuh nira, yogya lumkasa kreta diksita, kuneng yan tan wkasaning krtta diksita, ahingan nmang puluh tahun tuwuh nira, yogya sira lumkasa krtta diksita, ayu sang kse/-
TERJEMAHAN
10a. kretta diksita. Perkirakan umurnya anak dan isterinya. Berbahaya akan mendapatkan bahaya bila melaksanakan pemberian diksa, bila ia belum mengatasi hal-hal yang demikian, atau akan menggantikan, jika sudah tua umurnya, selanjutnya umurnya, adapun batas umurnya, bila ia sadhaka keturunan dari yang sudah didiksa, maka batas umurnya lima puluh tahun, sudah cukup tua umurnya, boleh melakukan diksa, jika jika tidak selanjutnya melakukan diksa, tapi batas umurnya enam puluh tahun baru ia dapat melaksanakan diksa, baik
TEKS
10b. -/panya, aywa sang sadhaka lumkas kreta diksita, mon lagi yowana, mwang lagi yowana nakbi nira, aywa lumkas kreta diksita, mon srti nira turung maren raja swala, yan sampun tlas matuha kalih, lumkasa sira dumiksana, nahan henhaning wayah nira lumaksana kreta diksita. Ring huwusning prapta wayah sang sadhaka, yan gnep tahuning tuwuh nira, irika ta sira lumkas kreta diksita, aywa sangsaya, parekna tang mudgala tang siwambha diksan, manganakna ta sira diksopacara, magawaya dewa greha, kundha, sthandhila, mapa/-
TERJEMAHAN
10b. yang melaksanakan, janganlah sang sadhaka menjalankan diksa bila masih muda anak dan isterinya. Janganlah melaksanakan diksa bila isterinya belum berhenti datang bulan. Bila kedua-duanya sudah cukup tua umurnya, maka ia dapat melaksanakan diksa. Demikianlah usianya yang dapat melaksanakan diksa. Apabila telah tiba usianya, saat itu ia dapat melakukan diksa, dan jangan ragu-ragu. Hadapilah yang menyucikan dan alat-alat diksa itu, mengenakan pakaian upacara diksa, membuat Dewagrha, Kundha, Sthandhila,
TEKS
11a. -/rekna siwopakarana, lwirnya, bhasma, ganitri, guduha, kundhala, wulang hulu, brahma mutra, ambulungun, pawwahan, camara, argha, tripada, sangka, ghanta, jayaghanti, ika ta kabeh, siwopakarana, anung drwya sang sandhaka, tlas masna pweka kabeh, parekakna tang sisya kamna sangskaran, ndan humera ta mpu sakareng, ikang wwang masna gawayen pudghala, pilihana rumuhun, aywa nangnang sisya, aywa wawang winikwan, kuneng de ya sang sandhaka dumle lwiraning yogya sisya nihan. Punya janma, maha prajna, satya wak, sacu
TERJEMAHAN
11a. mendekati Siwapakarana, seperti bhasma, ganitri, guduha, kundhala, wulang hulu, brahma mutra, ambulungan, pawwahan, camara, argha, tripada, sangka, ghanta, dan jayaghanti. Itulah semua Siwopakarana, yang mesti dimiliki oleh Sang Sadhaka. Kemudian tunggulah sebentar. Orang yang datang hendak menjadi murid supaya dipilih terlebih dahulu. Jangan asal memilih murid, jangan tergesa-gesa menjadikannya wiku. Adapun sang sadhaka dalam meneliti macam-macam murid yang boleh didiksa adalah sebagai berikut, bersifat sosial, orang bijaksana, setia pada ucapannya, yang memiliki kesusilaan,
TEKS
11b. sila, sthira dhairyya, swami bhaktya, dharmma wista, tamo nidhih. Nihan lwiraning wwang pilihen gawayen sisya, wwang suddha janma, maha pawitra kawwanganya, wwang satya wacana tan mrahsadita, wwang sujana tuhu-tuhu maharddhika, wwang prajna, wruh mangaji, wwang satwika sadhu buddhi, wwang susilapageh ring winaya, wwang sthira sthiti ring ngabhipraya, wwang dheryya dharaka nyelaken suka duhka, wwang satya bhakti matuhan, nguniweh ring wwang matuha, wwang mahyun ring kagawayaning dharmma karyya, wwang magapeh magawe brata, wwang jnek wruha miweka sastra, nahan lwir ning wwang gawaye/
TERJEMAHAN
11b. teguh pendirian, setia bhakti terhadap pasangan, teguh pada dharma tanpa noda. Demikian macam orang yang dipilih menjadi murid, orang yang suci, sangat suci keturunannya, orang yang setia terhadap ucapannya, tidak berbohong, pandai dalam ilmu, orang yang benar-benar berjiwa besar, orang mulia, berpengetahuan luas, orang yang susila, tegas dalam hal siasat, orang yang kuat menahan suka dan duka, orang yang setia terhadap atasan, apalagi terhadap orang tua, orang yang gemar melaksanakan ajaran dharma, orang yang teguh melaksanakan tapa, orang yang teguh dengan ilmu pengetahuan dalam sastra, demikianlah macam orang yang dijadikan
TEKS
12a. -/n sisya, yogya diksan, lwirning tan yogya diksan, yadyan brama wangsa, bhasmangkara jati nikang wwang, aywa sinangskara mon tan yogya diksan de sang guru, ndya lwirnya, wwang cutaka, wwang kuci angga, wwang maha duhka, cutaka janma, nga, wwang taluwah, lwirnya, wwang pinaka niwedya, wwang pinaka saji, wwang dana kalaning ghraca karyya, sawa widana, wwang gawaning sawa, pamawa wwe rahupning sawa, wwang tadhah wuk, wwang wlyan winli uripnya kalaning madosa, wwang binandhana, wwang pinanjara, rinantae, ginantung, pinasar, wwang hurung bela, wurung tinewek, hu/-
TERJEMAHAN
12a. murid yang patut disucikan. Adapun yang tidak boleh disucikan: meskipun keturunan brahmana dan benar-benar bhasmangkara, orang itu jangan didiksa oleh guru. Oleh karena, orang cuntaka, orang cacat tubuh, orang selalu duka, cuntaka orang itu namanya. Orang hina, seperti orang yang dijadikan kurban, orang yang dijadikan sesaji, orang yang diserahkan pada waktu melakukan upacara sawa widana, tukang pemikul mayat, pembawa air pencuci muka mayat, penadah darah, penadah barang naziz, orang belian, dibeli hidupnya pada waktu dihukum, orang yang dipenjarakan, dirantai, digantung, dipasarkan, orang yang gagal dibela, batal ditusuk,
TEKS
12b. -/wus winaweng pamanggahan, smasana, catuspata, wwang malabuh pasir, malabuh parang, malabuh wwe, malabuh bahni, tapwan mati, wwang kalebu ring sumur, kalebu ring patoyan, wwang dinyus hulunya ring mutra lawan purisa, wwang sinyukan wwe mukanya dening padhamwaning stri, wwang inmukan pinamwangken dening adhamajanma, wwang timbha, ingisingan ingeyehan mukanya, kuneng dinulangan purisa mwang ngeyeh, wwang tinpak, tinampyal, dinedel sirahnya, mwang mukanya, dening pujut, bondan, kake sangrahi kunang, ika ta kabeh, cutaka ja/-
TERJEMAHAN
12b. setelah dibawa kelapangan, kuburan, catuspata, orang yang ditenggelamkan ke dalam pasir, dihukum pancung, ditenggelamkan ke dalam air, dibakar, orang yang belum mati: orang tenggelam jatuh ke sumur, jatuh ke kakus, orang yang disiram kepalanya dengan air kencing dan kotoran, orang yang disiram air cucian perempuan, orang yang dibungkus cawat oleh orang hina, orang timbha diisi dan disiram air kencing, juga yang disiram kotoran dan air kencing, orang yang ditapak, ditempeleng kepalanya dan mukanya dengan cemeti, diikat dan dijambak rambutnya. Semuanya itu cuntaka janma namanya.
TEKS
13a. -/nma ngaranya kunang patita walaka ngaranya, wwang manembah ring adhama janma, amangan tdhahnya, sinuyuran kuneng, wwang manembah ring cutaka janma, manembah ring tapodhara, wwang mangasraya ring adharma janma, wwang amikul dhampa wimana sdheng hana manunggang, wwang mamikul palana, padaraksa, padamwan, kalasa, tilam pramadhami, yeka patita walaka, nga, muwah sahananing wwang sadigawe, nga, tumut rangadah kriya, nga, salwiring sudra candhala mleccha, sudra, nga, wwang banija krama, wulu-wulu, banija krama, nga, adagang, alampuran, atagana, amalyan
TERJEMAHAN
13a. atau orang patita walaka namanya. Orang yang menyembah terhadap orang yang hina, memakan makanannya, digunting rambutnya, juga yang diguyur, orang yang menyembah kepada oang cuntaka, menyembah kepada tapadhara, orang yang berlindung kepada orang yang nista, orang yang memikul bangku tempat duduk yang sedang ada yang menduduki, tukang pikul palana, padaraksa, jemuran, tikar, tikar permadani. Semua itu patita walaka namanya dan segala orang sadigawe. Sadigawe berarti turut dengan rangadah kriya, berarti segala yang sudra, candala dan mleca. Sudra berarti orang banija krama dan wulu-wulu. Banija krama berarti berdagang, alampuran, atagana, amalyan,
TEKS
13b. buncangaji, salwirning madya lawli, ya banija krama, nga. Wulu-wulu adyan, angendhi, apandhe, salwirning ngamandhe, hundhaagi, maranggi, jala graha, angukir, anglukis, angapus, majahit, awayang, menmen, ijo-ijo, amidu, amacangah, anggodha, arakren, ika ta kabeh, candhala, nga, mwangamahat, ajagal, amalanten, amuter, acukit, adulit, amdel, adasa, ika ta kabeh, asta candhala, nga, mleccha, nga, apandhe mas, walyan, kdhi, juru turih, ika ta kabeh mleccha, nga, kuneng yan hana sadaka/-
TERJEMAHAN
13b. buncangaji. Segala yang menjual belikan dagangannya, bajija namanya. Wulu-wulu adhyan, angendhi, pande, segala macam pande, arsitek, pembuat sarung keris, jalagraha, mengukir, melukis, angapus, menjahit, membuat wayang, menmen, ijo-ijo, penggoda, arakren, itu semua Candhala namanya, memahat, menjagal, melempar, memutar, mencungkil, mendulit, memukul, membudak, semua itu asta candhala namanya. Mleca berarti pande emas, dukun, banci, juru turih, semua itu mleca namanya. Demikian pula kalau ada keturunan brahmana
TEKS
14a. -/ngsa, tumut ri karyyaning sudra, mwang candhala, yeka janma sadi gawe, nga, apan salahur, nga, janma kuci angga, nga, wwang ala, kapalang wuwuhnya, lwirnya, wwang wala, wungkuk, wayang, wujil, dremidari, lampang, bule, wlang lmpir, widang, ika ta kabeh, kuci angga, nga, maha duhka, nga, wwang wikara sariranya, dening duhkanya, lwirnya, wwang kostan, edan, ayan, manca, lajwa, wluh, bhusul, bwalen, busung, tahipaden, tan lanang tan wadon, nguniweh wuta, tuli, bisu, dungis, umbung, tlihen, timpang, kthepingkel, singkel, kbeng, kaha/-
TERJEMAHAN
14a. ikut dengan pekerjaan orang sudra, orang candhala, itu manusia sandigawe namanya, sebab salahur namanya. Manusia kuci angga berarti orang cacat tubuhnya, seperti orang wala, orang bungkuk, kayang, kerdil, dremidari, lampang, albino, belang lampir, widang, semua itu kuci angga namanya. Maha duhka berarti orang yang menderita tubuhnya oleh karena sengsara, seperti orang kusta, gila, ayan, manca, lajwa, wluh, bisul, bwalen, busung, tahipanden, tidak laki tidak perempuan, apalagi yang buta, tuli, bisu, cungik, umbung, tlihen, timpang, kejang, singker, kbeng,
TEKS
14b. -/n lwiring wikara de ya, yeka janma maha duhka, ri pasamuhan ikang wwang, mangkana kabeh, yeka janma durlaksana, nda tan yogya ika gawayen sisya, mwang mamudgala, sangksepanya, aywa diniksa ika dena dhangupadyaya, apan simbaktin molihayala, wwang gankapalitan klesa papa ngwang yan sambahen denya, ya matangnyan aywa sang sadhaka dumiksaning wwang durlaksana, mwang aywa sang sadhaka dumiksa wwang huwus diniksan de dhang guru waneh, diniksan dening sadhaka tapwan kreta diksita, aywa dumiksa wwang awusta sangskara ma/-
TERJEMAHAN
14b. semua itu namanya cacat menderita, itulah manusia maha duhka. Segala orang seperti itu, manusia durlaksana namanya. Tidak patut dijadikan murid dan disucikan. Kesimpulannya, jangan disucikan mereka itu oleh Dhangupadyaya, sebab jangankan mendapat rintangan, bahkan mendapat dosa dan sengsaralah kita kalau disembah olehnya. Itulah sebabnya jangan sang sadhaka memberi penyucian kepada orang durlaksana. Dan janganlah sang sadhaka mensucikan orang yang telah didiksa oleh Dhang Guru yang lain, didiksa oleh Sadhaka yang belum kreta diksita. Jangan mendiksa orang yang telah melakukan upacara penyucian,
TEKS
15a. -/naru ri sang tapodhara, nda tan yukti mangkana, manusun sang skara, lawan muwa aywa dhangupadyaya, dumiksa wwang samanya janma, tan jatining brahmangsa mwang bhasmangkura, brahmangsa, nga, brahmana kula, putri potrakaning wipra jati, ya brahmangsa, nga, maka kula-kula sadhaka, wet beting wiku saiwa sogata, anak putu kapwanakan kuneng, yeka sinangguh bhasmangkura, nga, ika wwang lyan sangke rika, yeka samanya janma, nga, nda tan yogya sang skaran tumute prakretining, sadhaka, kuneng ya karahyunya magurwa, dhiksan de dhang guru, tu/-
TERJEMAHAN
15a. memohon restu kepada Sang Tapodhara. Tidak benar tingkah seperti itu, menyusuni upacara suci. Lagipula janganlah dhang guru mendiksa orang keturunan biasa, bukan brahma wangsa dan bukan bhasmangkura. Brahma wangsa berarti keturunan brahmana, putra putra pandita sejati, itulah brahma wangsa namanya. Bhasmangkara berarti memang keturunan sadhaka, berasal dari pandita Siwa Budha, apakah itu anak, cucu dan juga keponakan, itulah yang disebut bhasmangkura. Orang yang lain dari itu, orang biasa namanya, tidak boleh diupacarakan seperti yang berlaku bagi sadhaka, namun jika keras keinginannya berguru, didiksa juga oleh Sang Guru
TEKS
15b. -/hun aywa inudara, sama sang skaraknakna, ambadaru juga pryogyanya, kapunta caraka kapangguhanya, tanilwa ring sinangguh sadhaka, nda tanilwa sikadhara, mwang tanpa nandhanga siwopakarana, apa kari alaning dumiksa samanya janma, ndya dosanya ya pwamilwing sadhaka, nyapan tahan ta kita, nihan wihalanya, ya pran hana sira dhangupadyaya dumiksa samanya janma, milwing sadhaka, mangdadyaken maha pralayaning rat, mwang haru haraning praja, yukti ta sira pahemakna, de sang para dhangacaryya, wredha pandhita, pinangen sang para dhangupadyaya, pitamaha, prapitamaha, bha/-
TERJEMAHAN
15b. namun jangan “inudara”, sama saja upacara penyuciannya dengan yang sederhana saja. Hanya mendapat restu saja. Kapunta caraka gelarnya. Tidak ikut disebut sadhaka, tidak memakai Sikadhara dan tidak mengenakan Siwopakarana. Apakah bahayanya mendiksa orang kebanyakan? Betapa dosanya kalau menjadikannya sadhaka, agar engkau ketahui bahayanya. Kalau ada Dhang Upadhyaya melakukan diksa kepada orang kebanyakan, dunia menuju maha qiamat dan negara menjadi hura-hura. Sebenarnya ia disidangkan oleh para Dhang Acarya, Pendita senior, dan para Dhangupadyaya, Pitamaha, Prapitamaha, Bhagawanta,
TEKS
16a. -/gawanta, deyaning mahon kapwa malinggieng sabha, amacaha sanghyang siwa dharma, mwang sanghyang siwa sasana, wehen karenge de sang sadhaka samuha, anung donya ri tan hanani ngamana manangga waya karma mangkana, tibana ta pidana, gurunya mwang sisyanika, dening mamigraha gurunya, patatan de sang sandhaka kabeh, adapana namanya ndug sangskara, waluyakna namanya walaka, alapana kriyanya mwang Siwopakarannya kabeh, huwus pwa pinucca, uyan ta de sang prabhu, bwangen tundhungena mareng nusantara, aywa wineh mangantya
TERJEMAHAN
16a. mintalah kepada sidang pertemuan, berkumpul dalam sidang umum, memecahkan tentang hukum pandita Siwa dan mengenal tata laksana Pandita Siwa agar diperdengarkan kepada sadhaka semua. Adapun tujuannya adalah adanya ketidak tentraman melakukan perbuatan seperti itu. Jatuhkan hukuman pada guru maupun muridnya, karena merusak gurunya. Dikucilkan oleh para sadhaka semua, dicabut gelarnya karena melanggar pensucian. Kembalikan namanya menjadi walaka. Cabut kewajibannya beserta Siwopakarananya semua. Setelah dihapuskan semuanya, kemudian inilah yang dilakukan oleh raja. Supaya dibuang, disuruh pergi keluar wilayah jangan diperkenankan bertempat tinggal
TEKS
16b. ring bhumi jawa, kumwa deyaning mamucca gurunya, kuneng sisyanika, ngandanen ring rwi walatung, bwangen de sang prabhu mareng sagara, wawana plawa, prapta pwayeng lod pokanata griwanya, pasahen mwang lawayanya, angganya mwang sirsanya, tibaken ri tlenging payonidhi, ndan mangkana ta dosaning dwanitinama diksita, tan rinakwa pamangguhnya papa duhka, hinganyan lalu tiwasning sadhaka, paksa nipuna, kunang lwara sang tunipuna sadhu pajarakna, ri tlasnira madumpi-dumpil, wwang yogya sinambah dening sisyanda aywa tampu sangsaya ri kalkasanig diksa widhi,
TERJEMAHAN
16b. di pulau jawa. Demikianlah cara menghukum gurunya. Adapun muridnya, ikat pada duri kaktus, dibuang oleh raja kelaut memakai sampan. Setelah sampai ketengah laut pancung kepalanya, pisahkan dari tubuhnya. Badan dan kepalanya, buang ketengah samudra. Nah demikian dosanya memberi nama diksa dua kali. Tak dapat tiada akan mendapat papa sengsara. Kesimpulannya, ikhlas hati sang sengsara. Ikhlas hati sang sadhaka yang berjiwa bijaksana tetap tegak seperti gunung. Demikianlah hendaknya. Setelah selesai hal itu, marilah kita bicarakan sekarang tentang orang-orang yang benar-benar suci dan bijaksana, setelah ia memikirkan masak-masak terhadap orang yang patut dijadikan sisya. Hendaknya engkau jangan ragu-ragu melaksanakan “Diksa Widhi”,
TEKS
17a. parenakna mudgala, lumarisa diksana sakweh kdhiknya, tlas pwa mpu kreta diksita, sang guru panengguhning sisya ring kita, nda aywa ta mpu wismrti ring dharmaning sadhaka pinaka guru, silan ta pintonakna ring rat, ndya dharma sang sadhaka pinaka guru tutanangkwa, nyapan tahan kwa linganta, nihan pih, deya sang sadhaka guru, majara dharmaning sisya, mwang mudgala, maweha kriya, mohuta ring sisya aningra, laksana, mawaraha ring dharmanya, aywa wimarga sake kabhujangganya, kumwa deya nira marah-marahi sisya, mwang buddhya sang guru ring sisya, aywa krodha, aywa lobha, a/-
TERJEMAHAN
17a. dekatkan pada upacara penyucian. Teruskan diksa banyak atau sedikitnya. Mungkin engkau mempunyai banyak sisia, namun janganlah sampai engkau lupa pada kewajiban sebagai sadhaka yang dijadikan guru. Tingkah lakumu perlihatkan kepada dunia, bagaimana kewajiban Sang Sadhaka yang menjadi guru yang patut diikuti. Agar engkau ketahui, saya memperingatkan. Nah inilah kewajiban sang sadhaka guru. Membicarakan kewajiban sisia dan mudgala. Memberikan pekerjaan kepada para murid pada kewajibannya. Janganlah menyimpang dari Kabhujanggan. Demikianlah caranya mengajar kepada murid dan budhi sang guru kepada muridnya. Jangan rakus,
TEKS
17b. -/ywa parusya, aywa irsya, aywa drowi ring sisya. Krodha, nga, abhimana magalak, masenghit tumoning sisya, lobha, nga, mahyun mamunpunana wastu drewyaning sisya, mwah capalawangan, nga, mamalu, mamrep, manampyal sisya. Capala wuwus, nga, majaraken karnna sula, sapata, pisuna, ring sisya, irsya, denggya, matsarya, kimbhuru, bwat iryan ring sisya. Drowi, nga, mangupaya halaning sisya, maka nimitta ingsa karma, mwang raga dwesa. Murkka, nga, crol kuhaka mada, mana kadungka, pinaka srayanya ala maring ngalaning sisyanya. Ingsa-ingsa karmma, nga, makira-kira ri kapatianya, ma/-
TERJEMAHAN
17b. jangan mencaci maki, jangan iri hati, jangan khianat kepada sisia. Krodha berarti selalu galak, marah kepada murid, Lobha berarti ingin memiliki benda kepunyaan sisia. dan Capalawangan artinya, memukul, menerkam, menempeleng murid, Capala Wuwus artinya berkata-kata sampai keras, pitnah pada murid, irihati, dengki, sakit hati, cemburu, menanamkan iri hati kepada murid. Drowi berarti berusaha mencelakakan sisia yang menyebabkan suka membunuh dan membenci. Murka berarti, dusta, jahat, mabuk, tinggi hati, pikiran kotorlah yang menjadi sahabatnya. Selalu membayangkan kepada sisianya. Ingsa Karma berarti merencanakan untuk membunuh,
TEKS
18a. -/matyani kuneng, mahyun manimbata, mranga, nuduka. Raga, nga, makira-kira maka nimitta raga wisayanya, mahyun kalahala, lumakwa manyidra ring tanaya dharaning sisya, saha cihna kunang, makuren makridha cumbana mwang anakbining sisya. Dwesa, nga, mangupaya halaning sisya, maka nimittang iliknya, moghaten mamucca, atenan dhanda, aten sahasika sangke dulegnya, ring sisyanya, ika ta kabeh, sisya drowi, nga, aywa sang wiku makambekika, duryyasa, nga. Kunang deyan ta, aywa mamucapucayan sang guru umneng tomon sisya kalaran manmu duhka, aywa lwir tanu/-
TERJEMAHAN
18a. termasuk pembunuhan, ingin menikmati tanpa menghadapi kesulitan. Raga berarti merencanakan untuk menjadikan kepuasan hawa nafsu, keinginan jahat dengan jalan curang, menghendaki anak gadis sisia dengan alasan mengawini, melakukan senggama, bercumbu rayu dengan anak istri sisia. Dwesa berarti berusaha mencelakakan murid, karena dengkinya ingin menghapus, menghukum melakukan dosa, berlaku sadis terhadap sisianya. Janganlah sang wiku melakukan pekerti seperti itu. Hina namanya. Yang patut engkau lakukan, adalah, janganlah sang guru berhati kejam, melihat murid papa sengsara mengidap derita. Jangan bersikap
TEKS
18b. -/ninga tumon sisya salah sila mwang bhawanya, aywa ndurusaken, sisya tan wruh ring krama, aywa ginumohut ring sisya, magawe papa karmman de patitanya, aywa nangguh patita ring sisya, mon tan byakta cihnanyan patita, aywagya kumaniscaya ri sisya ri bratanya, aywa tan parcaya, yan kateher byaktaning silanya, aywa ninda pracodya ring sisyanta, aywa mucca sisya yan tan sakaya dosa, aywa mucca sisya sulaksana, maka nimeta krodha mwah ngabikta, aywa nganumata sisya, patita sake sradhanta mwang sih ta, sang ksepanya, mon kita mucca sisya, aywa tan manut kra/-
TERJEMAHAN
18b. seolah-olah tidak tahu terhadap murid yang salah tingkah laku dan pekertinya. Jangan dibiarkan murid itu tidak tahu terhadap kewajibannya. Jangan ragu-ragu memberi teguran kepada sisia. Adalah perbuatan dosa membiarkan ia jatuh. Jangan menganggap seorang sisia patita jika tidak jelas faktanya, Jangan cepat-cepat yakin percaya terhadap tingkah laku dan warta murid. Jangan tidak percaya kalau benar-benar terjadi bukti dari tingkah lakunya. Jangan menghukum cambuk muridmu. Jangan menghukum murid tanpa nengetahui tata cara denda dan dosa. Jangan mencegah murid yang bertingkah laku baik karena marah dan dengki. Jangan belas kasihan kepada siswa tercela dan buruk laku yang disebabkan oleh kepercayaan dan kasih sayangmu. Kesimpulannya, kalau engkau menghukum murid jangan hendaknya tidak tahu
TEKS
19a. -/ma dosa, mon kita nganumata, aywa tan panuta ujaring agama, kuneng yan hana sisyanta, hingupawada dening kapwanya sadhaka, aywagya kita mamituhu, bhasa malebok gatining para codya, kuneng deyan ta mariksana, maran katon kasuddhinya, dlenlen tuhu tan tuhuning dosanya tanyanen prihen sarjjawanya, yapwan tan ulih kita mariksa sisyanta, ther tanaren panyodyaning para, swikaranta sisya, kon magawaya sapatha, pangadesana yan tan tuhu patita, kuneng pagawayakna sapata, ring siwa greha, ring agni kundha, ring lingga, ring parhya/-
TERJEMAHAN
19a. Jangan tidak menurut perilaku yang berdosa. Jangan sampai tidak tahu tata cara yang ditetapkan menurut ajaran agama. Namun kalau ada muridmu yang dimarahi oleh sesamanya ditempat umum, jangan cepat-cepat engkau percaya, terpengaruh oleh sesamanya ditempat umum, jangan cepat-cepat engkau percaya, terpengaruh oleh bunyi dan tingkah laku para pencela. Yang patut engkau lakukan periksalah sebaik baiknya. Perhatikan betul betul dosa yang sebenarnya. Tanyakanlah, usahakan mengenal kejujuran kalau tak dapat engkau memeriksa sisiamu, perintahkan kepadanya agar membuat kutukan diri sendiri pada Siwa Greha, pada Agni Kundha, pada Lingga, pada Paryangan,
TEKS
19b. -/ngan, ring Siwa pada sang guru, irika magawaya sapata, kasaksyana de sang guru, mwang dhngen sanak, kalanyan masapata, tlasnya masapata, nda tan kaparccaya dening gurunya pwaya wih, wetning gengning para wada, murangdoha ta ya muwah, swikaran madewasraya, manghyanga ring silagre, ri punwa tirtha, ring samudra tira, ring guha ring tapowana, nahan parana dening sisya, lawasanya lungha, sewu pitung puluh dina, kuneng mon tan pamangguh wighna ring sapata kala, mwang sahinganing dewa sasana kala, tan tuhun ya patita, aywa pinucsa dening guru, yan pamanggih wighna pwa sahinganing sa/-
TERJEMAHAN
19b. di kaki Siwa, didepan sang guru, di sana melakukan sumpah. disaksikan oleh guru dan sanak keluarga ketika bersumpah. Setelah melakukan sumpah, jika tidak dipercaya oleh gurunya, karena besarnya celaan yang ditimpakan dari orang banyak, maka pergilah menjauhkan diri lagi, melakukan dewasraya, memuja dipuncak batu yang tertinggi, ditempat tirta utama, ditepi samudra, di dalam gua, di hutan pertapaan, di sanalah tempat yang didatangi oleh murid. 1070 hari. Bila selama itu tidak mendapat bahaya seperti ketika sumpah yang diucapkan, namun tak terhalang selama melakukan dewa sasana kala, tidak patut ia dihina. Jangan dihukum oleh sang guru, jika menemukan marabahaya karena kutukan
TEKS
20a. -/pata, mwang dewasraya kala, puccan de sang guru, aywa inanumata, kuneng helyaning sadhaka hingupawada dening kapwa sadhaka, nirupadrawa sehinganing lawasnyan padewa saksi, tan tuhu ika patita, ikang sadhaka mangupawada ri gatinya, tar walesana juga, puccan dening gurunya mwang dhngen sanaknya, apayapan walatkara ri diksa padhanya sadhaka, ikang mangupawada purwwa, puccan aywa hinanumata dening gurunya, kumwa sasananya ling sanghyang agama. Yapwan walaka mapawreti mangupawada, ri dhang acaryya, manangguh patita, swikaran ta dening gurunya, ika sadhaka katka/-
TERJEMAHAN
20a. dan ketika dewasraya, dihukum oleh sang guru, dan keluarganya sebab sama dengan merusak diksa. Sadhaka yang mencemarkan tadi harus dihukum oleh gurunya, tak dapat diampuni. Demikian peraturannya, yang tercantum dalam Agama. Bila walaka yang melakukan penghinaan kepada dhang acarya, menuduh patita, sedangkan tidak benar tuduhan itu, hendaknya gurunya mendesak agar sadhaka yang dituduh itu melakukan dewa saksi menghadap ketimur. Bila tidak nyata kebenarannya, janganlah dihukum oleh sang guru. Itu Sadaka
TEKS
20b. -/n para dada, kon madewa saksi kuneng yapwan katon byaktanya, aywa pinucca de sang guru, ikang walaka mangupawada, pinidhana de sang prabhu, menana denira, sirsanya, pasahaken, lawan kawandhanya, aywa wineh tiba ring rat, angganya, rahnya, sirahnya, bwangen mareng lod, tibaken ring tlenging payonidhi, kumwa dhendhaning walaka, mangamuk sangskaraning sadhaka, nga, Hana wwang mangupawada ring sadhaka, winalingnya tan wet nget brahma kula, mwang bhasmangkura, tuwi sudhanta jatining sadhaka maruhun, paranuswa desaning yayah renawya, mwang kakinyandunya kuneng, ika mangapawada,
TERJEMAHAN
20b. pada waktunya diperintahkan untuk bersumpah walaupun kelihatan kekeliruannya, tidak boleh disucikan oleh gurunya. Walaka yang menghina itu dihukum oleh raja, dipancung kepalanya, dipisahkan dari tubuhnya. Darahnya maupun kepalanya dibuang kelaut, dilemparkan ditengah samudra. Demikianlah hukuman walaka yang menghina terhadap sadhaka, merusak diksa sadhaka namanya. Ada orang menghina sadhaka dengan menuduhnya bukan keturunan brahmana dan tidak memakai bhasma dengan abu, namun benar didhiksa keturunan sadhaka itu oleh gurunya, selidikilah tempat tinggal orang tuanya. Jika benar orang tuanya adalah sadhaka dan nenek moyangnya, orang yang menghina itu harus
TEKS
21a. -/ngawada, walesen purwwa wat, dhandakwa, asalah tuna ngaranya, yan stri mangapa wada ring sang sadhaka, manangguh patita, manangguh tan brahmakula, bhasmangkura, kramanya de sang guru, kon madewa saksya tang sisya, purwwa wat, kunang yan tan polih pangapa wadaning stri, ikang stri pidhanan de sang prabhu, teweren lidhahnya wehen malyanga, tan dukana pasa wsi dhingabang, dening apuy, tuntun weh katona dening wwang akweh, puter tpining awan, aywa linraputan maka ingan patinya, numwa pidhandanya, padha mwanga ngarwwana ring sadhaka, nahan tmahaning pangumawa dasa
TERJEMAHAN
21a. dibalas dengan melaksanakan dhiksa menghadap ke timur. Dendanya adalah tuna namanya. Jika wanita menghina terhadap sadhaka, menuduh rendah derajatnya, menuduh bukan keturunan brahmana dan tidak melakukan bhasmangkura, menurut peraturan, sang guru menyuruh melakukan Dewa Saksi menghadap ke timur. Jika tidak benar tuduhan wanita itu, wanita tersebut dihukum raja. Dipotong lidahnya, diberi logam, ditekan dengan tali besi yang sedang membara. Giring agar dilihat orang banyak. Diikat dipinggir jalan. Jangan terbatas penyebab kematiannya. Menemukan hukumannya dengan pasangan perempuannya pada Sadhaka, begitulah disebutkan sepuluh
TEKS
21b. caka, tanurung manmu pamalesning panyodyanya, sangksepanya, yawat sang sadhaka, inapa wada, tawat madewa saksi, yawat wwang mangapa wada ri dhangacaryya, sang sadhakanya, mon tapodara, mon laki-laki, mon stri, sahasika ngupawada, yan tan sayata cihna wyakti, tawat deningi napawadhanya, tanurung manemu duhka dening panindanya ring para, ya ta matangnyan aywa sadigawe jati ni kang wwang, nyapan tan kawalesan. Iti Siwa Sasana. Babon piniki kasurat olih Ketut Tangsub, duk puput, isaka, 18/-
TERJEMAHAN
21b. caka, tidak luput menemukan balasan perbuatannya, atau pun, jika Sang Sadaka terkena celaan, segera melakukan sumpah, jika orang yang mencela Dhangacarya, Sang Sadaka, walaupun orang muda, walau lelaki, walau perempuan, semua mencela, jika tidak ada bukti yang benar, mengenai celaannya itu, tidak sampai menemukan penderitaan oleh hukumannya pada orang lain. Itulah jadinya jangan dipercaya apa yang dilakukan oleh orang itu, walaupun tidak dibalaskan. Ini Siwa Sasana. Naskah asalnya ditulis oleh Ketut Tangsub, selesai pada tahun Saka 1803.
TEKS
22a. -/03. Puput sinurat manedun, ring rahina, bu, pa, wara krulut, titi, pang, ping, 13, sasih karo, rah, 4, tenggek, 1, isaka, 1914. Tanggal masehi, 5 Juni 1992. Ditulis oleh I Gede Sugata Yadnya Manuaba, Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan, Bongkasa, Abiansemal, Badung. Hnging ksamakna ngwang alpa sastra.
TERJEMAHAN

22a. Selesai dituliskan kembali pada hari Rabu Paing wara Krulut, perhitungan tanggal ke tigabelas, bulan kedua, rah 4, kepala tahun 1, tahun saka 1914. Tanggal masehi, 5 Juni 1992. Ditulis oleh I Gede Sugata Yadnya Manuaba.Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan, Bongkasa, Abiansemal, BadungTapi maafkan hamba yang kurang memahami sastra.

LONTAR TUTUR KATATTWANING AKSARA DI RAGA

TRANSLITRASI LONTAR TUTUR KATATTWANING AKSARA DI RAGA

Pustaka Ki Dalang Tangsub
Druwen Griya Agung Bangkasa

TEKS
1b. Ong awighnamāstu. Nihan upadesa warahakna ring sisya, aywa karěnga dening wong len, lwir ira sang hyang niskala, tan parupa, tan pakarnna, tan padesa, alinganira taking wěnang, tinudhuh, apan tan wěnang tinarka, sira kapralina ning dewa kabeh, paraba durllabha dahat. Hana ta isor ring niskala, nada, nga, ranira, tan pawarnna, tuwun hana rupa mantra, lwir ring rupa, sira nada ngaranira, unggwa nira tutunging rambut, sira sinanggah sunya ling sang wiku. Ring sor ira, hana ta purusa ngaranira, wisnu aksara nira, lwir ring windu, stana nira ring wunwunan, kadi langit anarawang tan pamega, rupanira, sira ta bhatara saddha siwa ngaranira. Ring sarira, arddha candra ngaranira, ring lalata unggwanira,

TERJEMAHAN
1b. Ya Tuhan, semoga tiada rintangan. Inilah nasehat yang mesti diajarkan kepada murid, janganlah sampai diketahui oleh orang lain, seperti beliau Sang Hyang Niskala, tak berwujud, tak bertelinga, tak bertempat, sabdaNya berkuasa, diperintahkan, karena tidak boleh ditebak, beliau pemralina para dewa, terutama para pendusta. Adalah di bawah niskala, nada, adalah, tak berupa, yang benar ada berupa mantra, adapun rupa, beliau adalah nada, tempatnya di ujung rambut, beliau disebut sunya kata sang pendeta. Di bawahnya adalah purusa, disebut wisnu, aksaraNya adalah windu, tempatnya di ubun-ubun, rupanya seperti langit lepas tak berawan, beliau adalah Hyang Sadhasiwa. Pada tubuh, ardhacandra namanya, tempat beliau di kening,

TEKS
2a. lalata ngaranya těngahing rai, těkeng patatěmoning alis, anungsung sira, windhu nira roro, wyakti nira mětu ring aksara, ya sira sumungsung, ring patěmong alis, anungsung sira, rupanira kadi sangka manik, esi amrěta, ikang windhu roro, windhu kasungki pisan bhatāra saddha siwa, ira, windhu kaping ro sira ta ingaranan dewi gayatri, sira ta awaking bayu ming sor, adalaning lenging irung kalih sangkaning ingaran windhu dwaya, apan masuk wětu ring lenging irung kalih, sabdha nira ya mañjing, ah, swaranya, ya mětu, swaranya, sira ta ingaran arddha cundri nariswari, de sang wiku, apan parěmun bhatāra saddha siwa lan dewi gayatri. Bayu ring těngěn, saddha siwa tatwa sira,

TERJEMAHAN
2a. Kening disebutkan ditengah wajah, sampai di pertemuan alis, menjunjung beliau, windhuNya dua, benar beliau muncul dari aksara, beliau yang dijunjung, di pertemuan alis, menjunjung beliau, wujudnya seperti terompet manik, amertha, adapun dua windhu, windhu Hyang Sadhasiwa yang sangat dijunjung, beliau, windhu yang kedua disebut Dewi Gayatri, beliau perawakan angin yang menurun, oleh karena dua lubang hidung sebabnya dinamakan windhu dwaya, oleh karena dua lubang hidung, sabdaNya jika masuk, bersuara, ah, jika keluar, suaranya, ya, beliau disebut ardhacandra nareswari, oleh sang wiku, oleh karena pertemuan Hyang Sadhasiwa dengan Dewi Gayatri. Napas di kanan, adalah beliau Sadhasiwa tatwa,

TEKS
2b. bayu ring kiwa gayatri tattwa sira, ikang pranawa sundhali sumungsung iki, ya sinangguh saddha rudra, sira dewaning patěngahing rai, ring sarira, irang kata unggwan sang hyang maya dewa, U karāksara, stana ring dwara pitu, lwirnya, lenging mata, nga, kuping, nga, irung, nga, cangkěm, nga. Ika tutupana, mantra panguñci, 4, yan arěpa dawa kaurip, isěpěn nambu kanta saking lenging irung kalih, ah, mantrakna, dening angisěp den tutug těkeng pusěr, salahakna ring těngahing pusěr ring jro, uněkna ikang mantra, Am, agni rahasya ngaranira, ingkana ta hana gni suksma, kadi api ring kundhu murub, sinahan miñjak rupanira, samangkana sing kabhukti denta tlas i panggěsěng sang hyang agni ring těngah ning na-

TERJEMAHAN
2b. Napas di kiri adalah Gayatri Tatwa, adapun yang dijunjung ini adalah pranawa sundhali, beliau disebut saddha sudra, beliau dewa di tengah-tengah wajah, di tubuh, beliau disebut tempat Hyang Mayadewa, aksara U kara, berstana di tujuh dwara, seperti, bola mata, telinga, hidung, mulut. Itulah yang harus ditutup, dengan mantra pengunci, 4 kali, jika hendak umur panjang, hiruplah udara tenggorokan dari kedua lubang hidung, mantranya, ah, dengan mengirup dan diikuti sampai pusar, tempatkan di tengah-tengah dalam pusar, pusatkan dengan matra, Am, namanya Agni Rahasya, di sanalah ada api sukma, seperti api menyala dalam pengorbanan, terlihat rupanya menjilat, demikianlah yang dirasakan olehmu, habis dibakar Hyang Agni di tengah

TEKS
3a. bhi kundha rahasya, těkaning satwa, rajah, tamah, mwang pañcendriya, dasendriya, sad wargga ripu, padha gěsěng ika, yan těpět dening angabyasa ring sira, salwiring pinangan uni, tan amikarā, luput ring gring phalanya, twi gěsěnganing sodha sawikara, dening pangabyasa sari-sari, apan ilanganing satru ring jaba ring jro, adining satru, hyun lawan alit, ya tika ilang kagěsěng dening yoga, salwiring pāpā pataka ilang dening dyana mangkana, ya ta dwana ngaranira, para samahasya těměn, aja kasangsaya ning pangawruh, niwawasi, ajarajan, tyaga, iniweh ring jati lapa kawrěti, paksa kumawruh, twi yan anadhap ring sang hyang siwagama, mwang boddha gama, tan dendhakna, apan ma-

TERJEMAHAN
3a. Nabhi kundha rahasya, sampai dengan satwam, rajah, tamah, dan panca indria, sepuluh indria, sad ripu, semua dilebur, jika benar dalam berlatih, segala yang dimakan, tidaklah sampai tersakiti, pahalanya akan terbebas dari penyakit, betul betul peleburan suci yang menyakitkan, oleh sari-sari dari kebiasaan, oleh karena hilangnya musuh di luar dan dalam, musuh yang utama, pikiran dan keinginan, itu hilang dilebur oleh yoga, segala papa petaka, hilang oleh dyana itu, itulah dwana namanya, sangat disucikan, janganlah ragu-ragu dalam pengetahuan ini, niwawasi, ajarajan, tyaga, diberikan kesejatian, rasa lapar yang dihancurkan, mengetahui sebagian, sungguh jika merendahkan Sang Hyang Siwagama, dan Boddhagama, tidak dikenakan denda, oleh karena

TEKS
3b. ngkana ring tan paji sastrā, kunang sang wruhing tarkka, ta pwa karana, ika ta sastrikang ngaranya, wruh ring aji tantra, sira ta sědhěng pangurwwana, hana aněngguhěna mwah, kang ngalwih i ri sira manih, brasta ikang wang dumalihana alwihing i ri sira, yan apan sěngguněn ngaranya, ya wong nganangsayan i ngaranya, ya janma edan ngaranya, tan yogya pituhuněn, yan idhěpěn sawuwusnya, milu brasta ikang manut, upa laksanakna ring peta dalu wang, ya upadesa bwat kaparamartta ning ja bujangga kabeh, sira dharmma jati ngaranya, mukta kewalya, nga, aywa wera. Ong sri guru byanamah. Iti ratna padesa mahā rahasya těměn- těměn, parama siwa siddhanta mahā sunya. Wi-

TERJEMAHAN
3b. Yang demikian tidak mendalami sastra, adapun orang yang pura-pura tahu, itulah akibatnya, itulah yang namanya sastra, tahu akan pengetahuan tantra, beliaulah yang pantas untuk mengajarkan, ada juga yang menyebutkan, sesuatu yang mulia pada beliau, kehancuran seseorang karena mengira bahwa dirinya yang baik, oleh karena disebut sengguhu, orang seperti itu dianggap sangat diragukan, dianggap orang gila, tidak pantas dimuliakan, jika diikuti omongannya, turut hancur orang yang mengikutinya, agar dilaksanakan upacara empat malam, itulah ajaran pencerahan bagi semua pendeta, beliaulah sebagai dharma yang sejati, namun lenyap dikatakan, maka, janganlah sembarangan. Ong sri guru byanamah. Inilah ratna upadesa yang sangat-sangat dirahasiakan, paramasiwa siddhanta sebagai maha sunya.

TEKS
4a. sya, nga, wisesā ning bayu, swa ngaranya bayun dhonirengaran pranawa, sira prananing rāt kabeh, sira wastu prana, sangkaning ngaran Ung aksara, aksara kawěkos ning aksara, panunggaling triyaksara, ika wong, sira ta liněga ri sědhěng pasti prana, awan sira wisesāning atmā, sira wastu jiwa, lamun liwat saking sang hyang paramasiwa ta sira, ingaran ibana, maring awak Ongkara, sira niskala, tan pawak, tan pawastu, anghing pranawa tiga maganing pati, apan ta sing bayu. Wiswa, nga, sang hyang Ongkara, sira ta awaking mahādewa, awaking saddha rudra, awaking saddhasiwa, awaking pramasiwa, munggah ring nada, saddhasiwa munggah ring wi-

TERJEMAHAN
4a. Racun, namanya, kekuatan pada angin, swa namanya, angin sebagai tujuannya, yaitu pranawa, beliau sebagai napas dunia, beliau yang menimbulkan napas, karena itu namanya Un aksara, aksara yang seterusnya dari aksara, penyatuan tiga aksara, itulah manusia, ia lah dibebaskan pada saat menghirup napas, sebagai jalan kekuatan atma, ia lah yang menjiwai, jika ia lampau dari Sang Hyang Paramasiwa, disebut ibana, dalam tubuh Ong kara, ia tak nyata, tak berwujud, tak berobyek, namun pranama sebagai kesempatan dalam hidup, karena berwujud angin. Wiswa, namanya, Sang Hyang Ong kara, ia lah wujud Mahadewa, wujud Saddharudra, wujud Saddhasiwa, di atas nada, Saddhasiwa ke atas windhu

TEKS
4b. ndhu, saddha ludra munggah ring arddha candra, mahādewa mungguh ring wiswa ngaranira Ongkara, pranamsiwa, ekāksara, tunggal aranira. Kunang sandhining atangi wěngi, lěkasakna ping tiga, dawuh pisan, madya latri, dawuh ping tiga, karma, asila ngarěpakěn dhupa, mangeka tanaya, prih sasadyan ta ring bhatāra, yoga nidra. Nihan sang hyang triyaksara, kawruhakěn de nira, sang mahyun wuruhaning bhatāra ring sarira, lwirnya, ida pinggala, susumna, ida, nga, irung těngěn, margganing sěkul, trus malunggangan těkeng lat, lět, nga, silit, angising pakěnanya, pinggala, nga, irung kiwa, margganing banyu, trus malunggangan, těkeng poyuh ayuhan, anguyuh pakěnanya, susumna,

TERJEMAHAN
4b. Saddharudra naik di arddhacandra, mahadewa bertempat di wiswa namanya, Ong kara, pranamsiwa, eka aksara, tunggal namanya. Adapun dalam pertemuan bangun pada malam, agar cepat dilakukan tiga kali, pukul satu, tengah malam, waktu yang ketiga, karma, bersila menghadap pedupaan, memusatkan pikiran, memohon kesediaan dewa, yoga nidra. Adalah Sang Hyang Triaksara, hendak diketahui oleh dia, yang bermaksud untuk mengetahui dewa dalam diri, seperti, ida, pinggala, susumna, ida adalah lubang hidung kanan, jalan masuk makanan, sampai berjalan sampai di lat, let, yaitu lubang anus, digerakkan dengan keras, pinggala, adalah, lubang hidung kiri, jalan dari banjo, terus berjalan, sampai pada saluran kencing, keluar menjadi kencing, sumsumna,

TEKS
5a. nga, margganing bayu, panunggal ira ring ati, yan uming sor, panrus těkeng pusěr, yaning luhur banrus těkeng siiwadwara, dwara, nga, lawang, siwa, nga, bhatāra, kalinganya, lawang ida bhatāra siwa, saddhasiwa, pramasiwa, yan mangkana, tejanira sang hyang brahmā, kadi suryya, tejanira sang wisnu, kadi candra, tejanira sang hyang iswara, kadi apuy, yan kahiděp kalaning pati margga těngěn, anungkap swargga nira hyang brahmā, sasar tumurun dadi janma, dadi brahmana, bawuh sisia, yan kaiděp kalaning pati margga kiwa, anungkap swarganira sang hyang wisnu, sasar tumurun dadi janma, dadi satriya, añjakra wrěti, yan kahiděp kalaning pati margga těngah, anungkap swargga nira sang hyang siwa-

TERJEMAHAN
5a. Adalah, jalannya udara, penyatuannya pada hati, jika bergerak turun, lalu akan sampai di pusar, jika naik terus sampai ke ubun-ubun, dwara, adalah pintu, siwa, adalah dewa, maka dikatakan sebagai pintu dewa Siwa, Sadhasiwa, Paramasiwa, jika demikian, cahaya beliau Hyang Brahma, seperti surya, cahaya Hyang Wisnu, seperti bulan, cahaya Hyang Iswara, seperti api, jika dibayangkan pada saat matinya jalan di kanan, akan membuka sorga Hyang Brahma, menyasar turun mejelma menjadi manusia, menjadi brahmana, selain itu sisya, jika dibayangkan matinya saluran kiri, akan membuka sorga Hyang Wisnu, menyasar turun menjadi manusia, yaitu kesatriya, berkuasa, jika dipikirkan mati jalan tengah, akan membuka sorga dewa Siwa

TEKS
5b. ra, wěnang dadi, wěnang tan dadi, sira wisesā. Yan rikala těkaning pati, iringěn asing sangět ikang bayu. Yan těngěn, Am, ma, yan kiwa, Um, ma, yaning těngah, Mam, ma, mwang ma, Am, ring siwadwara, ah, ring nabhi, panglaris. Ah, ring siwadwara, Am, ring nabhi, pangrěting urip, aywa sing ngamaca, bwat, ila-ila. Am, mantrakna ring nabhinta, Ah, mantrakna ring wunwunan, pangrět uripira, dirggayusa phalanya, tur angilangakěn pāpā klesaning sarira de nira. Ah, mantrakna ring nabhinta, Am, mantrakna ring wunwunan, yan těka ri pati, panglaris iika, tan sangsaya phalanya. Iti sang hyang rwa bhinedha tunggal lawan sang hyang sad yot kranti. Nihan kramaning odyatmaka, ring kundha rahasya, ika sarira pinaka pahaman,

TERJEMAHAN
5b. Boleh menjelma boleh tidak, ia berkuasa. Jika pada saat tibanya mati, agar diikuti oleh hembusan napas. Jika kanan, Am, mantranya, jika kiri, Um, mantranya, jika di tengah, Mam, mantranya, dan mantra Am, pada siwadwara, Ah di nabhi, kemudian. Ah di ubun-ubun, Am di nabhi, pengendalian hidup, kepada pembaca, janganlah sembarangan. Am, ucapkanlah pada nabhi, Ah, diucapkan di ubun-ubun, sebagai pengendalian hidupnya, umur panjang pahalanya, serta menghilangkan kekotoran, keburukan, pada dirinya. Ah, diucapkan pada nabhi, Am, diucapkan pada ubun-ubun, jika sampai pada kematian, itu adalah penglaris, pahalanya tidak diragukan. Inilah Sang Hyang Rwabhineda satu dengan Sang Hyang Sadyotkranti. Inilah jalannya odyatmaka, pada api suci rahasia, tubuh sebagai tungku pemujaan,

TEKS
6a. hyang nandhi swara ring mata těngěn, hyang mahākala ring mata kiwa, yan hana ring kundha nabhi, wyakti nira sang hyang agni yan hana ring nabhi, asing kapangan kěnum denta, tan pamingkare, yan sědhěṇg turun ira ring lambening kundha sari, kunang yan liwat sakeng kundha rahasya, urub sang hyang agni ring kana, ambek anrus, krodha, buddhi patěngěranya, aywa ta mangkana, lat urub sang hyang agni ring kundha rahasya, asing kapangan kěnum tan ti ring usus, wyakti anglareng watěng, tan ratěng ikang pinangan, yan mangkana, pilih kadadak laranta, yan kapanga wyakti sang hyang agni hana ring jro sarira, makastana ring wangkuning nabhi, nga, uděl, pasang ta tri wrěti ring kundha, tri wrěti, Um, ring panggala, nga, ika tri nadi, apan bungkahin, tri nadi ring usěr,

TERJEMAHAN
6a. Hyang Nandhiswara di mata kanan, Hyang Mahakala di mata kiri, jika ada pada api nabhi, sebenarnya beliau Sang Hyang Agni jika ada pada nabhi, semuanya dimakan dan diminum oleh beliau, tidak dipungkiri, jika sedang turun ke mulut kundha sari, adapun jika lewat dari api rahasia, Sang Hyang Agni berkobar di sana, terus bergerak, marah, budhi sebagai peramalannya, janganlah demikian, sedang berkobarnya Sang Hyang Agni pada api rahasia, segala yang dimakan dan diminum pada usus, yang sungguh menyakiti perut, karena tidak dicerna baik, jika demikian, sebab sakitnya itu karena terburu-buru, jika makan dengan benar Sang Hyang Agni telah berada di dalam tubuh, sebagai stana beliau di pusat tubuh, yang namanya, pusar, pasanglah Tri Wreti pada kundha, tri wreti, Um, pada pinggala, namanya, itulah tri nadi, karena pangkal dari tri nadi itu di pusar,

TEKS
6b. ndyang tri nadi, ida, pinggala, susumna, ya katri wrěti rahasya, nga, Mam, ring susumna, Am, ring, ida, Um, ring pinggala, utpati ika, kawijilanira sang hyang agni rahasya, saking witning tri nadi, maek amběk ta aywa lamba-lamba dening ngangisěp, apane ya sang hyang agni rahasya ngkana, mangkana katuhuraning jnananta, iděp ta juga, wisesā, ya ta sinangguh bahni darana, nga, ya yoga, nga, Am, ma, idhěp sang hyang agni rahasya, murub aturana ta sira widana, nga, kayu, kayu ring sarira, tri yantah krana, yeka kayu rahasya, wijilakna sakeng jro ati, lwir ring tri yantah krana wigawaknya, haneng ati, ning rah kabeh, lwirnya, satwa, rajah, tamah, ika ta wehěn gěsěngana de sang hyang agni rahasya, ka-

TERJEMAHAN
6b. Yang mana tri nadi, ida, pinggala, sumsumna, itulah tri wreti rahasya, namanya, Mam, pada sumsumna, Am, pada ida, Um, pada pinggala, itulah penciptaan, kemunculan beliau Sang Hyang Agni Rahasya, dari asal mula tri nadi, bergerak mendekat janganlah terlalu lambat mengisap, karena di sanalah Sang Hyang Agni Rahasya, demikianlah kebenaran dari jnana, pikirkanlah itu, wisesa, itulah yang disebut bahni darana, namanya, itulah yoga, namanya, Am, mantranya, pikirkan Sang Hyang Agni Rahasya menyala, agar beliau dipersembahkan widana, namanya, kayu, kayu pada badan, tri antah karana, itulah kayu rahasya, munculkanlah dari dalam hati, adapun pada tri antah karana pada dirinya, pada hati, pada seluruh darah, seperti, satwam, rajah, tamah, itulah agar diserahkan untuk dilebur oleh Sang Hyang Agni Rahasya,

TEKS
7a. lingan ika gěsěngana ikang buddhi, kaping ya lasaning sarwwa bawa, prih kailanganing kang sarwwa buddh, mwang gěsěngana tikang buddhi krodha ring sarwwa bhawa, ring tlasnyan, gěsěng ikang tri yantah krana ring atinta, enak urub ikang agni rahasya ring kundha dyatmika, pujan sira ring puja dyatmika, mapata rehnya, nimita kaurubing agni enaka, iisěp bayunta sakeng wiwa, ning iirung kalih, tutugana mareng mandhalaning agni rahasya, pisanakěn ikang bayu lawan agni, ya pradhana purusa sayga, nga, Ah, mantra, inulakěn, pujanta ring puja dyatmika, dya ta ikang dhupakna, ujar ta rahayu, mangenaki krěnga dening len, aywa wuwus agangsul, mangkana dhupanta ring adyatmika, ika siwa bha mesi tirta sirah ta,

TERJEMAHAN
7a. Yang dikatakan itu agar budhi dilebur, kemudian dasar dari segala prabawa, mencari hilangnya segala budhi, dan dileburnya budhi itu murka kepada semua bawa, pada penghabisannya, melebur tri antah karana dalam hatimu, menyalanya agni rahasya dengan baik pada kundha dyatmika, pemujaan beliau terhadap puja dyatmika, apapun sebabnya, yang sungguh mengakibatkan dibakar oleh api, hiruplah udara dari kedua lubang hidung, antarkanlah agar sampai di daerah agni rahasya, satukanlah udara dengan api, itu sebenarnya adalah purusa dan pradana, namanya, Ah, mantranya, lakukan, pemujaanmu dengan puja dyatrmika, itu agar diasapi dupa, dengan ucapan yang baik, agar baik didengar oleh orang lain, janganlah berkata sembarangan, demikianlah pedupaan yang ada pada kekuatan dyatmika, itulah Siwa yang berisi tirta pada kepala,

TEKS
7b. paning patěngah-těngahaning alis ta, těkan Ukara, sumungsang saking lalata padma, amijilakna mrěta saking tungtungin adanira, tumědhun maring wrědaya pundha ring kanta, cita nirmmala, pinaka wijanta, suciining awak ta, minakadi panta, ikang netranta manis, yan mulati lyan, ika pinaka sěkar tatuñjung kuucuping tangan ta sapuluh, mangkana sadana puja ring adyatmika puja, hana ta samita dyatmika, dyata sami dyatmika, ikang dasendriya, nga, ika ta turwwaakna siwa sayanya kabeh, maring sang hyang agni rahasya tlas gěsěng ika samitra rahasya sapuluh kwehnya, ngkane kundha dyatmika basmi de sang hyang agni rahasya, labuhakna ikang tila paturwwa, ila patawa, ikang asta dusta, mwang

(BAHASA BALI)
7b. magenah ring tengah-tengahin alis, antuk aksara U kara, sumungsang saking padma ring lelara, ngwetuang mertha ring tungtungin manah, tumurun ring wredaya pundha ring kanta, citta nirmala, pinaka wija, kasucian ring angga, minakadi panta, nétra sané manis, nyingakin sané lianan, sakadi tunjung kuncup adasa, asapunika sadana puja ring adyatmika puja, inggih punika samita dyatmika, dyata makasami dyatmika, ring dasandria, wastané, punika sané kasirepin olih makasami siwa, majeng ring Sang Hyang Agni Rahasya telas kageseng olih samitra rahasya inggih punika akehnyané adasa, irika kundha dyatmika sané kalebur olih Sang Hyang Agni Rahasya, runtuhang makasami sané ngawinang lali, tan bagia, inggih punika asta dusta, miwah

TERJEMAHAN
7b. Bertempat di tengah-tengah alis, dengan aksara U kara, terbalik dari padma di dahi, memunculkan mertha dari ujung pikirannya, turun dari pusat hati ke pundha kanta (leher), citta nirmmala, sebagai benihnya, kesucian badanmu, seperti panta, adapun matamu yang manis, jika melihat yang lain, itu seperti bunga teratai kuncup berkelopak sepuluh, demikianlah sadana puja pada adyatmika puja, adalah samita dyatmika, dyata semua dyatika, pada sepuluh indra, namanya, itulah yang ditidurkan oleh semua siwa saya, kepada Sang Hyang Agni Rahasya habis dilebur oleh samitra rahasya yaitu banyaknya sepuluh, di sanalah kundha dyatmika yang dihancurkan oleh Sang Hyang Agni Rahasya, jatuhkanlah butir kelupaan, kebahagiaan yang buruk, yaitu delapan kedustaan, dan

TEKS
8a. asta corah, yan kěna wijyan, mwang sarwwa wija, tlas gěsěng ikang sahananing ikang lapa tarwwa saha wija rahasya, apurnna utit akiwa, di awaking kang ajya sudi rahasya, ikang jnana mirmmaka, aturakna ring sang hyang agni rahasya, angkěn miñjaking añjana parama suddha, Am, dyana, tlas angarcaneng standila, ati swananing srědila dyatmika, Ong, dyana, makisada rahasya jnana, tlas waluy mareng kundha rahasya, ta ngarcaneng sang hyang agni, Am, dyana ika ta sari-sari byasakna, alanya tan paněmu bawa yan uwus kěna dening anguluh awak, kuněng sari nira, ring anak-anaking undharaning mata, sang rata siwa, ingaranan sang hyang siwa trěsna, krama nira trus těkeng siwa trěsna těkeng ati, anutu-

TERJEMAHAN
8a. Delapan kejahatan, jika terkena biji-bijian, atau segala jenis biji, habis terhapus segala kelaparan kantuk oleh segala biji-bijian rahasia, sempurna digerakkan ke kiri, pada tubuh dalam pengetahan sudi rahasya, adapun jnana mirmmaka, agar dipersembahkan kepada Sang Hyang Agni Rahasya, seperti menginjak anjana parama sudha, Am, dyana, selesai memuja yang ditinggikan, dalam hati hutannya sredila dyatmika, Ong, dyana, sebagai rahasya jnana, habis seperti yang ada pada kundha rahasya, dan memuja Sang Hyang Agni, Am, dyana, itulah inti sari yang tersebarkan, keburukannya tak menemukan kemuliaan jika berhenti dalam menelan diri, adapun inti beliau, pada bayangan kecil pada mata, Sang Rata Siwa, yang namanya Sang Hyang Siwa Tresna, jalannya terus sampai Siwa Tresna sampai pada hati, mengikuti

TEKS
8b. ging ampru, kalinganing manon saking ati sangkanya. Akaraning asta dhala, Sa, Ba, Ta, A, I, A, U, Ma. Pindhasarawolu. Akaraning ring sari Ong, sasanghākwehnya ing aksara těkaning sari, inga nawaksara. Nihan mahā padma ring jro lwirnya: parupalawa ring purwwa, iswara hyangnya, iněb lawa ring gneyan, maheswara hyangnya, atilawa ring daksina, brahmā hyangnya, tutud lawa ring neriti, rudra hyangnya, wungsilan lawa ring lascima, mahādewa hyangnya, limpa lawan ring bayabya, sangkara hyangnya, ampru lawa rin uttarā, wisnu hyangnya, tumpuking ati ring airsanya, sambhu hyangnya, sira pinaka lawa ing jro, kunang sari nira, ring těngahing ati, ri witing tri nadhi, trus tě-

TERJEMAHAN
8b. sampai di empedu, sebabnya dikatakan melihat dari dalam hati. A kara dari asta dhala, Sa, Ba, Ta, A, I, A, U, Ma. Pindha sara wolu. aksara A kara di inti sari Ong, sembilan banyaknya aksara sampai pada intinya, yaitu nawaksara. inilah maha padma di dalam hati, seperti: paru lawa di timur, Iswara dewanya, ineb lawa di tenggara, maheswara dewanya, atilawa di selatan, brahma dewanya, tutud lawa di barat daya, rudra dewanya, wungsilan lawa di barat, mahadewa dewanya, limpa lawa di barat laut, dewanya sangkara, ampru lawa di utara, dewanya wisnu, tumpukan hati di timur laut, sambhu dewanya, beliau sebagai pintu dalam, adapun sari beliau, di dalam hati, pada asal dari tri nadhi,

TEKS
9a. kang ampru, unggwan bhatāra wisesā, aksara ning asta dhala ring jro, kunang lwirnya: ma, Si, Wa, Ya. Tan kěna ring těkani pati aywa lali, iti mahā padma rangkap, samapta aywa wera. Brahmā iswara wisnu utpěti stiti praline ida susumna pinggala iti sang hyang triyaksara kawruhakna. Nada ring pucuking srana. Nada ring tungtunging kang ati brahmā rakta warnna. Windhu ring bru madhya. Windhu ring ampru wisnu krěsna warnna. Arddha candra ring lalata. Arddha candra ring pusu- pusuh iswara sweta warnna. Ukara ring wunwunan. Ongkara ring wungsilana. Mahādewa pita warnna. Nada ring wunwunan. Nada da pramasiwa, windhu ring mulananta. Windhu saddhasiwa. Arddha candra rin sasalangan. Arddha candra

TERJEMAHAN
9a. sampai di empedu, tempat Bhatara Wisesa, aksaranya asta dhala di dalam, adapun seperti, Ma, Si,Wa, Ya. tidak terhampiri oleh datangnya kematian jangan dilupakan, inilah maha padma rangkap, selesai jangan sembarangan. Brahma Iswara Wisnu penciptaan, pemeliharaan, peleburan, ida sumsumna, pinggala, inilah Sang Hyang Tri Aksara yang harus diketahui. Nada di puncak sarana. Nada di ujung hati brahma dengan warna putih. Windhu di tengah-tengah. Windhu di empedu wisnu kresna warnna. U Kara di ubun-ubun. Ong kara di buah pelir. Mahadewa dengan warna kuning. Nada di ubun-ubun. Nada Paramasiwa, windhu di asal mulanya. Windhu Sadhasiwa. Ardhacandra di tulang selangkangan. Ardhacandra
16

TEKS
9b. siwa. Ongkara ring padha patěming iga. Ika sang hyang windhu nada. Ong Am Ah, mantrakna ring nabhi, Ong Am Am, mantrakna ring wunwunan, pangrehi urip ika, dirgayusa phalanya. Yan ta ring pati, Ong Am Ah, mantrakna ring wunwunana, Ong Am Am, mantrakna ring nabhi, paglaris, ika, tan sangsaya phalanya. Nihan panguñci rahasya: Ong kang kikongek ukyah. Iki sang hyang rwa bhineddha, tunggal lawan sang hyang sadya kranti, aywa wera, parama rahasya, tlasing kapatin, iti sang hyang catur dasaksara sira sang hyang parama rahasya. Ah ring wunwunan, Am ring nabhi. Pangrěp urip ika dirggha phalanya tur ilang papa klesa ring apa sarira. Am ring wunwunan, Ah ring nabhi stana panglaris ika yan ta kari pati, tan sangsaya phalanya. Nihan sang hyang pañcaksara, lwirnya: nama siwa

TERJEMAHAN
9b. Siwa. Ong kara di antara sambungan tulang rusuk. Itulah Sang Hyang Windhu Nada. Ong, Am, Ah, diucapkan di nabhi, Ong Am Am, diucapkan di ubun-ubun, sebagai pembangun hidup, pahalanya umur panjang. Jika pada kematian, Ong Am Ah, diucapkan di ubun-ubun, Ong Am Am, dimantrai pada nabhi, kemudian itu, pahalanya tak diragukan. Inilah kunci rahasia, Ong kang kikongek ukyah. Ini Sang Hyang Rwabhinedha, tunggal dengan Sang Hyang Sadyakranti, janganlah sembarangan, sangat dirahasiakan, sampai akhir ayat, inilah Sang Hyang Catur Dasaksara beliau sebagai Sang Hyang Parama Rahasya. Ah di ubun-ubun, Am pada nabhi. Penguat hidup itu maka pahalanya adalah panjang umur dan segala kekotoran dan dosa hilang dari raganya. Am ri ubun-ubun, Ah di nabhi tempatnya dan selanjutnya jika ia masih hidup, tidak diragukan pahalanya. Inilah Sang Hyang Pancaksara, seperti: nama siwa

TEKS
10a. ya, ika dadi Akara, Ukara, Makara, ikang Akara, Ukara, Makara, dadi triyaksara, masari dadi Ong, ikang Ongkara katlasaning triyaksara, panunggalaning brahmā wisnu iswara, nduta, ring tutunging jnana sira, ya ta lyěpakna mareng ngkana, mareng tungtungin jnana wsesa, aywa byapara, ila-ila yan tan tětěp, aywa wera, parama rahasya sira, iti kamoksan. Nama Akara Am ya Makara Um siwa Ukara Mam Ong, ida Am brahmā ati susumna Um iswara pasupusuh pininggala Mam windhu sampru. Iti tri tinunggala. Sa, Ba, Ta, A, I, Mam Ah, Am Ah, Ong Ong Ong Ong Ah Am Ah Am sira ratu tlasing prabhu wibhuh. Nihan ta kawruhakna de sang mahā pandita, yan těměn i langit, tan hana paran-paran, ri a-

TERJEMAHAN
10a. ya, itu menjadi A kara, U kara, Ma kara, pada A kara, U kara, Ma kara, menjadi tri aksara, bergabung menjadi Ong, Ong kara sebagai penghabisan tri aksara, penyatuan brahma wisnu iswara, nduta, beliau di ujung jnana, ialah yang terlelap di tempat itu, yaitu ujung jnana wisesa, janganlah membuat ulah, berakibat buruk jika tidak teguh, janganlah sembarangan, karena sangat dirahasiakan, inilah kemoksaan. Nama aksara Am ya Makara Um siwa U kara Mam Ong, ida Am brahmā ati susumna Um iswara pasupusuh pininggala Mam windhu sampru. Inilah tiga penunggalan. Sa, Ba, Ta, A, I, Mam Ah, Am Ah, Ong Ong Ong Ong Ah Am Ah Am sira ratu tlasing prabhu wibhuh. Inilah yang hendak diketahui oleh sang maha pendeta, jika di angkasa luas, tidak ada apa-apa, pada

TEKS
10b. pa sarira, iswa mangěti apa sarira, kawala lupa tan dadaliking pangan, měněng ring nora mangkana gatinya ingaranan langit, lwirnya: lang, nga, tan hana, ngit, nga, doh, tan kinawruh dohnya, hana ta rupa biru katon ming luhur, anak mahěning alilangan, ya tika sang hyang kalapasan, donira ingaranan, sang hyang kalapasan, apan panlěng hyang aditya, mwang wulan, muni kětug, glap, sakwehing astadik, aswadik, nga, sakwehing kuměñjar, rahína wěngi, tan těka panlěheng kana, ayosiwa wayanganing prati, dang kana, apan durung hana bwana, guna mesi sira, ěmpěking sarat kabeh, dening saktining guna, bhatāra ngaswani, dening sapratiwi tan kalěma dening sakti guming sira, magěgěh langgěh uměněng juga,

TERJEMAHAN
10b. Tubuh manusia, iswa ingat dengan tubuh, tetapi jika lupa tidak dapat menikmati makanan, diam tanpa tempat, demikianlah yang namanya angkasa, seperti: lang, namanya, tidak ada, ngit, namanya, jauh, tidak diketahui jauhnya, adalah rupanya biru terlihat menuju atas, anak yang bersih tanpa kotor, itulah Sang Hyang Kalepasan, dengan tujuanNya dinamakan, Sang Hyang Kalepasan, oleh karena diantara Hyang Aditya, dan Hyang Wulan, bunyi gemuruh, petir, segala petanda, aswadik, namanya, segala yang bersinar, siang dan malam, tidak sampai menyinari tempat itu, ayosiwa wayanganing prati, dang kana, oleh karena belum ada dunia, tetapi sudah ada guna, terbentuknya seluruh dunia, oleh kekuatan guna, dewa yang merestui, oleh pertiwi yang luput dari kekuatan dunia oleh beliau, besar luas dan teguh kuat bertahan,

TEKS
11a. ampěking tan molah, ta ya tika sang hyang kalěpasan, nga. Aywa winaah manawa tan tuhu denya ngungsi sang hyang dharmma, těgěsing sanak, lwirnya, sa, sa, nga, dening wus anunggalakěn, rarasing rasa, nga, atut ujar rahayu, walawinya, nga, tan hana pinakěweyan. Nihan patataning sang hyang dharmma jati, nga. Aditya, dawuh, 1, wetan, bajra, nga, atma, nga, dawuh, 2, antar atma, nga, dawuh, 3, supta, nga, paratma, nga, dawuh,, 4, turu padha, nga, niratma, nga, dawuh, 5, turi yanta padha, nga, antyatma, nga, dawuh, 6, kewalya padha, nga, niskalatma, nga, dawuh, 7, parama kewalya padha, nga, sunyatma, nga, aksara nira iki, A, U, Ma, O, rupanira, rakta krěsna, sweta, pita, kalawan kapuja manira-nira, Ong

TERJEMAHAN
11a. Diam tak bergerak, itulah Sang Hyang Kalepasan, namanya. Janganlah mencela karena tidaklah benar olehnya mencela Sang Hyang Dharma, makna dari keluarga, seperti, sa, sa, oleh seusai menyatukan, semua rasa, namanya, mengikuti kata yang baik, yang namanya, walawi, tidak ada yang tidak benar. Inilah tingkatan dari Sang Hyang Dharmajati, namanya. Aditya, waktunya, 1, timur, bajra, namanya, atma, namanya, pukul, 2, antaratma, namanya, pukul, 3, supta, namanya, paratma, namanya, pukul, 4, turupadha, namanya, niratma, namanya, pukul, 7, parama kewalya padha, namanya, sunyatma, namanya, aksara beliau, ini, A, U, Ma, O, rupaNya, rakta kresna, putih, kuning, dengan pemujaan-pemujaannya terhadap beliau, Ong

TEKS
11b. Mam atma brahmā ya namah, ring nabhi, Ong Um antar atma wisnu ya namah, ring hrědaya, Ong Mam paratma iswara ya namah, kanta, Ong Ong niratma mahādewa ya namah, ring sapta wara, Ong Ong antyatma sada rudya ya namah, bru madhya, Ong Ong niskalatma sadasiwa ya namah, pani, Ong Ong sunyatma paramasiwa ya namah, murddhi, yeka sang hyang saptongkara. Nihan ta pangawakani jnyana wisesa ring apa sarira, yatnakna prakrětanya, ka, ikang kayu mětu sakeng ang hyang urip, tutur mětu sakeng sang hyang tunggal, iděp mětu sakeng sang hyang wisesa, kahananira sang hyang urip, ring wěkasing bungkahing ampru, ring tungtunging tata dana yeki wěkasing bungkahing ampru, nga, sang hyang tunggal, haneng wod, tungtunging ati sawana,

TERJEMAHAN
11b. Mam atma brahmā ya namah, di nabhi, Ong Um antar atma wisnu ya namah, di hati, Ong Mam paratma iswara ya namah, di leher, Ong Ong niratma mahādewa ya namah, di sapta wara, Ong Ong antyatma sada rudya ya namah, di pinggang, Ong Ong niskalatma sadasiwa ya namah, di pani, Ong Ong sunyatma paramasiwa ya namah, kepala, itulah Sang Hyang Saptongkara. Inilah perwujudan jnana wisesa pada tubuh manusia, siapkanlah segala tata caranya, ka, kayu yang muncul dari dewa yang mendiami hidup, perkataannya muncul dari Sang Hyang Tunggal, pikiran muncul dari Sang Hyang Wisesa, demikianlah keberadaan Sang Hyang Urip, dan selanjutnya di pangkal empedu, di ujung tata dana inilah seterusnya dari pangkal empedu, namanya, Sang Hyang Tunggal, yang ada di wod, ujung hati sawana,

TEKS
12a. sang hyang wisesa haneng wěkasing wad ning pupusuh. Sang hyang urip, amětekěn baru, margga nira ring irung, rupanya irěng, sang hyang tunggal amětekěn sabdha, amargga cangkěm, rupa bang, sang hyang wisesa amětekěn idhěp, margga mata, warnna sweta, sangkan inaran, a, ñja, na, a, nga, bayu, ñja, nga, sabdha, na, nga, idhěp, ekajñana, nga. Nihan angucapakěn bolong, de sang mahā pandita, makweh angucapa mangkana, kědik wruha ring prakrětanya, kadyangganing wong aku hyang dharmma, siwa ya, ujar ira, wong satus angucap siwa ya, silih roro lamun tan sanunggal, molih prakrětanya, mewěh wong angucapa bolong, yan tan ka taman polah ning manon sakti, idhěp sakti, ya tika rasa bolong, apan wong tan kěna inga-

TERJEMAHAN
12a. Sang Hyang Wisesa seterusnya berada di pangkal jantung. Sang Hyang Urip, berada di baru, yaitu jalan beliau adalah di hidung, wujudnya hitam, Sang Hyang Tunggal mengeluarkan sabda, melalui mulut, wujudnya merah, Sang Hyang Wisesa memberikan pikiran, jalannya pada mata, warnanya putih, oleh sebab itu dinamakan, a, nja, na, a, namanya, bayu, nja, namanya, sabda, na, namanya, idhep, ekajnana, namanya. Inilah perkataan yang tembus, oleh sang maha pandita, banyak yang mengucapkan demikian, tahu sedikit tentang tata cara pelaksanaannya, seperti orang yang sombong terhadap Sang Hyang Dharma, ia adalah siwa, ujarnya, seratus orang mengucapkan siwa ya, menjadi dua jikalau tidak dapat menyatu, berhasil segala caranya, sangat sulit jika orang berbicara tembus, jika tidak seperti prilaku orang yang melihat dengan sakti, pikirannya yang sakti, itulah yang dirasakan tembus, oleh karena manusia tidak mendapatkan

TEKS
12b. lingan, tan kěna ring arip, tan kěna ring apětěng, ya tika manon sakti, nga, tutur sakti, nga, tan kěna ring twa pati, idhěp sakti, nga, tan kěna ring lali mengět satata, tan pabalik lupa, wyaktinya, samangke juga ring apa sarira hana, lumaku tan pasuku, lumimbe tan patangan, anělěng tan pamata, angucap tan pacangkěm, angrungu tan pakarnna, mapata den ta nutubing těka wěkasing wetan kulon, lor kidul, tan hana mwah manan sakti, tutur sakti, idhěp sakti, sira tan hana maweh těka ring kasidan, mwang kamoksan kalěpasan kunang, tan waneh, těka ring pasuk wětu, měněng kewala, wus pangawak nira, arapan pangawak wěnang sira, de nira ingaran mahārasing sira, de nira aran Ongkara, mwang pranawa wise-

TERJEMAHAN
12b. celaan, tidak merasakan kantuk, tidak diselimuti kegelapan, maka itu akan memiliki penglihatan sakti, namanya, bicara yang sakti, namanya, tidak akan mengalami ketuaan dan kematian, pikiran sakti, namanya, tidak akan pernah lupa dan selalu ingat, tidak akan kembali lupa, itulah yang sebenarnya, demikian juga pada semua badannya yang ada, berjalan tanpa kaki, mengambil tanpa tangan, memandang tanpa mata, berbicara tanpa mulut, mendengar tanpa telinga, oleh karenanya datang tak berasal dari timur barat, utara selatan, tidak ada lagi penglihatan sakti, bicara sakti, pikiran sakti, ia tidak akan mendapatkan keberhasilan, dan adapun kemoksaan dan pembebasan rohani, itu tiada lain, tiba pada pasuk wetu, diam tetapi, hilang dalam dirinya, oleh karena perwujudan beliau yang bebas, olehnya beliau dinamakan maharsi, olehnya disebut Ong kara, dan pranawa wisesa

TEKS
13a. sa, ingaran Umkara, tan hana waneh, panunggal ira, sang hyang Ongkaa jjuha sira mulaksara, sira witning mantra kabeh, matěmahan triyaksara, mwang pañca brahmā, pañcaksara, lwir ta manih aksara rwa, mwang ekaksara, ndya mbahmāksara, nga, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Ya, nga, pañcaksara. A, U, Ma, triyaksara, nga. Am, Ah, dwiyaksara, nga, yan aksara nira, 1, ekaksara, nga, amisesakna aksara kabeh, mwang japa mantra stuti, ika mulaning aksara kabeh, anging sang hyang Ongkara juga mula nira nguni, anungsung mwang angaděg wěkasing aksara kabeh, kewala prabeda nira ring sāstra, pira-pira mwang rupaba nira, yan kěna panunggalnya, iganěmu swargga, nipta, nga, makweh dening awruh prabedha-

TERJEMAHAN
13a. Dinamakan Um kara, tiada lain, penyatuanNya, yaitu Sang Hyang Ong kara, karena ia adalah asal dari aksara, ia adalah asal dari semua mantra, menjadi triaksara, dan panca brahma, pancaksara, adapun seperti rwaksara, dan ekaksara, adapun brahmaksara, yaitu, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Ya, namanya pancaksara, A, U, Ma, triaksara, namanya, Am, Ah, dwiaksara, yaitu, jika aksaraNya, 1, ekaksara, namanya, menguasai semua aksara, dan semua japa mantra puja stusti, itulah asal mula dari semua aksara, namun Sang Hyang Ong kara juga sebagai asal mulaNya dahulu, menjelma dan berada di setiap aksara yang ada, tetapi ia berbeda di setiap aksara, adapun di beberapa dan rupaNya, jika sampai pada penyatuannya, maka akan menemukan sorga, nipta, namanya, banyak yang mengetahui perbedaan

TEKS
13b. ning sang hyang Ongkara, tur kěna panunggalakěn, ika němu swana, moksa, nga, madhya ima, yan kang wětu sapolahing saprabeddhaning sang hyang Ongkara, ika ntita wus anrě hyang kalěpasan, makadi tan wruha ring rupa warnna, saprabeddhanya, mwang unggwananya, den ujarakěn tabe, mwang inujara sawaya, tan wruh prakrětanya, tan wruh ring paeka-keka nira, sang swa ika ta aněmu sanggu hěndhan maparaso, nga, yan dhumadi nira kaping kalih, janma marasa, nga, bisu, wuta, tuli ngrěngěn tuturnya, yeka janma parasa, nga. Nihan tan yogya ungsira de sang mahā pandita, dwita, kadi awak titi nunu sinokan toya sědhěnge mabang, něhěr ginitik, ulatana toya, ulatana gni, tan katěmu ika, nahan ta sang hyang para-

TERJEMAHAN
13b. Dari Sang Hyang Ong kara, dan sampai pada penyatuannya, saat itulah menemukan sorga, moksa, namanya, madhya ima, jika ada muncul pergerakan jenis-jenis dari Sang Hyang Ong kara, itulah yang menerangkan jalan menuju Hyang Kalepasan, seperti tak tahu akan wujud dan warna, seperbedaannya, dan tempat tinggalnya, karena itu agar diucapkan ijin, dan diucapkan pujian, tidak tahu akan urutannya, tidak tahu akan apa yang dilakukanNya, Sang Hyang Siwa itu bertemu sanggu kemudian bersatu, namanya, jika menjelma yang kedua kalinya, menjadi manusia yang merasakan, adapun, bisu, buta, tuli, gagap ucapannya, itulah manusia perasa, namanya. Inilah yang tidak pantas untuk didatangi oleh maha pendeta, dwita, seperti badan yang terbakar aliran air yang memerah, seperti ginitik, agar melihat air, agar melihat api, demikianlah Sang Hyang Parama

TEKS
14a. ma Ongkara, yan huwus mulih maring kalěpasan ira lěpas murangkeng angga, rwa wlas anggulaka dohannya, sangkeng sikagrě, apa jariji kapat unggwaning ya angguli, nga, anggusti tan milwa kětunga, ya ika pustati dewaksara, nga, nihan pratyaksaning dewaksara, patataning baka wruhakna, prě, a, ta, ba, a, manah, tan matra ahangkara, buddhi, abyakta, pradhana purusa, iswara, pra, a, buh, lokanga, tan mantra, ahangkara, buddhi, mahāloka, nga, abyakta, prajana lokanga, purusa, tapa loka, nga, iswara, satya loka, nga, buh, bhuwah, swah, aghora, mahā, tat purusa, nga, jana, sadhya, nga, tapa, gama dewa, nga, matya, isana, nga, A, Ta, Sa, Ukaranga, isana, Makara, nga,

TERJEMAHAN
14a. Ong kara, jika seusai kembali pada kelepasanNya yaitu lepas dari ikatan jasmani, dua belas jauhnya bergejolak, dari atas, apakah empat jemari tempatnya dari ia menggejolak, namanya, berkuasa tidak dihitung, itulah dewaksara, namanya, inilah perhatian kepada dewaksara, hendaknya mengetahui semua tata caranya, pre, A, Ta, Ba, A, pikiran, tan matra ahangkara, Budhi, Mahaloka, namanya, Abyakta, Prajanaloka, namanya, Purusa, Tapaloka, namanya, Iswara, Satyaloka, namanya, Bhur, Bwah, Swah, Aghora, Maha, Tatpurusa, namanya, Jana, Sadhya, namanya, Tapa, Gamadewa, namanya, Matya, Isana, namanya, A, Ta, Sa, U kara, namanya, Isana, Makara, namanya,

TEKS
14b. A U Ma, Ong, 3, hrě, 3, nirgga, nga, 3, maluta, nga, 4, sam, pur, sta, Bam, da, sta, Mam, ne, sta, Sam, ba, sta, Wam, Ai, sta, Yam, ma, sta. Am, adah, Um, madhya, Mam, Urddah. Sam, iswara, Bam, Brahma, Tam, mahādewa, Am, wisnu, Im, siwa. Nam, hrě, Mam, sirah, sim, sika, Wam, kawasa, Yam, netra. Am, nadhi, Tam, udara, Yam, trě, Bam, waksa, im, kanta mula. Am, kanta, Um, talu, Mam, bru madhya, Ong, lalata, pani, kapala byantara, kalapa wiwara. Siwa, siwantara, siwatama, saddhasiwa, paramasiwa, paramatyanta siwa, nirbhana siwa, prama nirbhana siwa, A U Ma. Hana ta malih pawarah sami, ri těkaning samayan ta, bratanya, tan hěwěhaning trěsna, ajahin ilang lara, lilakna

TERJEMAHAN
14b. A U Ma, Ong, 3 kali, Hre, 3, Nirgga, namanya, 3, Maluta, namanya, 4, Sam, Pur, Sta, Bam, Da, Sta, Mam, Ne, Sta, Sam, Ba, Sta, Wam, Ai, Sta, Yam, Ma, Sta. Am, Adah, Um, Madhya, Mam, Urdah. Sam, Iswara, Bam, Brahma, Tam, Mahadewa Am, Wisnu, Im, Siwa. Nam, Hrě, Mam, sirah, sim, sika, Wam, Kawasa, Yam, Netra. Am, Nadhi, Tam, Udara, Yam, Trě, Bam, Waksa, Im, Kantamula. Am, Kanta, Um, Talu, Mam, Bru Madhya, Ong, lalata, pani, kapala byantara, kalapa wiwara. Siwa, siwantara, siwatama, saddhasiwa, paramasiwa, paramatyanta siwa, nirbhana siwa, prama nirbhana siwa, A U Ma. Adalah kemudian semua petunjuk, pada saat munculnya janjimu, tapanya, tidak disambut dengan cinta, mempelajari menghilangkan kesialan, senangkanlah

TEKS
15a. manah asunya, wibhuhakěn ing abyantara kadi awang-awang, ajah ingitang majing mijil bayunta, kewala linitakěn awanya ring irung, ajambakěn cangkěm, wruh pwa kita ring ati sunya, apan kang ati sunya, anarawang tan patalutuh, ingkana unggwa nira sang hyang wěkasing kamoksan, sira sang wěkasing siněmbah, sira ta wěkasing ahening, atapakan ati wěkas ning aputih, ika ingaran guhya pantara, sya wruh amějahana tutur lawan mengět, pějah ikang tutur mengět, kapanggih sang hyang kamoksan, lilangakěn sang hyang tan parupa tan pawarnna, ring tlěnging soca tunggal, trusakna maring sor, ring dalěming kanta mulya, tungging kawi lingga manik kundala ratna, tan pacipta, kewala rasa sunya, tan anggan pata-

TERJEMAHAN
15a. Pikiran yang sunyi, memakmurkan segala ruang seperti di angkasa, maka itu dengan baiklah memasukkan dan mengeluarkan napasmu, tetapi haluskanlah napas pada hidung, tutuplah mulut, maka kau akan tahu akan kesunyian hati, oleh karena hati sunyi, menerawang tanpa terkena kekotoran, di sanalah tempatnya Yang Maha Kuasa sebagai jalan moksa, beliaulah yang selalu disembah, beliaulah yang selalu hening, berjejak hati yang selalu berwarna putih, itulah yang dinamakan guhya pantara, Ia lah yang mampu menghilangkan ucapan dan ingatan, matinya ucapan dan ingatan, maka dijumpailah Sang Hyang Kamoksan, dibahagiakanlah olehNya yang tak berupa dan tak berwarna, tunggal di dalam matanya, agar diteruskan ke bawah, di dalam leher atas, tunggi kawi lingga manik kundala ratna, tak tercipta, tetapi rasanya kosong, tanpa badan luput dari

TEKS
15b. lutuh, sasing panasrusaning jro, ika ta anggan aparipurnna, wibhuhana ring jro sěsěkaning angga kabeh, matangyan purwwa ika sarwwa ppāpā, kawasa mati raga ning pramana, murttiakna ring kadala mirka mali puspa, ngaran pantar ning rasa, trus ring tlěnging soca, aywa kumědhap, dlěng tungtunging arung ta, den apagěh, aywa umangěn, karasa pwa sasaking tangan, saking suku, patinggaling bayu pramana, takna pwa ya ring dandha, tan sipi ntering anggan ta, ika ta den apagěh, rumagěp sang hyang kalěpasan, aja juga, kumadap, hana katon sarupa warnnanya ajangga ngitang, prabeda ing kabeh, tlas prabayun ta mijil, mati tang tutur mengět, kari sang hyang kalěpasan mawa tunggal, kadi tan parasa tan paindriya,

TERJEMAHAN
15b. Segala kotoran, setiap keberterusan sampai di daerah dalam, itulah badan yan sempurna, agar ditenangkan di dalam setiap tubuh yang terpenuhi, oleh karena yang terdahulu itu penuh dengan dosa, kuasa terhadap kematian jiwa dan raga, agar dijelmakan pada mahkota buka mirka mali, yaitu di antara rasa, diteruskan sampai di tengah mata, janganlah berkedip, pandanglah ujung hidungmu, dengan seksama, janganlah membayangkan sesuatu, maka akan kau rasakan dari tangan, dari kaki, titik berdiamnya napas, tahanlah di dada, maka akan dirasakan getaran pada tubuhmu, tetaplah seperti tu, fokuslah pada Sang Hyang Kalepasan, juga jangan, bergerak, maka terlihat rupanya berwarna putih (jangga ngitang), semuanya berbeda, habis napasmu dikeluarkan, matilah ucapan dan ingatan, yang masil adalah Sang Hyang Kalepasan yang berwujud tunggal, seperti tanpa rasa dan tanpa indria,

TEKS
16a. kewala manah lilang anarawang, tan hana ngaton sakarěnga saka aksi ring sakala, kewala sunya anarawang, katon tang swargga, ring ambara, manglayang sakayun ta anudju kawasa, apan swargga kabeh, makadrěwyan ta, dadi sakama-kama, apan sira umawak sang hyang wěkasing wisesa tan kawisesan, wěnang siněmbahing sarwwa dewata kabeh, iti aji kalěpasan wěkas ning warah, tan hana lwihan malih, uttamā dahat, aja wera, yadyan saisining kadaton sarěngganya, nispala, apan tan ring něnggan, apan tan hana lěkas, tan hana brata, tan hana yoga, tan hana samadi, sasing margan ta pějah, kewalya wruh ring kaglaran ika, tan hana papa ring kiwa, swargga juga piněngguh, sangkana putusing kalěpasan, yadyan sasar lampah ta ring angurip, tan hana

TERJEMAHAN
16a. Tetapi perasaan menjadi bahagia seperti melayang, pada kenyataannya tidak satupun ada yang melihat, mendengar, dan menyaksikan, tetapi hanya terlihat kesunyian, terlihatlah sorga, di angkasa, melayang seperti keinginanmu untuk menuju yang Kuasa, oleh karena semua sorga, adalah milikmu, bebas seperti yang diinginkan, oleh karena beliau berwujud Yang Kuasa selalu berkuasa dan tak dikuasai, wajib disembahlah para dewata, inilah aji kalepasan yang selalu dijadikan petunjuk, tidak ada lagi yang lebih mulia, sangat utama, janganlah sembarangan, walaupun seisi kerajaan dengan hiasannya, tanpa hasil, oleh karena tidak ada pada diri, karena tak ada emunculan, tidak ada brata, tidak ada yoga, tidak ada semadi, setiap jalanmu kau akan mati, tetapi tahu akan perbuatan itu, tidak ada dosa di kiri, sorgalah yang akan ditemui, oleh karena telah putus dari kelepasan, walaupun jalanmu saat hidup, tidak terkena

TEKS
16b. papa nira sang hyang kalěpasan, anghing alan pangawenta duking aurip, katama juga ya dening santananta, anak putu buyut, wyaktinya kadi angganta autang ring sakala, minggat kita ring desa len, tilarakěn anakta putunta, luput ya tinasih, de ne kang apiyutang, mangkana kramanya, sangkaning wong angulahakěn, dharmma ring dadiwang, tapa brata, dana wowoh prakrětinya tinamahing kula santana, kotama nira, nihan kramanya anaku, ikang kadi ya ta samepyan, nga, dharana kuñciwih, mangkana upayaning ngwang, ya awanya mati tan pasangkan rara, mangkana kopa desanya, apan ikang tri nadi, nga, yeka krana ning mati maurip, wruh pwa sang wiku ring ke desa ning samepyan, ni ya ta mawan sukaning pati ni-

TERJEMAHAN
16b. Dosa beliau Sang Hyang Kalepasan, namun keburukan yang kau buat semasih hidup, ia terus diingat oleh keturunannya, anak, cucu, dan buyut, sungguh bagaikan dirimu berhutang kepada kenyataan, maka engkau minggat ke tempat yang lain, kau tinggalkan anak dan cucumu, kau tidak mendapatkan simpati, dari orang yang dihutangi, demikianlah riwayatnya, oleh sebab orang yang mengusahakan, dharma sebagai seorang manusia, tapa brata, berderma dan selalu memberi namun dikuras oleh keluarga dan keturunannya, ia sangat dihormati, inilah jalannya anakku, adapun seperti dia itu yang didekati, namanya, dharana kunciwih, demikianlah usaha manusia, yang karena mati tanpa disebabkan oleh penyakit, demikianlah nasehatnya, karena yang disebut tri nadi, namanya, itulah yang menyebabkan kematian makhluk hidup, diketahuilah oleh sang pendeta akan tempat yang didatanginya, itulah yang menyebabkan kebahagiaan hidupnya

TEKS
17a. ra. Lawan te kang sang wiku wruh ring stana sang hyang brahmā wisnu iswara, ya ta sira mantuk ring kayangan, apan enak de nira wruh ring unggwa nira ngke ring sarira, matangyan de ya ning magawe samepyan, pindhu urakna ta ya awaknya ring siwa padha, yan anawaha, awaning atma nira lunghā, ring brahmā padha ika para nira, yan mangkana, ya nira sawaha, awaning atma lunghā, ring wisnu padha para nira yan mangkana yaswaning pranawaha, pada rupa nira lawan sang hyang ludra, wruh pwa sang wiku irika sira margga, ni ya ta sira mati tan pasangkanya lara, sang tuhu lina wěkasan ring tan umawasa, awan ta kang kadewa ta nika, ika rasawaha, awan těkeng pitraloka ika, kunang ikang pranawaha, yeka těkeng kamoksan, mantuking padha sang hyang siwa

TERJEMAHAN
17a. Kepada sang pendeta yang tahu tentang stana Sang Hyang Brahma Wisnu Iswara, beliau itulah yang dapat menembus kahyangan, karena dengan mudah oleh beliau mengetahui tempat para dewa pada dirinya, karena oleh beliau selalu melakukan pendekatan, pindhu yang disebar tubuhnya di alam Siwa, jika anawaha, jalan pergi atmanya itu, yaitu di alam Brahma, jika demikian, jika beliau sawaha, sebagai jalan perginya atma, di alam Wisnu namanya jika demikian dalam yaswaning pranawaha, wujudnya sama seperti Sang Hyang Rudra, maka tahulah sang pendeta akan jalan beliau, itulah beliau yang mati tanpa disebabkan sakit, beliau sungguh kembali dan selalu tak diawasi, jalanmu itu adalah jalan dewa, itulah rasawaha, jaan yang menuju alam pitra, adapun pranawaha, itu menuju kemoksaan, kembali dan setara dengan Sang Hyang Siwa

TEKS
17b. sakweh ning pāpā nira sang yogiswarā, duhka lara pati ilang ikang kabeh nahan palaning wruh ring kaprayagan, sang hyang canda marana, tuměmu saka mangke mwang dlaha, sakweh nikang margga kabeh, anghing sang hyang swacandha marana juga lwih, ula wilut ika, lwirnya ikang pranawaha, atisaya alapnya, kadi ula wilut ika, lwirnya ikang kadi sabdha ning udan, windhu smaka sabdha ika, kuněng ika kadi sabdha ning kanta, yeka sabdha ning nada, yapwan ta hana ika karěngo kabeh, pati kajar den ika, wruhanta anaku sang kumara. Nihan tan lwir ring těngwan, kawruhanan ta sang kumara, lwirnya, anglumuting gunung kagangan hanu, tunggal tan pamana ya, undhung-undhung tan pangdhěp, siwana jro, těgal malwa, kuwang kuwa-

TERJEMAHAN
17b. Segala dosa dari sang yogiswara, duka, derita, kematian, semua itu hilang deimkianlah pahala bagi orang yang paham akan tapa yoga, Sang Hyang Canda Marana, berjumpa dari sejak kini sampai seterusnya, di segala jalan yang ada, namun Sang Hyang Swacanda Marana juga, mulia bagaikan ular yang melilit, adapun pranawaha, luar biasa yang didapatkannya, itu seperti ula wilut, adapun bagaikan sabda percikan hujan, itu adalah sabda windhu smara, adapun itu seperti ucapan dari tenggorokan, itulah sabda nada, tetapi jika itu tidak didengarkan semua, kematianlah yang diujarkan oleh itu, ketahuilah anakku Sang Kumara. Inilah tidak seperti tertegun, hendaknya diketahui oleh Sang Kumara, seperti, melumuti gunung kagangan hanu, tunggal tiada yang lain, bertumpuk-tumpuk tak berhadap, dalam Siwa, tegal malwa, pohon kuwang-kuwang

TEKS
18a. nganing watu, ula waliyaning bhabhadan, lingga sunya, gua sila dhaka, watu matangkěp, siwa suddha, adhitya sewana, duma jawi. Nihan pratekanya: anglumuting gunung, ngaraning rambut, yan tan kikisik sinusus, mati kajar denya naga ngandhanu, tangan dingagakěn, dinêla yan katon pěgat, pati kajarnya, siwa bajra, nga, kětěg-kětěg, ling tangan, mwang suku, yan tan pakětěg-kětěg, pati kajar denya, tunduk tan pamaya, nga, upasta, yan tan kombarah, pati kajar denya, undhung- undhung tan pangděp, bhagayanak pět, pati kajar denya, kuwa-kuwangani watu, talingayanak pět, pati kajar dnya. Wulawali yaning babadan, nga, mata ya na kuning, pati kajar denya. Kalu maring talun, nga, ali-

TERJEMAHAN
18a. Batu, ular yang kembali dari penebasan, lingga sunya, gua siladhaka, batu berjepit, siwa suddha, adhitya sewana, duma jawi. Inilah urutannya, melumuti gunung, yang dinamakan rambut, jika tidak sampai pada batasnya, mati oleh naga Ngandhanu, tangan di buka, disatukan jika terlihat putus, mati dipukulnya, siwa bajra, namanya, berdenyut, dari tangan, dan kaki, jika berdenyut-denyut, mati dipukul olehnya, menunduk tanpa berdaya, namanya, upasta, jika tidak membara, mati dipukul olehnya, bertumpuk-tumpuk tak berhadap, baghayanak pet, mati dipukulnya, kuwang-kuwang batu, telinga anak pet, mati dihajarnya. Wulawali walaupun ditebas, namanya, matanya kuning, mati dipukulnya. Kalu dalam talun, namanya

TEKS
18b. syanak rutan, pati kajar denya. Watu matangkěp, untu yan apagmilmi, pati kajar denya. Siwa suddha, nga, dumalěng mayanta, wehi tiksna, wulitakěn ta ring akaja, katon ta mayan ta putih, yan tan pasuku, yan tan patěndhas, pati kajar denya. Duma jati, nga, kukusing hulu, yan akědhik, nguni weh yan tan pakukus, pati kajar denya. Suryya sewana, nga, dumlěng sang hyang adhitya, sasakeng sloning tangan, yan esuk ton alwang, sangsaya urip. Nyan těngran sang hyang pañci mahā bhuta, upas awakta, yan tan kisik, prětiwi liyan mangkana, limang wěngi těkeng pati. Tětělakěn ta puki sodhanta, yan tan katon kala cakranya, teja lina yan mangkana, tlung wěngi těkeng pati. Tutupi irung ta, yan ati-

TERJEMAHAN
18b. Alis anak mengkerut, mati dihajar olehnya. Watu matangkep, gigi jika ompong, mati dihajarnya. Siwa suddha, namanya, perhatikanlah matamu, yang memberikan sengatan, balikanlah ke arah utara, terlihatlah matamu yang memutih, jika tidak berkaki, jika tidak berkepala, maka disebut mati olehnya. Duma jati, namanya, asap dari kepala, jika sedikit, seandainya jika tidak berkaki, maka disebut olehnya. Surya sewana, namanya, perhatikanlah Sang Hyang Adhitya, dari sela-sela tangan, jika esok hari terlihat rusak, maka hidupnya diragukan. Inilah ramalan dari Sang Hyang Panca Maha Bhuta, badanmu upas, jika tidak berdesir, yang demikian adalah pertiwi yang berbeda, lima malam lagi tiba kematiannya. Padatkanlah persembahanmu, jika tidak terlihat kala cakranya, maka itu adalah teja lina, tiga malam akan tiba kematiannya. Tutuplah hidungmu, jika sejuk

TEKS
19a. sikang uswasa, bayu lina yan mangkana, ruwa wengi těkeng pati. Atating guru, nga, ilat yen palat, tan kanajer akasa lina yan mangkana, den prayatna ta kita, nguniweh sang pandhita, rěngěpěn tang samadi. Mwang ikang samepyan, sang hyang triyaksara, mwang sang hyang pranawa, ika sarira yan kěntri kuna, anyakna sang hyang pranawa, mwang triyaksara, niyata urung nika pati, dening ka, kunang yan těkaning samaya, mwang yan tan hana tangran kabeh, těka pati yan mangkana, ya hetu nira mamwit. Eng sisya, jñanan ta ikang nirmmala, suddha jñana, moksa sira yan mangkana. Iti sang hyang candra marana, nga, nika. Ong sri guru byanamah, Ong smu mganadi pata ya namah. Wong iki mangko angaskara, masadhana wruh, tingkahing mangkana, Ong awighnamastu,

TERJEMAHAN
19a. Napasnya, yang demikian adalah bayu lina, dua malam tiba kematiannya. Atating guru, namanya, lidah jika pucat, tidak lemas, akasa lina jika demikian, waspadalah olehmu, terlebih sang pendeta, agar memusatkan pada samadi. Dan adapun keberadaan, Sang Hyang Triaksara, dan Sang Hyang Pranawa, tubuhnya itu jika sampai pada tri kuna, agar membayangkan Sang Hyang Pranawa, dan Triaksara, maka kematian dapat diurungkan, oleh itu, adapun jika sampai pada musim semi, dan jika semuanya tidak ada ciri-ciri, maka sampailah pada kematiannya, waktunya ia untuk berpamit. Pada murid, kesadaran pikiranmu murni, suddha jnana, jika demikian maka akan mencapai moksah. Inilah Sang Hyang Candra Marana, namanya itu. Ong sri guru byanamah, Ong smu mganadi pata ya namah. Orang ini sekarang yang me-ngaskara, bersarana pengetahuan, demikianlah tata caranya, Ong awighnamastu,

TEKS
19b. iti tutur mahā yukti těměn, nga, kawruhakna denta mahā peněd, aywa salah aja salah simpang, apan ila-ila dahat, mwang ta siddhi phalanya, alpayusa, mwang kěna warah těmah, kawruhakna kamulaning dewa ring dalěm, yan wus wruh denta, mangdoh ikang gring phalanya. Hana bhatāra uma, nga, duk sira tumurun, ring hay ya mandalaka, turun maring setrogana malaya, mawasta sasar bhatāra uma, sakeng rika, matěmahan dadi durggha, bayahing ati sitri uttama, magěnah ring tlěnging ati, ika panunggalan, siwa, sada siwa, prama siwa, sunya siwa, siwa, nga, ki adham, sadasiwa, nga, ki asib, prama siwa, nga, ki yayab, sunya siwa, nga, ki wabhad, istri uttama, nga, niwarěm, ika panunggalaning paramartā, ring

TERJEMAHAN
19b. Ini adalah nasehat yang sangat amat mulia, namanya, hendaknya diketahui olehmu dengan sangat baik, janganlah sampai salah dan menyimpang, karena sangat buruk akibatnya, dan sangat buruk balasannya, berumur pendek, dan akan mendapatkan celaan dan kutukan, hendaknya diketahui asal mula adanya para dewata di dalam diri, jika telah paham olehmu, maka pahalanya segala penyakit akan menjauh. Adalah Dewi Uma, namanya, pada saat beliau turun, ke dunia nyata, dan turun di pemakaman Malaya, dikatakan Dewi Uma tersesat, dari sanalah, beliau menjadi Dewi Durga, sebagai penebusan dari seorang istri yang utama, bertempat di dalam hati, itulah penyatuaan, Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, Siwasunya, Siwa, namanya, Ki Adham, Sadasiwa, namanya, Ki Asib, Paramasiwa, namanya Ki Yayab, Sunyasiwa, namanya, Ki Wabhad, istri utama, namanya, Ni Warem, inilah penyatuan yang maha tinggi, di

TEKS
20a. jroning apa sarira, padha kabeh sakwehing rika. Hana kisi dhapah gěnah sakeng rika, ika panunggalan karasa, payana saddha, yan sah sakeng rika, margganya daging pětěk, sarambut denya, ring tlěnging ati, ambutul urung-urung gading, trus těkeng tungtung kětung, těka ring bungkahing kakalongan, hana ring trinadi, trus těkeng bungkahing lidah, ambutul dasa pragolo, nga, tungtunging lidhah trus těkeng, nila kanta, nila kanta, nga, slaning irung kalih, yan sah sakeng rika trus těkeng bungkahing polo, hana pucuking suryya irika, arabi padhanging ati, hana yang sangang diri haneng pucuking surya ika, nga, yang kuninta, yang mangiyasi, yang suta mawisesā, yang pramaning jagat, hana gěbagan ring jaba, gěněp suryya

TERJEMAHAN
20a. Dalam setiap anggota tubuh, semua sama banyaknya di sana. Adalah satu depa jaraknya dari sana, inilah yang dirasakan sebagai penunggalan, payana sadha, jika lepas dari sana, jalannya isi yang terdesak olehnya, di dalam hati, jalan-jalan berbintik warna jingga, terus sampai di ujung ketung, sampai di pangkal kerongkongan, adalah tri nadi, terus sampai di pangkal lidah, berbintik sampai dasa pragolo, namanya, terus sampai di ujung lidah, nila kanta, leher hitam, namanya, di sela kedua hidung, jika trelepas dari sana terus sampai di pangkal otak, ada pucuk surya di sana, didampingi oleh rumput hati, ada sekitar sembilan diri di pucuk surya itu, namanya, Hyang Kuninta, Hyang Mangisyasi, Hyang Suta Mawisesa, Hyang Pramaning Jagat, adalah yang berkumpul di luarnya, lengkap dengan surya

TEKS
20b. sasangka, malih, mrěta sukla, raranung sari, gěněb arabi tingal, anubatuning tingal, hana ring lalata gěnahnya, yang sangang diri, nga, yang prama rahasya, yang prama kewalya, yang prama wisesā, sang raja kunta dana, yang driyamana, yang prameswara, yang aměngku jagat. Apuri ring luhuring lalata, agěnahan yang tiga, basma wisesā, luhuring ika, hana padha tikělang, pagěnahan rangke sari. Hana ruhurira sakeng riki, ring rambut saběntar margganya, yang sanga diri, nga, yang nungku rāt, yang sukla maniking rāt, yang mrětaning rat, yang ja rasyaning rāt, yang paramarttaning ewana, yang ning tan pasingingan, tlas amangkana. Hana puri kapapala, hana batuning polo, arane mica buntěr, araja tangi, yan sah sakeng

TERJEMAHAN
20b. Sasangka, kemudian, mreta sukla, raranung sari, terlihat lengkap dengn arabi tingal, anubatuning tingal, adalah di sela-sela alis tempatnya, sembilan hyang, namanya, Hyang Prama Rahasya, Hyang Prama Kewalya, Hyang Prama Wisesa, Sang Raja Kunta Dana, Hyang Driyamana, Hyang Prameswara, Hyang Amengku Jagat. Beristana di atas alis, tempat dari Hyang Tiga, basma wisesa, di atas itu, ada yang sama-sama memutuskan, tempatnya rangke sari. Ada di atasnya dari sini, di rambut yang sempit jalannya, sembilan Hyang, yaitu, Hyang Nungku Rat, Hyang Sukla Maniking Rat, Hyang Mretaning Rat, Hyang Ja Rasyaning Rat, Hyang Paramarttaning Ewana, Hyang Ning Tan Pasingsingan, sekian. Adalah istana di kepala, adalah tempurung otak, namanya mica buter, berwarna ungu, jika terpisah dari

TEKS
21a. rika, hana madjaran, hana saluwuring ika, ingaranan jāli, hana panlasanya, lingganya, ring adipati, sukla pati, ina pati, sura pati, maya naka. Mapane sabda, aywa wera, aywa cawuh, aywa candha, sungsung bhabhu, alpayusaya, kěneng rajah tamah, bwatan siddhi phalanya, mapan dahat uttama těměn, ma, Am, Um, Um, Um, ring ulu puwun. Ong, ring slaning lalata. Iti tengran rangdeng jirah, aparnamani calwanarang, maguru ring sri bhaggawati, sampun adasal pustaka, kunang sisya nira, ni rangdeng jirah, niwak sirsa, nimisa wadana, ni landha, ni landya, ni guyang. Ni larung, ni landhi. Saika iring mareng sang ni rangdeng jirah, ri wuwusnya prasama ngigel, mwang yang smasana, mijil paduka bhatāri dhurggha, mangañjali sira ni ca-

TERJEMAHAN
21a. Sana, ada yang berjejeran, ada di atasnya itu, dinamakan jali, adalah penghabisannya, lingganya, di adipati, suklapati, inapati, surapati, mayanaka. Karena itu sabdanya, jangan sembarangan, janganlah mencela, jangan bercanda, sambutan yang hina, maka umurmu akan pendek, dikuasai oleh rajah dan tamah, oleh karena besar pahalanya, oleh karena sangat maha utama, mantranya, Am, Um, Um, Um, ri atas ubun-ubun. Ong, di sela-sela alis. Inilah ramalah dari Rangdeng Dirah, yang dijuluki Calwanarang, berguru kepada Dewi Bhagawati (Dhurga), telah menguasai segala pustaka, adapun murid, dari Ni Rangdeng Dirah, adalah Ni Waksirsa, Ni Mahisa Wadana, Ni Lendha, Ni Landya, Ni Guyang. Ni Larung, Ni Ladhi. Mereka semua melayani Ni Rangdeng Dirah, setelah meraka menari, Hyang Smasana, muncullah yang mulia Dewi Dhurga, memberi hormatlah Sang

TEKS
21b. lwanarang, mwah sisya nira kabeh, padha ngigěl, ring wawala, ri sědhěnging těngah wěngi, tumigěl ni guyang, pangigělnya dumpad sahā kapyak, anungsang romanya, karwwa siñjang, socanya, mulirak-mulirak, manolih mangiwa těngěn. Mangigěl ni larung tandhangnya, kadi sangmong mayun mandha-mandhaman, den sarwi anungsang romanya anolih maring nguri maring arěp. Mangigěl ni landhi, lumumpat-lumumpat denya mangigěl, netranya smu mangani, tri mangura romanya. Mangigěl ni lěñca, lumumpat-lumumpat, nangkěnya mangap-mangap socanya lwir agni murub, muryya romanya. Mangigěl ni lěndhya, mengo-mengo pangigělnya, dumeled-meled lidahnya, murirak socanya buyar romanya. Mangigěl ni waksirsa, mangundang-kundang kdhenya mangigěl,

TERJEMAHAN
21b. Calwanarang, dengan semua muridnya, semua menari, di Wawala, pada saat tengah malam, Ni Guyang mulai menari, geraknya berjingkrak dan berhentak, rambutnya terbalik, kedua kain, matanya, melotot, melirik ke kanan ke kiri. Ni Larung menari, gerakannya, seperti harimau yang ingin memangsa, sampai rambutnya terurai terbalik, memandang ke belakang ke depan. Kemudian Ni Landhi, melompat-lompat, mulutnya menganga-nganga, matanya seperti api yang menyala, rambutnya terurai lebat. Ni Lendhya kemudian menari, tariannya kesana-kemari, lidahnya menjulur-julur, matanya melotot dan rambutnya terurai. Ni Waksirsa kemudian menari, dengan tawanya menantang-nantang

TEKS
22a. netranya dumling-dumling lwih tolihanya, tanganya kadi anglalangon, manungsang romanya. Mangigěl ni misa wadana, masuku tunggal, maledled lidahnya, manlik socanya mulirak mangiwa těngěn, manungsang romanya. Tumigěl ni calwanarang, ri huwusnya prasama ngigěl, adu mahā bubutan, yan těkeng nara sira amañca desa. Ni guyang wetan, ni landha kidul, ni landhya kulon, ni larung ělor, ni waksirsa misa wadana, ni landhi, padha ring těngah. Iti wisiknya, nga, yan ring bwana aliit, bhagawati, cangkěm mwang purus, yan těngah, lanang, yan wadon, cangkěm bhaga. Ni calwanarang rah mědhal ring cangkěm, dada swara gnira niranya, anake ratna manggali aranya, stana ngirěnging tinghal, lwih dahat wisesanya. Kramaning hana calwanarang, mwang bhagawati,

TERJEMAHAN
22a. Matanya menolah noleh, lirikannya sangat menakutkan, tangannya seperti berjalan-jalan, rambutnya terbalik. Ni Mahisa Wadana kemudian menari, berdiri dengan kaki satu, lidahnya terjulur keluar, matanya melotot, melirik kanan dan kiri, rambutnya terurai lebat. Kemudian Ni Calwanarang menari, setelah itu semuanya menari, berhamburan, sampai mengambil tempat di setiap penjuru arah. Ni Guyang di timur, Ni Landha di selatan, Ni Landya di barat, Ni Larung di utara, Ni Waksirsa, Ni Mahisa Wadana, Ni Lendhi, sama-sama di tengah. Inilah yang dibisiknya, yaitu, jika di bhwana alit, bhagawati, cangkem dan purus, jika di tengah, lelaki, jika perempuan, cangkem bhaga. Ni Calwanarang mengeluarkan darah dari mulutnya, yaitu dada swara gni, putrinya yaitu Ratna Manggali namanya, tempatnya di bola mata, kesaktiannya sangat besar. Perjalanan adanya sang Calwanarang, dan Dewi Bhagawati,

TEKS
22b. maka marggan sang atmā, bhatāri dhurggha, gěnahing sang atmā, nga, saka pangan saka kinum, maka pangsěng sang hyang brahmā wisnu. Yan ring bwana agung, ni ratna mangali, nga, sang hyang candra, ni calwanarang, na, sang hyang raditya, dri bhagawati, pritiwi lawan akasa, tmahannya marupa tatit. Kalinganya tunggal ring bwana alit lan bwana agung, těkaning daging tunggal kaputusanya, ring pandaden kami sang hyang smara lawan ratih, ne lěwih, irěnging tinghal, nga, prětitya kamala, duk tan hana, sor mwang luhur, wetan kulon mwang ělor kidul. Ya ta gěnahnya ring bhatāra bhayu, sukla rasa, nga, yan bakal mapasatru ring sarira, matwang sambat- sambat sisyane ni randheng jirah, kabeh tunggal satus, kawrědahan, samangkana těgěsnya ring sarira, tlas tutur kamantyan, nga, I blis, igunya, I plis,

TERJEMAHAN
22b. Sebagai jalannya Sang Atma, Bhatari Dhurga, tempatnya Sang Atma, namanya, setiap yang dimakan dan diminum, sebagai sinar Sang Hyang Brahma Wisnu. Jika pada bhwana agung, Ni Ratna Mangali, namanya, Sang Hyang Candra, Ni Calwanarang, yaitu, Sang Hyang Raditya, Dewi Bhagawati, sebagai pertiwi dan akasa, penjelmaannya berupa kilat. Disebutkan tunggal antara bhwana alit dan bhwana agung, sampai pada isinya yang tunggal kemutlakannya, pada penjelmaanKu Sang Hyang Smara dengan Ratih, yang sangat mulia, hitam bola mata, namanya, pretitya kamala, saat tidak ada, atas dan bawah, timur barat dan utara selatan. Itulah tempatnya Dewa Bhayu, sukla rasa, namanya, dalam melawan musuh di dalam dirinya, serentak semua murid Ni Rangdeng Dirah melantunkan mantra, semuanya seratus, kawredahan, demikianlah maknanya di dalam diri, selesailah ajaran kamantyan, yang namanya, I blis, igunya, I plis

TEKS
23a. i anggrek ulan, i bama guru ring bhatar durggha ko, kai ta wuring kadaden bake, mulih iba ka lěmah tulis, těkědang ka paparu, bwin iba těka, ibhan tuwang ring brahma naka, mitu iba uli di bungut, mulih iba ka kuping, 3. Iti pingitakna, aja wera ring wong lyan, bwat kaparaněn těměn, dahating wisesā, iti kawruhakna denta, nga, kaputusan campur talon, ca, nga, warnna, pur, nga, kamimitan, ta, nga, tingkah, nga, lěd. Ya ta kawruhakna tunggal unggwanya, ca, nga, cantik, pur, nga, pukuh. Ta, nga, tingkahakna, long, nga, pangalad-alědan. Ya ta rasaakna sang hyang pasupati, kara sumungsang ring pukwing jiwanta, ika rasaakna mijilakěn mrěta. Malih dhurggha rasa, nga, ring graningjinta, tumurun ring yajñananta, trus mañjing ring wrědayanta,

TERJEMAHAN
23a. I Anggrek Bulan, I Bama Guru kepada Bhatari Dhurga, kaulah Wuring dijadikan makhluk gaib, pulanglah kau ke Lemah Tulis, sampaikan ke paru-paru, kau datang lagi, engkau muncul di brahma naka, keluarlah engkau dari mulut, pulanglah kau ke telinga, 3 kali. Ini sangat disucikan, janganlah memberitahukan kepada orang lain, karena akibatnya sangat buruk, karena sangat sakti, ini harus diketahui olehmu, yang namanya, kaputusan campur talo, ca, artinya, warna, pur, artinya, asal terdahulu, ta, artinya, perilaku, lo, artinya, led. Itulah harus diketahui akan tempatnya yang satu, ca, artinya, cantik, pur, artinya, pukuh. Ta, artinya, agar dilaksanakan, long, artinya dasar pijakan. Itulah yang seharusnya dirasakan adalah Sang Hyang Pasupati, tangan berbalik di depan pelupuk jiwa, itu rasakanlah dan keluarkan kehidupan. Kemudian dhurga rasa, artinya, di puncak hidupmu, turun pada yadnyamu, turun di dalam hatimu,

TEKS
23b. malih patěgěsnya. Campur, nga, tlas, ya ta dhurggha guna wisesā, añjanganira bhatari uma, dadi bhatari dhurggha, añjanganira bhuta bhregeñjeng, wadanira ni jiligpang gěndhruk, ika wruhakna rasa gěnahnya ring catuspata, wisesanya ring nabhi, nga, satra mangměnang, rasa dalěm nambahanya, magěnah ring pukwing jiwanta, nga, ni cili mareka, wisesānya rasagna mijil ring tungtunging nada, ring gwanira bhatari dhurggha, gěnahnya ring tungtunging jiwa, ya ta němbah dening leyak mwang desti tluh tarañjana, mwah pakiryya ala, tibaakna ring catus pata. Wus mangkana wětuakna ni cili mareka, gěnahang ring graning jiwa, parěk lawan bhatari dhurggha. Ni cili gěndru krasa ring madhyaning jiwa, ni bhuta brěgeñjeng mañjing ring nabhinta, dewa nira kiyamad. Ni cili gěndru krasa mañjing ring wrěda-

TERJEMAHAN
23b. Kemudian maknanya. Campur, artinya, habis, itulah dhurga guna wisesa, penjelmaan beliau Dewi Uma, menjadi Bhatari Dhurga, jelmaan beliau Bhuta Bregenjeng, julukan beliau Ni Jilingpang Gendruk, itu yang harus diketahui rasa tempatnya di perempatan, kesaktiannya ada di nabhi, yang namanya, satramang menang, rasa di dalam jalannya, bertempat di pangkal jiwamu, yaitu, Ni Cili Mareka, kekuatannya dirasakan muncul di ujung nada, di tempat Dewi Dhurga, tempatnya di ujung jiwa, itulah yang memuja leak dan segala ilmu hitam, dan menyebarkan kejahatan, disebarkan di perempatan. Setelah itu dikeluarkan Ni Cili Mareka, tempatkan di puncak jiwa, berdekatan dengan Dewi Dhurga. Ni Cili Gendru dirasakan di dalam jiwa, Ni Bhuta Bregenjeng masuk di nabhimu, dewanya adah Ki Amad Ni Cili Gendru dirasakan masuk di hati,

TEKS
24a. yanta, dewa nira sang hyang anta wisesā. Ni cili mareka mañjing ring patmanik dewa sang hyang tunggal. Hyang bhatari dhurggha, gěnahnya ring dalěming sma, rasa maka paněs ni rangdeng jirah, mwang i waksirsa, ni macan angareng ni ragag, ika sahanane alirtta ala, yen nrus karasa denta mangkana, iti pangisěpnya rasanta, Am, swaraning nabhi, mětu gni murub dumilah lwih sinyoking miñjak, rasa gěsěng sahananing leyak kabeh, Ong, rasaning wrědayanta, Mam, rasaning lalatannta, mangkana wisesa nira sang hyang campur talo, malih rasa. Am, ring bungkahing ati, Um, ring madhyaning ati, Mam, ring tungtunging ati, swaraning mrěta, tlas. Puput sinurat ring dina, rědite, ka, wuku, pujuta, sasih, saddha, tang, 15, isaka, 1936, kacetwa lka de sira kang

TERJEMAHAN
24a. Dewanya adalah Sang Hyang Anta Wisesa. Ni Cili Mareka masuk di jelmaan Sang Hyang Tunggal. Hyang Bhatari Dhurga, tempatnya di tengah-tengah kuburan, rasa panas Ni Rangdeng Dirah, dan Ni Waksirsa, Ni Macan Angareng Ni Ragag, itulah segala yang mengalirkan keburukan, jika terus dirasakan olehmu demikian, inilah penghisap rasa, Am, suara nabhi, muncul api yang membara seperti disirami minyak, sepertinya semua leak dibakarnya, Ong, rasa di hatimu, Mam, rasa dari alismu, demikianlah kesaktian Sang Hyang Campur Talo, dan dalam rasa. Am, di pangkal hati, Um, di tengah-tengah hati, Mam, di ujung hati, suara kehidupan, selesai. Selesai ditulis pada hari, Minggu, Kliwon, wuku, Pujut, bulan, Sadha, tanggal, 15, Tahun Saka, 1936, ditulis oleh seseorang

TEKS
24b. apasajñā I Gede Sugata Yadnya Manuaba, agrěha haneng bañjar pengembungan bongkasa. Ksamakna ngwang mudal pasastra.

TERJEMAHAN
24b. Yang bernama I Gede Sugata Yadnya Manuaba, berdiam di Banjar Pengembungan Desa Bongkasa. Maafkanlah orang yang bodoh tanpa didasari pengetahuan.