Banten bukanlah makanan yang disuguhkan kepada Sang Hyang Widhi.
Banten adalah bahasa simbol yang sakral menurut pandangan Hindu. Sebagai bahasa simbol banten sebagai media untuk menvisualisasikan ajaran-ajaran Hindu. Sebagai media menyampaikan Śraddhā dan Bhakti pada kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Banten suatu bentuk budaya sakral keagamaan Hindu yang berwujud lokal, namun didalamnya terdapat nilai-nilai universal global. Menurut ajaran Hindu sistem penerapan Hindu dalam Mānava Dharmaśādtra VII.10 landasan konsepsinya universal, namun aplikasinya haruslah menurut kondisi kontektual (Ikṣa, Śakti, Deśa, Kāla), yang penting tidak boleh bertentangan dengan Tattva. Tattva adalah hakekat kebenaran Veda.
Konsep Bhakti
Bhakti adalah salah satu ajaran yang sangat ditekankan oleh Hindu sebagai aktivitas mendekatkan diri dan berserah diri kepada Sang Hyang Widhi. Bagaimana wujud berserah diri kepada Sang Hyang Widhi? Apakah kita berdiam diri pada kenyataan-kenyataan yang menimpa diri kita. Berserah diri menurut konsep Hindu tidaklah seperti itu. Berserah diri atau melakukan bhakti haruslah didasarkan pada Jñāna dan karma. Proses penyerahan diri inilah yang dilambangkan oleh banten tertentu dalam prosesi ritual Hindu. Dalam Lontar Yajña Prakṛti disebutkan :
“Reringgitan Tatuwasan Pinaka kalanggengan Kayunta Mayajña. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajña. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadhara-widyadhari.”
Artinya :
Reringgitan atau tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajña. Bunga lambang dari kesucia hati untuk beryajña. Daun-daunan lambang dari tumbuh kembangnya pikiran suci. Raka-raka (buah-buahan, jajan pelengkap banten) adalah melambangkan Widyadhara dan Widyadhari.
Apa yang dilukiskan oleh Lontar tersebut adalah penjabaran dari konsep bhakti menurut Hindu yang dikemas dalam wujud banten tersebut. Kalau hal ini disimpulkan dan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk berserah diri pada Sang Hyang Widhi Wasa.
Pertama, adalah langgeng artinya sungguh-sungguh. Berserah pada Tuhan tidak boleh ragu-ragu dan harus berkeyakinan kuata bahwa Tuhan itu mahakuasa dan mahaadil. Langgeng itu artinya siap menghadapi suka dan duka. Berserah diri tidak mengenal pasang dan surut, meskipun ada suka dan duka yang silih berganti merundung kita.
Kedua, adalah kesucian pikiran. Pikiran yang masih murni belum terpengaruh oleh gejolak hawa nafsu indriawi disebut citta. Setelah citta terjun mengendalikan indria disebut manas atau manah. Manah tersebut menurut Bhagavadgītā III.42 harus diperkuat hingga mencapai kesempurnaan untuk mengendalikan indria yang jga sempurna menurut ukurannya. Idealnya kesempurnaan indria harus berada di bawah kesempurnaan pikiran. Manah yang sempurna menurut ukurannya harus berada di bawah kendali Buddhi. Buddhi yang kuat berada di bawah sinar suci Sang Hyang Ātma. Sekar atau bunga dalam banten itu lambang kesucian hati untuk beryajña. Ini baru arti bunga secara umum. Lebih lanjut ada juga arti bunga yang lebih khusus sesuai dengan bentuk dan fungsi banten bersangkutan. Pikiran yang suci tulus ikhlas inilah yang wajib kita serahkan kepada Sang Hyang Widhi. Untuk mendapatkan pikiran yang suci itu tidaklah mudah. Kesucian pikiran itu harus diperjuangkan dalam wujud latihan-latihan rohani dalam kehidupan sehari-hari seperti proses terbentuknya bunga dari bibit pohon sampai pohon itu berbunga.
Ketiga, adalah mengembangkan pikiran yang suci itu. Kalau pikiran yang suci itu sudah dicapai maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengaplikasikan pikiran yang suci itu untuk memperbaiki diri kita, dipakai dasar untuk mengabdi pada Sang Hyang Widhi Wasa. Peh pekayunane suci itu dilambangkan dengan menggunakan plawa dalam banten. Plawa itu adalah daun dari satu tumbuh-tumbuhan tertentu. Seperti daun endong, daun dapdap, daun beringin dan lain-lain. Penggunaan plawa ini dimaksudkan dalam berserah diri kepada Tuhan itu dilakukan dengan mengembangkan vibrasi kesucian itu kepada setiap lingkungan yang mungkin dapat dicapai. Dengan kata lain sesuatu yang baik yang dapat kita capai wajib kita dayagunakan untuk melayani sesama dan itu berarti kita melayani Tuhan. Prinsip pelayanan pada Tuhan bukan hanya langsung ditujukan pada Tuhan atau Sang Hyang Widhi. Pelayanan pada semua ciptaan Tuhan juga berarti pelayanan pada Tuhan. Segala sesuatu yang positif yang kita dapat capai sesungguhnya bukanlah semata-mata untuk diri kita namun wajib dikembangkan pada semua pihak. Hal inilah yang dilambangkan oleh plawa dalam banten sebagai lambang berserah diri pada Tuhan
Keempat, adalah melambangkan widyadhara wdyadhari: Raka-raka adalah lambang widyadhara wdyadhari. Secara etimologis kata widyadhara berasal dari kata Vidyā = pengetahuan, dan kata Dhara artinya memangku. Para pemangku ilmu pengetahuan suci itulah yang disebut Vidyā Dhara dan Vidyā Dhari. Dari ilmu pengetahuan itulah kita mendapatkan pengetahuan Jñāna untuk kita kerja. Dari kerja berdasarkan ilmu pengetahuan itulah kita mendapatkan buah kerja. Jadi yang kita persembahkan pada Tuhan sebenarnya adalah buah kerja yang berdasarkan ilmu pengetahuan yang disebut Jñāna. Jadi Bhakti berserah diri pada Tuhan hakikatnya adalah suatu penyerahan buah karma beradasarkan Jñāna. Berserah diri pada Tuhan bukanlah sikap yang pasif tanpa melakukan apa-apa. Manusia adalah Puruṣa Karma Svarūpa yang artinya perwujudan jiwa untuk berbuat dharma. Jadinya bukanlah sekedar berkarma tanpa tujuan yang jelas. Demikianlah hakikat berserah diri pada Tuhan.
JADI BUATLAH BANTEN YANG NUEK PADA ACARANYA
#tubaba@griyangbang//banten=baan enten#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar