Minggu, 04 Oktober 2020

MENELUSURI MAKNA INDAH DALAM PUTRU SEBAGAI UPAYA MEMBANGKITKAN MINAT GENERASI MUDA TERHADAP KARYA SASTRA BALI

MENELUSURI MAKNA INDAH DALAM PUTRU SEBAGAI UPAYA MEMBANGKITKAN MINAT GENERASI MUDA TERHADAP KARYA SASTRA BALI 

ABSTRAK 

Prosa Bali yang selama ini jarang dikumandangkan dan diminati generasi muda adalah Putru. Putru menggunakan bahasa Kawi-Bali. Naskah ini biasanya dibacakan pada saat upacara ngaben (kremasi jenazah) dan upacara memukur (upacara pembersihan roh). Karya sastra ini merupakan kegiatan langka dan dianggap sakral dan hanya dibawakan oleh seseorang yang sudah melewati serangkaian upacara penyucian. Kesakralan tersebut telah membuat turunnya minat generasi muda menggali makna yang terkandung dalam putru tersebut.kelebihan putru dengan gita yang lain terutamanya palawakya yang banyak dikenal adalah dari segi makna dan fungsinya. Palawakya yang banyak dikenal merupakan terjemahan dari karya sastra Arjuna Wiwaha namun palawakya dalam putru ini menceritakan serangkaian proses upacara ngaben dan memukur yang juga menceritakan sarana upakara serta perjalanan roh leluhur dalam proses upacara tersebut. Tutur yang terdapat dalam Putru mencerminkan perilaku manusia yang berisi sebab akibat yakni disebutkan salah satu di dalamnya jika seseorang berbuat baik maka sorgalah yang didapat namun jika berbuat kejahatan maka neraka adalah tempat yang didapat. Kata Kunci: Bahasa, Putru, Generasi Muda. 


I. PENDAHULUAN Bali merupakan salah satu bagian dari negara Indonesia yang terkenal akan budayanya. Budaya yang dimiliki oleh daerah ini merupakan warisan dari para leluhur yang masih tetap dijaga sampai saat ini. Warisan tersebut merupakan aset turun temurun yang wajib dikenalkan kepada generasi muda yang nantinya akan menjadi seorang penerus. Generasi muda Bali tidak berbeda dengan generasi muda lainnya yang senantiasa mengikuti perkembangan zaman. Kendatipun demikian, tak banyak generasi muda Bali yang terjerumus hingga melupakan ciri khas daerahnya. Ciri khas daerah yang dimiliki oleh Bali salah satunya adalah karya sastra. Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Jakop Sumardjo dalam bukunya yang berjudul "Apresiasi Kesusastraan" 154

mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. (Sumardjo, 1994). Karya sastra Bali adalah karya sastra tradisional yang mempunyai sistem konvensi sastra yang cukup ketat, dalam hal ini yang dimaksud adalah genre sastra puisi tradisional. Karya sastra tersebut dibentuk oleh satuan pupuh yang memiliki aturan-aturan, seperti: (1) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris, (2) banyaknya baris dalam tiap-tiap bait, dan (3) bunyi akhir dalam tiap-tiap baris (Agastia, 1980). Keberadaan pupuh juga diiringi dengan perkembangan prosa yang sama-sama merupakan karya sastra berupa tulisan. Mendalami sastra, tampaknya selaras dengan tiga kerangka dasar agama Hindu yakni tattwa, susila dan acara. Tattwa adalah tingkat pemahaman filosofis dari susila (tingkah laku), dan susila dilengkapi dengan ritual atau upacara. Ketiga aspek itu terjalin dalam sastra, salah satunya ialah sastra Bali Purwa berupa prosa yakniberjudul Putru Sanghaskara. Naskah ini ditemukan dalam bentuk lontar yang bertuliskan aksara Bali serta ada juga yang merupakan alih aksaranya berupa tulisan huruf lain. Bahasa yang digunakan sebagai mediumnya adalah bahasakawi-bali (Santika, Sri Empu, 1997). Putru biasanya dibacakan pada saat upacara ngaben dan memukur yang mana upacara tersebut merupakan upacara pembersihan roh. Teks putru yang dibacakan menguraikan tentang fungsi dari upacara ngaben dan memukur. Pembacaannyapun menyerupai pembacaan palawakya dan yang membaca bukan dari kalangan sembarangan. Orang yang benar-benar mengetahui jalannya upacara dan bisa membaca situasi serta menembangkan palawakya dan terbiasa membaca teks inilah yang diberi kesempatan membaca sebuah putru. Disamping itu pula, seseorang yang sudah melaksanakan upacara pawintenan (penyucian diri) serta yang sudah melalui upacara eka jati maupun dwi jati diijinkan untuk membaca putru tersebut. Hal ini menyebabkan suatu ketimpangan khususnya bagi generasi muda dikarenakan sangat jarang sekali kegiatan pembacaan putru ini dituangkan dalam pesan-pesan sederhana bagi generasi muda sehingga masih banyak yang awam dengan keberadaan putru tersebut. Bertitik tolak dari masalah tersebut, perlu adanya suatu inovasi dalam penyampaian putru maupun kegiatan memutru terutama dalam terjemahan bahasanya sehingga mudah dimengerti oleh kalangan masyarakat khususnya generasi muda dikarenakan terdapat makna yang indah dalam sebuah putru khsusunya putru Sanghaskara. 


