Sabtu, 11 Juli 2020

ETIKA WALAKA DAN PINANDITA TERHADAP PANDITA

ETIKA WALAKA DAN PINANDITA TERHADAP PANDITA

OLEH: I GEDE SUGATA YADNYA MANUABA, S.S., M.Pd

HIDUP UNTUK MELAYANI
Kita semua adalah pelayan; 
bisa jadi pelayan keinginan sendiri, 
pelayan orang lain, pelayan masyarakat atau pelayan Tuhan ; 
jadilah pelayan yang mampu menyelamtkan diri di dunia dan akhirat

Perbedaan masyarakat berdasarkan guna (bakat/gen) dan Karma (aktifitas/perbuatannya) adalah sesuatu yang benar sesuai dengan ajaran Catur Warna, namun dalam keseharian masyarakat khususnya di Bali ada juga perbedaan masyarakat dalam dua kelompok, yaitu : PANDITA, PINANDITA dan WALAKA. Pandita disini adalah Brahmana, Sulinggih, Wiku, atau mereka yang sudah di Dwijati sementara diluar itu adalah WALAKA. 

Dalam perkembangannya para Pinandita/Pemangku yang sudah winten Eka jati dan Sarati banten yang merupakan tangan-tangan Pandita menjadi bukan Walaka, sehingga menjadi jelas pengertian Walaka adalah mereka yang belum di Winten Eka jati atau mereka yang masih mengabdikan dirinya sebagai masyarakat umum, bukan Pinandita, sarati, atau Pandita. 

Pinandita/pamangku sebagai rohaniawan yang masih tergolong ekajati atau walaka, dalam hal berbusana hanya diatur pada saat melaksanakan tugas kepemangkuannya saja. Sedangkan dalam keadaan sehari-hari tidak diatur secara khusus. Hal ini disebabkan karena tidak terjadi perubahaan atau penagantian wesa seperti. yang berlaku pada seorang Pandita. Pinandita/pamangku masih dibenarkan untuk agotra atau bercukur sebagai walaka umumnya. Hanya saja saat Pinandita/pamangku melaksanakan tugasnya sesuai dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu VI tahun 1980, Pinandita/pamangku diwajibkan berbusana lengkap serba putih, dari bentuk destar mongkos nangka/agelung sangka, baju, kain dan kampuh. Bagi yang mernelihara rambut dimasukkan ke dalam destar dengan cara dikonde, sehingga tidak terurai. Kemudian tidak dibenarkan mengenakan busana pada waktu memuja seperti busana Pandita, termasuk juga dalam hal tatanan dandanan rambut.

Dalam hubungan kemasyarakatan, maka di Bali khususnya, secara otomatis akan memanggil orang yang sudah winten Eka jati dengan sebutan Jero, juga kepada Sarati banten, karena jika sudah mengambil fungsi itu seharusnya Sang sarati ini juga di Winten minimal winten Saraswati. Untuk masyakat umum yang kesehariannya membuat banten untuk diri sendiri atau di banjar, di Pura bukan dalam pengertian Sarati Banten. Hubungan kemasyarakatan yang memanggil berbeda kepada Pinandita, sarati, atau Pandita, bukan dalam pengertian feodal namun sebagai wujud penghormatan karena masyarakat membutuhkan Pinandita, Sarati dan Pandita yang suci, sebab mereka akan diminta (dituwur) untuk mengantarkan upakara Yadnya sehingga syarat kesucian ini menjadi penting. Jadi masyarakat ini menjaga Pinandita, Sarati, dan Pandita seperti menjaga kesucian air (steril), atau menjaga barang berharga (keramik, lukisan, dll), apalagi semua ini didukung oleh ajaran agama Hindu yang merupakan ”Tiga Kerangka Dasar” yaitu : Agama, Susila, Upakara (Ritual).

Fenomena dimasyarakat sekarang benar-benar sangat merisaukan penulis, karena sor singgih ini menjadi kurang diperhatikan oleh masyarakat khususnya walaka, disisi lainnya ada Pinandita yang menuntut sekali terhadap Sor singgih ini, padahal ini bukan tuntut menuntut namun sudah sesane (etika) bukan feodal. Apalagi sekarang mulai banyak terlihat Walaka sudah tidak ada rasa sungkan, tanpa etika dengan ”menggugat Pandita”. 

Kita dipertontonkan oleh suatu fenomena yang tidak mencerminkan etika di perbincangan di banjar, juga di media-media, yang jika dicermati dengan hati yang jernih isinya sebenarnya ketidak puasan. Penulis tidak mau masuk kepada pembelaan atau penentangan salah satu fihak, karena tidak ada yang perlu dibela atau ditentang semuanya milik kita, namun yang ingin diangkat disini adalah etika kita terhadap fihak lain khususnya kepada Pandita sesuai dengan alasan diatas. 

Penulis tidak tahu apa yang terjadi pada rapat-rapat, namun pertanyaan Walaka kepada Pandita dengan bahasa tuduhan, tekanan, apalagi dengan membeberkan bahwa Pandita tersebut memiliki busines dan sebagainya sifatnya hanya merendahkan seorang pandita dihadapan umum dan itu adalah tidak baik. Pandita adalah manusia biasa yang bisa salah, namun bukan tugas kita Walaka yang menggugatnya apalagi mencerca, karena dilingkungan Pandita ada Nabe, ada Raka, ada juga Paruman/Sabha Pandita yang akan mengurus hal pelanggaran, pelecehan, atau yang diluar sesane kawikon itu, sekali lagi ini bukan urusan Walaka. 

Katakanlah misalnya bunyi peraturan organisasi pasemetonan, misalnya membolehkan masyarakat atau Ketua Umum mengkoreksi Pandita, namun Sesana kepada Pandita tetap ada yang perlu dijunjung tinggi kalau kita mau disebut umat yang ber-etika. Tidak banyak yang tahu, bahwa tindakan seorang Nabe kepada Putra dharma yang adalah Pandita pada titik tertentu sangat berat, misal pelanggarannya sudah melampaui batas , bisa sampai ”memutus ikat kepala” (Prucut) sehingga Pandita yang menyimpang ini perlu 10 tahun untuk memulai perjalanan rohaninya dengan sujud bhakti ke Pura/Parhyangan hingga dikembalikan jati dirinya sebagai pandita, belum lagi yang tanpa kita ketahui bisa jadi seorang Nabe menutup titik tertentu karena Nabe bisa membuka tentu bisa menutup. 

Jadi melalui tulisan ini penulis menghimbau mari kita gunakan etika yang baik agar kehidupan ini menjadi baik dan ber-etika. Bagi walaka yang duduk di organisasi, seperti PHDI, atau kelompok trah (Gotra) yang kebetulan memegang jabatan misalnya : Bidang Kesulinggihan, jangan menjadi semena-mena menggunakan jabatan untuk meng-gugat atau melarang Muput misalnya, jangan sampai kita melebihi dari yang seharusnya kita lakukan, biarlah itu urusan Nabe, Raka, dan Paruman/Sabha Pandita.

Untuk hal ini penulis sebenarnya tidak senang mengurusi keorganisasian seperti ini karena sejak dulu penulis berusaha kuat untuk tidak duduk di organisasi karena dijaman kali yuga manusia cendrung emosi, marah, dan ini godaan berat buat kita yang menyukai atau sudah menjalani kehidupan rohani, namun karena ini kaitannya PHDI yang adalah organisasi umat Hindu, maka penulis mau berpendapat dengan tetap penekanan disisi etika. Ida Bhatara  Sinuhun, selalu memberi nasehat kepada penulis dengan kalimat ”masalah keluarga jangan sampai keluar, selesaikan didalam dengan baik karena orang luar belum tentu memberi kebaikan buat keluarga kita”. 

Organ didalam MGPSSR penulis anggap satu keluarga besar sehingga jika terjadi sentuhan-sentuhan, itu biasa, kalau toh dicurigai ada rekayasa, apa yang didapatkan didalam MGPSSR karena untuk darmawacana ke kantong pasemetonan saja MGPSSR kurang dana, kalau merekayasa lebih baik dipartai politik disana uang berlimpah. Disamping itu MGPSSR adalah organisasi pasemetonan bukan organisasi politik, maka cara kita berbicara, mengkritik, memberi masukan, tetap perlu didasari oleh Tri Kaya parisudha, jangan sampai mendulang air malah kita sendiri yang kena cipratannya. Jangan terbawa pembicaraan di media-media yang semua membawa nama rakyat sementara rakyatnya masih banyak yang menderita, maka kalau kita membicarakan MGPSSR dengan nama pasemetonan umat Hindu, mari berikan pasemetonan dan umat Hindu ini : ide, pemikiran, jalan, dan tindakan nyata yang dapat meningkatkan jati diri pasemetonan dan ke-Hindu an masyarakat ini, jangan sampai umat semakin berkurang karena lembaga umatnya ribut. Jangan juga membuat tandingan karena kekecewaan, yang akhirnya akan semakin memperparah keadaan, demokratisasi, ingat warna warni itu akan indah jika dipenuhi rasa guyub rukun.

#tubaba@pesanidasinuhun#
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar