Minggu, 30 Mei 2021

Penilaian Kenaikan Kelas Siswa di Tengah Pandemi Covid-19 Jangan Rugikan Siswa

FSGI meminta dinas pendidikan dan sekolah tetap harus mempertimbangkan akses siswa terhadap internet dan kepemilikan gawai.

"Jika di sekolah (daerah) tersebut pelaksanaan PJJ sudah efektif maka nilai kenaikan kelas bisa diambil dari akumulasi proses pembelajaran yang selama 1 semester ini dilakukan, baik record nilai sebelum pandemi maupun setelah pandemi (PJJ)," kata Fahriza dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.

Menurutnya, PAT tak bisa dilakukan serentak di waktu yang sama bagi semua siswa. Hal itu mengingat banyak siswa tak punya gawai di satu sekolah tertentu.

Ia juga mengusulkan PAT bagi sekolah di daerah yang tak efektif dalam pelaksanaan PJJ selama tiga (3) bulan ini, bahkan relatif tak berjalan karena keterbatasan gawai, jaringan internet, bahkan keterbatasan listrik.
Menurutnya, nilai kenaikan kelas siswa bisa diambil dari proses pembelajaran selama sebelum pandemi (sebelum belajar dari rumah diterapkan).

"Format PAT-nya pun bisa dengan penugasan portofolio belaka. Berbeda dari yang PJJ online," tambah Fahriza.

Oleh karenanya, FSGI meminta Kemdikbud-Kemenag memberikan penguatan kembali kepada dinas pendidikan dan kepala sekolah (termasuk guru). Prinsipnya, jangan sampai siswa dirugikan.

"Jangan sampai ada siswa tak naik kelas di masa krisis pandemi ini," kata Fahriza.

Fahriza menilai ada tantangan bagi kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan yang terkadang tak cukup arif dan bijak dalam proses penilaian siswa di masa pandemi meskipun prinsip pengelolaan sekolah berdasarkan "Manajemen Berbasis Sekolah" (MBS).

"Atau ada juga fakta kepala sekolah belum percaya diri sepenuhnya dan otonom dalam mengelola PJJ. Mengingat rumitnya birokrasi pendidikan daerah dan pelaporan administratif yang terkadang tak rasional dan berkeadilan," tambahnya.

Analisa Spiritual MATI RAGA

Analisa Spiritual MATI RAGA
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
Dalam agama Hindu, fenomena mati raga dapat dijelaskan secara rasional. Untuk memahami makna mati raga, terlebih dahulu perlu dipahami makna kematian dan kehidupan dalam konsep Hindu.

Dalam pustaka lawar bun Ida Sinuhun, kematian didefinisikan sebagai pintu yang menghubungkan antara dunia dan akhirat. Setiap orang pasti mati dan setiap orang pasti melewati pintu kematian tersebut. Sedangkan kehidupan adalah bergabungnya antara atma dan tubuh atau jasad.

Ketika ada orang yang mendekati pintu kematian, maka pintu akan terbuka sehingga bisa kelihatan alam transisi, yang disebut alam  alam kematian. 

Menurut Ida Sinuhun, orang yang mengalami mati raga tidaklah mati karena ia tidak melewati pintu tersebut, melainkan hanya mendekati pintu kematian yang terbuka sehingga bisa melihat aura dari alam kematian itu.

Prinsipnya, mati raga hampir sama dengan tidur, yaitu ketika satu ujung tali atma masih terikat di tubuh atau jasad.

Beliau (Ida Sinuhun) menjelaskan, dalam konsep Hindu atma diibaratkan seperti tali yang memiliki dua ujung dan terikat pada tubuh. Dalam kondisi sadar, berarti kedua ujung tali atma sedang terikat pada tubuh.

Namun pada saat tidur, salah satu ujung tali atma terlepas dari tubuh sehingga memungkinkannya melayang-layang atau sering disebut dengan mimpi.

Pada saat mati raga, di dalam pustaka lawar bun dijelaskan bahwa salah satu ujung tali atma terlepas tapi dia masih hidup karena ujung yang lain masih terikat dan itu yang membuatnya bisa kembali hidup lagi. Hampir sama dengan orang tidur.

Karena ikatan atma dan tubuh terlepas sebagian, maka orang yang mati raga bisa merasakan pengalaman seperti berada di dunia lain, terbang bebas, melihat terowongan, yang tidak lain adalah mendekati pintu kematian.

Atma tidak terikat materi jadi bisa berpindah kemana saja. Atma bersifat fleksibel, metafisik. Kalau kedua ikatan atma terlepas dari tubuh, maka orang tersebut baru dinyatakan meninggal. 

#tubaba@griyangbang//mati raga ini semua bisa dijelaskan secara rasional#

Jumat, 28 Mei 2021

BUATLAH BANTEN YANG NUEK PADA ACARANYA

Banten bukanlah makanan yang disuguhkan kepada Sang Hyang Widhi.

Man mana bhava madbhakto madyaji mam namaskuru, mam evai syasitbai vam atmanan matparayanah
(Bhagavad Gita IX.34)

Artinya :
Pusatkan pikiranmu kepada-Ku, berbakti kepada-Ku,  dan setelah kau mendisiplinkan jiwamu, maka Aku akan menjadi tujuanmu yang tertinggi dan kau akan tiba kepada-Ku

Nacyanti nawyah kawyani naranama wijanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhih
(Manava Dharma Sastra III.97)

Artinya:
Persembahan yang dilakukan tanpa diketahui maknanya adalah sia-sia, sama dengan mempersembahkan kebodohannya dan persembahan itu tak ada bedanya dengan segenggam abu....

Banten adalah bahasa simbol yang sakral menurut pandangan Hindu. Sebagai bahasa simbol banten sebagai media untuk menvisualisasikan ajaran-ajaran Hindu. Sebagai media menyampaikan Śraddhā dan Bhakti pada kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Banten suatu bentuk budaya sakral keagamaan Hindu yang berwujud lokal, namun didalamnya terdapat nilai-nilai universal global. Menurut ajaran Hindu sistem penerapan Hindu dalam Mānava Dharmaśādtra VII.10 landasan konsepsinya universal, namun aplikasinya haruslah menurut kondisi kontektual (Ikṣa, Śakti, Deśa, Kāla), yang penting tidak boleh bertentangan dengan Tattva. Tattva adalah hakekat kebenaran Veda.

Konsep Bhakti

Bhakti adalah salah satu ajaran yang sangat ditekankan oleh Hindu sebagai aktivitas mendekatkan diri dan berserah diri kepada Sang Hyang Widhi. Bagaimana wujud berserah diri kepada Sang Hyang Widhi? Apakah kita berdiam diri pada kenyataan-kenyataan yang menimpa diri kita. Berserah diri menurut konsep Hindu tidaklah seperti itu. Berserah diri atau melakukan bhakti haruslah didasarkan pada Jñāna dan karma. Proses penyerahan diri inilah yang dilambangkan oleh banten tertentu dalam prosesi ritual Hindu. Dalam Lontar Yajña Prakṛti disebutkan :

“Reringgitan Tatuwasan Pinaka kalanggengan Kayunta Mayajña. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajña. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadhara-widyadhari.”

Artinya :

Reringgitan atau tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajña. Bunga lambang dari kesucia hati untuk beryajña. Daun-daunan lambang dari tumbuh kembangnya pikiran suci. Raka-raka (buah-buahan, jajan pelengkap banten) adalah melambangkan Widyadhara dan Widyadhari.

Apa yang dilukiskan oleh Lontar tersebut adalah penjabaran dari konsep bhakti menurut Hindu yang dikemas dalam wujud banten tersebut. Kalau hal ini disimpulkan dan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk berserah diri pada Sang Hyang Widhi Wasa.

Pertama, adalah langgeng artinya sungguh-sungguh. Berserah pada Tuhan tidak boleh ragu-ragu dan harus berkeyakinan kuata bahwa Tuhan itu mahakuasa dan mahaadil. Langgeng itu artinya siap menghadapi suka dan duka. Berserah diri tidak mengenal pasang dan surut, meskipun ada suka dan duka yang silih berganti merundung kita.

Kedua, adalah kesucian pikiran. Pikiran yang masih murni belum terpengaruh oleh gejolak hawa nafsu indriawi disebut citta. Setelah citta terjun mengendalikan indria disebut manas atau manah. Manah tersebut menurut Bhagavadgītā III.42 harus diperkuat hingga mencapai kesempurnaan untuk mengendalikan indria yang jga sempurna menurut ukurannya. Idealnya kesempurnaan indria harus berada di bawah kesempurnaan pikiran. Manah yang sempurna menurut ukurannya harus berada di bawah kendali Buddhi. Buddhi yang kuat berada di bawah sinar suci Sang Hyang Ātma. Sekar atau bunga dalam banten itu lambang kesucian hati untuk beryajña. Ini baru arti bunga secara umum. Lebih lanjut ada juga arti bunga yang lebih khusus sesuai dengan bentuk dan fungsi banten bersangkutan. Pikiran yang suci tulus ikhlas inilah yang wajib kita serahkan kepada Sang Hyang Widhi. Untuk mendapatkan pikiran yang suci itu tidaklah mudah. Kesucian pikiran itu harus diperjuangkan dalam wujud latihan-latihan rohani dalam kehidupan sehari-hari seperti proses terbentuknya bunga dari bibit pohon sampai pohon itu berbunga.

Ketiga, adalah mengembangkan pikiran yang suci itu. Kalau pikiran yang suci itu sudah dicapai maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengaplikasikan pikiran yang suci itu untuk memperbaiki diri kita, dipakai dasar untuk mengabdi pada Sang Hyang Widhi Wasa. Peh pekayunane suci itu dilambangkan dengan menggunakan plawa dalam banten. Plawa itu adalah daun dari satu tumbuh-tumbuhan tertentu. Seperti daun endong, daun dapdap, daun beringin dan lain-lain. Penggunaan plawa ini dimaksudkan dalam berserah diri kepada Tuhan itu dilakukan dengan mengembangkan vibrasi kesucian itu kepada setiap lingkungan yang mungkin dapat dicapai. Dengan kata lain sesuatu yang baik yang dapat kita capai wajib kita dayagunakan untuk melayani sesama dan itu berarti kita melayani Tuhan. Prinsip pelayanan pada Tuhan bukan hanya langsung ditujukan pada Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Pelayanan pada semua ciptaan Tuhan juga berarti pelayanan pada Tuhan. Segala sesuatu yang positif yang kita dapat capai sesungguhnya bukanlah semata-mata untuk diri kita namun wajib dikembangkan pada semua pihak. Hal inilah yang dilambangkan oleh plawa dalam banten sebagai lambang berserah diri pada Tuhan

Keempat, adalah melambangkan widyadhara wdyadhari: Raka-raka adalah lambang widyadhara wdyadhari. Secara etimologis kata widyadhara berasal dari kata Vidyā = pengetahuan, dan kata Dhara artinya memangku. Para pemangku ilmu pengetahuan suci itulah yang disebut Vidyā Dhara dan Vidyā Dhari. Dari ilmu pengetahuan itulah kita mendapatkan pengetahuan Jñāna untuk kita kerja. Dari kerja berdasarkan ilmu pengetahuan itulah kita mendapatkan buah kerja. Jadi yang kita persembahkan pada Tuhan sebenarnya adalah buah kerja yang berdasarkan ilmu pengetahuan yang disebut Jñāna. Jadi Bhakti berserah diri pada Tuhan hakikatnya adalah suatu penyerahan buah karma beradasarkan Jñāna. Berserah diri pada Tuhan bukanlah sikap yang pasif tanpa melakukan apa-apa. Manusia adalah Puruṣa Karma Svarūpa yang artinya perwujudan jiwa untuk berbuat dharma. Jadinya bukanlah sekedar berkarma tanpa tujuan yang jelas. Demikianlah hakikat berserah diri pada Tuhan.

JADI BUATLAH BANTEN YANG NUEK PADA ACARANYA

#tubaba@griyangbang//banten=baan enten#

Rabu, 26 Mei 2021

Lahir Sabtu Paing Klawu, Umur Capai 108 Tahun, Kapan Hidup Bahagia?

Ilustrasi Lahir Sabtu Paing Klawu, Umur Capai 108 Tahun, Kapan Hidup Bahagia?

Jangan lupa bersyukur dan memanjatkan doa kepada Sang Hyang Wenang atas segala rahmat dan limpahannya selama ini.

Berdasarkan urip saptawara dan pancawara, Saniscara atau Sabtu uripnya 9 dan paing uripnya juga 9.

Jika dijumlahkan hasinya 18 dan dikali 6 hasilnya 108 dan itu merupakan jatah umur mereka yang lahir Saniscara Paing.

Lalu bagaimana perjalanan hidupnya selama 108 tahun tersebut?

Berdasrakan pal Sri Sedana, tentu saja ada pasang surut bagaikan air laut.

Peruntungannya yaitu sebagai berikut.

Umur 0 - 6 tahun penghasilan sedang atau bisa dikatakan kehidupannya sedang-sedang saja.

7 - 12 tahun menjalani hidup senang.

Penghasilan sedikit saat berumur 13 - 18 tahun.

Ketika berumur 19 - 24 tahun kesakitan atau mendapatkan penderitaan sehingga harus pandai-pandai merawat dan menjaga diri.

Umur 25 - 30 tahun hidup baik.

31 - 36 tahun penghasilan sedikit sehingga perlu kiranya untuk berhemat saat menginjak usia ini.

Kehidupan akan menjadi baik saat berumur 37 - 42 tahun.

43 - 48 tahun kembali mengalami kesakitan atau penderitaan.

49 - 54 tahun akan melewati hari-hari dengan penghasilan sedikit.

Saat umur 55 - 66 tahun hidupnya meningkat menjadi baik sekali.

Dan akan kembali mengalami kesakitan atau penderitaan saat menapaki umur 67 - 78 tahun.

Merayap naik dengan penghasilan sedang ketika berumur 79 - 84 tahun.

85 - 90 tahun penghasilan merosot menjadi sedikit.

Umur 91 - 96 tahun akan menjalani hidup yang baik sekali.

Saat umur 97 - 102 tahun akan ditimpa kesakitan atau penderitaan.

Pada umur akhir menjelang kematiannya yaitu umur 103 - 108 tahun memperoleh penghasilan sedikit atau bisa dikatakan kehidupan cukup sulit.

Itulah kehidupan mereka yang lahir Sabtu Paing.

Percaya atau tidak kembali ke diri masing-masing karena kehidupan kita di dunia sudah ada yang mengatur.

Begitulah perjalanan hidup mereka yang lahir Sabtu Paing yang penuh liku.

Sedangkan lahir wuku Klawu yakni miskin saat kecil kemudian jadi bahagia, memiliki jiwa sosial.

Agak suka pamer, panjang umur dan memiliki budi yang kuat.

CARA MENENTUKAN PINTU MASUK RUMAH

Masyarakat di Bali khususnya yang beragama Hindu selalu percaya bahwa segala sesuatu yang dibuat dan dilakukan tidak bisa dilepaskan dari unsur sekala dan niskala.

Hal ini juga berlaku dalam membuat pintu keluar-masuk pekarangan rumah.

Dalam membuat pintu keluar-masuk pekarangan rumah, terlebih dahulu karang tersebut dibagi sembilan.

Jadinya karang itu dibagi menjadi sembilan untuk membuat pintu keluar masuk rumah. Jika pintu menghadap ke utara perhitungannya mulai dari timur ke barat.

Perhitungannya yaitu, 

1. tanpa anak (kurang baik), 

2. wikara (kurang baik), 

3. nohan (kurang baik), 

4. kedalih (kurang baik), 

5. Brahma sthana (baik), 

6. piutangan (buruk), 

7. sukha mageng (baik), 

8. kawisesan, 

9. kawighnan (kurang baik).

Kalau pintu masuknya menghadap ke barat, perhitungannya dari utara ke selatan.



Adapun ketekannya yaitu: 

1. bhaya agung (kurang baik), 

2. musuh makweh (kurang baik), 

3. wreddhi guna (baik), 

4. wreddhi guna (baik), 

5. dhanawan (baik), 

6. Brahma sthana (baik), 

7. kinabhakten (baik), 

8. kapiutangan (tidak baik), 

9. karogha kala (kurang baik).


Kalau pintu menghadap ke timur, perhitungannya dari utara ke selatan. Ketekannya yaitu 



1. perih (kurang baik), 

2. kinabhakten (baik), 

3. wreddhi guna (baik), 

4. dhana teka (baik), 

5. kabrahmanan (baik), 

6. dhana wreddhi (baik), 

7. nohan (kurang baik), 

8. setri jahat (kurang baik), 

9. cendek tuwuh (kurang baik).



Jika pintu menghadap ke selatan, perhitungannya dari timur ke barat.

Perhitungannya dari timur ke barat,  yaitu: 

1. bhaya agung (kurang baik), 

2. tanpa anak (kurang baik), 

3. sukha mageng (baik), 

4. brahma sthana (baik), 

5. dewa wreddhi (baik), 

6. sugih rendah (baik), 

7. teka wreddhi (baik), 

8. kepaten (kurang baik), 

9. kageringan (kurang baik).

Itulah perhitungan dalam membuat pintu keluar-masuk pekarangan rumah. 



Senin, 24 Mei 2021

SIAPA YANG PANTAS MEMAKAI GENTHA

PANTASKAH SEORANG WANITA MEMAKAI GENTHA ???
Om swastyastu, 
Om awighnam astu namo siddyam, 
Om siddir rastu tad astu swaha, namo Siwa ya namo Buddha ya,…….
Pada tanggal 24 Mei 2021, sekitar pukul 15:37 titiang sempat ditanya seperti ini “apa boleh pakai kleneng sembahyangnya?” kurang lebih begitulah pertanyaannya,..

Titiang jelaskan seperti ini:..
“Genta atau bajra itu benda sakral dianggap suci, kalau anda sudah disucikan kenapa tidak boleh ,..!!! 

Dalam sastra sudah jelas tertuang bahwa genta dan bajra itu adalah sebuah penuntun untuk menghanturkan sebuah mantra.., karena menggunakan genta atau bajra itu membutuhkan keseimbangan bukan hanya skill tapi juga bakat dan kesungguhan hati.
Apabila digunakan dengan ngawur tanpa pembimbing justru akan mengganggu karena tidak menimbulkan aura yang magis dan suara yg manis dan harmonis,... maka kalau mencari ketenangan justru akan menimbulkan kegaduhan. 

Karena memakai genta/bajra itu adalah keseimbangan antara tangan kiri memegang genta/bajra terus tangan kanan memegang bunga atau untuk memakai perlengkapan upacara seperti sesirat, dipa, dan lain-lainnya, belum lagi mantra doa pelafalannya dan harmonisasi lagu mantra,…….”

Kalau ada orang biasa udah mampu memakai genta dengan bagus tingkatkanlah, tapi janganlah itu merupakan suatu kebanggaan berlebihan apalagi sikap arogan menganggap lebih dirinya lebih diantara yang lain,.. 

Ada kata begini “bisa dadi” atau sebaliknya “dadi bisa”, anda dianggap mampu sudahkah pantaskah memakai dan diperbolehkan oleh pembimbing/guru spiritual atau sulinggih/ pendeta untuk menggunakannya,……maka dari itu bagi mereka yang ingin memakai genta atau bajra sepatutnyalah anda menyucikan diri dengan mawinten (mensucikan diri) dan genta yang anda pakai adalah genta/bajra yang sudah dipasupati oleh guru pembingbing/ guru spiritual atau sulinggih/penndeta.

Kata mawinten itu mawit dan enten, mulai mengingatkan diri tuk malakukan kesucian, secara pikiran perkataan dan perbuatan,… bukanlah anda mangku secara pandangan sempit, tetapi menimal mangku untuk diri anda sendiri,… dan apabila memang anda ingin memakai bunyi-bunyian seperti sejenis itu,…maka pakailah bell menyerupai itu tetapi tidak sama seperti genta/bajra,….. benda itu sangat sacral bagi kita orang Bali janganlah anda melakukan tindakan yang akan menimbulkan polemik padahal maksud anda tidak menimbul konplik,.. berlakulah santhi jangan menyakiti perasaan orang disekitar anda karena meskipun anda mampu tetapi belumlah dianggap pantas untuk menggunakan.

Cobalah maknailah mantra genta/ bajra seperti dibawah ini:

Om Bajra, Bayu Bajra, Maha Bajra 
Om Mang Iswara Dipate ya namah swaha
Om Gentayur maha wiryam, 
Iswaranca swetha hredayam Sarwa klesa winasanam, 

Tri Purusa suddha nityam , 
Sarwa jagat jiwatmanam, 
Om Ung Mang namah

Omkara Sada Siwa stah, 
Jagat natah hitangkarah Abiwada wadan niyah, 
Genta sabda parakasyate
Genta sabda maha sretah, 
Omkara parikirtitah Chandra nada bindu nandantam, 
Spulingga Siwa tatwan ca

Om, Gentayur pujyate dewah, 
Abawiya-bawiya karmasu 
Wara dah labda sandeyah, 
Wara siddhi nih sansayam

Om Ang Ung Mang ( kleneng ) 
Om, Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa ring bayu sabda idep ( kleneng ) 
Om, Ang Khang Kasolkaya Iswara ya Namah swaha ( kleneng )

Om Ang Ung Mang. 
Genta Sabda Prakasam Angelurah Agung tengerang Paduka Bhatara tumurun kang Genta . 

Om siddhir rastu ya namah swaha. 
Om pinaka usapi ulun mrebuk harum kang bhuwana anerus tekening sapta petala neher susila abener, angundang Sang Hyang Anantaboga, tumedun paduka Bhatara kesanga dening puspa wangi . 

Om Sri yawe ya namo namah swaha.

Artinya kurang lebih seperti ini saya simpulkan,.. bahwa Sang Hyang Iswara adalah dewanya bajra yang merupakan manifestasikan Bayu Yang Maha Agung ,… suara Genta itu sangat ampuh melambangkan kesucian dari Hyang Iswara untuk melenyapkan segala bentuk halangan dan mensucikan tiga manifestsi Beliau yang merasuk ke seluruh jagat yang diperlambangkan dengan Ung Mang,..
Pranawa Om adalah tempat bersemayamnya Siwa,…Penguasa Agung yang menciptakan alam yang menjelma menjadi alunan suara genta,…..,… Dentingan suara genta yg merupakan Pranawa Om,,.melambangkan ardha Candra , bindu, nada dan nandanta,...nada adalah percikan api suci Siwa yg juga Siwa sendiri,…. Bunyi genta dipuja seperti Siwa karena memuja Siwa dalam mengerjakan apapun besar pahala yg didapat oleh mereka yang melakukan tanpa keraguan,…
Menurut mantra diatas sangat jelas bahwa siapa yang layak menggunakan itu, atau pakailah logika anda sebelum melakukan sesuatu yang menurut anda pantaskah atau tidak,…? 

Gentha hanya boleh digunakan oleh mereka yang sudah diwinten, minimal pawintenan Gana, sudah disucikan secara niskala oleh Pendeta. Manakala seorang Pinandita yang belum diwinten maka tentu penggunaan genta itu belum dibenarkan.

Gentha juga bisa digunakan saat seseorang mengikuti latihan kepemangkuan, yang secara jelas telah ada yang menuntun dalam proses pembelajaran tersebut.
Lebih-lebih seorang wanita yang telah diwinten di tempat suci, maka mereka wajib menggunakan gentha tersebut. 

Suksma , salam rahayu rahajeng,….. 
Om shanti, shanti, shanti,..Om,….

#tubaba@griyangbang#

Minggu, 23 Mei 2021

Sekelumit Puja


Nunas lugra khusus ring Kahyangan Dharma Smerti.
            Ong pakulun bhatara sakti sane malinggih ring kahyangan suci Pura Kahyangan Dharma Smerti Linggih Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba, pedek tangkil sinamian undagan lan juru sapuh pakulun bhatara, lan pikalih titiyang ngatur uningan pedek tangkil damuh bhatara .................. saking ...................memanah jagi .................. (sebut asal, nama dan kepentingannya), kenak pakulun bhatara nodya nyaksi sembah pangubhaktin damuh bhatara, yaning sidaning don undagan lan juru sapuh druwe pacang anedha wara nugraha pakulun bhatara, mogya-mogya sakaning paswecan pakulun bhatara damuh bhatara ngemolihan sane keaptiyan lan luput saking tri mala pancamala lan dasamala.
Pelinggih Sanghyang Siwareka
 Ong, Ang Mang Ong, Panca Siwa Mukti saktyem, sarwa jagat pra-bhuta ya namah.

Pelinggih Ida Bhatari Dhurga Manik.
            Ong, Ong Dhurga Manik ya namah.
 Pukulun Ratu Bhatari, ingsun anuwur Bhatari angadeg Bhatari ring palinggih pajenengan Bhatari dena becik, ingsun angaturaken............... (banten yang dihaturkan), akedik aturan ingsun, mageng pinunas ingsun, kenak paduka Bhatari angraksaurip ingsun sekeluargan ingsun kabeh, mangda ingsun tan pati kelancubin dening Sang Bhuta Bhucari, Sang kala Bhucari, Sang Dhurga Bhucari, Sang Pisaca Bhucari, mwang sarwa dengen, sarwa pamali, maya rupa, sarwa waduan Bhatari sami, acep-acepan, bebai, pepasangan, bregik, sekancanin wisya kabeh, apan sampun polih ganjaran suang-suang, asapunika pangubaktin ingsun ring Bhatari.

Yadnya Sesa/banten saiban
            Ong Ang Kang Khasolkaya Isana ya namah swaha.

Mantram lain untuk yadnya sesa
            Om sarwa bhuta preta bhyo namah.

Segehan ring natah pemerajan
Ong Ang Ang Prabhawati sarwa jiwa mrtha ya namah swaha. swasti-swasti sarwa bhuta sukha pradhana ya namah swaha

Segehan ring natah umah.
 Ong Ang dipastra ya namah, swasti-swasti sarwa kala sukha pradhana ya namah.

Segehan ring penunggun karang.
 Ong Ang Ang Prabhawati sarwa jiwa mrtha ya namah swaha, swasti-swasti sarwa Dhurga sukha pradhana ya namah.

Pura Batur.
            Om Sridana Dewika Ramya, Sarwa Rupawan tatha, Sarwa Jnana Maniscaiwa, Sri Sri Dewi Namo stute.
Pura Puseh.
          Om Girimurti Mahawiryam, Mahadewa Pratistha Linggam, Sarwa Dewa Pranamyanam, Sarwa Jagat Pratistanam.
Pura Dalem.
            Om Catur Dewi ya Mahasakti, Catur Asrama Bhatari, Siwa Jagatpati Dewi, Durga Masasira Dewi.
Pura Desa.
         Om Iswarah Sarwa Widyanam, Iswarah Sarwa Bhutanam, Brahmanam Sarwa Dhipatir Brahma, Siwa Astu Sadasiwa.
Pura Segara.
            Om Nagendra Kruna Murtinam, Gajendra Matsya Waktram, Baruna Dewa Masasiram, Sarwa Jagat Suddhatmakam.
Mantram Baruna.
            Om Baruna ya pita purusa ya, Pingga laya babhru maya ya, Musala sula wajra panaye, Pritisana ya tasmai Waruna ya.
Mantram Baruna.
           Om Ang Ung Mang, Sang Hyang Baruna Murti satyam, Sudha nirmala pranayanam, Pralingga Siwa ya namah.
           Om Gangga Sindu Sarayu, Saraswatyam Narmada ya namah, Sadasiwa ya namah, Paramasiwa ya namah,
            Om Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya.
Mantram Basuki.
            Om Indragiri murti lokam, Nagendra sakti wiryawam, Basuki Dewa murtinam, Sarwa Dewa sama sukham.

Mantram Bhatara Kahyangan.
        Om Indragiri murti dewam, Lokanatha Jagatpati, Murti wiryam Rudra murti, Sarwa Jagat pawitranam.
            Om Indragiri murti ya lokam, Siwa murti Prajapati Brahma Wisnu Maheswaram, Sarwa Jagat Prawaksyanam, Om Surya Dewa Mahadewa.
            Siwa Agni Teja Mayasiwa Durga Kali sira, Dewa Sarwa Wisyantakam, Om Yama Warunas ca, Siwa pasu mregha paksi.
           Sarwa Dewa Siwa Dewa, Guru Dewa Jagatpati, Om Giripati Murtya Dewam, Loka Sakti jagat sriya.
            Brahma Wisnu Maheswaram, Tri Purusa murti dewam.
Mantram Brahma (selatan)
            Om Ang Brahma nama catur mukham, Brahmagni rakta warnanca, Sphatika warna dewata.
Mantram Durga.
            Om Durga murti panca griwam, Kalika wahana dwiyam, Krura rupam aghni jwalam, kala murti Radratmakam.
Mantram Ganapati.
          Om Namostute Ganapate, Sarwa Wighna winasana, Sarwa karyam prasidhyatu, Mama karyam prasidhyatam.
Mantram Gangga.
     Om Apsu Dewa pawitrani, Gangga Dewi namostute, Sarwa klesa winasanam, Toyane parisudhyate.
Mantram Gunung Batukaru.
            Ah Ang Uh Yah Antapreta bhutakala, Dengern bhyo namah swaha, Om Tang Jaya natri namo namah swaha.
Mantram Gunung Mangu.
         Ih Ang Ing Bhupati ya namah swaha, Om Ang Kling Sling Adikala Hyang de bhawa Dewabhyo namah swaha.
Mantram Kala Hyang.
Om pukulun Dewa Hyang Kala Kali, Dewa Kala Sakti, Sang Kala Petak, Sang Kala Abang, Sang Kala Jenar, Sang Kala Ireng, Sang Kala Amanca Warna.
Sang Kala Anggapati, Sang Kala Karogan, Sang Kala Sepetan, Sang Kala Gering, Sang Kala Pati, Sang Kala Sedahan.
Aja sira anyangkala-anyangkali, manusa nira ngastiti Dewa ring Kahyangan, ring pada dharma kahyangan sakti, reh ipun sampun angaturang tadah saji, pada dewa kala puniki ta bhukti nira kabeh, bilih kabela nira.
Om kalabhyo bhokta ya namah, Om ksama sampurna ya namah, Om Ang Sarwa Kala ksama swamam ya namah swaha.
Mantram Lempuyang Luhur (tirta tiying)
            Om Ung Triyo dasa saksya namah swaha, Sang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang, Ang Ung Mang.
            Mang Ung Ang Ang Ung Mang, Om hrang hring sah Tri Purusa Narendra nama, Om Ang Geng Gnijaya namah.
Mantram Lempuyang Madya (telaga sawang)
            Om Ang dipastra ya namah, Om Ing Indra Dewa taya namah swaha, Mang Ung Ang Ang Ung Mang.
            Om hrang hring sah Tri Purusa Narendra namah, Om Ung Manik jati ya namah swaha.
Mantram Lempuyang Madya (tirtha milir)
            Ang Ang Ang Prabhawati sarwa jiwa, Mrtha ya namah swaha, Om Ang Dewa Dewi Maha siddhi sarwa karya, siddha tuwi siddha ya.
            Dirgahayu namah swaha, Mang Ung Ang Ang Ung Mang, Om hrang hring sah Tri Purusa Narendra namah, Om Ang Agnijaya wijaya jagat pati ya namah.
Mantram Padmasana Lingga.
            Om Mang Ung Lingga Jnana, sarwa Surya jagat pradhata, suksma suci nirmala, suddha wiryam natha siddhi ya namah, sarwa phala masuktyam Siwa, Krsna surya siddhyam namo namah.
Mantram Pasupati.
            Om Namaste Bhagawan Wisnu, Namaste Bhagawan Hare, Namaste Bhagawan Krsna, Jagat raksa namostute.
Mantram Pempatan Agung.
          Ang Ung Mang Om Anantabhoga bhyo namah swaha, Om catur detya Hyang Dewa Bhutakala, Lingga Bhuwana murtiya namah swaha.
Mantra Prapati Setra.
            Om Sri Laksmi Dewi namo namah swaha, Om Ang Prajapati ya sresthah, Swatma dipatyo namah swaha.
Mantram Pura Dalem Balinkang
            Om Ang Ah Sarwa Wisnu amrtha ya namah swaha, Om Hyang Yama Dipati, Hyang pitra pradipati ya pratistha ya namah swaha, Ung Ang Mang, Ung Candraditya widhya, Patni ya namo namah swaha.
Mantram Pura Melanting/pengulun pasar.
            Om Ung Dewa suksma, Parama Sakti ya namo namah swaha, Om Ung Giripati ya sukla dewi, sing kling tiksna ya namah swaha, Ing Ang swabhawa dewi sukla dewi, Maha sakti ya namah.
Mantram Pura Sakenan.
            Om Ung Prajapati ya namah, Om Mang Mataya namah, Om Tang Prapitaya namah, Om Ing Prapitaya namah, Om Mang Mataya namah, Om Ing Paramataya namah, Om Ang Ung Mang manik gumawang krsna warna, sagara wisesa ya namah swaha.
Mantram Rapat
Om Sam gacchadwam sam wadadwam, sam we manomsi jiwatam, dewa lohagan yatra purwe, sam janan upasate.
Om samani wa akuteh samana hadaya, wah samanam astu, we namo yatha susaha sati, Om ano bhadrah kratawo yantu wiswatah.
Mantram Rapat (selesai)
Om anugraha manohara, dewa datta nugrahakam, arcanam sarwa pujanam, namah sarwa nugrahakam.
Om ksama swamam jagat natha, sarwa papa hitangkarah, sarwa karya siddham dehi, pranamya suryeswaram.
Mantram segehan depan kori agung/jabaan.
            Om Ung Reng tat saha yaksendriya sakti, dipati jenar merana ya namo namah swaha
Mantram segehan di natah pemerajan.
            Om Ang dipastra ya namah, swasthi swasthi sarwa sukla pradhana ya namah.
Mantram segehan penunggun karang.
            Om Ang Ang prabhawati sarwa jiwa mertha ya namah swaha, swasthi swasthi sarwa sukla pradhana ya namah.
Mantram Taksu.
            Om Ang Ah Mahadewi Jagatpati ya namo namah swaha, Om Ung Prajapati ya namah, Om Mang mata ya namah. Om Tang Prapita ya namah, Om Ing Prapita ya namah, Om Mang Mata ya namah, Om Ing Paramata ya namah
           
Yan sira memantra, iki linggihang rumuhun:

1. Bhatara Guru, bonkoling lidah, madyaning lidah.
2. Bhatari Bagawati, pucuking lidah
3. Kalika joti srana, bongkoling lidah
4. Sang Hyang Kedep, madyaning lidah
5. Sang Hyang Sidhi, pucuking lidah
6. Sang Hyang Mandi, Sang Hyang tri mandi ring cipta
7. Sang Hyang mandi wisesa, bayunta
8. Sang Hyang sarpa mandi, ring sabda
9. Mandi saparaning wuwus….!!!

Iki Pengater Mantra
Ma : Ong ang ung, teka ater 3x, ang ah, teka mandi 3x, ang.

Iki Pengurip Mantra
Ma : Ang urip ung urip mang urip, teka urip 3x, bayu urip sabda urip idep urip, teka urip 3x, jeneng.

Iki Surya Kembar
Ma : Ong netranku kadi surya kembar, asing galang teka ulap, asing meleng teka ulap, asing mapas teka ulap, teka ulap 3x, buta teka ulap, dewa betara teka ulap, jadma manusa teka ulap, ong desti leak ulap.

Iki Pangurip Mantra
(saluwiring mantra wenang) Ma: Ong betare indra turun saking suargan, angater puja mantranku, mantranku sakti, singpasanganku teka pangan, rumasuk ring jadma menusa, jeneng betara pasupati. Ong ater pujanku, kedep sidi mandi mantranku, pome.

Iki Pasupati
Ma : Ong sangiang pasupati sakti wisesa angempu wisesa, mewali wastu mantranku ngarep, prekosa aeng angker wastu mantra menadi pasupati, sastra mantra mahasaktyem, ping siyu yuta angker ping siyu sakti,
Ong wastu tastasku, Ong ping siyu yuta, Ong Ang Mang swaha, Ong 3x, Ang 3x, Ong 3x.

Pangijeng dewek 
Ma : Ih. Sira anggapati, marep ring wuri, ang swaranya, kuning tadah sajinira. Sira mrajapati, marep ring kiwa, ang swaranya, ireng tadah sajinira. Sira banaspati, marep ring tengen, om swaranya, abang tadah sajinira. Sira banaspatiraja, marep ring arep, om swaranya, petak tadah sajinira. Yen ana musuhku dursila ring bli hade bahanga, empu bli apang melah, poma 3x

Selasa, 18 Mei 2021

Tata Lungguh Meditasi Pranayama

Tata Lungguh Meditasi Pranayama 
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd

Saat manusia sudah tenang, sabar dan atma sudah bersih dengan mendapatkan cahaya dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ingin belajar buku-buku suci, suka bermeditasi, mencari pengetahuan yang benar, bersih dari dalam dan luar, telah mengontrol semua indria, selalu berbahagia dengan selalu berbuat baik dalam kehidupan, saat itulah sifat satwam telah muncul dalam diri manusia (Manu)


Bagi semeton yang tertarik belajar meditasi dan yoga, mungkin pada awalnya banyak yang bingung mulai dari mana? 

Bagaimana caranya bermeditasi, pingin belajar tapi belajar dimana? 

Dimana mencari guru pembimbing? 


Ada banyak sekali tehnik meditasi. Dan meditasi yang akan kita pelajari ini adalah Pranayama, salah satu tehnik meditasi tertua di India [sudah ada setidaknya sejak jaman Veda]. Meditasi ini demikian sederhana, sehingga bisa dipelajari sendiri di rumah.


SEBELUM MEDITASI

Sebelum memulai meditasi [di rumah], Lakukan Tatalungguh yang baik dan ucapkanlah Gayatri Mantra. Kita mulai meditasi dengan suatu tekad, kita meditasi tidak hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga meditasi untuk semua mahluk. Dengan meditasi bathin kita menjadi damai, tenang-seimbang dan bahagia, serta kecenderungan negatif kita seperti kemarahan, kebencian, kesombongan, dll, akan jauh berkurang. Dengan lebih sedikit marah dan benci, kita lebih sedikit melukai hati dan perasaan mahluk lain. Dengan lebih rendah hati, kita bisa menghormati orang lain dan menghormati perbedaan secara lebih baik. Dengan lebih sedikit serakah, kita lebih sedikit membuat orang lain menderita. Dengan lebih tenang-seimbang, kita lebih sedikit membunuh nyamuk dan serangga, dll-nya. Dengan kata lain, kembali ke awal, meditasi kita mulai dengan suatu tekad, kita melaksanakan meditasi tidak hanya untuk diri kita sendiri tapi sekaligus juga untuk semua mahluk.

SARANA

 1. Alas duduk.

Pakailah alas duduk atau bantalan yang cukup tebal [sekitar 5 cm], tujuannya untuk menghindari tubuh fisik kontak langsung dengan energi gravitasi bumi. Seandainya tidak ada tidak apa-apa, tapi kalau ada seperti itu lebih baik.

2. Pakaian.

Gunakan pakaian yang longgar [tidak ketat atau mengikat], tipis dan terbuka, agar tidak terlalu mengganggu kelancaran sirkulasi nadi dan energi tubuh. Semakin bebas semakin baik. Akan tetapi kalau tinggal di daerah dingin [misalnya di pegunungan] dimana ini tidak memungkinkan [juga tidak baik karena suhu dingin], selimutilah tubuh dengan kain tebal, yang penting pakaian tetap tidak ketat atau sifatnya mengikat bagian tubuh kita. Seandainya tidak bisa tidak apa-apa, tapi kalau bisa seperti itu lebih baik.

LOKASI

Meditasi sebenarnya bisa dilakukan dimana saja. Tapi paling baik kalau kita melakukannya [di rumah] di tempat yang memiliki vibrasi energi, seperti : sanggah atau merajan di rumah, di kamar suci atau setidaknya di depan pelangkiran di kamar. Karena vibrasi tempat-tempat itu bisa membantu kita dalam meditasi. Seandainya tidak bisa tidak apa-apa, cukup cari tempat yang nyaman saja, tapi kalau bisa seperti itu lebih baik.

WAKTU

Meditasi sebenarnya bisa dilakukan kapan saja. Tapi baik kalau kita melakukannya antara jam 03.00 – 06.00 dini hari. Pertama karena saat itu udara bersih dan segar, kedua karena energi alam yang halus cenderung bebas dari gangguan vibrasi lain. Dengan catatan khusus faktor waktu ini bukanlah sebuah pakem, yang paling baik kita sendirilah yang menentukan kapan akan meditasi sesuai kondisi diri kita masing-masing.

ASANA [SIKAP BADAN]

1. Badan.

Badan mengambil sikap tubuh [asana] dengan padma asana atau padmasana, yaitu posisi duduk berbentuk bunga padma. Atau boleh juga mengambil sikap tubuh [asana] dengan ardha padmasana atau ada yang menyebutnya dengan Sidha Asana, yaitu posisi duduk berbentuk setengah bunga padma.

Silahkan bebas memilih yang mana yang kita paling merasa nyaman.

2. Punggung.

Keadaan tulang punggung harus tegak lurus. Tujuannya untuk menghindari bangkitnya api kundalini [kundalini shakti] tanpa disadari. Bila kita belum biasa dengan posisi punggung tegak lurus ini, kita bisa mula-mula melatihnya dengan bersandar pada dinding.

LIDAH

Tekuk ujung lidah keatas agar menyentuh langit-langit mulut. Ini terkait dengan sirkulasi energi dalam tubuh kita.

MUDRA

Ada ratusan jenis mudra dengan fungsinya masing-masing. Tapi disini yang kita gunakan adalah Jnana Mudra. Letakkan kedua tangan diatas lutut [kaki] dan gunakan Jnana Mudra. Ujung ibu jari bertemu dengan ujung telunjuk, tujuannya adalah keheningan bathin [membentuk angka nol]. Tiga jari lainnya menghadap keluar [melepas], tujuannya melepaskan [melampaui] Tri Guna : Sattvam, Rajas, Tamas, melalui ketiga jari. Mudra ini terkait dengan aliran energi dari cakra-cakra dalam tubuh kita.


PRANAYAMA SEBAGAI OBYEK MEDITASI

Setelah melakukan semua hal yang diuraikan diatas, pejamkan mata anda. Kemudian laksanakan hal berikut ini secara bersamaan :

#Tarik nafas perlahan dari hidung dalam-dalam, simpan sekuat-kuatnya, lalu lepaskan pelan-pelan melalui sela-sela gigi. Lakukan dengan berirama teratur.

#Pada saat yang bersamaan >>> pada saat menarik nafas sedalam-dalamnya, hitung tarikan nafas ini [dalam hati] sebagai : “satu”. 

#Pada saat melepas nafas, hitung penahanan nafas sekuat-kuatnya, rasakan cakra hati/bunga padma mekar di hati, penahanan nafas ini sebagai hitungan : "dua". 

#Hitung pelepasan nafas secara berlahan, lepaskan nafas sebanyak-banyaknya dari sela-sela gigi, pelepasan nafas ini [dalam hati] sebagai : “tiga”. Lakukanlah demikian berulang-ulang. 

#Pada saat yang bersamaan >>> fokuskan seluruh konsentrasi pikiran kita untuk mengamati udara yang keluar masuk. Amati pergerakan udara dari dia mulai masuk ke hidung kita, mengalirke dalam paru-paru kita, diam sejenak di dalam paru-paru (dada/hati) kita, kemudian mengalir keluar dari paru-paru kita. Demikian seterusnya.

Penting : Lakukan hal tersebut diatas secara bersamaan, dengan berirama teratur.


TAHAP MEDITASI

Lakukanlah meditasi setiap hari secara rutin. Minggu pertama cukup 10 menit. Minggu berikutnya tingkatkan jadi 20 menit. Terus demikian sampai kita bisa meditasi antara 30 menit s/d 1 jam.

Berikut adalah serangkaian tahapan dalam perjalanan meditatif kita :

1. PRATYAHARA – berusaha “memegang” obyek.

Pada mulanya, jadikanlah ujung hidung sebagai tempat mengamati keluar-masuknya nafas. Berusahalah sungguh-sungguh konsentrasi, tapi tetaplah santai. Kalau kita sungguh-sungguh, rata-rata bagi orang kebanyakan dalam waktu 3 bulan tahap pertama ini akan terlewati. Kita sudah bisa berkonsentrasi dengan baik, objek mulai jelas dan sudah tertangkap dengan baik.

2. DHARANA – “memegang” obyek dengan baik.

Kalau setiap meditasi obyek sudah dapat terpegang dengan baik, berarti kekuatan konsentrasi kita sudah terbentuk. Jangan terbelokkan oleh apapun yang muncul, selalu kembali konsentrasi pada obyek meditasi [keluar-masuk nafas] dengan baik.

3. DHYANA – memasuki meditasi.

Apabila kita telah dapat “memegang” obyek meditasi dengan baik, maka “saluran-saluran energi” dalam tubuh kita akan mulai terbuka dan berkembang. Inilah tahap memasuki meditasi. Pada setiap orang akan mengalami pengalaman yang berbeda-beda, ada juga yang seolah tidak mengalami hal ini tapi langsung ke tahap 4 [savikalpa samadhi].

Bagi yang mengalami, sensasinya bermacam-macam. Ada yang melihat cahaya biru kecil, ada yang melihat cahaya dari langit menghujam ke seluruh badan, ada yang melihat cahaya warna-warni yang indah sekali, ada yang tubuhnya merasa ringan sampai seperti terbang, ada yang merasa terangkat dari tempat duduknya, ada yang merasa tubuhnya membesar atau sebaliknya tubuhnya mengecil, dan lain-lain.

Ada juga yang [kadang-kadang, jarang] menerima seperti wangsit atau suruhan melalui suara yang masuk. Hati-hatilah disini, apalagi bila kita tidak memiliki guru pembimbing, karena mungkin saja itu adalah suara mahluk-mahluk bawah. Sehingga kalau kita mendengar suara apapun, abaikan saja kembalilah pada obyek meditasi. Karena kita bukan mau jadi dukun atau paranormal.

Pada semua kejadian ini kita sama sekali tidak perlu takut, sadari saja dan kembalilah ke obyek. Seringkali para pemula yang tidak mengerti merasa takut dan tidak berani meditasi lagi. Padahal sesungguhnya inilah kemajuan dari meditasi yang akan dialami oleh yogi yang benar.

4. SAMPRAJNATA SAMADHI.

Sebagian yogi seolah tidak mengalami tahap ketiga [karena untuk mereka berlangsung sangat-sangat singkat], tapi langsung ke tahap ke-4 ini. Sebabnya adalah karena kondisi bathin dan kondisi badan halus setiap orang yang berbeda-beda.

Di tahap ini muncullah cahaya yang sangat terang [tapi sejuk, tidak menyilaukan], yang kita lihat semata-mata hanya cahaya. Kita akan berada pada puncak kebahagiaan-kedamaian yang luar biasa. Tidak seperti kenikmatan nafsu duniawi, tapi sebentuk rasa damai luar biasa yang sulit untuk dijelaskan. Biasanya berlangsung hanya sekitar 1-3 detik saja, kemudian kita sadar dari meditasi. Selepas ini pikiran kita plong sekali, ringan bagaikan kapas. Kita merasa sangat damai dan bahagia. Tidak ada beban lagi, tidak ada penderitaan, pikiran benar-benar bebas lepas bagaikan berada di Svarga Loka. Inilah tahap ke-4, atau samprajnata samadhi yang sedang kita alami.

Pikiran yang sudah diajak berlatih meditasi dengan tekun, akan membersihkan kegelapan-kegelapan bathin. Ketika bathin kita dalam keadaan bersih, dia ringan bagaikan kapas, dia damai dan bahagia. Tidak ada beban yang negatif lagi. Semua sad ripu [kegelapan bathin] tidak ada lagi dan kita benar-benar bebas lepas. Ini berlangsung lama sekali.

Kalau kita tidak berhenti disini dan meditasinya diteruskan, kita akan masuk tahap ke-5 yaitu Asamprajnata Samadhi.

5. ASAMPRAJNATA SAMADHI.

Laksana menikmati sebuah pemandangan yang sungguh indah, awalnya kita terpesona dan takjub [tahap 3], setelah itu timbul kedamaian-kebahagiaan [tahap 4].

Setelah kedua proses ini batin mulai normal kembali dan tenang-seimbang, inilah upeksha. Pada tahap upeksha ini, batin sepenuhnya HENING. Tidak ada lagi gejolak. Ibarat air laut, tidak ada riak gelombang lagi. Batin benar-benar tenang-seimbang. Dan antara subjek dan objek sudah manunggal, tidak bisa dibedakan lagi mana subjek dan mana objek. Nafas adalah aku, aku adalah nafas. 


KESIMPULAN
Pranayama merupakan tatacara pengolahan nafas dalam hidup - proses sederhana ini menyertai semua yang kita lakukan, baik itu tidur, bekerja, berolahraga, atau meditasi. Dalam Yoga, pernapasan disebut pranayama, yang secara kasar dapat diterjemahkan sebagai "perpanjangan kehidupan" karena prana berarti "kekuatan hidup". 

#tubaba@griyangbang//ngelmukasidhian//Manggayuhkasampurnaningurip#


Minggu, 16 Mei 2021

Agni Hotra & Homa Yadnya

Agni adalah dewanya yadnya, karena tanpa Dewa Agni, yadnya tidak bisa dilaksanakan. Dalam upacara yadnya dipergunakan dupa sebagai simbol Dewa Agni (api). 


Salah satu aspek yadnya dalam Veda yang selama ini kurang mendapat perhatian adalah Agnihotra. Dengan menekuni, menghayati, meyakini, dan mempraktikkan Agnihotra, dapat digunakan sebagai salah satu solusi menghadapi fenomena kemajuan iptek dan globalisasi yang sedang pesat melanda seluruh dunia, khususnya Pulau Bali yang semakin mencemaskan. 


Agnihotra is sacrificing to agni (athavaveda VI;97). Agnihotra pengorbanan suci kepada api atau api suci. Menurut Musna, 1993:13 menyatakan, Agnihotra adalah upacara persembahan terhadap Dewa Agni. Suatu upacara yang sangat penting dalam Veda, yang dilaksanakan sehari-hari oleh para golongan grahastin (berumah tangga).

“Homa adalah upacara selamatan kepada dewa-dewa dengan menaburkan ghritta pada api suci".


Agnihotra berasal dari kata Sansekerta dimana terdiri dari dua kata, yaitu Agni dan Hotra. Agni adalah api dan Hotra adalah persembahyangan atau melakukan persembahan. Jadi , Agnihotra adalah sebuah ritual atau bentuk upacara persembahan.  Secara umum semua yadnya dalam Veda mempunyai arti sama yaitu Agnihotra. Sebab pengertian yadnya dalam Veda adalah persembahan yang dituangkan ke dalam api suci. Api suci yang dimaksud adalah api yang dihidupkan dan dikobarkan dalam kunda. Kunda adalah lambang pengorbanan.

Mengapa persembahan dimasukkan dalam api, hal ini disebutkan dalam Purana, bahwa Dewa Agni (disimbolkan dengan api) adalah lidahnya Tuhan. Sehingga, maknanya adalah jika persembahan disampaikan melalui lidah Tuhan, maka persembahan tidak akan nyasar ke tempat lain.


Prinsip keseimbangan sangat dominan dalam kerja Agnihotra. Seperti proses terjadinya hujan, di mana air laut menguap karena panas matahari, membentuk awan tebal, terbawa angin kearah pegunungan, karena dingina membentuk titik-titik air, jatuh menjadi hujan, memberikan kesuburan kepada hutan. Air hujan meresap dan disimpan oleh lapisan hutan, mengalir mengikuti aliran sungai dan berakhir di samudra. Siklus ini terulang terus, tiada henti. Dengan adanya hujan ini maka kelangsungan hidup semua makhluk hidup menjadi terjaga. Demikian juga kerja agnihotra dengan menyalakan api suci, dimana persembahan utama ghee, biji-bijian, dan bunga-bungaan, semua keharuman ini terbawa oleh asap yang bergabung bersama awan, kemudian menjatuhkan hujan. Hujan mendatangkan kesuburan, kesuburan ini dinikmati umat manusia .


Agnihotra dengan Homa sama-sama menggunakan sarana api suci sebagai media pemujaan. Perbedaannya bahwa Homa persembahan ditujukan kepada dewa-dewa yang dipuja sebagai Ista Dewata dengan perantaraan api suci, sedangkan Agnihotra persembahan langsung ditujukan kepada Dewa Agni, api suci sebagai wujud material dari Dewa Agni itu sendiri.


Di lain sisi, Buddha menyatakan bahwa Agnihotra  adalah Aggihutta mukho yadnya (Agihotra is the chief of yajnas), yang artinya yadnya yang utama di antara yadnya. Kenapa dikatakan demikian? Karena sasaran pemujaan Agnihotra adalah Dewa Agni. Dewa Agni dewa yang sangat dihormati, disegani di kalangan dewa-dewa setelah Dewa Indra. Dalam Veda,  Dewa Indra memiliki tidak kurang 30 kemuliaan. Sedangkkan Dewa Agni memiliki sekitar  19 kemuliaan.


Kemulian utama yang dimilki Dewa Agni , yakni pemberi utama kekayaan, pemimpin utama para pahlawan, paling muda dan utama, angira utama. Selain itu, juga disebutkan paling dihormati, penghancur utama kejahatan dan kegelapan, pemilik kekuatan utama, paling bijaksana, dipuja paling tinggi, paling baik hati dan membahagiakan,  paling dicintai, paling banyak pemujanya, paling berbahagia, paling dekat. Juga merupakan pendeta utama, paling berkilauan, paling mulia, dan paling terkenal


Dalam Regveda sebagian besar mantra adalah mengenai Dewa Agni, baru kemudian Dewa Indra. Dewa Agni adala Dewa yang paling penting di dunia. Dengan api manusia bisa memasak, sehingga manusia bisa makan makanan yang baik dan sehat untuk kelangsungan hidup. Demikian pula untuk mendekatkan diri kepada Tuhan diperlukan Dewa Agni.


Hal tersebut tertuang dalam Rg. Veda mantra pertama,  yang menyiratkan : Agni mile  purohitam yajnasya devartvijam, hotaram ratnadhatamam. Kepada Dewa Agni, yaitu pemimpin yajna (purohitam) dewanya yaddnya (yajnasya devam) dan rtvija.  Demikian juga pelaksana yajna (hotaram) yang memiliki dan memberikan kekayaan (ratna dhatamam) kepada Dewa Agni tersebut saya memuja (mile).

Terjemahan gamblangnya bahwa saya memuja Dewa Agni, yaitu pemimpin yajna, dewanya yajna. Demikian juga pelaksanaan yajna yang memiliki dan memberi kekayaan.


Dalam melaksanakan yadnya, Dewa Agni sebagai purohita (pemimpin yadnya) dengan mengucapkan mantra-mantra tentang Dewa Agni dan atas anugerah Dewa Agni yadnya bisa berhasil. Dengan demikian , Dewa Agni merupakan pemimpin para dewa yang membawa permohonan sang yajamana (melaksanakan yadnya) kehadapan Tuhan.  Yajnasya dewamrtvijam yang artinya Dewa Agni adalah dewanya yadnya, karena tanpa Dewa Agni, yadnya tidak bisa dilaksanakan. Dalam upacara yadnya dipergunakan dupa sebagai simbol Dewa Agni (api).

Dalam melaksanakan Homa tetap menggunakan sarana banten yang disebut banten atithi. Tentang banten atithi tersebut ada disebutkan dalam prasasti yang tersimpan di Pura Taman Bangli. Homa yang dilakukan sehari-hari disebut dengan 'Pratyaya Lali Homa'. Cara melakukan Homa, yakni mula-mula dibuatlah suatu pendapa yang di tengah-tengahnya ditinggikan tempatnya dan di tempat itu digali sebuah lubang kecil tempat menyalakan api, dan dilakukan sebanyak tiga kali , yakni pagi, siang, dan sore hari. Penyalaan api itulah yang disebut dengan Triagni atau Triwahni. 


Selanjutnya, di sekitar lubang tempat menyalakan api duduk  orang-orang yang melaksanakan homa itu. Pada saat upacara dilaksanakan, ada seorang yang bertugas mengatur dan memimpin upacara itu. Sesudah api menyala, diucapkan mantra-mantra, selanjutnya caru banten yang telah disiapkan lebih dahulu dibakar atau dipersembakan dalam api itu, disertai dengan mengucapkan mantra-mantra dari Veda.


 #agnihotra #homa

Sabtu, 15 Mei 2021

Pasek wetuning nyala pat

Adapun suksman dari saudara kita adalah;

anggapati: keluar dari jantung terus ke mata berstana/tinggal di timur.

prajapati: keluar dari hati terus ke telinga berstana/tinggal di selatan.

banaspati: keluar dari ginjal terus ke hidung berstana/tinggal di barat.

banaspatiraja: keluar dari empedu terus ke mulut berstana/tinggal di utara.

butadengen: keluar dari tengah hati terus ke ubun2 berstana/tinggal di tengah


#setelah itu belajar memasukkan saudara kita tersebut kedalam tubuh kita, adapun caranya sekaligus mantranya:

Anggapati: manjing maringNetra malinggih ring Papusuh, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

Prajapati: manjing maring Karna malinggih ring Hati, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

Banaspati: manjing maring Hirung malinggih ring Ungsilan, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

Banaspati Raja: manjing maring Cangkem malinggih ring Ampru, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

Butha Dengen: manjing maring Siwadwara malinggih ring Bungkahing Hati, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

Ih, Ah, Eh, Uh, sang catur sanak, raksanen ingsun, kemit rahina wengi, atangi muwang aturu, yan hana sarwa hala tunimba ring awak sariran ingsun tulakang, wangsulakena den adoh, ong ang ung mang, surup surup surup.
Inti dari mantra tersebut” …nama saudara kita… masuk dari ……, berdiam di ………, istirahatlah disana, jaga diri saya”.

#Setelah saudara2 kita tersebut berdiam dalam tubuh kita, dan selalu menjaga kita, maka mestinya saudara2 kita diberi Laban/upah sebagai ucapan terimakasih kita atas semua bantuannya. Adapun mantra saat memberi Laban antara lain;

Anggapati: Wetu sakeng Papusuh terus ke Netra malinggih ring Purwa, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Petak maulam bawang jahe.

Prajapati: Wetu sakeng Hati terus ke Karna malinggih ring Daksina, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Bang maulam bawang jahe.

Banaspati: Wetu sakeng Ungsilan terus ke Hirung malinggih ring Pascima, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Kuning maulam bawang jahe.

Banaspati Raja: Wetu sakeng Ampru terus ke Cangkem malinggih ring Uttara, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Ireng maulam bawang jahe.

Butha Dengen: Wetu sakeng Bungkahing Hati terus ke Siwadwara malinggih ring Madya, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Manca Warna maulam bawang jahe.

Ah Eh Uh Ih, Sang Catur Sanak, wus sira amukti, aja sira lali asanak ring insun, apan insun tan lali astiti bakti ring sira. Asing wenten pinunas insun mangda kasidan. 
Ong Ang Uang Mang ya nama swaha. 
 

#tapi saat pengamalan inilah seseorang bisa terpelosok pada jurang hitam, karena pada saat pengamalan ini seseorang akan terasa sangat hebat, bersemangat bagai api yang terus membara dan ingin membakar apapun yang ada dihadapannya, sehingga sering kali berubah menjadi ke dharmaweci alias pengeliakan (LEAK) karena aura panas yang sangat berlebihan yang dipakai untuk hal2 yang negative... 

#Langsung saja, cara / mantra saat kita munta bantuan ke saudara butha kita yaitu;

Ih, Ah, Eh, Uh, sang catur sanak,
anggapati, prajapati, banaspati, banaspatiraja, butadengen,
Aja sira lali asanak lawan ingsun,
Apan ingsun tan lali astiti bakti ring sira,
Paweha ingsun waranugraha,
Asing wenten pinunas ingsun mangda kasidan,
Ingsun nunas ……………

#setelah minta sesuatu pada sang catur sanak, ingat memasukkannya lagi dalam tubuh kita, kembali seperti yang paling atas..ingat lah setiap kajeng klion untuk menghaturkan laban segehan kepel manca warna di sebelah tempat tidur kita, dan afirmarmasikan yang intinya member laban sehingga dia ingat dengan diri kita. Ex. ih semeton sang catursanak, anggapati, banaspati, prajapati, banaspati raja lan butha dengen, iki tyg ngaturang labang segehan kepel amanca warna maulam bawang jahe, mogi kenak sira, raksa ragan tyg. Mantra bole saja dirobah asal intinya tetap sama.

Selasa, 11 Mei 2021

Pengringkes Dasa Aksara

Pengringkes Dasa Aksara

1b.  Om Awighnam astu namasidem.
Iwastu satawayanya, pangaringkes dasaksara, kawruhakna pasuk wetunya, yan sira wruha ring kalingan iki, tlas papa naraka bapabunta, tekang sariranta, iki kamulaning panulak satru, mwang sarwa wisesa, sami pada kasor denya, nanghing haywa wera ring wong lyan, apan dahating utama aksara iki, samangkana palanya, patemuning tastra : Sa  Ba  Ta  A  I, dadi Angmagenah ring udel, pan tastraning tastra : Na  Ma  Si  Wa  Ya, dadi Ah, magenah ring siwa dwara.

2a.   Ang lawan Ah, masalin rupa, marupa Om-kara, matemu ring ati, raris kapukuhing lidahe dadi ardacandra, windu, nada.  Ardacandra ring gidat genahnya, windu ring gentil irung genahnya, nada ring tungtunging irung genahnya.  Wus samangkana mawak Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa.  Tejanya aketi abara inget,  telas.

         Iti panulak sarwa baya mancana sarwa krura, sarwa galak, sarwa aeng, palanya mari ya mamigrain. sa, sakarepta, wenang.

2b.    Ma : Om pretiwam apah teja bayu akasa, nga, haeng haeng tan mandi, mari sang sedahan, Om hejoh hetpet. 3X, aku Sang Hyang Panca Maha Bhuta, terus ring luhur, kesaktianku Sang Hyang Licin, sarwa satru pat swaha.
         Iti mantra anggen mangraksa raganta, nanging mantrakna sari-sari, ring kalaning wengi, yan hana wong paksa angleyakin, mwang anesti, anerangjana, salwiring makarya hala ring raganta, palanya balik ya agring meh katekan mati wong mangkana, yanya tan mati meh buduh ya mwang

3a.    agring, mangkana pwaranya, mantra iki nanging pingitakna mantra iki, apan dahating kawibaran mantra iki, nga, Durgha Redana, ma :  Om nama bagawati, warntadhaga, kala sehiri, mahetpananyam, karetu sarwasam, satrunam bawantu, sidhirastu tatastu restu swaha, telas.
         Hyang Bagawati magenah ring madyaning lidah, I Kalika magenah ring tungtunging lidah, regepakna, haywa wera ring wong len.
        
         Nyan kaputusan Sang Hyang Prewatek Dewata Nawasangha, kawruhakna ring bwana alit, ring sariranta, ndya ta unggwanya ring bwana sariranta --/

3b.    Iti Sang Hyang Dasaksara, nga, sira angadakaken Sang Hyang Tastra saider bwana, mungguh Sang Hyang Pranawa :
         Sang kangin, magenah ring papusuh, Bang kelod magenah ring ati, Tang kauh magenah ring babuahan, Ang kaja magenah ring nyali, Nang kelod kangin magenah ring peparu, Mang kelod kauh magenah ring husus, Sing kaja kauh magenah ring limpa, Wang kaja kangin  magenah ring ineban, Ing Yang, magenah ring madya, magenahakna ring pegantunganing ati.

         Iti Sang Hyang Om-kara, Sang Hyang Kapatyan, anggawe tastra asiya lwire -/

4a.    Sa  Ba  Ta  A  I  Na  Ma  Si  Wa  Ya. Om, mwang anggawe tiga, ndya ta tastra tiga, lwire : Ang Ung Mang.  Mwang anggawe Sang Hyang Tastra Rwabhineda, lwire Ang Ah.  Yan wus samangkana denta angwruha, haywa wera, simpenakna denta apang jati, lwirnya : Sa mulih ring Ba, Ba mulih ring Ta, Ta mulih ring A, A mulih ring I, I mulih ring Na, Na mulih ring Ma, Ma mulih ring Si, Si mulih ring Wa, Wa mulih ring Ya, Ya mulih ring Sang Hyang Tastra Pasupati Om-kara,

4b.  Sang Hyang Tastra Pasupati Om-kara mulih ring Sang Hyang Tiga, A,  U,  MA, ring Sang Hyang Tiga mulih ring Rwabhineda, Sang Hyang Rwabhineda mulih ring   Ardacandra,          ,  Ardacandra mulih ring windu,       , Windu mulih ring nada,         , telas, haywa wera, utama dahat, aksara iki, apan gagelaran pati lawan urip, wenang gelarakna apang sing I papa klesa ring sariranta, mwah wenang anggen pangalah satru wisesa, mangkana gni kunda rahasya utama, ya ika mageng tan polah, mawisesa hana iti.
















5a.
   
            Telas aksara iti.                                            dadi api. 
        
5b.    Iti unggwaning Ardacandra mwang Windu Nada, nga, mwang Rwabineda, nga,  Mwang Om-kara sumungsang, nga,  ungwanya Sang Hyang Tiga, nga, Brahma Wisnu Iswara,
         Sang Hyang kalih mungguh ring nabi genahnya, Ang. Ne luhuring siwadwara magenah, Ah.  Om-kara ringpala kiwa tengen, Om, Sang Hyang Tiga, metu ardacandra windu nada, unggwanya, ardacandra ring ulu arsa, windu ring udel, nada ring tungtunging purusya, anerus ring telenging ati, mwah anerus ring tengahing ampru, anerus ring pegantunganing idep -/- 

6a.    Mwah akumpul ring cacupu inten, ika citta, mulih  maring pucuk tiga, ulenganing tinggal, tungtunganing nggarung, pucukaning pusa, paunggwaning Sang Hyang Tiga, makumpul dadi ika, yan sira harep anglekas, pepek de nira halanggi mwang haturu, pujanira ring teneng, maruksa suku kiwa, tanganta ring kiwa, gamelakna sunduk den apageh, pelengakna pucuk tiga, haywa kundep.

         Pasuk metunya Dasabayu mwang iki :

         rumuhun iki dadi Om-kara sumungsang. -/-

6b.    Metu parek dening Sang Hyang Rwabineda, unggwanya ring dada, ring siksikan, haywa wera, tan siddhi palanya, mulih ring sariranta makumpul lungguh.

7a.                  Api                                               Yeh
   


















7b.    Iti Suksmaning Kanda Pat, nga, ginawa maka kakudung urip, dahat wisesa sira.  Kawruhakna baranya kabeh.  Lwire, :
         Yeh nyom madan I  Anggapati, putih rupanya, ring papusuh genahnya, ring cangkem pesuk wetunya, ring engkok-engkokan genahnya.
         Getihe madan I Mrajapati, abang rupanya, ring ati  unggwanya, ring irung pesuk wetunya, ring bawu tengen genahnya.
         Ari-ari ngaran I Banaspati, ireng rupanya, ring nyali genahnya, ring netra pesuk wetunya, ring bawu kiwa genahnya -/-

8a.    Tahi langlang ngaran I Banaspati Raja, kuning rupanya, ring ungsilan genahnya, ring karna pesuk wetunya, ring pungkuring pemanggehan genahnya,  telas.
         Yan sira wruh samangkana, ika parana sakti dahat.  Yan merentah soang-soang, awehakna sanakta kabeh, swaranya kayeki japanya, :
         Uh swaranya I Anggapati, eling sira asanak ring ingsun, ingsun tan lali

8b.    asanak ring sira.  Raksanen ingsun, yan hana sanjata lalandep pe sanjata tumapaking awak sariran ingsun, ampihang aja lali  lah poma, 3X
         Ah swaranya I Prajapati, eling sira asanak ring ingsun, ingsun tan lali asanak ring sira.  Raksanen ingsun, yan hana sanjata lalandep pe sanjata tumapaking awak sariran ingsun, ampihang aja lali  lah poma, 3X
         Eh swarane I Banaspati, eling sira asanak ring ingsun, ingsun tan lali

9a.    asanak ring sira.  Raksanen ingsun, yan hana sanjata lalandep pe sanjata tumapaking awak sariran ingsun, ampihang aja lali  lah poma, 3X
         Ih swaran I Banaspati Raja, eling sira asanak ring ingsun, ingsun tan lali asanak ring sira.  Raksanen ingsun, yan hana sanjata lalandep pe sanjata tumapaking awak sariran ingsun, ampihang aja lali  lah poma, 3X, telas

9b.    Rehnya mawas kiwa tengen  mwang ring arep ring pungkur, pepetakna bayunta, kayanga mijilaken sanaknya, den kadi wong yanak-hanak, tan lyanan sake rika, tan mijil sanaknya, wus mangkana, yan hadres hirungnya kiwa, sukune kiwa tindakang dumun.  Yan hadres hirungnya ring tengen, sukune tengen tindakang  dumun, yan pada dresnya, metu ring irung mahancogan lumaku.  Haywa  sangsaya sira ring dalan, tan ngmasi sira ring dalan, mwah

10a.  Saparaning mintar, leyak, ndesti, teluh trangjana, durgha durjana, mawdi ngeb, salwiring wisesa sami pada mundur ajrih, telas.
         Haywa wera uttama dahat iki yan sira wruha ring tutur iki, Yan wera geng hetung halanya, den singid ring hatinta juga, aja hima-hima.

         Marganya, : Ang ring irung tengen,  Ung ring irung kiwa,  Mang ring tengahing irung.
         Iti patemoning swalalita mwang modre, mwang jatining Dasaksara, Panca

10b.  Brahma.  Panca Brahma ring genahnya, ring nabi unggwanya.  Pancaksara ring siwadwara genahnya, kadi iki tastranya : 
         Panca Brahma :  Sang   Bang  Tang  Ang   Ing,  nga.
         Pancaksara, nga. : Nang  Mang   Sing  Wang  Yang.
         Patemunya : Nang  Mang  matemu dadi Ing-kara.  Sing  Wang  matemu dadi Yang-kara.  Ing-kara mungguh ring nabi, meraga Sang Hyang Guru Reka.  Sang  Bang matemu dadi Ang-kara.  Tang  Ang matemu dadi Ung-kara.  Ung-kara matemu Ang-kara, dadi Ong-karagni Murti, dadi api ngendih murub.  Ang-kara matemu ring Ung-kara, dadi lengis.  Yang-kara matemu

11a. ring Ing-kara dadi yeh Ong.  Ing-kara matemu Yang-kara dadi Mang, mawak angin.  Mang mawak bintang. Nang  Mang  Ing, maraga surya, Sing  Wang  Yang, meraga bulan, meraga bintang kartika.  Surya ring netra kiwa, bulan ring netra tengen, bintang ring sesa.  Mwah Ing  Yang  Mang :  Ing Bhatara Siwa.  Yang Bhatara Sadasiwa.  Mang Bhatara Paramasiwa.  Unggwanya : Ing ring pukuhing rambut.  Yang ring madyaning rambut.  Mang ring tungtunging rambut.
         Mwah hana Tri Kona, nga, : Ang api, Ung iyeh, Mang angin.        

11b. Unggwanya : Ang ring idep, Ung ring bayu, Mang ring sabda. Mwah hana Tri Padana, nga, surya, bulan, bintang. Sabdanya: Ing  Yang  Mang, matunggalan, Ang  Ing  napti, nga.  Ung  Ang upti, nga.  Ong  Mang, pralina, nga.  Iti jatining Dasaksara, nga,  pratastraning nabi, kaslahan dening Ing-kara dadi Panca Brahma. Ring luhur kaslahan dening Yang-kara, dadi Pancaksara.  Iki kawruhakna apang jati.  Kinemit dening soddanya catur.  Kayeki rerajahannya kawruhakna, Huyuh angin, purusya.
Idep
 
                       








                                 Bayu                                        Sabda                              
                                           
                                      
Pangringkesan Dasaksara, sampun mabungkulan pragat.
12b.  Panlasanya iki glarakna,
                    


13a. Anggen ngeseng satru, anggen angeseng salwiring lara roga wigna, salwiring papa ptaka, salwiring hala-hala, leyak desti pada geseng, salwiring karya pada geseng, anggen angurip wenang, anggen ngeseng wenang, kawibaran Sang Hyang Dasaksara iki, haywa cawuh-cawuh, ring prayogan Sang Hyang Dasaksara.  Haywa romon ring aksara puniki.  Yan nguncarang mabersih dumun, mahening-hening  ring raganta, poma pingitakna ring adnyana pranawa.

13b.  Iti prayascitaning sarira, ngilangakna salwiring wignaning sarira, mwang papa klesa metu saking sarira, makadi bancana teka sakeng durgha wisesa, leyak desti teluh trangjana, mwang sangaraning sarira hala, ta geseng de nira Sang Hyang Mantra, prayogakna, Sang  Hyang iki Mantra, Sang Hyang Dasabayu sariraken ring raganta, sa, tirta mawadah payuk anyar, 1, daksina, 1, den agenep, arta, 8.000, canang, 10 tanding raka sakewenang, pinuja ring

14a.  sanggar rikala purnama, tilem, asep den awangi, haywa wera, karungu dening wong len, ri wusnya mayoga, tirtanen raganta, kadi akrama, wehin anak rabinta tirta ika. 
         Phalanya wedi ikang kala Durgha, doh ikang gring, sarwa lara wigna, utama dahat iki, drawe sang ratu, mwang Brahmana, wenang anggangge iki.  Mmantranya :  Om idep Sang Hyang Om-kara mungguh ring tungtunging rambut maraga Sang Hyang Siwa Nibana Wisesa.
         Iti mantranya : Om Sang Hyang Siwa Nirbana Wisesa mungguh ring agraning rambutku, matapakan padmanglayang, sira anita (ha) ken salwiring lara roga papa pataka, wighnaning awak sariranku, angunduraken sarwa durgha kala kabeh, Om Sang Hyang Sri we namo namah swaha.

         I, ring siwadwara mungguh, idep Bhatara Siwa malungguh maring raga ika, ma, : Ong Sang Hyang Siwa Murti Jati, malungguh ring siwadwaranku, matapakan padma bhwana, angleburaken lara wighna papa petakaning

15a.  awak sariranku, amunahaken sapakriya hala, sarwa durgha kala kabeh Om Sriya we namo namah swaha

         A, ring lelata, idep Bhatara Sadasiwa maraga,  Om Sang Hyang Sadasiwa Murti, malungguh ring padmasana ratna, sira anganyutaken lara roga papa pataka wighnaning awak sariranku, angunduraken sarwa roga kabeh,  Om Sriya we namo namah swaha.

         Ka, ring rahi, idep Bhatara Suryya Candra mungguh ika, Ma, : Om Sang Hyang Siwaditya malungguh ring padmanglayang, sira anuluhin saparaning
15b.  darsana, asing akarya kala ring awak sariranku wastu kita punah sarwa guna wisesanta kabeh, mwah angilanngakena lara roga wighnaning papa patakaning awak sariranku, Om Sriya we namo namah swaha

         Sa, ring muka mungguh, ring idep Sang Hyang Maya Murti, ma. : Om Ang Sang Hyang Maya Sakti, malungguh ring padma nada, sira angemitaken awak sariranku, amrangakna saluwiring awak sariranku,sakwehing desti
16a.  teluh trangjana gegandu gentawang wastu sira punah teka geseng de Bhatara Maya Sakti, Om Sriya we namo namah swaha.

         Ma.  ring  awakta, idep raga Sang Hyang Bayu mungguh  ika, ma. : Om Sang Hyang Prana Bayu Wisesa, malungguh ring padma cakra, mider amepeking awak sariranku, sira amagehaken sarwa wisya kabeh, sarwa lara roga wighnaning awak sariranku, mwah sapa karya lara kabeh, tan tumamah ring awak sariranku,  Om Sriya we namo namah swaha.

         Ra, mungguh ring wredaya idep maraga Adnyana Wisesa, ring tungtunging
16b.  ati, ma. :   Om Sang Hyang Adnyana Wisesa, sira anglukat hanganyut mala papa petaka, lara roga wighnaning awak sariranku, mwah amunahaken dasamala wikara pramala danda upadrawa ring awak sariranku, sakwehing akarya hala dusta durjana sira angunduraken, Om Sriya we namo namah swaha.

         La, uderan, idep Bhatara Sadha Rudra, mungguh ring weteng, ma. : Om Ang
17a.  Sang Hyang Sudha Rudra Murti, angesengakna, lara roga papa petaka lebur punah dadi hawu, angesengakna salwiring papasangan, rarajahan, papendeman ring awak sariranku, asing kapangan-kinum teka geseng, mwah sarwa durgatala kabeh, asing akarya hala ring awak sariranku, westu geseng dadi awu, Om Sriya  we namo namah swaha.

         Wa,  ring nabi lungguhnira, idep Bhatara Agni murub ring awakku metu saking nabi, ma, : Om Ang Ang Sang Hyang Agni Ludra Murti murub ring
17b.  awakku, terus ring akasa mawak, angeseng leyak kabeh, teluh trangjana kabeh, mwah papa klesaning awak sariranku, wastu geseng punah dadi awu,  Om Sriya we namo namah swaha.

         Ya,  ring guya, idep Bhatara Semara, mungguh ring parana lungguhnya, ma, : Om Asmara Dewa Murti ringawak sariranku anglebur sakwehing papa petaka, lara roga wighna, doh wikara pramala danda upadrawaning sarwa we,



18a.  wastu punah hilang,  Om Sriya we namo namah swaha.
         Ung, ring padmawredaya, ideppang Sang Hyang Ananta Bhoga, ma, : Om Sang Hyang Ananta Bhoga, sira angruwataken salwiring mala wighna, wastu punah sakwehing mala ring awak sariranku,  Om Sriya we namo namah swaha.   Telas

18b.  Iti Panulak Satru muang Sarwa Leyak, gering wisya katulak de nira, sa, : lontar gawa juga ring petpet wenang pangraksa jiwanta, ma, :  Om idep aku Sang Hyang Anungku Rat Angraksa jiwa, Sang Hyang Taya angraksa bayu, Sang Hyang Parama Wisesa angraksa idep, Sang Hyang Acintya angraksa sabda, siapa wani hala paksane ring aku, buta kabeh manusa nembah, dewa asih, aku Sang Hyang Anangku Rat, mangraksa jiwa sakti aku licin, gering
wisya punah, sing teka pada punah, lah malarem,
        
iki ratuning Pangraksa Jiwa, nagaran Sang Hyang Ikup Bhwana, sa, lontar

19a.  gawa juga sakti kita maya-maya, ma, :  Om  idep aku Sang Hyang Ingkup Bhwana, Bhuta Willis, ya waluya maya, raksa, simaya, beta pimaya, ngudngen remaya, sambu ludra maya, yudistira maya, bima maya, partha maya, sakula maya, sadewa maya, tumut sawangsanira, raksanen, duluring lampah laku japanku, lunga aku sakti, 3X.  jeng, telas. 

         Nyan Sang Hyang Wisnu Murti, nga, sakti dahat, haywa wera, uttama temen.  ngaran Pragolan, suksma pakedepanya iki, salwiring leyak desti teluh trang

19b.  jana, buta kala dengen, salwiring hala bancana wedi ngeb, turakna ri talapake wehaning satru, ma, :  Om Sang Hyang  Brahma Loka, Hyang Wisnu Loka, sumurup ring Iswara Loka, anerus ring tungtunging adnyana sandhi, mwah ring tinghal kalih, kawruhakna wetuning sanakta.  Iswara ring papusuhan, Brahma ring ati, Mahadewa ring babuahan, Wisnu ring ampru, Idep bayu sabda angregep tak kodar sabda.

20a.Yan ngareping satru, idep aku Bhatara Brahma maring tengen, Bhatara Wisnu ring kiwa, ring arep Bhatara Guru, ring pungkur Bhatara Mahadewa, Bhuta saliwan, awak Bhuta Kakawah ngemit ring tengah, Bhatara Ari-ari lawan Bhuta Budira ngemit ring kiwa, Banaspati  ngemit ring arep, Ih Bhatara Guru ring cangkem, Bhatara Wisnu ring irung, Bhatara Brahma ring tinghal, Bhatara Mahadewa ring karna, Bhatara Siwa ring padmaron, 100,

20b.  Paramasiwa ring padmaron, 20,  Sadasiwa ring padmaron, 10, iti genep pangawakasan Bhatara Siwa,  I hi ya ingsun Sang Hyang Tiga Maya, mangko ingsun Sang Hyang Mula Sweta, mangko iya manon, aranku Sang Hyang Gurudeya, mangko reh asing langgana.  Marep purwa mageng bayunta, tan kodar sabda,  telas. 
         Iti Sang Hyang Siwagni,  nga,  pangraksa ring sariranta.  Rehnya marep purwa, dawuh ro, dawuh telu, ma, sa, toya anyar ketisang, sugiang, inum,

21a,  pada ping 9.  Desti leyak, salantang jalan kawasa, mantranya iki :
         Om idep aku Sang Hyang Siwa Guna, sahurubing langit, gunanku guna tunggal, magni ring sariranku, murub makatar-kataran mesat aku ring akasa, tumurun aku angadeg, aku satampak lemah, asing delengku teka tekol, satru musuhku wong kabeh, yen harep ko mandeleng tan hana socanku, yan arep ko lumaku tan hana sukunku, yen arep ko angrenga, tan hana karnanku,

21b.  teka rep sirep, satru musuhku wong kabeh, gumatap-gumitip, segara danu, teka rep sirep, sakwehing matangan, masuku, macangkem, bungkem, 3X. 
         Apan aku pengawakan Sang Hyang Siwagni, teka ngandeg, jeng. 3X.

         Nyan  kaputusan Sang Hyang Nata ring Girinata, sa, lontar tulisan mantra, gawa juga mawisesa dahat sira, sakwehing leyak baktya, sakwehing bhuta wedi, mwah bhuta kala dengen mewedi, mwah asing  elik amati-mati pada wedi, mwah satampak saluning pande besi, tan tumamah ring awak sariranku,

22a.  lunga jati teka jati, jawanira tan kasoran dening bawa kawisesan sira, yang tan wruha ring mantra iki gawa juga lontar iki, dahat wisesa sira, ma, : Om idep aku Sang Hyang Nata ring Girinata ring Gunung Agung, tedun ring madya pada, haranku Bhatara Sapuh Jagat, kawisesanira Hyang Bhatari Durgha, sapa wani ring aku, apan mulaning wisesa sakti, aku mulaning guna pangaruh, aku Sang Hyang Sapuh Jagat, leyak putih

22b.  nembah ring aku, leyak abang nembah ring aku, leyak kuning nembah ring aku, leyak ireng nembah ring aku,  leyak amanca warna nembah ring aku, leyak katon leyak tan katon nembah ring aku, bara bhuta kala dengen nembah ring aku, sakwehing satru pada baktya, asing kroda asih sakwehing durgha, urug, apan aku masarira marupa Durgha, rupanku Bhatara Girinata, luwih aku sakti, gering lara wisya katulak denku, aku Sang Hyang Sapuh Jagat hana gunaning satru wisesa, aku munahang

23a.  kroda punika punah, sakwehing sanjata amati-mati pada punah, teka punggel tikel, aku luput ring sakriyaning satru, apan aku nataning  wisesa, tan katamanan aku satru, aku weruh Sang Hyang Liwing Girinata, nataning dewata, Sang Hyang Om-karadikel, 3X.
Sarwa leyak nembah, telas, -/-
 


23b.  Iti Pangasih Bhuta, Pangasih Dewa, mwang Manusa, gelarakna rikala ngabhakti ring dewa, anggen pangraksa jiwa wenang, sengkernya sahuripnya, sa, lontar tulisin mantra, Kaputusan Sang Hyang Mpu Bahula, wenang maka pangalahaning leyak kabeh, gering wisya teka punah denya, ma, : ingsun angidepaken Sang Hyang Acintya Suksma, sakti pangraksa jiwa, apinda manusa sakti, aran Sang Hyang  Mpu Bahula, angiring dening weda

24a. japa sakti, ingiringdening Dewa Catur Loka, ngelukat leyak kabeh, anglukat gering wisya kabeh, yan hana leyak halapaksa ring pakaranganku, teka dingkel, 3X.  teka pupug punah, asing teka ko satrunku kabeh punah, teka nembah nungkul ko ring pakaranganku tekeng aku, apan aku uriping sarwa wisesa, wenang  teka waras, 3X, Ang  Ah  Ang,                 , telas.

         Iti Sang Hyang Mretyu, nga, ma,  : Ih metu Sang Hyang Mretyu ring pabahanku, murub kadi geni ujwala, aku amancut atmaning leyak
24b. kabeh, mungguh ring tungtunging nada Sang Hyang Om-kara Ngadeg, asing katon denku lah pada geseng lah panungkul, lah katadah, de nira Sang Hyang Mretyu, asing teka pada tikel, suksma bungker, 3X. syah, 3X.   Rehnya nuding leyak.

         Iki Pangesengan Bhatara Brahma, nga, Ih Bhatara Brahma Sakti, sang apa mapas aku teka geseng, aku Bhatara Brahma Sakti, angrangsuk aku batu
25a.  wresani, hatateguh mahider bhuwana, sa, sakewenang.        
         I  Sang Hyang Kober Kuning, pinaka ratuning kawisesan, rehnya nembah marep kulon, laju amati rana, Sang Hyang Kober Kuning, nga, rong puluh, 7, rahina panunggunya, ma, :   Om Sang Hyang Parahyang, aku Sang Hyang Guruning Hyang, aranku Sang Hyang Sukla Wisesa, ingiring aku dening Sang HyangWisesa, Sang Hyang Sakti tan malih ring luhurku Sang HyangTunggal, ring arepku Sang Hyang Acintya Wisesa, Sang Hyang Brahma ring tebenku, Sang Hyang Wisnu ring kiwanku,

   
25b. Hyang Iswara ring tengenku,  Bima rempak mider ring aku, geni murub pinaka kasnanku, sapa wani ring aku,  jatma teaka geseng satampak paluning pande wesi teka geseng, tikel tan palunya tekol, guna mati, pangaruh mati, wisesa sakti mati, paweh dewa mara mati, apan aku anggawe sahananing katon, sahananing tan katon, syapa wani lumiyat ring aku, wisya mara matemahan amreta, aku Sang Hyang Suksma luwih, angawang-awang  Ih,  Ih,  Ah,  Ah,  Uh,  Uh,  Ang, 3X. telas.

26a.  Iki Sang Hyang Siwa Sumedang, nga, sengkernya sahuripnya, yen tan weruha ring mantra iki, kewala pejang ring luhuring aturu, bantenya canang burat wangi ring kajeng kliwon, ma, :                                 

         Paramasiwa ya ne namah swah,                      metu Sang Hyang Siwa

        Sumedang, ri pantaraning ati, murub dumilah kadi surya siyu, ingiring,  sarwa tastra wisesa, ingiring dening dewa

26b. bhatara kabeh, geni sagunung pinaka lalayanku, asing anglayang, pinaka haranku, sagara adulun pinaka yasanku, sapa wani ring pakaranganku, tekeng aku, apan aku Sang Hyang Siwa Sumedang aweha ngentar ring aku, sahananing wisesa, ngentah ggeh leyak kabeh, sing teka satrunku wong kabeh


 

27a.  teka nembah teka nungkul, ring pakaranganku teken aku, apan Sang Hyang Siwa Sumedang, guruning aguru, guruning dewa bhatara kabeh, guruning japa mantra, guruning tastra kabeh, guruning guna pangaruh, guruning janma manusa kabeh, guruning leyak kabeh, guruning moro kabeh, guruning






 

27b. pamonpokan  kabeh ya ko pada wedi, nembah kabeh ring aku, ya ko pada wedi nembah ring aku paksane hengko, hala kira-kirane hulun, liniputing Sang Hyang Geni Pracandra dumilah, bininti dening sila mageng, binandem de nira Sang Hyang Bayu mageng, rempak remuk tan pasesa satru wong kabeh, kitane tan kawasa ngucap, angumik ring pakaranganku teken aku, asing teka satrunku wong kabeh, teka nembah nungkul, ko ring pakaranganku

28a.  teken aku, apan aku Sang Hyang Suksma Siwa Sumedang, sakti aku tan kaungkulan, sing teka satrunku wong kabeh, teka lupa, teka waras,  Om  Sa  Ba  Ta  A  I,  Na  Ma  Si  Wa  Ya,                                   sarwa  guna

        pangaruh winasaya,                 sarwa satru winasa ya,                

        sarwa geleh leyak kabeh winasaya,                  sarwa satru winasaya,

        pangantya,                 

28b. sing  marera sami pada mingmang, siyu weda samangkana, kaweruhakna haywa cawuh, kena soda de nira Sang Hyang Siwa Sumedang, poma.