Rabu, 01 Juli 2020

KEUNIKAN AKSARA BALI

KEUNIKAN AKSARA BALI
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S.,M.Pd

Diakui atau tidak...., aksara *Bali* merupakan alfabet paling unik di dunia ini. 

Ditinjau dari jumlah.., terdiri dari 18 jenis huruf.., 1 + 8 = 9 yang melambangkan urip atau angka tertinggi/utama dan hal ini melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupannya.., orang Bali selalu menggunakan perhitungan yang matang sebelum melangkah.

Deretan ke 18 aksara Bali tersebut yaitu... :

1*Ha Na Ca Ra Ka*
2*Da Ta Sa Wa La*
3*Ma Ga Ba*
4*Nga Pa Ja Ya Nya*

Entah kebetulan atau disengaja..., deretan huruf di atas ternyata bukan deretan huruf tanpa makna..., tetapi membentuk *4 kalimat* yang mengandung filosofi luar biasa..., yaitu... :

Melambangkan perjalanan hidup manusia.

*Ha-na-ca-ra-ka*... :

Jika dibaca..., *Hana Caraka* akan bermakna... : *”Ada utusan"*.

Siapa yang dimaksud dengan utusan tersebut...? 

Tidak lain adalah... : *"manusia"*.

Berbeda dengan pendapat umum..., bahwa *utusan Tuhan* hanya terbatas para *Awatara saja*..., bagi orang Bali setiap manusia adalah utusan *Tuhan*. 

Setiap manusia berkewajiban *hamemayu hayuning bwana*..., menjaga kelestarian alam..., memakmurkan bumi..., menciptakan kedamaian dan keselamatan di alam dunia.

*Da-ta-sa-wa-la*... :

Jika dibaca..., *Dat-a-suwala* akan bermakna... : *”D'zat yang tidak boleh dibantah”*.

Siapa yang dimaksud...? 

Tidak lain adalah... : *"Tuhan Yang Maha Esa"*. 

Tuhan adalah... : *D'zat* yang tidak boleh dibantah oleh manusia yang menjadi utusan-*Nya*.

Sehebat apa pun manusia di bumi ini..., tidak ada yang mampu menandingi kekuasaan *Tuhan*.

Sekali lagi..., manusia hanya bersifat *sebagai utusan*..., bukan penguasa. 

Oleh karena itu wajib untuk tunduk terhadap aturan yang sudah ditetapkan oleh *Sang Pengutus*..., yang sering disebut dengan istilah *”kodrat/hukum karma”*.

Ma-ga-ba-*... :

Merupakan singkatan dari *ma-gaba=magoba*..., yang bermakna...: *"berwujud, berbentuk, berwajah = tubuh”*.

Maksudnya adalah... : kalimat ini merupakan wujud/bentuk dari perjalanan manusia sebagai utusan *Tuhan* di bumi. 

Jika atma meninggalkan tubuh..., maka yang tersisa hanya tinggal badannya saja. 

Dalam keadaan ini..., *manusia sudah tidak lagi disebut manusia*..., karena *eksistensinya telah berakhir*.

Kalimat terakhir ini mengingatkan manusia..., agar tidak terlalu membanggakan dirinya..., karena jika *Sang Atma* pergi meninggalkan tubuhnya..., maka *yang tersisa hanya tinggal bangkai dari badannya saja*.

Kalimat ini mengingatkan manusia..., bahwa tubuh hanyalah kendaraan bagi *Sang Atma* dalam menjalankan perannya sebagai utusan *Tuhan*. 

Tanpa Atma..., raga hanyalah bandan yang tidak berarti.


*Nga-Pa-Ja-Ya-Nya*.:

Jika dibaca..., *nga-pa jayanya* akan bermakna *”sama-sama unggulnya”*.

Siapa yang sama unggulnya...? 

Yaitu... : *"jasmani dan rohani"*. 

Dalam menjalankan perannya sebagai *utusan Tuhan*..., manusia wajib menjaga keseimbangan antara urusan jasmani dan rohani. 