II. PEMBAHASAN Bahasa merupakan unsur utama dalam komunikasi karya sastra. Karya sastra yang dimaksud salah satunya adalah dharma gita. Dharma gita meliputri teks kidung, sloka, palawakya serta gegendingan Bali. Tanpa adanya bahasa maka karya sastra tersebut tidak akan memiliki makna. Makna yang terkandung dalam karya sastra tentunya bervariasi. Salah satunya adalah putru. Salah satu jenis putru adalah putrusanghaskara yang merupakan sebuah karya sastra yang pembacaannya menyerupai palawakia. Putru ini dibawakan pada saat upacara ngaben maupun memukur. Kegiatan dalam pembacaan putru disebut dengan memutru. Menurut Wiana (1998-25-70), dalam upacara pitra yadnya ada dua jenis upacara yaitu ngaben dan memukur. Kedua upacara ini termasuk upacara penyucian roh leluhur. Upacara memukur dilaksanakan setelah upacara ngaben. Kedua upacara ini saling berkaitan dan tentunya dalam rangkaian upacara tersebut terdapat suatu proses yang cukup lama. Ngaben dilaksanakan sebagai upacara pembakaran badan kasar 155

manusia dan memukur dilaksanakan sebagai langkah dalam penyucian roh leluhur. Proses ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, terlebih generasi muda. Generasi muda Bali adalah generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bali yang terkena adi luhung. Sudah saatnya generasi muda peka dengan keadaan perkembangan kebudayaan Bali. Beberapa karya satra sudah mulai ditekuni oleh generasi muda seperti kekawin, kidung, maupun sloka, namun karya sastra palawakya khususnya putru jarang dipelajari. Kekawatiran kedepan adalah terjadinya penurunan regenerasi terhadap pelestarian karya-karya sastra Bali yang ditelah disakralkan. Putru sebagai doa yang menjelaskan perjalan roh leluhur sangat minim diketahui oleh generasi muda. Upacara ngaben dan memukur merupakan salah jenis upacara yang paling kompleks dan memiliki suasana khidmat yang mendalam. Peristiwa tersebut merupakan waktu yang tepat bagai semua lapisan masyarakat untuk mendengarkan orang yang sedang memutru. Karena suasana khidmat tersebut akan lebih memberikan ruang dan kekuatan untuk menyakinkan masyarakat tentang perjalan roh orang tua atau roh kerabat yang telah meninggal. Pesan-pesan putru akan memberikan pendidikan moral kepada masyarakat akan pentingnya perbuatan baik selama hidup. Namun selama ini makna yang terdapat dalam putru jarang diketahui oleh masyarakat. Masyarakat lebih terfokus pada pelaksanaan seremoninya sehingga esensi dan makna dari upacara tersebut tidak dapat dipahami dengan baik. Sebagai usaha meningkatkan kepekaan masyarakat khususnya generasi muda terhadap karya sastra Bali perlu diterjemahkan makna indah yang terkandung dalam putru ke dalam teks yang mudah dipahami serta visualisasi konkret. Berikut ini adalah salah satu teks kutipan pada putru. Ong sahananta maha Pandhita sakwehta gumawebrata, Uniweh walakawrttinya kalawanjanma amnusa, Nihanhulun patenta hangucap sang Sanghaskara, Kari tuwuh-tuwuhku rare tininggal dening kawwittan. Artinya Dewa sawentene sami sane lintang prajnan sakatahing nangun brata, Napimalih yening walaka tingkah laku tumitis dadi manusa, Puniki tityang mangkin nunasang bawos ida sang Sanghaskara, Wyaktine umur tityang kari alit tinggalin dening Bapa ibu. Arti dalam Bahasa Bali biasa Singgih para pandita makasami sané ngelarang tapa brata, miwah para walaka turmaning parajana lan manusané sami, mangkin titiang nelatarang napi sané bebaosang olih Sang Sangaskara, Kantun cenik twuh titiangé katinggalin antuk kawitané/panglingsir. Arti dalam Bahasa Indonesia Wahai para pendeta setiap engkau melaksanakan tapa brata, dan lagi orang walaka (belum diupacarai menjadi pendeta) dan setiap manusia, Inilah sekarang saya menjelaskan apa yang diberitaukan oleh Sang Sanghaskara, Masih sangat belia umur saya ditinggal oleh leluhur. Arti teks di atasi dapat visualisasi seperti Gambar 1 156

Gambar 1 Pandita menceritakan tentang kehidupan manusia Makna yang dapat dipetik adalah setiap orang pasi akan mengalami kematian. Entah iu kapan, hanya Tuhan yang tahu Kita tidak bisa menolak. Kuipan eks diatas menceritakan seseorang yang masih kecil sudah ditinggal ayah dan ibu serta leluhur. Berikut ini adalah kutipan lain dalam teks putru Yatakadang pamansanak klagorangk tan hana, Mwangsanak sampunmapasah saradrbya metparam, Panangging mangkana ling hira Mpwawu, Ibu Bapa paranteki panawurangkwi ngutangku Artinya Punika kadang paman nyama sameton pnika sami tan wenten, Muwang semeton sampun doh pisan wehin druwe dia jani alih, Nangging sapunika makrak bawos ida Mpwawu (dewa nangis), Si ibu si Bapa dia puniki napi anggén tyang mayah ngutang tyang. Arti teks di atasi dapat visualisasi seperti Gambar 2 Gambar 2 Semua orang pasti akan merasakan ditinggal oleh leluhurnya. 157

Makna yang dapat dipetik dari ilustrasi diatas adalah Seseorang yang masih belia/kecil ditinggal orang tuanya. Paman, saudara dan leluhur sudah tiada. Tidak ada yang bisa dicari saat ini dan tidak tahu apa yang dapat digunakan ntu membayar hutang kehidupan ini. Cara penyajian putru yang lebih sederhana, kontekstual dan konkret akan membangkitkan minat generasi muda terhadap putru yang selama ini dianggap sakral. Seperti diketahui bahwa banyak terdapat makna indah yang terkandung dalam putru yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup dalam berpikir, berkata, dan berbuat. 


III. PENUTUP Putru yakni karya sastra Bali yang berbentuk prosa. Pembacaan putru seperti pembacaan palawakya hanya saja dari segi isi yang membedakan. Putru menceritakan tentang perjalanan roh leluhur serta sarana dalam upacara pitrayadnya yakni ngaben dan memukur. Tutur yang terdapat dalam putru memberikan sebuah pendidikan karakter yang dapat dijadikan pedoman bagi generasi muda. Tentunya putru dengan gita yang lain berbeda dari segi pemaknaannya. Keberadaan serta makna indah dalam putru inilah dapat dijadikan inovasi dalam membangkitkan minat generasi muda terhadap karya sastra Bali. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar