Lontar Asta Kosala Kosali berisi mengenai pedoman pelaksanaan pembangunan dan pengukuran rumah. Ukuran-ukuran ini dijabarkan dengan lengkap mana saja yang digunakan untuk puri (rumah bangsawan), grya (rumah pendeta), serta mana saja yang boleh digunakan untuk rumah orang kebanyakan.
Asta Kosala Kosali atau Arsitektur tradisional Bali bisa diartikan sebagai sebuah rangkaian tata ruang yang mewadahi kehidupan dari masyarakat Bali yang terus berkembang secara turun menurun dengan segala aturan-aturan nya yang diwariskan dari zaman dahulu hingga kini. Gaya Arsitektur Bali adalah arsitektur vernacular yang dibuat dan didesain menggunakan berbagai bahan-bahan lokal untuk membangun bangunan, struktur, dan rumah-rumah, yang mencerminkan tradisi lokal.
Desain gaya arsitektur Bali sangat dipengaruhi kentalnya tradisi Hindu Bali, dan sentuhan unsur Jawa kuno. Bahan baku yang biasa digunakan pada rumah-rumah dan bangunan di Bali antara lain atap menggunakan jerami, kayu kelapa, bahan bambu, kayu jati, batu alam , dan batu bata. Arsitektur Bali memiliki karakteristik yang khas menggunakan budaya kuno dan kesenian pada setiap elemen desain arsitektur nya.
Desain arsitektur Bali memiliki filosofi yang berpusat pada agama Hindu, organisasi ruang, serta hubungan sosial yang bersifat komunal. Sebuah bangunan rumah atau villa yang ada di Bali dibangun serta dirancang dengan 7 filosofi berikut:
- Tri Hata Karana – Menciptakan adanya harmoni serta keseimbangan antara 3 unsur kehidupan – atma (manusia), angga (alam), dan khaya (dewa-dewa).
- Tri Mandala – aturan pembagian ruang dan zonasi
- Sanga Mandala – seperangkat aturan pembagian ruang serta zonasi berdasarkan arah
- Tri Angga – konsep atau hierarki antara alam lain yang berbeda
- Tri Loka – Serupa dengan Tri Angga tetapi dengan alam yang berbeda
- Asta Kosala Kosali – 8 pedoman desain arsitektur tentang simbol, kuil, tahapan, dan satuan pengukuran
- Arga Segara – axis suci antara gunung dan laut
Pengaruh Budaya dalam Arsitektur Bali
Pada abad ke-8 hingga abad ke-16 pengaruh arsitektur bergaya Hindu dan Budha kuno banyak dijumpai pada bangunan candi-candi yang megah di Indonesia ini terkhusus di tanah Jawa. Dan secara tidak langsung beberapa desain bangunan paviliun atau bale yang banyak terdapat pada bangunan tradisional di Bali memiliki unsur yang unik yakni berupa pahatan yang rumit serta detail sebagai perpaduan antara pengaruh Hindu-Budha dengan masyarakat Jawa Aboriginal yang bermukim di Bali kala itu.
Prinsip Kaja-Kelod, merupakan salah satu pedoman utama di masa-masa awal arsitektur Bali. Kaja dimaknai menghadap dimana gunung berada, sedangkan Kelod bermakna menghadap dimana laut berada. Konsep dari mistis kaja-kelod ini sering kali digunakan pada perencanaan penempatan bangunan rumah ataupun pura desa.
Bangunan yang bersifat suci akan diletakkan pada bagian kaja, sedangkan yang bersifat yang biasa diletakkan pada bagian kelod. Pura keluarga biasanya akan ditempatkan pada bagian kaja, sedangkan rumah untuk tempat tinggal ditempatkan pada bagian kelod. Dalam konteks pura desa yang memiliki sifat kahyangan akan diletakkan di arah kaja sedangkan pada arah laut akan diletakkan Pura Dalem (pura yang berhubungan dengan kuburan dan kematian).
Arsitektur tradisional Bali tidak akan terlepas dari keberadaan manuskrip Hindu yang bernama “Lontar Asta Kosala Kosali” aturan memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah ataupun puri serta aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam Asta Kosala Kosali ini disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan-aturan anatomi tubuh pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang mempunyai wewenang membantu pembangunan rumah atau pura.
Asta Kosala Kosali Fengshui Arsitektur Bali
Asta Kosala Kosali bahasa singkatnya merupakan Fengshui-nya Bali, ini adalah sebuah tatanan cara, tata letak, serta tata bangunan baik itu bangunan tempat tinggal atupun bangunan tempat suci yang ada di Bali tentunya. Yang sesuai akan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan dari konsepsi perwujudan, pemilihan tempat atau lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, dan pelaksanaan yadnya.
Lalu secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karena itu, tiap bangunan di bali pasti selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap dewa Bhagawan Wiswakarma. Upacara tersebut dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan hingga bangunan selesai dibangun. Hal ini tentu bertujuan untuk minta restu kepada dewa arsitektur Bhagawan Wiswakarma agar bangunan tersebut hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi pemilik serta penghuninya.
Menurut kepercayaan pada masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung atau (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang tinggal di bangunan adalah bagian dari buana alit atau (mikrokosmos). Antara manusia dan bangunan yang ditempati haruslah harmonis, agar mampu mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut. Karena itu,membuat bagunan harus sesuai dengan aturan dan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali yang kita kenal sebagai fengsui Hindu Bali.
- Musti (ukuran atau dimensi dengan ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
- Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata mulai dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
- Depa (ukuran yang dipakai diantara dua bentangan tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
- Bhur alam semesta, tempatnya bersemayamnya para dewa.
- Bwah, alam manusia & kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan dunia, yang berhubungan dengan materialisme
- Swah, alam nista yang menjadi simbol akan keberadaan setan & nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat dosa atau menyimpang dari dharma.
- Dapur, karena biasa berhubungan dengan Api maka Dapur ini ditempatkan di Selatan,
- Tempat suci untuk Sembahyang karena ini berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempatnya matahari Terbit.
- Sumur karena menjadi sumber Air maka akan ditempatkan di Utara dimana Gunung itu berada begitu seterusnya.
- jaba adalah untuk bagian paling terluar bangunan
- jaba jero adalah untuk mendifinisikan bagian ruang diantara luar dan dalam, atau kita sebut ruang tengah
- Nista yang menggambarkan tentang hirarki paling bawah pada sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahan bakunya biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu alam gunung.
- Madya merupakan bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
- Utama merupakan simbol dari bangunan bagian paling atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat yang paling suci dalam rumah tinggal sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah tiada. Pada bagian atap ini bahan baku yang digunakan pada arsitektur tradisional bali adalah atap ijuk dan alang-alang.
Berikut bagian-bagian dari rumah Bali:
- Pamerajan adalah sebuah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya pada setiap keluarga memiliki pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang
- Umah Meten adalah ruang yang biasanya dipakai tidur pemimpin keluarga sehingga posisinya haruslah terhormat
- Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan sebagai tempat tidur anak anak atau anggota keluarga lain yang masih kecil.
- Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang tamu
- Bale Dangin biasanya dipakai untuk bersantai membuat benda benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya.
- Lumbung digunakan untuk tempat menyimpan hasil panen, baik berupa padi dan hasil kebun lainnya.
- Paon (Dapur) yaitu dapur atau tempat memasak bagi keluarga.
- Aling-aling adalah bagian entrance yang memiliki fungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak terus lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
- Angkul-angkul yaitu entrance yang memiliki fungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.
- Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
- Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
- Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
- Pembinaan hubungan dengan lingkungan. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
- Keseimbangan Alam: Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
- Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana. Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
- Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya: kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
- Harmonisasi dengan potensi lingkungan. Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).
- karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
- karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
- karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
- karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
- karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
- karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
- karang tenget,
- karang buta salah wetu,
- karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
- karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
- tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.
- Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
- Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi. Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
- Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
- Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
- Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.
- Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
- Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
- Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara.
Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara fisik dan tingkat kastanya.
- Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
- Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
- Konsep keseimbangan kosmologi
- Konsep proporsi dan skala manusia
- Konsep court, Open air
- Konsep kejujuran bahan bangunan
Ketentuan – Ketentuan Arsitektur Bangunan di Bali:
- Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
- Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali.
- Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya
Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografis dan ekonomi masyarakat. Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi (daerah pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi yang penduduknya berkebun, pada umunya bangunannya kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek untuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur, memasak dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya.
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.
Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang disi ikan
Perkembangan Desain Arsitektur di Bali
Pada abad ke-18 hingga ke-19, Arsitektur Bali berada pada puncak masa keemasannya, dengan tetap menjaga keluhuran pedoman dalam seni bangun ruang yang telah diajarkan oleh para leluhurnnya, para arsitektur atau ahli bangunan Bali mulai menunjukkan dinamismenya dalam setiap karya desain arsitektur yang dibuat dengan memberikan beberapa sentuhan modern namun tetap menjaga nilai-nilai keaslian bangunan Bali.
Hal cukup menarik yang kita dapat masih dapat ditelusuri jejak sejarahnya hingga saat adalah pengaruh gaya arsitektur Eropa yang sempat hadir dalam seni arsitektur bangun Bali. Di tahun 40an, beberapa daerah di Bali Utara seperti Bungkulan terdapat beberapa rumah penduduk bali yang berbentuk menyerupai mansion kecil meten. Dengan Lengkungan khas style gaya Roma juga dapat ditemukan di beberapa rumah tinggal kaum elit waktu itu, istana dan beberapa hotel.
Setelah memasuki abad ke-20 setelah bangsa Indonesia ini merdeka dari masa penjajahan pengaruh gaya arsitektur bangunan Belanda dan Jepang tetap ada di Bali, Seperti rumah milik Panglima dan Istana Presiden Tampak Siring adalah dua contoh terbaik arsitektur modern di Bali.
Ada satu hal yang menarik untuk diketahui, pemahaman dasar Bali tentang sebuah arsitektur bangunan sebaiknya tidak melebihi tinggi pohon kelapa kurang lebih (15 meter), namun sebelum ini disahkan dalam peraturan tetap yang resmi, Hotel bali Beach yang kini berubah nama menjadi Grand Inna Sanur sudah mulai dibangun dan dirintis langsung oleh presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno.
Hingga saat ini seni arsitektur Bali terus berkembang mengikuti perkembangan zaman moderen, pengaruh dari berbagai belahan dunia dapat kita jumpai pada banyaknya bangunan hotel, restoran dan tempat umum lainnya. Namun satu hal yang pasti semua perbedaan yang ada itu seakan menyatu menjadi sebuah harmoni di pulau yang ajaib ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar