Senin, 27 Juli 2020

Pembodohan dalam Konsep me-Siwa, me-Sisya dan me-Yadnya

Pembodohan dalam Konsep me-Siwa, me-Sisya dan me-Yadnya

Penulis: Tubaba (Ki Wimuda Apunggung)


Sebagian besar umat Hindu di Bali akrab dengan kata me-Siwa, me-Sisya dan meYadnya. Namun Siwa yang dimaksudkan ini bukan salah satu nama dewa, melainkan sebuah istilah bagi semacam guru rohani bagi sebuah keluarga.

Umumnya merujuk pada sebuah griya. Misalnya keluarga I Gede Suara mesiwa di Griya A, B, C, D........ Nah untuk membedakan Siwa yang dimaksudkan ini dengan Siwa yang merupakan Dewa Pelebur, untuk selanjutnya penulis menulisnya dengan awalan huruf kecil, yakni siwa.

Hingga saat ini terlihat antara siwa dan sisya terjalin hubungan yang sangat erat. Terutama ketika berurusan dengan yadnya. Dipastikan, sisya tidak mampu melepas dirinya dari peran siwa.

Sehingga pada titik ini, siwa bagi sisya ibaratnya seperti sebuah lembaga konsultan yadnya yang dipandang mampu memberi solusi bagi kebutuhan umat.

Lebih luas lagi khususnya dewasa ini, dalam tahap eksekusi atau dalam melakukan suatu yadnya kembali sisya terkesan “ketergantungan” dengan siwanya. Yakni ketika sisya membutuhkan upakara untuk menyukseskan yadnya yang digelarnya.

Umumnya, ditengah berbagai kesibukan krama banjar atau umat maka dalam menggelar sebuah yadnya tidak lagi dibuat dengan sistem matulungan/ ngayah atau gotong royong. Melainkan dengan cara nunas di siwa atau griya. Nunas yang sebenarnya berarti meminta inipun sejatinya hanya kata penyamaran dari numbas yang berarti membeli. Kata nunas dari numbas upakara ini kemudian muncul hanya untuk menutup-nutupi biar tidak adanya kesan bisnis bagi sebuah siwa atau griya yang seringkali didalamnya melibatkan sulinggih. Khan aneh, masa sulinggih yang sudah medwijati dan sangat disucikan berbisnis seperti maklar.

Maklar upakara lagi. Duh, dewa ratuuuu….

Tetapi kenyataannya memang ada siwa atau griya bahkan to the point, sulinggih yang menjadi maklar upakara, eh maaf, bisnis upakara.

Setidaknya itu terungkap dari keluhan keluarga penulis sendiri atau keluhan dibeberapa krama yang merasa dalam menggelar yadnya merasa “terjajah” oleh kerakusan siwa, griya atau sulinggihnya. Terutama terjajah karena harga upakara yang mencekik rekening tabungan.

Fenomena siwa atau griya atau sulinggih yang menjual upakara dengan harga mencekik rekening tabungan ini kemudian menjadi dilematis.

Disatu sisi umat atau sisya sangat membutuhkan upakara, tetapi untuk membuatnya harus tergantung kepada siwa.

Mirisnya lagi, pada beberapa griya atau siwa atau sulinggih justru cenderung mengarahkan agar sisya yang bermaksud menggelar suatu yadnya untuk nunas (baca: numbas) upakara. Bukan dengan cara membuat secara gotong royong. Ini tentu sangat memperjelas bahwa sebagian siwa atau griya atau sulinggih ternyata telah dengan sengaja melakukan pembodohan terhadap umat.

Pembodohan umat ini dikarenakan siwa mengarahkan sisyanya membeli upakara, bukan membuat secara gotong royong. Padahal ketika upakara dibuat secara gotong royong oleh krama, biaya upakara sangat mungkin bisa lebih ditekan. Selain juga didalamnya ada proses pembelajaran bagi krama.

Membuat upakara secara gotong royong juga mampu menjadi wahana sosialisasi dan interaksi krama sehingga antar krama bisa lebih saling mengenal, lebih akrab dan semakin memperkuat rasa menyama braya.

Terhadap upaya siwa dalam mengarahkan sisya membeli upakara dan “menghambat” gotong royong krama untuk membuat upakara maka makin jelaslah bahwa siwa atau griya yang berprilaku seperti itu adalah griya atau siwa yang sedang mempertahankan eksistensi dirinya sebagai pebisnis atau bahkan maklar upakara.

Griya atau siwa yang demikian sejatinya telah nyata membunuh Bali karena tabiatnya yang sengaja melakukan pembodohan terhadap umatnya. Sementara umat justru akan semakin tercekik karena griya atau siwa seakan menjadi pembenar bahwa beragama Hindu di Bali ternyata memang benar-benar berbiaya mahal.

Mirisnya lagi, ketika sisya merasa semakin terjajah dengan peran siwa-nya dan ingin merdeka dalam meningkatkan spiritualitas diri dengan ajaran ke-Hindu-annya, disebagian umat meyakini atau juga karena ulah griya menyebutkan sisya tidak boleh pindah siwa.

Dengan penyebutan keyakinan atau adanya istilah sisya tidak boleh pindah siwa ini tentu kemudian menjadikan sisya yang tengah terjajah oleh siwanya semakin terjajah secara bathin dan semakin terbelenggu oleh keyakinan semu. Adanya kesan mengikat sisya oleh siwa tentu memperjelas bahwa griya telah salah memposisikan dirinya.

Bukan sebagai penyejuk atau pelayan umat ketika umat ingin cerdas dalam beragama atau ketika umat ingin meningkatkan kwalitas dan spiritualitas dirinya dengan meyadnya, griya justru mengajak umat melayang-layang dalam pemahaman-pemahaman menyesatkan.

Bagi penulis, siwa atau griya dengan sulinggihnya ibaratnya sebuah sekolah dan guru atau dosen.

Kenyataannya memang demikian, griya memang sebuah sekolah bagi sisyanya. Yakni sekolah untuk mencerdaskan umat dalam pemahaman beragama Hindu. Nah, dengan ibarat sebagai sekolah tentu kwalitas pendidikan termasuk kwalitas gurunya tidak sama.

Terlebih lagi disuatu griya dalam menobatkan sulinggih lebih dikarenakan tradisi. Sehingga sulinggih yang dinobatkan tersebut lebih karena untuk melanjutkan tradisi adanya sulinggih di griya tersebut tanpa dibekali dengan kemampuan pemahaman agama dan bekal sastra yang mumpuni.

Ini konon benar adanya, kononnya lagi ada lho beberapa sulinggih yang “terpaksa melinggih” tidak bisa nyurat dengan aksara Bali yang menjadi kebutuhan penting bagi sulinggih dalam menjadi “konsultan” ataupun “pebisnis” upakara.

Lalu, ketika sebuah sekolah tidak mampu memberikan pendidikan yang baik atau ketika seorang guru tidak mampu menjadi pengarah yang menyejukkan, penulis pikir sangat tidak salah siswa kemudian pindah sekolah untuk mendapat pendidikan yang lebih baik dan pengajar yang lebih cerdas serta lebih edukatif. Artinya secara logika untuk meningkatkan spiritualitas diri atau dengan tujuan mencari penuntun dalam beragama Hindu di Bali, tidak salah kalau akhirnya sisya memilih pindah siwa. Jangan salah juga siwa akan tetap “dipuja” sisyanya kalau dalam berhubungannya untung rugi yang dirasakan sepihak-sepihak. Dengan kata lain dalam mesiwa, ternyata sisya lebih banyak dirugikan. Tidak saja dirugikan secara materi, tetapi juga dirugikan tanpa mendapat pengetahuan yang baik dan benar tentang tata titi beragama Hindu.

Halo umat Hindu, khususnya umat Hindu di Bali. Mari kita membuka mata lebih lebar lagi dengan keberadaan lembaga umat, yakni parisadha yang selama ini mungkin keberadaan dan perannya agak diabaikan umat. Mengapa? Karena ketika umat membutuhkan konsultasi dalam beragamanya lebih memilih tangkil ke griya atau siwa dan jarang mau “singgah” ke rumah umat atau sekretariat PHDI. Sebaliknya, ketika ada persoalan-persoalan tertentu, umat dengan cepat memvonis PHDI tidak berperan atau perannya lambat. Ingat, PHDI akan mampu berperan hebat ketika umat juga memberikan kepercayaan. Sehingga pada akhirnya ketika umat mendapatkan informasi keumatan yang benar dari siwa atau griya yang kwalitasnya mumpuni serta arahan yang terarah dari PHDI, maka gambaran era kebangkitan Hindu pasca runtuhnya Majapahit akan menjadi sebuah kenyataan. Atau setidaknya ketika umat meyadnya akan merasa shanti dengan biaya upakara yang tanpa mencekik rekening hingga umat harus jual warisan leluhurnya. Mari kedepan cerdas beragama, efisien dalam meyadnya dan bebaskan diri dari upakara-upakara yang membuat umat terasa terjajah oleh lingkaran setan pebisnis upakara.

Perlu diingat juga bahwa: Siwa kita yang terdekat adalah orang tua. Siwa yang dekat tapi tidak tampak adalah sanggah Kemulan kita. Sanggah Kamulan berasal dari dua kata yaitu: sanggah (sanggar) yang artinya tempat pemujaan dan kamulan artinya (mula) artinya akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Kamulan juga sering disebut kamimitan dari kata (wit) yang artinya sumber atau asal darimana manusia ada. Jadi sanggah kamulan merupakan tempat pemujaan asal atau sumber (Siwa itu sendiri). 

MAKA DARI ITU, ADA SEBUAH KONSEP LELUHUR KITA MENGATAKAN: "JANGAN PERNAH BERANI MELUPAKAN SIWA (IDA BHATARA SIWA GURU)"

#tubaba@jangan beragama dalam kegelapan//hilangkan pembodohan#

PENGERTIAN Sanggah Kemulan dalam Konsep Mesiwa dan Mesisia

PENGERTIAN Sanggah Kemulan dalam Konsep Mesiwa dan Mesisia


Sanggah Kamulan berasal dari dua kata yaitu: sanggah (sanggar) yang artinya tempat pemujaan dan kamulan artinya (mula) artinya akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Kamulan juga sering disebut kamimitan dari kata (wit) yang artinya sumber atau asal darimana manusia ada. Jadi sanggah kamulan merupakan tempat pemujaan asal atau sumber (Siwa itu sendiri). 
MAKA DARI ITU, ADA SEBUAH KONSEP LELUHUR KITA MENGATAKAN: "JANGAN PERNAH BERANI MELUPAKAN SIWA (IDA BHATARA SIWA GURU)"

Sanggah kamulan berdasarkan letaknya adalah sebagai penghulun karang. Penghulun karang berasal dari dua kata yaitu: hulu yang artinya udik, dan karang adalah secuntak tanah yang digunakan sebagaikarang perumahan. Jadi penghulun karang adalah tempat pemujaan yang terletak pada bagian udik (Kajakangin) dari karang perumahan. Masih ada perbedaan persepsi dimasyarakat mengenai siapa yang dimaksudkan dengan sumber atau asal tersebut, dan siapa yang dipuja di sanggah kemulan. Itu karena sumber yang dijadikan acuan berbeda-beda. Lalu siapakah yang sebenarnya dimaksudkan dengan sumber dan asal serta siapakah yang dipuja di sanggah Kamulan?

Berikut adalah beberapa petikan, diantaranya dari rontal Usana Dewa:

Ring kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma,
ring kamulan tengen bapa ngaran Sang Paratma,
ring kamulan kiwa ibu ngaran Sanghyang Sivatma,
ring kamulan tengah ngaran Raganya,tu Brahma dadi
meme papa,meraga Sanghyang Tuduh…


(Rontal: Usana Dewa,lembar 4).

Artinya:
Pada sanggah kamulan beliau bergelar Sanghyang Atma,pada ruang kamulan kanan ayah,namanya Sanghyang paratma,pada kamulan kiri ibu,disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya,itu Brahma, menjadi purusa pradana,berwujud Sanghyang Tuduh (Tuhan yang Menakdirkan).

 
Kutipan yang hampir sama dengan rontal Usana Dewa,yaitu rontal Gong Wesi,lembar 4b juga disebutkan:

…ngaran ira Sang Atma ring kamulan tengen bapanta,nga,Sang Paratma,ring kamulan kiwa ibunta, nga,Sang Sivatma,ring kamulan madya raganta,Atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sanghyang Tunggal,nunggalang raga…

(Rontal: Usana Dewa,lembar 4).

Artinya:
…nama Beliau Sang Atma,pada ruang kamulan kanan bapakmu,yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu,yaitu Sang Sivatma,pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi sanghyang Tunggal menyatukan wujud.

Dari dua kutipan diatas sangat jelas disebutkan bahwa yang disthanakan pada sanggah kamulan adalahSanghyang Triatma,yaitu Paratma yang diidentikan sebagai ayah (Purusa),Sang Sivatma yang diidentikan sebagai ibu (Pradana) dan Sang Atma yang diidentikan sebagai diri-sendiri (roh individu). Pada hakekatnya Sanghyang Triatma itu adalah Brahma atau Sanghyang Tunggal/Hyang Tuduh sebagai Pencipta.

Dalam sekte Siva Sidhanta,yang dimaksud dengan Tri Atma adalah : Am,Atma dewanya Brahma, Antara Atma dewanya Wisnu,dengan wijaksaranya Um,dan Paratma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya adalah Mang. Ketiga Dewa tersebut disebut Tri Murti,(Tiga manifestasi Tuhan dalam aspek horisontal) yang merupakan roh alam semesta.
Sebagai roh alam semesta beliau bergelar Tri Purusa atau Tri Lingga (Tiga manifestasi Tuhan dalam aspek Vertikal). Pada saat memuja beliau di Sanggah Kamulan atau Kawitan,mantranya adalah sebagai berikut:

Om Dewa-dewi Tri Dewanam
Tri Murti Tri Lingganam
Tri Purusa Suddha Nityam
Sarwa jagat Jiwatmanam

(Anandakusuma:45).

Artinya:
Om para Dewa umpamanya Tri Dewa,
Tri Murti (Brahma,Wisnu,Iswara)
adalah Tri Lingga,Tri Purusa yang suci selalu,adalah roh (atma) atau semesta beserta isinya (jagat).

Tri Purusa adalah tiga kemahakuasaan Tuhan,yaitu: Siwa adalah Tuhan dalam dimensi Imanen (Skala),Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi Skala-niskala (Ardanareswara). Sedangkan Paramasiwaadalah Tuhan dalam dimensi niskala (transendental). Tuhan dalam ke-tiga wujud di atas,dalam rontalSiwagama digelari Bhatara Guru,karena Beliau Siwa adalah Dang Guru ing Iswara,di jagat ini.
Oleh karena Siwa beraspek tiga sebagai Tri Purusa,maka Gurupun ada tiga aspek pula,yakni:Guru Rupam adalah Guru dalam dimensi Skala (imanen), Guru Madyam adalah Guru dalam dimensi Skala-niskala,dan Guru Purwam adalah Guru dalam dimensi Niskala.
Pada saat memuja beliau di sanggah Kamulan/merajan atau kawitan,mantranya adalah sebagai berikut:

Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram Dewam 
Guru Dewa Suddha Nityam

(Anandakusuma,Dewayadnya:45).

Artinya:
Om Guru Dewa,yaitu Guru Rupam (skala),Guru Madya (skala-niskal),dan guru Purwa (niskala) adalah Guru para Dewa. Dewa Guru suci selalu.

Sedangkan dalam rontal Purwa Bhuana kamulan disebutkan:

Riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewapitara,
tinuntun akena maring Sanggah Kamulan,
yan lanang unggahakena ring tengen,
yan wadon unggahakena maring kiwa,
irika mapisan lawan Dewa Hyangnya nguni…

 

(Purwa Bumi Kamulan).

Artinya:
Setelah demikian daksina perwujudan Roh suci
dituntun pada sanggah Kamulan,
Kalau roh itu dari laki-laki naikan pada ruang kanan,
Kalau roh itu dari perempuan naikan pada rong kiri
Disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.

Dan dalam Rontal Tattwa kapatian disebutkan bahwa Sanghyang Atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan berstana di Sanggah Kamulan sesuai dengan kadar kesucian Atma itu sendiri. atma yang belum suci yang hanya baru mendapat tirta pangentas pendem atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai pada tingkat batur kamulan. Seperti yang disebutkan dalam kutipan berikut:

Mwah tingkahing wong mati mapendem,
Wenang mapangentas wak mapendem,
phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan.

(Rontal tattwa Kapatian,la,1b).

Artinya:
Dan prihalnya orang mati yang dikubur boleh menggunakan tirta pangentas kubur,pahalanya Sang Atma mendapat tempat pada batur Sanggah Kamulan.

Dari kutipan-kutipan diatas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan pengertian kamulan dalam Sanggah Kamulan adalah: Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Tri Atma,Sebagai Dewa Tri Murti,Tri Purusa,Tri Lingga atau Bhatara Guru. dan juga roh suci lelujur yang telah menyatu dengan Sanghyang Triatma/Sanghyang Tuduh/Sang Pencipta yaitu Ida Sanghyang Widi Wasa.

JENIS-JENIS SANGGAH KEMULAN DI BALI
Sanggah Kamulan berdasarkan kondisinya dapat dibedakan menjadi:

A.Turus Lumbung,adalah Sanggah Kamulan darurat,karena satu dan lain hal belum mampu membuat yang permanen. Bahannya dari turus (batang) kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya hanyalah untuk ngalumbung atau ngayeng Hyang kamulan/Hyang Kamimitan. Satu tahun setelah membuka karang baru diharafkan sudah membangun Kamulan yang permanen.

B.Sanggah Panegtegan,adalah kamulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga.Kamulan sejenis ini banyak dijumpai di daerah Kabupaten Bangli bagian atas. Setiap mereka yang baru kawin,diwajibkan membangun sebuah Sanggah Rong Tiga,sehingga dalam satu pekarangan akan berdiri beberapa Sanggah Rong Tiga.

C.Kamulan Jajar,sesuai dengan namanya Sanggah kamulan ini memiliki dua saka (tiang) yang berjajar di muka menancap langsung pada bebaturan (paling batur). Selain itu mempunyai ruang tiga berjajar,juga terdiri dari tiga bagian yaitu: bebaturan,ruang lepitan,dan ruang gedong sampai atapnya. Ruang lepitan letaknya di bawah rong tiga yang berjajar.Bila dicermati Sanggah ini terdiri dari jajar horisontal dan jajar vertikal,sebagai simbolisasi Hyang Tri Murti dan Hyang Tri Purusa.

Mengenai apa fungsi dari ruang lepitan itu,belum diketahui secara pasti, karena belum ada sumber yang dijadikan acuan. namun ada pendapat yang mengatakan,bila dilihat fungsi Kamulan sebagai palinggih Atma,dapat dijelaskan sebagai berikut.
Batur Kamulan sthana Atma yang masih kotor,yang baru mendapat tirta pangentas pendem (Rontal Tattwa Kapatian) . Rong Tiga terutama kanan dan kiri adalah tempat Atma Suci yang telah dilinggihkan. Kemungkinan menurut perkiraan beberapa orang sujana bahwa ruang lepitan adalah tempat yang dapat dicapai oleh Atma yang sudah diabenkan. Dengan demikian dapat dikatakan,Sanggah Kamulan terdiri dari tiga bagian kosmos yakni bebaturan, sebagai Bhurlokha,atau Pitraloka alamnya para pitara,ruang lepitan sebagai Bwahloka,alamnya para pitara yang sudah diabenkan,dan rong tiga sebagai Swahloka,alamnya Para Dewa yang dapat dicapai oleh Atma suci (Dewa Pitara)yang telah melalui proses upacara mamukur. 

 
Ngunggahang Dewa Pitara Di Sanggah Kamulan
Selain tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa,Sanggah kamulan adalah tempat memuja dan menstanakan roh suci leluhur. Agar leluhur dapat berstana di Sanggah Kamulan tentunya melalui proses upacara yang disebut dengan Ngunggahang Dewapitara. Tata cara mengenai ngunggahang Dewapitara diuraikan dalam Rontal Purwabhumi Kamulan,dan juga pada Rontal Lebur Gangsa. Berikut adalah kutipan Rontal Purwabhumi Kamulan:

Iti kramaning angunggahaken pitra ring kamulan,ring wusing anyekah kurung mwang mukur, ring tutug rwawlas dinanya,sawulan pitung dinya,kunang wenang magawe bebanteng mangunggahaken pitra agung alit, lwir pabanten kadi piodalan dewa,maduluran,saji dewa putih kuning mwang jarimpen agung.pesayutan,pengambeyan, pangulapan,lawerti warna pada matukel,jinah 225,iniketan ring tulup,matatakan beruk misi beras,saha satsat gegantungan,riwus pinuja, terpana,kinabhaktine dening swagotranira,ring wus mangkana,ikang daksina pangadegan Sang Dewapitara,tinuntunakena maring tengen, yan wadon unggahaken ring kiwa,irika mapisan lawan dwa hyangnia nguni,winastu jaya-jaya depandhita kinabhaktenana mwah dening sawargania mwang santananira. Telas mangkana tutug saparikramania,puja simpen pralina kadi lagi. Ikang adegan wenang lukar saprakarania,wenang gesengakena juga,pushadika winadahan nyuh gading saha wangi, pendem ring ulwaning Sanggah kamulan,saha raramyania,dening kidung kakawin sakawruhan nira.
(Rontal Purwabhumi Kamulan,lembar 53).

Adapun tata cara dalam ngunggahang Dewapitara adalah sebagai berikut:

1.Dewapitara mula-mula dipuja tarpana melalui daksina pangadegan,sebagai simbolik daripada Dewapitara.

2.Setelah puja tarpana,lalu warganya menyembah kepada Dewapitaranya.

3.Berikutnya daksina pangadegan Dewapitara itu dituntun ke Sanggah Kamulan.

4.Kemudian dinaikan dan disthanakan.Kalau laki-laki ditempatkan disebelah kanan,sedangkan kalau perempuan ditempatkan disebelah kiri dari ruang kamulan tersebut.

5.Setelah itu kembali dijaya-jaya oleh pendeta sekali lagi pula persebahan dilakukan oleh keluarga dan keturunannya.

6.Terakhir dilaksanakan puja Pralina yang artinya menyimpan dan mengembalikan kepada asal Dewapitara tersebut. Daksina pangadegan dilukar lalu dibakar. Abunya dikumpulkan dan ditaruh di dalam nyuh gading, disertai wangi-wangian,kemudian ditanam pada hulu sanggah kamulan tersebut.

Mengenai upakara atau bebantenan yang digunakan dalam ngunggahang Dewapitara menurut Rontal Purwabhumi Kamulan adalah bebantenan yang sama seperti bebantenan hari pawedalan dewa dengan disertai:
1.Saji dewa agung
2.Jarimpen agung
3.Sesayut
4.Pengambeyan
5.Pangulapan
6.Panuntunan,yang peralatannya terdiri dari:

Tulup yang dialasi dengan beruk berisi beras
Uang kepeng 225
Benang Tridatu 3 tukel (warna merah,putih,hitam).Uang kepeng dan benang dikaitkan pada tulup.
7.Daksina pangadegan Dewapitara.

Dari uraian di atas ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi yaitu:

Kalimat irika mapisanan lawan Dewahyangnia nguni dapat diartikan menunggalnya Atman individu yang telah disucikan dengan Sumbernya (Hyang Kamulan).
Upacara ngunggahang Dewapitara adalah tergolong Dewa Yadnya. Sehingga bebantenannya yang diperlukan sama seperti hari pawedalan dewa,banten apasarean (apemereman).Tentang upacara ngunggahang Dewapitara juga diuraikan dalam Rontal Tutur Plebur Gangsa berikut beberapa baris petikannya:
Iki pebantennia pesakapan Nilapati pangunakarahaken pitra,angunggahaken pitra ring ibu dengen ring kamulan…Yadnya nawur denda kalepasan pitrane sane sampun liwar yadnya lara tan karuwat dening tamba,mwang panglukatan ika wenang tawurin ring pasakapan Nilapati.Yan sira angunggahaken pitra gawenen daksina makadi linggan Sanghyang Atma,sang pandita wenang ngwastonin ring sampune puput raris muspa sami-sami matur ring Dewapitara mangda jenek malinggih ring kamulan.(Drs.I Ketut Winaya,1989:22)Dari kutipan di atas perlu digaris bawahi bahwa:
 

a. Ngunggahang Dewapitara di Sanggah Kamulan disebut sebagai Pesakapan Nilapati

b. Tempat ngunggahang Dewapitara adalah Ibu dengen kamulan

c. Pada upacara ini diperlukan nawur denda kelepasan pitra. Yang maksudnya adalah penebusan dosa-dosa pitra tersebut yang pernah diperbuat semasa hidupnya

d. Adanya perwujudan Dewapitara berupa daksina palinggan sanghyang Atma.

e. adanya suatu harapan agar Dewapitara abadi bersthana pada Sanggah Kamulan.

Demikianlah tata cara ngunggahang Dewapitara menurut Rontal Purwabhumi Kamulan dan Rontal Lebur Tutur Lebur gangsa.

Kelahiran Bayi dan Godaan-Godaannya

 Kelahiran Bayi dan Godaan-Godaannya


Begitu bayi lahir, maka umur 1 minggu pertama akan datang para dewa, yang diutus Shang Hyang Siwa untuk menggoda bayi. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.

Malam yang datang pertama adalah Bhatara Khala, berwujud asu ajag datangnya saat pada matahari terbenam, sandi khala. Datang menjilat-jilati si bayi, bila bayi terkejut dia akan menangis/karuan alias kakab-kakab.

Malam kedua, datang Bhatara Brahma, berwujud Sapi, menggoda dan menjilat-jilat bayi pada saat semua orang sedang tidur. Bila bayi terkejut maka dia akan menangis.

Malam ketiga, datang Bhatara Wisnu, berwujud celeng menggoda bayi. Datangnya pada saat tengah malam, lalu menjilati bayi, bila si bayi terkejut dan takut dia akan menangis.

Malam keempat – petang bengi – datang Bhatara Guru berwujud burung perkutut. Selanjutnya  secara berturut turut datang Bhatara Mahadewa berwujud kambing. Bhatara Yama berwujud shanggira. Bhatara Kuwera berupa tikus. Bhatara Pritanjala berupa burung emprit. Bhatara Langsur berupa manjangan. Bhatara Ludra berupa sapi nandini. Bhatara Surya berupa ular, dan  Bhatara Chandra berupa kucing.

Tapi bila si bayi tidak takut, tidak terkejut, atau malah senang di goda dan dijilati oleh binatang binatang itu tadi, maka dia akan tersenyum-senyum, tertawa tawa, atau berbicara sendiran.


 
Setelah kepus udel, kepus puser atau seminggu setelah kelahirannya si bayi, akan lebih besar lagi godaanya. Karena bukan para dewa lagi yang datang, melainkan para lelembut, roh halus, wong samar, gumatat gumatit. Tapi jangan takut dulu, karena yang datang itu, tidak lain adalah perwujudan sang catur sanak si bayi sendiri. Seperti :

Kutilapas kethek (lutung) perwujudan dari bungkus/lamas
Celeng demalung perwujudan dari yeh nyom/ketuban
Asu ajeg perwujudan dari ari ari
Kalasrenggi (banteng) perwujudan dari getih/darah
Kalamurti (kebo) perwujudan dari puser/udel
Kalarandin (menjangan) perwujudan dari ilu/idu/air liu
Kralawelakas (kidang) perwujudan dari kunir/kunyit
Tikus jinada perwujudan dari ceplekaning ari-ari
Taliwangke perwujudan dari ususing ari-ari
Begitulah adanya seorang bayi atau rare, mulai kelahirannya sampai tutug kambuhan,bulan pitung dina atau 42 hari, akan selalu di goda oleh para dewa serta saudara-saudaranya. Hal ini hendaknya tidak membuat anda bingung dan takut.


Rabu, 22 Juli 2020

MELIK

Ciri-ciri Orang Melik Atau Memiliki Kelebihan Sejak Lahir

Melik adalah suatu anugrah pada saat kelahiran anak yang teramat besar dari Ida Sang Hyang Widhi. 

Dalam Lontar Purwa Gama disebutkan bahwa Anak yang memiliki melik mempunyai rerajahan sejak lahir yang dapat menimbulkan kematian.

Sehingga diperlukan upacara pebayuhan otonan melik pada si anak untuk menetralisir kekuatan tersebut dan selalu ingat dalam melaksanakan suci laksana untuk mempertahankan dan meningkatkan kesucian diri.

Rerajahan yang terdapat pada orang melik biasanya terdapat di telapak tangan, dijidat atau di bagian tubuh tertentu.

Selain itu juga bisa terdapat tanda senjata terkadang terdapat salah satu dari sembilan senjata pengider bhuwana tergantung tugas yang diemban sang anak lahir ke dunia, dengan rerajahan senjata para dewa seperti:

  • Bajra
  • Gada
  • Nagapasa
  • Cakra
  • Dupa
  • Angkus
  • Trisula
  • Moksala,
  • Api dan Angin

Tentu jika ingin melihat tanda-tanda berupa sejata diatas pada orang melik tidak dapat dilihat dengan kasat mata/ mata orang biasa. 

Melik atau tidaknya seseorang biasanya diketahui setelah matetuun atau mepinunas pada sulinggih atau balian. Orang yang melik mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya.

Ia disenangi semua golongan roh halus, baik itu roh yang bersifat negatif (butha) juga para dewa-dewi. 


Melik

Kelahiran “melik” terlihat dari tanda-tanda di tubuhnya, antara lain :

  1. Ketika lahir, badannya dililit tali plasenta beberapa kali putaran. Kelahiran seperti ini sangat jarang terjadi, dan kalau ada, kebanyakan mati beberapa saat sebelum keluar dari rahim ibunya.
  2. Ketika tumbuh berumur kurang lebih 2 tahun, rambut di kepalanya kusut (sempuut). Walau digundul, tumbuhnya sempuut lagi.
  3. Kepalanya mempunyai pusaran (usehan) 3 atau lebih
  4. Lidahnya poleng (ada warna hitam atau coklat)
  5. Ada tahi lalat besar (maaf) di kemaluannya

Semakin cepat seseorang mengetahui dirinya memelik maka semakin bagus sehingga akan segera dibuatkan upacara penebusan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk dari memelik.

Jika tidak mendapat banten penebusan maka biasanya orang yang memelik sesuai dengan kelahirannya ada yang diambil pada saat baru bisa berjalan, ketika baru menikah dalam upacara pawiwahan, dan ada juga pada saat baru mempunyai anak. 

Dengan pebayuhan melik akan dinetralisir kekurangan yang ada dalam dirinya (menghilangkan apes pengaruh melik). Supaya semua kekuatan bersinergi, agar dapat keseimbangan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit.

Sesungguhnya orang Melik itu adalah berkah bagi keluarganya karena dia ibarat lokomitif atau pesawat terbang yang akan mengantarkan keluarganya ke alam kebahagiaan sekala-niskala. 

Maka tolong bantu dan bimbing orang-orang Melik itu karena dia akan berguna tidak hanya bagi keluarga yang memiliki tetapi juga bagi masyarakat luar, bahkan bangsa.

Dalam sejarah Bali, ada contoh kelahiran melik yang sangat heboh, yakni kelahiran bayi tahun 1599 M, hasil perkawinan (tidak resmi) Dalem Seganing dengan Si Luh Pasek Panji.

Ketika lahir, tubuh bayi itu seluruhnya berwarna merah darah, dan di malam hari dari ubun-ubunnya keluar sinar terang berwarna biru.

Oleh karena itu bayi itu dinamakan Ki Barak Panji. Ternyata setelah besar beliau sangat sakti sehingga berhasil menjadi Raja Buleleng I dengan gelar I Gusti Anglurah Panji Sakti.


Merawat Anak Melik

Anak melik biasanya “kerinyi” (bahasa Indonesia : sensitif, mudah tersinggung, mudah marah, dll).

Jadi ia perlu diperlakukan beda, misalnya kamar tidurnya harus selalu bersih dan suci, ada pelangkiran diatas hulu tidurnya.

Ia perlu sering-sering melukat ke Gerya, makanannya di jaga agar selalu memakan makanan yang satwika.

Banyak bergaul dengan orang-orang suci, karena dia merasa dekat dengannya.

Kalau makin dewasa, berikan pelajaran agama yang intensif, panggilkan guru agama kerumah untuk les, dan berikan pelajaran spiritual secara bertahap.

Nanti ia akan berumur panjang dan menjadi orang suci, karena atman (roh) nya sudah dalam kondisi siap menerima lanjutan kemampuan supranatural.

Bagaimana caranya agar orang Memelik tidak pendek umur?

Syarat pertama adalah jaga makanannya, jangan sampai makan makanan kotor sekala niskala.

Makanan jenis: darah, tulang dan jeroan hindari; Kalau bisa pantang daging hewan berkali empat.

Minumuan jenis: beralkohol, arak, tuak, berem jauhi. Idealnya adalah makan makanan organik dan vegetarian.

Lalu yang terpenting berikutnya adalah jangan melakukan hubungan sex di luar pernikahan.

Jangan menginap dan tidur di sembarang tempat. Kalau terpaksa maka sebelum tidur harus dilakukan pemberisihan dan pengamanan terlebih dahulu.

Sebenarnya jika sudah punya Guru maka Guru itu pasti mengajarkan tata cara ini.


Sloka - Sloka Hindu

Sloka - Sloka AGURON GURON

Hana ta wwang mangke kramanya, tan pasuruhan sang ramarenanya, apayapan tan pamnganya, yan tan hinayapakenya ri sang ramarena, salwirning tinadahnya, niyata sang ramarena tapwa pinanganya sarisari, ikang wwang mangkana kramanya, ya ika yathasukhan panemwaken sukha asamasama dlaha.
                                                                                                            Sarasamuccaya 227
Artinya :
Adalah orang yang begini prilakunya, tidak menjadikan ibu bapaknya tukang masak, iapun tidak makan jika tidak disuruh oleh ibu bapaknya, segala sesuatu yang dimakannya yang telah disisakan oleh ibu bapaknya, itulah dimakan olehnya setiap hari, maka orang yang demikian perbuatannya, adalah merasa diri senang puas, sebab memperoleh kebahagiaan yang tiada taranya kelak.

            Sloka tersebut mengisyaratkan seorang anak untuk selalu hormat dan bhakti kepada ornagtuanya, selalu mengutamakan pelayanan yang tulus kepada mereka sehingga nantinya akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada taranya kelak. 

Selain itu anak juga diharapkan untuk memiliki rasa simpati kepada orang yang tertimpa musibah, membantu orang yang memerlukan seperti ornag miskin, orang sakit, seperti yang dipaparkan dalam sloka berikut.
Nihan singgah anak, ikang carananing anatha, tumulung kadang kalaran doning saktinya, danakena donya antuknya angarjana, panganening daridra donyan pasuruhan, ikang mangakana yatikanak ngaranya.
                                                                                                            Sarassamuccaya 228
Artinya:
Yang dianggap anak adalah orang yang menjadi pelindung ornag yang memerlukan pertolongan serta untuk menolong kaum kerabat yang tertimpa kesengsaraan, segala hasil usahanya agar disedekahkan, gunanya ia memasak menyediakan makanan untuk orang-orang miskin, oran yang demikian itu putra sejati namanya.



Lebih lanjut  terkait etika sebagai seorang anak atauun sisya (murid) hendaknya memperhatikan sloka-sloka berikut :

Hana pwa drohaka ring pangajyanya, ring bapebu kunang, makakaranang kaya, wak, manah, ikang mangkana kramanya, agong papanika, lwih sakeng papaning bhrunaha, bhrunaha ngaraning rurugarbha, sangksepanya atyanta papanika.
                                                                                                            Sarassamuccaya 234


Artinya :
Jika ada orang berkhianat terhadap guru, terhadap ibu dan bapa, dengan jalan perbuatan, perkataan dan pikiran, orang yang demikian perilakunya amat besarlah dosanya, lebih besar daripada dosa bhrunaha artinya menggugurkan kandungan, singkatnya amat besarlah dosanya.


Nyang daya, haywa juga ngwang sumahur awahil-wahilan lawan guru, mangkana yar abuteng, anumanan sira, asihasihen, petenikang sanukana ri manahnira.
                                                                                                            Sarassamuccaya 237
Artinya:
Yang patut dilakukan adalah sebagai berikut ini, jangan menjawab secara berolok-olok kepada guru, jika beliau gusar, berang hatinya, sabarkan beliau, hiburlah, usahakanlah segala yang menyenangkan beliau.



Lawan waneh, haywa juga ngwang mangupat ring guru, yadyapin salahkena polahnira, kayatnakena juga gurupacarana, kasiddhaning kasewaning kadi sira, bwat amuharalpayusa amangun kapapan kanindaning kadi sira.
                                                                                                            Sarassamuccaya 238
Artinya:
Dan lagi, jangan sekali-kali mencela guru, meskipun keliru perbuatan beliau, hendaklah diusahakan baik-baik cara perlakuan yang layak kepada guru, agar berhasil melaksanakan pengabdian kepada beliau, sangatlah menyebabkan usia pendek serta menimbulkan dosa jika menghina guru.

Matangnyan mangkeng ulaha ring wwang matuha, manantwa swagata awehonggwanunggwan, manembaha asila angharepakena, yar angkat mangaterakena.
                                                                                                      Sarassamuccaya 248
Artinya:
Perilaku anak terhadap orangtua hendakanya sebagai berikut: memberi salam selamat dan menyapanya dengan sopan santun, mempersilahkan duduk, kemudian menyembah serta dengan sopan duduk bersila dihadapannya, pada waktu berangkat hendaklah mengantarkannya.



Kuneng phalaning kabhaktin ring wwang atuha, pat ikang wrddhi, pratyekanya, kirti, ayusa, bala, yasa kirti ngaraning paleman ring hayu, ayusa ngaraning hurip, bala ngaraning kasaktin, yaca ngaraning patitinggal rahayu, yatikawuwuh paripurna, phalaning kabhaktin ring wwang atuha.
                                                                                                            Sarassamuccaya 250
Artinya:
Akan pahala hormat bakti terhadap orangtua, adalah empat jenis hal yang bertambah, perinciannya : kirti, ayusa, bala, yaca. Kirti artinya pujian tentang kebaikan, ayusa artinya hal hidup, bala artinya kekuatan, yaca artinya peninggalan yang baik (jasa), itulah yang bertambah sempurna sebagai pahala hormat bakti terhadap orangtua.

Nāsti satyāt paro dharmo nānrtāt pātakam param
Triloke ca hi dharma syāt tasmāt satyam na lopayet
( Slokantara, sloka 3 (7) )

Terjemahan :
Tidak ada dharma (kewajiban suci) yang lebih tinggi dari kebenaran (satya), tidak ada dosa yang lebih rendah dari dusta. Dharma harus dilaksanakan diketiga dunia ini dan kebenaran harus tidak dilanggar.


Selasa, 21 Juli 2020

MENGUAK TABIR RAHASIA MERAGA SUKMA/MATI RAGA

RAHASIA MERAGA SUKMA/MATI RAGA

OLEH: I GEDE SUGATA YADNYA MANUABA, S.S., M.Pd

MENGUAK TABIR MERAGA SUKMA/MATI RAGA : SEBUAH PERJALANAN SPIRITUAL Dalam menjalankan Meraga Sukma "Dalam keadaan hening, tubuh terasa sangat ringan, indah dan sejuk dan hangat.

Anda mungkin pernah mendengar cerita seseorang berilmu tinggi, yang mampu mengunjungi familinya hanya dengan berkonsentrasi. Atau, Anda mungkin pernah menonton film yang berkisah tentang seorang pendekar yang bertarung dari jarak jauh dengan “tubuh halus”-nya dengan pendekar yang menjadi lawannya. Hal semacam itu merupakan ciri dari seorang yang memiliki Ilmu Meraga Sukma, yang memang dapat dipergunakan untuk melepas sukmanya tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Ilmu Meraga Sukma/Mati Raga, atau banyak juga orang mengiistilahkanya sebagai Proyeksi Astral, Lepas Sukma, Pangaracutan, Proyeksi Mental, Out of Body Experience, bahkan Astral Projection, adalah suatu proses pelepasan sukma dari raga untuk melakukan perjalanan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Proses ini bila sempurna maka semua rasa panca indera pelakunya dibawa keluar, sehingga sukmanya mampu mendengar, merasakan, melihat dan meraba lingkungan sekitarnya dengan sukma itu sendiri secara nyata.

Dalam ajaran agama Hindu telah memberikan suatu fasilitas dalam tubuh manusia untuk melakukan perjalanan ke penjuru langit dan bumi secara fisik (teknologi: ilmu pengetahuan) dan non fisik (energi: sukma) jika memang manusia itu memiliki kekuatan atau kemampuan melalui proses mati raga dalam prosesi dwijati menjadi seorang sulinggih.

Perlu diketahui, proses meraga sukma/mati raga sesunggunya tidak melepas roh, tetapi hanya memproyeksikan energi pikiran yang disebut sukma. Kalau kita melepas roh bisa menyebabkan kematian. Sebab itu orang yang meraga sukma/mati raga bisa menarik kembali energi pikiran yang melanglang buana sehingga dapat hidup kembali. Energi pikiran atau sukma ini secara otomatis akan kembali ke raga dalam kondisi tertentu, misalnya saja karena kaget, tertindih energi lain, dan sebagainya.

Sukma atau jiwa adalah kemampuan manusia yang bersifat kasat mata, gaib, atau metafisika. Sedangkan sukma atau jiwa ini sangatlah kompleks yang terdiri dari beberapa sub-sub penyusun.

Salah satu dari sub-sub tersebut adalah kemampuan Bawah Sadar atau orang ada yang menyebutnya ESP (Extra Sensory Perception), atau juga disebut Indera Keenam. Kemampuan Bawah Sadar inipun sebenernya kompleks juga. Hanya yang pasti, kesemuanya ini jelas merupakan anugerah yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada setiap manusia melalui nyama pat, sejak dia lahir dengan sifatnya yang khas.

Sifat khas dari kemampuan Indera Keenam ini adalah kemampuan sensoriknya yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan sifat uniknya ini maka Indera Keenam mampu melakukan aktivitas “antar dimensi” atau Transdimensi.

Juga mungkin difahami secara sederhana, apa yang disebut sukma atau jiwa ini dapat dianalogikan sebagai perangkat lunak (software) pada komputer. Kita tahu bahwa software sendiri terbagi dalam beberapa klasifikasi sesuai kebutuhan penggunanya.

Jika dalam software komputer dikenal yang namanya Operating System sebagai basis kegiatan seluruh aktivitas komputer maka, dalam jiwa atau sukma kita pun ada komponen yang berfungsi sebagai basis kegiatan seluruh aktivitas hidup kita yang disebut sebagai hatinurani

Jadi sebenarnya kegiatan melepas sukma/mati raga bukan membuat tubuh kita menjadi kosong tanpa ada roh yang mengisinya. Mengapa? Karena sebenarnya kita bukan “MELEPASKAN” sukma tapi mendayagunakan kemampuan Extra Sensorik kita untuk melakukan penjelajahan antar dimensi

Proses melepas sukma hanya memanfaatkan kemanpuan otak yang kompleks. Tidak seperti yang diperkirakan orang yang menyangka melepas sukma adalah berupa sinar dan nyama pat/saudara empat. Hal ini jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.

Otak manusia adalah suatu organ tubuh yang sangat luar biasa dan teramat kompleks. Seperti kita ketahui otak manusia terbagi-bagi menjadi banyak sekali bagian yang masing-masing mengatur suatu fungsi sistem tubuh manusia, seperti ada yang khusus mengatur syaraf sensorik, lalu ada yang mengatur khusus untuk syaraf motorik, dan lain-lain. Dan salah satu fungsi penting di dalam otak, ada suatu bagian otak yang mempunyai tugas sebagai “pengawas”, yaitu mengawasi seluruh kerja tubuh kita sehingga berjalan dengan semestinya. Nah, bagian otak ini terus-menerus bekerja walau kita tertidur pulas. Buktinya adalah walau kita tidur pulas sekali, bagian tubuh seperti jantung terus memompa darah dari dan ke seluruh tubuh, atau paru-paru yang terus menghisap oksigen dan melepas CO2, dan lain-lain. Tanpa bagian otak ini tubuh kita akan tidak dapat berfungsi ketika kita tidur sehingga akibatnya kita bisa mati, karena kegagalan fungsi tubuh.

Salah satu bagian otak yang penting lainnya adalah suatu bagian otak yang bertugas untuk menganalisis setiap pesan sensorik yang diterima tubuh lalu dikirim dalam bentuk neurotransmitter ke otak, seperti dari mata, sehingga kita bisa melihat, dari kulit sehingga kita bisa merasai sakit ketika kita tertusuk duri, dari telinga sehingga kita bisa mendengar, dan lain sebagainya. Bagian otak ini sangat penting bagi manusia karena jika bagian otak ini tidak berfungsi dengan baik maka kita tidak akan bisa melihat, mendengar, merasakan, membaui, dan lain-lain. Walaupun mata, telinga, kulit, dan hidung kita normal tidak ada yang rusak sama sekali, namun jika bagian otak tadi rusak maka tidak akan ada artinya sama sekali.

Jika kita bisa memfungsikan dua bagian otak di atas secara maksimal, maka kita akan bisa melepas sukma. Caranya adalah kita harus bisa membuat kesadaran otak kita tetap terjaga, walau tubuh kita tertidur pulas sekali. Dengan menjaga kesadaran otak yang penuh ketika kita tidur, maka ketika kita tidak lagi merasakan tubuh (tidak bisa menggerakkan/ merasakan tubuh kita sama sekali tapi kita masih sadar sepenuhnya), maka pikiran kita ini bisa “melayang-layang” kemana-mana, pergi ke manapun yang kita mau dengan bebas seakan-akan kita sudah bangun.

Suatu hal penting yang perlu ditegaskan adalah kemampuan melepas sukma/mati raga ini adalah murni kemampuan memanipulasikan kemampuan otak, bukan roh. Jadi kalau kita mengganggap melepas sukma/mati raga adalah melepas nyawa atau roh, hal ini jelas sama tidak benar. Buktinya adalah kita masih bisa bebas balik lagi ke tubuh wadag kita, tanpa ada hal-hal yang aneh. Bayangkan, kalau roh tentu kita tidak bisa balik lagi ke tubuh wadagnya, kecuali atas izin Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam kasus yang spesifik dan langka sifatnya.

Orang yang ingin melepas sukma harus memiliki energi tubuh yang cukup besar supaya mampu melontarkan sukma ke luar raga, dan dipergunakan untuk proses perjalanan luar tubuh. Orang itu harus mengetahui teknik melepas sukma untuk dilatih dengan disilpin dan kontinyu.

Seorang teman Misteri pernah mengajarkan sebuah buku petunjuk latihan metoda Chikung yang berisi berbagai teknik latihan indra ke-6 dengan pernafasan murni. Salah satunya metoda melepas sukma dengan metoda rileks, dibarengi pernafasan tertentu untuk melepaskan sukma yang dinamakan Meditasi Levitasi Pikiran. Metoda ini sangat aman dan efektif untuk dilakukan pemula. Berikut caranya:

1. Anda berbaring di lantai dengan nyaman. Tangan diletakkan di samping tubuh dengan jempol dan telunjuk saling bersentuhan. Pejamkan mata dan taruh lidah di langit-langit.

2. Anda lakukan menarik nafas dari hidung dan mengeluarkannya dari mulut dengan aturan nafas:

– Ambil nafas dan keluarkan nafas 50% lalu ambil nafas dari titik itu dan keluarkan semua.

– Ambil nafas dan keluarkan nafas 90% lalu ambil nafas dari titik itu dan keluarkan nafas semua.

– Ambil nafas dan keluarkan nafas 1% lalu ambil nafas dari titik itu dan keluarkan nafas semua.

– Ambil nafas dan keluarkan 100% lalu ambil nafas dari titik itu dan keluarkan semuannya.

– Ambil nafas dan keluarkan 30% lalu ambil nafas dari titik itu dan keluarkan semuanya.

– Ambil nafas dan keluarkan 20% lalu ambil nafas dari titik itu dan keluarkan nafas semuanya.

3. Anda bernafaslah alami selama 5 menit dan akhiri dengan meditasi.

4. Anda membuka mata dan niatkan untuk meraga sukma. Setelah itu biarkan tubuh Anda rilaks dan tetap berbaring sambil tidur-tiduran sampai Anda memasuki kondisi sangat relaks atau setengah tidur. Sebab pada saat itu Anda mengalami sensasi seperti berputar atau gerakan energi dari dalam tubuh yang ingin keluar. Apabila tubuh Anda menjadi dua maka Anda tinggal mengendalikan “tubuh halus” alias sukma untuk berjalan-jalan.

Teknik meraga sukma/mati raga; metoda Meditasi Levitasi Pikiran Chi Kung ini sangat aman dan efektif. Anda yang melakukan tahapan latihan dengan benar manpu melepas sukma hanya beberapa kali latihan saja. Apabila Anda ingin mengembalikan “badan halus” alias sukma hanya tinggal meniatkan menarik sukma masuk tubuh dan membuka mata Anda.

Sesungguhnya, apa yang disebut sebagai Ilmu Meraga Sukma/Mati Raga hanya memanfaatkan pontesi otak untuk menproyeksikan dan melevitasikan pikiran untuk keluar tubuh. Prosesnya membutuhkan bantuan energi tubuh besar yang bisa dirangsang dengan motada pernafasan tertentu.

Perlu dikatahui, dalam penguasaan melepas sukma ini banyak sekali orang yang memakai metoda tirakat yang biasanya meminta bantuan nyama pat. Metoda bantuan nyama pat.

Selain itu, metoda tirakat kolaborasi dengan nyama pat, contoh; nyama pat akan membantu menproyeksikan dan melevitasikan pikiran keluar tubuh dengan merekayasa sistem syaraf otak kita, sehingga potensial tanpa mengganggu sistem syaraf kita jika saja kita tidak kuat dan sungguh-sungguh telah siap.

Metoda teraman dan terefektik adalah dengan memanfaat pontesi nyama pat dalam tubuh manusia sendiri, yakni hanya dengan meningkatkan kapasitas energi tubuh supaya mampu menlontarkan sukma keluar tubuh, dan melakukan proses perjalanan luar tubuh. Tentunya membutuhkan latihan yang intensif dengan jangka waktu tertentu.

#tubaba@melajahmatiraga#

MAPETIK , MENEK KELIH dan Upacara POTONG GIGI MASAL RING GRIYA AGUNG BANGKASA tanggal 12 Januari 2021

Om Swastiastu
Atur piuning titiang majeng semeton umat sedharma, sane arsa ngemiletin upacara 
MAPETIK , MENEK KELIH dan Upacara POTONG GIGI MASAL RING GRIYA AGUNG BANGKASA tanggal 12 Januari 2021 

KETENTUAN:
#Punia METATAH Rp.600.000/orang, makta pejati jangkep, peras pengenjekan, tirtha Ida Bhatara Siwa Guru miwah bungkak nyuh gading.

#Punia Menek Kelih Rp. 200.000/per orang, makta pejati jangkep segehan miwah tirtha Ida Bhatara Siwa Guru

#Punia Mepetik Rp. 200.000/per orang, makta pejati jangkep segehan miwah tirtha Ida Bhatara Guru

Duaning asapunika ledang mendaftar dan hubungi no hp 081936287278 a.n Dane Pinandita Wiwa Tubaba.


SEKILAS TENTANG UPACARA POTONG GIGI
Upacara potong gigi yang dilaksanakan secara massal sama sekali tidak mengurangi makna dari ritual yang dilaksanakan. Justru akan lebih membangun kekompakan umat Hindu. Dalam prosesi yang dimaksudkan untuk mengendalikan “Sad Ripu” atau enam musuh dalam diri manusia itu (menurut ajaran Hindu). 

Para peserta juga melangsungkan persembahyangan bersama pada saat sebelum dan setelah giginya “dipotong”.

Upacara yang dilangsungkan secara massal ini, selain tidak mengurangi hakikat pemaknaan ritual, dampaknya akan sangat meringankan umat Hindu, khususnya bagi mereka yang tidak mampu. Bukan besar kecilnya upacara yang akan menentukan makna dari sebuah ritual tetapi keikhlasan umat jauh lebih penting.

Upacara potong gigi menjadi salah satu kewajiban para orang tua kepada anaknya yang harus dilaksanakan setelah putra-putri menginjak dewasa (akil baligh).

Namun, tidak jarang umat menunda pelaksanaannya karena jika dilangsungkan di masing-masing rumah tangga setidaknya dibutuhkan biaya minimal Rp10 juta. Potong gigi massal di Griya Agung Bangkasa ini menjadi salah satu agenda ritual yang dijadwalkan oleh Panitia Pasraman Rangdilangit, Yayasan Widya Daksha Dharma serangkaian upacara Piodalan ring Pura Panataran Mrajan Agung Dalem Tangsub.

Metatah jangan hanya diartikan sebagai kegiatan potong gigi semata. Mereka yang menjalani prosesi ini hendaknya memaknai upacara ini sebagai salah satu upaya untuk menghilangkan kekotoran dan mengendalikan “Sad Ripu” atau enam sifat buruk yang ada pada diri masing-masing, sehingga dengan adanya upacara potong gigi masal ini umat senantiasa menyatukan langkah dan pikiran untuk menjaga kerukunan serta kelestarian adat budaya Bali.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om


#tubaba@griyang bang#

Senin, 20 Juli 2020

MEDITASI PRANA KANDA PAT

Kanda Pat 
Bagi yang ingin mampelajari tentang kande pat,di Bali pada umumnya hanya empat kanda dari 18 Kanda yang diutamakan atau dipelajari.

  • Kanda Pat Butha, yang mempelajari saudara kita yang masih berupa butha kala yang sangat kuat enerjik dan dipenuhi oleh aura panas (semangat).

  • Kanda Pat Manusa, yang mempelajari saudara kita yang dudah berkultivasi menjadi manusia, yang sifatnya sangat mirip dengan manusia itu sendiri.

  • Kanda Pat Dewa (Dewata), yang mempelajari saudara kita yang sudah mencapai tingkat kultivasi dewata, yang merupakan dewa penjaga alam semesta ini.

Mungkin ini bisa dikatakan level, karena semua bagian Kanda Pat ini sangat berhubungan, oleh karena itu untuk mempelajarinya mulailah dengan Kanda Pat Butha yang kemudaian dilanjutkan dengan Kanda Pat Manusa dan berakhir dengan Kanda Pat Dewa.

Dalam Kanda Pat Butha; diyakini kita memiliki saudara yang bernama Anggapati, Banaspati, Prajapati, Banaspati Raja dan Butha dengen. Untuk dapat meresapi ajaran ini, kita mesti tau bagaimana cara merasakan kehadiran saudara2 kita tersebut. Pertama2 kita harus tau dari mana asalnya. Adapun suksman dari saudara kita adalah;

  • anggapati: keluar dari jantung terus ke mata berstana/tinggal di timur.

  • prajapati: keluar dari hati terus ke telinga berstana/tinggal di selatan.

  • banaspati: keluar dari ginjal terus ke hidung berstana/tinggal di barat.

  • banaspatiraja: keluar dari empedu terus ke mulut berstana/tinggal di utara.

  • butadengen: keluar dari tengah hati terus ke ubun2 berstana/tinggal di tengah

setelah itu belajar memasukkan saudara kita tersebut kedalam tubuh kita, adapun caranya sekaligus mantranya:

  • Anggapati: manjing maringNetra malinggih ring Papusuh, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

  • Prajapati: manjing maring Karna malinggih ring Hati, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

  • Banaspati: manjing maring Hirung malinggih ring Ungsilan, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

  • Banaspati Raja: manjing maring Cangkem malinggih ring Ampru, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

  • Butha Dengen: manjing maring Siwadwara malinggih ring Bungkahing Hati, jumenek sira malinggih, raksa ragan insun.

  • Ih, Ah, Eh, Uh, sang catur sanak, raksanen ingsun, kemit rahina wengi, atangi muwang aturu, yan hana sarwa hala tunimba ring awak sariran ingsun tulakang, wangsulakena den adoh, ong ang ung mang, surup surup surup.

Inti dari mantra tersebut” …nama saudara kita… masuk dari ……, berdiam di ………, istirahatlah disana, jaga diri saya”.

Setelah saudara2 kita tersebut berdiam dalam tubuh kita, dan selalu menjaga kita, maka mestinya saudara2 kita diberi Laban/upah sebagai ucapan terimakasih kita atas semua bantuannya. Adapun mantra saat memberi Laban antara lain;

  • Anggapati: Wetu sakeng Papusuh terus ke Netra malinggih ring Purwa, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Petak maulam bawang jahe.

  • Prajapati: Wetu sakeng Hati terus ke Karna malinggih ring Daksina, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Bang maulam bawang jahe.

  • Banaspati: Wetu sakeng Ungsilan terus ke Hirung malinggih ring Pascima, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Kuning maulam bawang jahe.

  • Banaspati Raja: Wetu sakeng Ampru terus ke Cangkem malinggih ring Uttara, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Ireng maulam bawang jahe.

  • Butha Dengen: Wetu sakeng Bungkahing Hati terus ke Siwadwara malinggih ring Madya, iki tadah sajen nira; ajengan nasi kepelan Manca Warna maulam bawang jahe.

  • Ah Eh Uh Ih, Sang Catur Sanak, wus sira amukti, aja sira lali asanak ring insun, apan insun tan lali astiti bakti ring sira. Asing wenten pinunas insun mangda kasidan. Ong ang ung mang nama siwaya.

Kalau dilihat dari mantra yang terakhir, kita mestinya tidak melupakan saudara butha kita agar dia selalu ingat juga dengan diri kita, nah disini kita sudah diajari secara langsung ajaran “tat twam asi” dia adalah kamu sendiri, maka percayalah kepadanya maka kamu sendiri akan percaya pada dirimu.

Sarana dari laba untuk sanak butha kita adalah Segehan, dan inti dari mantra tersebut adalah mempersilahkan saudara kita satu persatu menikmati laba yang kita suguhkan. Nah.. apabila kita sudah terasa dekat dengan catur sanak kita, apabila kita berkeinginan untuk meminta bantuan kepadanya sangatlah mudah dan pasti akan terkabulkan coz seperti halnya kita memiliki teman baik atau saudara kandung yang sangat dekat dengan kita, apabila kita dalam kesusuhan maka dia akan segera menolong kita, begitu kira2 he he he he…

satu lagi, saat menjalankan ajaran ini (Kanda Pat Butha) mungkin kita akan dikira memuja setan, maklum saja.. saudara yang sering kita minta bantuan masih berupa butha kala (kalau di agama lain bisa2 dibilang memuja jin atau genderuwo he he he..) tapi jangan takut.. ingat tat twam asi dan Tri Hita Karana, semua merupakan bagian hidup kita..

tapi saat pengamalan inilah seseorang bisa terpelosok pada jurang hitam, karena pada saat pengamalan ini seseorang akan terasa sangat hebat, bersemangat bagai api yang terus membara dan ingin membakar apapun yang ada dihadapannya, sehingga sering kali berubah menjadi ke dharmaweci alias pengeliakan (LEAK) karena aura panas yang sangat berlebihan yang dipakai untuk hal2 yang negative... Langsung saja, cara / mantra saat kita munta bantuan ke saudara butha kita yaitu;

Ih, Ah, Eh, Uh, sang catur sanak,
anggapati, prajapati, banaspati, banaspatiraja, butadengen,
Aja sira lali asanak lawan ingsun,
Apan ingsun tan lali astiti bakti ring sira,
Paweha ingsun waranugraha,
Asing wenten pinunas ingsun mangda kasidan,
Ingsun nunas ……………

NB. setelah minta sesuatu pada sang catur sanak, ingat memasukkannya lagi dalam tubuh kita, kembali seperti yang paling atas..ingat lah setiap kajeng klion untuk menghaturkan laban segehan kepel manca warna di sebelah tempat tidur kita, dan afirmarmasikan yang intinya member laban sehingga dia ingat dengan diri kita. Ex. ih semeton sang catursanak, anggapati, banaspati, prajapati, banaspati raja lan butha dengen, iki tyg ngaturang labang segehan kepel amanca warna maulam bawang jahe, mogi kenak sira, raksa ragan tyg. 

setelah mengetahui bagaimana alur cerita keberadaan 4 saudara kita "KANDA PAT" tersebut, setalah itu mulailah ngregepin dengan memahami hal - hal berikut ini:

Suksman sang hyang panca mahabuta

  1. Ih anggapati : wetu sakeng papusuh terus ke netra malinggih mareng purwa
  2. Ih prajapati : wetu sakeng hati terus ke karna malinggih mareng daksina
  3. Ih banaspati : wetu sakeng ungsilan terus ke hirung malinggih mareng pascima
  4. Ih banaspatiraja : wetu sakeng ampru terus ke cangkemmalinggih mareng uttara
  5. Ih butadengen : wetu sakeng bungkahing hati terus ke siwadwara malinggih mareng madya

Mapinunas ring catur sanak
Ih, Ah, Eh, Uh, sang catur sanak, anggapati, prajapati, banaspati, banaspatiraja, butadengen,
Aja sira lali asanak lawan ingsun,
Apan ingsun tan lali astiti bakti ring sira,
Paweha ingsun waranugraha,
Asing wenten pinunas ingsun mangda kasidan,
Ingsun nunas ……

Wus ngawetuang elingakena pamulihaniya, iki pamulihaniya, yen tan samangkana ngelayung raganta, apan sang hyang urip kari ring jaba.
  1. Ih anggapati : manjing maring netra malinggih mareng papusuh, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  2. Ih prajapati : manjing maring karna malinggih mareng hati, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  3. Ih banaspati : manjing maring hirung malinggih mareng ungsilan, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  4. Ih banaspatiraja : manjing maring cangkem malinggih mareng ampru, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  5. Ih butadengen : manjing maring siwadwara malinggih mareng bungkahing hati, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.

Ih, Ah, Eh, Uh, sang catur sanak, raksanen ingsun, kemit rahina wengi,
atangi muwang aturu,
yan hana sarwa hala tunimba ring awak sariran ingsun tulakang,
wangsulakena den adoh,
ong ang ung mang, surup surup surup.



Yogan sanak panca mahabuta sane ngeranjing ring yoga mandara

  1. Ih butadengen : wetu sakeng bungkahing hati terus ke siwadwara manjing mareng netra malinggih mareng papusuh.
  2. Ih prajapati : wetu sakeng hati terus ke karna manjing mareng cangkem malinggih mareng ampru.
  3. Ih banaspati : wetu sakeng ungsilan terus ke hirung manjing mareng cangkem malinggih mareng ampru.
  4. Ih banaspatiraja : wetu sakeng ampru terus ke cangkem manjing mareng netra malinggih mareng papusuh.

“ wetu geni sabuana angebeking buana sariranta”




suksman sanak manusa

  1. i ratu ngurah tangkeb langit : wetu sakeng toya terus ke kulit malinggih mareng purwa
  2. i ratu ngurah wayan teba : wetu sakeng rah terus ke daging malinggih mareng daksina
  3. I ratu ngurah made jelawung : wetu sakeng ari-ari terus ke bulu malinggih mareng pascima
  4. I ratu ngurah nyoman  Sakti Pengadangan : wetu sakeng urat terus ke balung malinggih mareng sakti pangadangan uttara
  5. I ratu ngurah ketut petung : wetu sakeng madyaning hati terus ke siwadwara malinggih mareng madya.

Mapinunas ring sanak manusa
i ratu ngurah tangkeb langit, i ratu ngurah wayan teba,  I ratu ngurah made jelawung, I ratu ngurah nyoman  Sakti Pengadangan, I ratu ngurah ketut petung
Aja sira lali asanak lawan hulun,
Apan hulun tan lali astiti bakti ring sira,
Paweha ingsun waranugraha,
Asing wenten pinunas hulun mangda kasidan,
Hulun nunas ……………………………………….

Wus ngawetuang elingakena pamulihaniya, iki pemasukanniya, yen tan samangkana ngelayung raganta, apan sang hyang urip kari ring jaba.

  • i ratu ngurah tangkeb langit : manjing maring kulit malinggih mareng toya, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  • i ratu ngurah wayan teba : manjing maring daging malinggih mareng rah, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  • I ratu ngurah made jelawung : manjing maring bulu malinggih mareng ari-ari, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  • I ratu ngurah nyoman sakti pengadangan: manjing maring balung malinggih mareng urat, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  • I ratu ngurah ketut petung : manjing maring siwadwara malinggih mareng madyaning hati, jumenek sira malinggih, raksa ragan ingsun.
  • ong sang bang tang ang ing nang mang sing wang yang, ang ah, surup surup surup, ong nama siwaya”
  • I ratu ngurah ketut petung : wetu sakeng sumsum terus ke siwadwara manjing mareng kulit malinggih mareng toya
  • I ratu ngurah made jelawung : wetu sakeng ari-ari terus ke bulu manjing mareng walung malinggih mareng urat
  • I ratu ngurah nyoman sakti pengadangan: wetu sakeng urat terus ke walung manjing mareng kulit malinggih mareng toyah
  • i ratu ngurah wayan teba : wetu sakeng rah terus ke daging manjing mareng walung malinggih mareng urat


SUKSMAN SANG HYANG PANCA DEWATA

  1. Mang sang hyang Iswara : wetu sakeng papusuh terus ke netra malinggih mareng purwa
  2. Ang sang hyang Brahma : wetu sakeng hati terus ke karna malinggih mareng daksina
  3. Ong sang hyang Mahadewa : wetu sakeng ungsilan terus ke hirung malinggih mareng pascima
  4. Ung sang hyang Wisnu : wetu sakeng ampru terus ke cangkem malinggih mareng uttara
  5. Yang sang hyang Siwa : wetu sakeng bungkahing hati terus ke siwadwara malinggih mareng madya

MAPINUNAS RING SANAK PANCA DEWATA

om Mang Ang Ong Ung Yang, sang hyang Iswara, sang hyang Brahma, sang hyang Mahadewa, sang hyang Wisnu, sang hyang Siwa,
Tabe tabe pang tan keneng raja panulah’
Aja sira Paduka Betara lali asanak ring manusanira pakulun ,
Apan manusanira pakulun tan lali astiti bakti ring Paduka betara,
Paweha manusanira asung kerta waranugraha,
Asing wenten pinunas manusanira pakulun mangda kasidan,
Manusanira pakulun nunas………………………
Wus ngamijilang helingakena pamulihaniya, yen tan samangkana ngelayung raganta, apan sang hyang urip kari ring jaba. iki pamasukanniya
  • Mang sang hyang Iswara : manjing maring netra maliga mareng papusuh, jumenek sira malingga mareng sarira hening.
  • Ang sang hyang Brahma : manjing maring karna maliga mareng hati, jumenek sira malingga mareng sarira hening
  • Ong sang hyang Mahadewa : manjing maring hirung maliga mareng ungsilan, jumenek sira malingga mareng sarira hening
  • Ung sang hyang Wisnu : manjing maring cangkem maliga mareng ampru, jumenek sira malingga mareng sarira hening
  • Yang sang hyang Siwa : manjing maring siwadwara maliga mareng tungtunging hati, jumenek sira malingga mareng sarira hening tan pateleteh.
  • “ ONG MANG ANG ONG UNG YANG,ANG UANG MANG,SURUP, SURUP,SURUP “
untuk dapat mendapatkan manfaat dari mantra tersebut diatas, hendaknya para pembaca mejalankan dahulu ritual yang sudah ditentukan, dalam hal ini Belajar Tenaga Dalam Spiritual Bali. bila tidak dipenuhi, sangat wajar, bila tujuan dari ajaran Kanda Pat tidak berjalan sesuai dengan tujuan ajaran ini.
Demikianlah sekilas Mantra yang diambil dari Kupasan Lontar Kanda Pat - Catur Sanak mantra. 

Mantra bole saja dirobah asal intinya tetap sama.

OM SANTI SANTI SANTI OM



Jumat, 17 Juli 2020

BIASA-BIASA GEN JA

Banyak dari kita yang berlomba-lomba mengejar predikat luar biasa. Baik melalui jalan-jalan kekayaan, kepopuleran, kecantikan, kekuasaan dsb-nya. 

Tidak ada yang salah karena memang hidup adalah serangkaian pilihan-pilihan dan benar salah itu relatif. Dalam pencariaan keluarbiasaan ini kita bisa mendapatkannya bisa pula mendapatkan kebalikannya. Bisa luar biasa kaya bisa pula luar biasa miskin, bisa luar biasa populer bisa pula sebaliknya, bisa luar biasa cantik bisa pula luar biasa jelek, bisa luar biasa berkuasa bisa pula sangat tidak berkuasa.

Semua perburuan dalam mencari keluarbiasaan tersebut hanyalah untuk kepentingan pemuasan hawa nafsu. Kepentingan kepuasan badan. Untuk tahap awal dalam proses pertumbuhan manusia mungkin tidak masalah sepanjang kita memiliki kesadaran untuk terus bertumbuh. Tapi biasanya kebanyakan manusia tergoda untuk lebih, lebih dan lebih lagi!! Sehingga pada akhirnya yang luar biasa kaya dibalik menjadi luar biasa miskin. Yang tadinya luar biasa berkuasa dibuat sama sekali tidak punya kekuatan.

Hidup perlu keseimbangan, jika tidak berusaha menyeimbangkan maka biasanya kehidupanlah yang akan menyeimbangkan kita. Dan biasanya ini pahit. Memuaskan hawa nafsu dan kepuasan badan boleh-boleh saja selama kita juga tidak melupakan untuk membersihkan dan memberi vitamin kepada jiwa. Kita tidak bisa hidup hanya untuk badan. Kalau kita hidup hanya untuk badan maka tidak tertutup kemungkinan ada yang bertanya apa bedanya dengan binatang.

Ibarat senar-senar gitar, jiwa manusia juga perlu disetel. Dan didalam menyetel ini kembali diperlukan keseimbangan, terlalu keras bisa putus terlalu kendor tidak menghasilkan bunyi. Dalam realitas kehidupan terlalu sedih membuat langkah kita demikian beratnya sehingga tak jarang kita melupakan hal-hal lainnya. Demikian pula jika terlalu gembira membuat kita lupa diri, ego dan datang kesombongan. Terlalu miskin juga membuat jiwa mudah tergelincir. Sama halnya dengan terlalu kaya, terlalu emosi, terlalu serakah dan lain sebagainya.

Bagi yang belum puas dalam mengejar keluarbiasaan silahkan habiskan sebahagian besar waktu dan tenaga anda untuk menggapai dan meraihnya. Namun jangan lupakan untuk tetap memberi vitamin kepada jiwa. Dan untuk sahabat yang sudah mulai lelah dalam memuaskan hawa nafsu dan keinginan badan yang tidak ada habisnya itu menjadi biasa adalah tawaran yang sepertinya sulit ditolak. Jadi pejabat jadilah pejabat biasa, jadi pengusaha jadilah pengusaha biasa, jadi penari jadilah penari biasa. Ada yang menganggap biasa berarti kesederhanaan. Apapun sebutannya menjadi orang biasa, biasanya jauh lebih lama dan lebih kekal.

Orang biasa itu sesungguhnya orang hebat bahkan ditakuti banyak sekali orang. Karena untuk menjadi orang biasa kita harus rela menyikat kotoran-kotoran ego yang masih menempel. Ini tidak mudah! Dan biasanya ditakuti oleh sebahagian besar manusia.


#tubaba@biasa dadi nak bisa ulian biasa#

Pageh Ngemban Bhisama

ELING RING PABESEN:
DE... PAGEHANG RAGANE..... 
GEDE OMBAK....., GEDE ANGINE......
NGANCAN TEGEH NGALIK ENTIKAN KAYUNE......, NGANCAN DERES ANGINE NGAMPEHANG......
PAGEHANG RAGANE DE.......
YATNA MAPALA LASIA......
AMPAH MAPALA BAYA.......
Teringat akan sebait pesan, mengingatkan akan sebuah konsep kepagehan atau dengan kata lain konsisten.

Melakukan sesuatu secara konsisten adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup. Konsistensi adalah sebuah usaha untuk terus dan terus melakukan sesuatu sampai pada tercapai tujuan akhir. Sikap/sifat yang gigih dan rajin ini akan menjadikan seseorang yang biasa-biasa menjadi luar biasa. Demikian juga dengan pekerjaan-pekerjaan kecil, namun dilakukan secara konsisten tentu akan memberikan manfaat yang sangat besar. Konsistensi adalah kunci dalam kesuksesan dalam hidup ini. Secerdas apapun seseorang, tapi selama tidak memiliki sifat ini, tidak akan pernah menghasilkan apa-apa dalam kehidupan ini.

Kegagalan kita sering disebabkan ketidakkonsistenan kita dalam melakukan sesuatu. Kita berhenti atau bahkan berputus asa sebelum mencapai target. Hal itu karena keragu-raguan, kekhawatiran dan mungkin karena ketakutan akan kegagalan dalam diri kita.

Sikap keraguan dan kekhawatiran terhadap sesuatu yang belum terjadi adalah penyakit yang harus kita hindarkan. Karena hal ini sangat merugikan bagi kita sendiri. Keraguan dan kekhawatiran bisa menghilangkan kesempatan kita meraih sesuatu yang lebih besar dalam hidup kita. Keraguan dan kekhawatiran ini akan mengurangi energi kekuatan usaha kita, yang berakibat mengendornya perjuangan. Konsistensi itu penting karena akan memungkinkan kita meraih sesuatu secara besar.

#tubaba@pageh ngemban bhisama#
#eling ring parampara#
#bhakti rinh kapurusan#

TUMPEK LANDEP.

Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran).

Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai - nilai agama.

Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk

Dijelaskan, Tumpek Landep merupakan hari raya pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu.

Jadi, setelah memperingati Hari Raya Saraswati sebagai perayaan turunnya ilmu pengetahuan, umat memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau memberi ketajaman pikiran dan hati.

Pada rerainan Tumpek Landep juga dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan besi.

Sebagian besar krama Hindu di Bali merayakan Tumpek Landep ini dengan ngotonin motor, mobil hingga berbagai benda elektronik. Sehingga banyak krama Hindu di Bali menyebut Tumpek Landep sebagai otonan motor. Benarkah demikian?

Sebelumnya, penulis mengajak pembaca untuk mengupas tentang Tumpek Landep. Konon kata Tumpek berarti tumpel atau tepat. Tumpel atau tepat ini maksudnya tepat bertemunya akhir dari Sapta Wara yang terakhir yakni rahina Saniscara dengan hari terakhir dalam Panca Wara (Keliwon).

Tumpek Landep adalah wuku kedua dari tiga puluh wuku yang masing-masing wuku umurnya tujuh hari.

Terkait dengan nama-nama wuku tersebut, leluhur Hindu Bali telah sedemikian cerdasnya karena telah mewariskan tradisi penamaan wuku yang secara total terbagi dalam 210 hari. Banyak kemudian upacara atau yadnya di Bali yang digelar berdasarkan wuku atau pawukon.

Sumber lain menyebutkan, kosa kata “Tumpek” berasal dari kata “Tampa”. Kata tampa ini mendapat sisipan um hingga menjadi kata “Tumampa” yang kemudian mengalami perubahan konsonan, menjadi kata “Tumampak” yang artinya berpijak. Ini kemudian mengalami perubahan menjadi kata keterangan keadaan sehingga menjadi kata “Tumampek” yang mengandung arti dekat. Kata Tumampek mengalami persenyawaan huruf “M”, maka menjadilah kata “Tumpek”.

Didalam 30 wuku yang terbagi menjadi perputaran 210 hari tersebut terdapat lima Tumpek. Yakni Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Krulut, Tumpek Uye dan Tumpek Wayang. Tumpek Landep sendiri merupakan Tumpek pertama dari perputaran 210 hari dan jatuh pada hari terakhir di wuku yang kedua.

Kembali keawal, benarkah Tumpek Landep sebagai hari otonan motor, mobil ataupun otonan bagi benda-benda elektronik? Untuk mendapat jawaban yang benar mari kemudian dilihat makna dari Tumpek Landep tersebut.

Sebelum mengupas makna Tumpek Landep, ada baiknya penulis mengajak pembaca berlogika. Karena berlogika juga sangat penting dalam berkeyakinan.

Begini, perayaan Tumpek Landep telah berlangsung dari berabad-abad silam, meskipun sejarah pasti perayaan pertama Tumpek Landep belum penulis temukan. Pada kisaran waktu berabad-abad lampau tersebut kendaraan berupa motor, mobil dan berbagai benda elektronik lainnya tentu belum ada di Bali.

Penulis perkirakan, motor, atau mobil dan benda-benda elektronik mulai ada di Bali sekitar akhir abad 18 atau awal abad 19.

Kemudian “Landep” sendiri bermakna tajam atau runcing. Penganut Hindu, khususnya penganut Hindu di Bali dalam menjalankan keyakinannya banyak menggunakan simbol. Demikian pula tradisi mengupacarai keris, tombak ataupun sarwaning landep atau segala benda tajam adalah simbolisasi terhadap ketajaman alat kehidupan manusia yang sangat penting, yakni pikiran.

Ketajaman berpikir itulah manusia mampu menciptakan berbagai alat atau sarana untuk mempermudah kehidupannya.

ManifestasiNya yang dipuja pada Tumpek Landep konon Ida Sanghyang Siwa Pasupati. Dengan kata lain, Tumpek Landep merupakan hari untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Ida Sanghyang Siwa Pasupati.

Jadi jelaslah bahwa Tumpek Landep merupakan hari suci untuk memohon kerahayuan sekaligus juga untuk memohon kekuatan berpikir atau peningkatan kecerdasan diri.

Termasuk pula kecerdasan dalam berspiritual sehingga menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup dan berkehidupan.

Lalu salahkah ngotonin motor, mobil atau benda-benda elektronik saat Tumpek Landep? Maaf penulis tidak berani dan tidak mau membenarkan atau memvonis salah.

Karena beragama adalah persoalan keyakinan dan penulis tidak mau mempengaruhi, menggugat atau bahkan menyalahkan keyakinan orang lain meskipun orang lain itu sama-sama nyama Bali dan juga sebagai umat se-Dharma.

Hanya saja, penulis mencoba menekankan bahwa beragama jangan mameteng dan dalam berkeyakinan sangat penting berlogika. Berikutnya, yang juga sangat penting digarisbawahi bahwa tidak ada yadnya yang sia-sia.

Maksudnya, wajar-wajar saja saat ketika Tumpek Landep dibarengi dengan mengupacarai motor, mobil atau benda-benda elektronik selain mengupacarai senjata-senjata warisan leluhur seperti keris dan tombak sepanjang itu sebagai ungkapan syukur atas aungerahNya memberi kemudahan hidup dan bukan mendewakan motor atau mobilnya. 

Mungkin tidak sedikit umat Hindu dalam merayakan Tumpek Landep salah satu rangkaiannya diisi dengan melakukan persembahyangan.


Lucunya, saat umat melakukan persembahyanhan ini justru menghadap ke motor atau mobil sehingga terkesan motor menjadi benda suci atau terkesan sebagai simbol salah satu manifestasiNya. Benarkah demikian? Mari berkeyakinan yang berlogika, sehingga tidak ada kesan mubazir dalam beryadnya. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru arah.

Sesungguhnya, senjata yang paling utama dalam kehidupan ini adalah pikiran, karena pikiranlah yang mengendalikan semuanya yang ada. Semua yang baik dan yang buruk dimulai dari pikiran. Maka dari itu dalam perayaan hari Tumpek Landep ini, hal mendasar dan utama yang semestinya kita harapkan adalah agar senantiasa mampu menajamkan pikiran lewat kecerdasan dan mengendalikan pikiran lewat pengalaman-pengalaman yang ada. Jadi, setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam. Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih teliti melakukan analisa, serta lebih tepat dalam mengambil keputusan.

Hanya saja patut disadari, mengasah, dan menajamkan pikiran (idep/citta) saja belum cukup, wajib disertai dengan mengaluskan budhi, agar tidak dikuasai pengaruh ahamkara (ego), yang apabila dibiarkan bisa menjerumuskan pikiran ke arah kesesatan. Jika sesat jalan bisa diselamatkan dengan banyak bertanya, tetapi jika pikiran dikuasai kesesatan, akan terjadi pengkhianatan terhadap amanat dharma, lalu menjelma menjadi pengikut adharma

Mencegah pikiran menjadi sesat, kitab Manusmrti, V.109 memberi tuntunan: ‘jika tubuh dibersihkan dengan airmaka pikiran dibersihkan dengan kejujuranlalu roh dengan ilmu dan tapadan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan".

Banyak umat yang justru mensalahartikan makna dari Tumpek Landep. Banyak titiang lihat di jalan-jalan membuat upakara besar di haturkan di depan mobil dan motor yang sebenarnya makna inti dari Tumpek landep bukan itu.

Inti dari upakara ini berada di Sanggah Kemulan, dimana menghaturkan Banten Sesayut Pasupati sebagai symbol memohon anugrah ketajaman pikiran dari Sang Hyang Pasupati yang turun pada Hari Tumpek Landep.

#tubaba@griyang bang#