Seorang manusia tidak dibenarkan berkarya tanpa dilandasi *niat ibadah*..., karena bekerja dengan cara tersebut hanya *melahirkan keserakahan*..., yang membuatnya keluar dari tujuan hidup yang sebenarnya.

Sebaliknya..., manusia juga tidak dibenarkan *melakukan sembahyang saja..., tanpa disertai bekerja*.

Orang yang *melakukan sembahyang tanpa kerja..., sesungguhnya termasuk golongan egois*. 

Dia hanya mementingkan diri sendiri..., dengan harapan ingin *masuk surga* tetapi tidak peduli dengan *lingkungan sekitarnya*..., termasuk *keberadaan tubuhnya*. 

Seorang manusia yang baik adalah... : dia yang bisa bekerja dengan *dilandasi semangat ibadah* kepada *Tuhan Yang Maha Esa*. 

Yang lebih menarik..., orang *Jawa/Bali* dalam beribadah *tidak mengharapkan pahala*..., karena semboyan hidup mereka adalah... : *"narima ing paduman hidup"*.

Menerima pemberian-*Nya*...; sekali lagi..., *”menerima”* bukan *”mengharapkan”*.

Kanda Pat Dewa dalam Hanacaraka atau Aksara Bali

Lebih jauh penjabaran aksara 20 dalam kaitannya dengan ajaran Kanda Pat Dewa, adalah begini :

Ha Na Ca Ra Ka, dewanya Bhatara Iswara, rupanya Putih, senjatanya Bajra, tunggangannya Gajah.

Da Ta Sa Wa La, Dewanya Bhatara Brahma, rupanya Abang, senjatanya Gadha, tunggangannya Angsa.

Ma Ga Ba, dewanya Bhatara Mahadewa, rupaya kuning, senjatanya Nagapasa, tunggangannya Naga.

Nga Pa Ja Ya Nya, dewanya bhatara Wisnu, rupanya Ireng, senjatanya Cakra, Tunggangannya Garuda.

Cakra dalam Hanacaraka atau Aksara Bali

Hanacaraka adalah salah satu aksara tradisional Nusantarayang berkembang di Bali, Indonesia. Aksara ini umum digunakan untuk menulis bahasa Bali dan bahasa Sanskerta. Dengan sedikit perubahan, aksara ini juga digunakan untuk menulis bahasa Sasak yang digunakan di Lombok. Aksara ini berkerabat dekat dengan dengan aksara Jawa.

Aksara Bali masih diajarkan di sekolah-sekolah Bali sebagai muatan lokal, namun penggunaannya terbatas pada lingkup yang sempit. Dalam penggunaan sehari-hari, sebagian besar aksara Bali telah tergantikan dengan huruf Latin.


Namun tahukah anda bahwa Aksara Bali atau Hanacaraka memiliki Filosofi Tersembunyi dan dapat di jadikan Mantra yang kuat?

Cakra dalam Hanacaraka atau Aksara Bali

Dari aksara 18 inilah kemudian lahir ; dadi Dasaksara, dadi Pancaksara, dadi Triaksara, dadi Rwabhineda. Sabdaning Dasaksara adalah Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya. Sabdaning Pancaksara adalah Na Ma Si Wa Ya. (Catatan : Mang, Ang, Ong, Ung, Yang, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya semua disebut Pancaksara). Sabdaning Triaksara adalah : Ang Ung Mang. Sabdaning Rwabineda adalah : Ang Ah, dadi Purusha – Predana, Akasa – Pretiwi, Lemah – Peteng, dan Urip kelawan Pati.

Triaksara ring Buwana Alit, Ang ring ati, Ung ring ampru, Mang ring papusuh. Dan juga, Ang ring bayu, Ung ring sabda dan Mang ring idep. Ang berwujud api, Ung berwujud air, dan Mang berwujud angin. Ang dewanya Brahma, Ung dewanya Wisnu, dan Mang dewanya Iswara.

Bila ingin nerang ujan, ring Buwana Agung, Brahma-Iswara, wetuakena. Dan bila mohon hujan, dewa Wisnu, wetuakena. Apan Triaksara lingganing api, yeh, angin. Ida maraga Brahma, Wisnu, Iswara. Pada hakekatnya Ida maraga Sang Hyang Tunggal, malingga ring patining idepta.

Yan sira anunggalan idep, Sang Hyang Triaksara awas rumuhun, apan irika lingganing idep, beginilah adanya, Ang = bayu, Ung = Sabda, Mang = idep. Ang metu ring tingal karo, Ung metu ring cangkem, Mang metu ring irung karo. Ang = Brahmaloka, Ung = Wisnuloka, Mang = Siwaloka. Brahmaloka tunggalakena ring Wisnuloka, malih Brahmaloka lan Wisnuloka tunggalakena ring Siwaloka. Sambil aneleng tungtunging irung, aneleng tntunging pamusti. Menyatu di dalam idep = pikiran. Ang, Ung, Mang = bayu, sabda, idep anunggal, panunggalannya ingaran Sang Hyang Pasupati, sumungsang ring pakukuhing jiwanta.

Yang sira weruh anipta iki, asing pinuja sidhi palanya, away wera pingita juga. Barang siapa yang memahami pengetahuan ini akan memiliki kesidian serta kesaktian. Ajaran ini oleh masyarakat umum dikenal dengan nama, Yoga, Meditasi atau Semadhi. Namanya berbeda, namun pada hakekatnya adalah nama saja.

Menurut ajaran Yoga didalam lapisan tubuh eterik manusia, terdapat tujuh cakra utama yang merupakan linggan para dewa yaitu :

  1. Cakra Muladara, menjadi lingga Dewa Brahma

  2. Cakra Swandhisthana, menjadi lingga Dewa Wisnu

  3. Cakra Manipura, menjadi lingga Dewa Rudra

  4. Cakra Anahata, menjadi lingga Dewa Iswara

  5. Cakra Wisuda, menjadi lingga Dewa Maheswara

  6. Cakra Ajna, menjadi lingga Dewa Mahadewa

  7. Cakra Sahasrara, menjadi lingga Dewa Siwa

Untuk Dewa Sambu dan Dewa Sangkara malingga ring cakra Kembar, yang merupakan cakra menengah. Dimana Dewa Sambu berada disebelah kanan, dan Dewa Sangkara disebelah kiri. Cakra Kembar berada di kedua tangan, kedua mata, kedua telinga dan sebagainya.

Tulang punggung dikatakan sebagai poros tubuh. Dari dalam badan halus yang bersesuaian dengan tulang punggung ini, muncul pusat-pusat kesadaran yang disebut dengan Cakra. Di dalam tubuh halus (eteris) ada banyak sekali cakra. Namun hanya ada tujuh cakra yang dianggap utama meliputi :

  1. Cakra Muladara, bersesuaian letaknya dengan pantat
  2. Cakra Swandhisthana, bersesuaian letaknya dengan kemaluan
  3. Cakra Manipura, bersesuaian letaknya dengan pusar
  4. Cakra Anahata bersesuaian letaknya dengan jantung
  5. Cakra Wisuda, bersesuaian letaknya dengan tenggorokan
  6. Cakra Ajna, bersesuaian letaknya dengan pertengahan kedua alis (selaning lelata).

Cakrasahasrara, bersesuaian letaknya dengan ubun-ubun. Di dalam Sahasrara Cakra inilah Siwa bersemayam. Bukan berarti Siwa yang ditempatkan, tetapi kekuatanNya yang dimanifestasikan di sini. Tuhan tidak dapat dibatasi di suatu tempat. Tetapi manifestasinya dapat di tempatkan dimana saja.

Cakra-cakra itu merupakan pusat energy rohani. Cakra ini tidak nampak dengan mata biasa, karena cakra itu tidak berbadan fisik, melainkan di lapisan badan halus yaitu badan eteris. Selain itu, dalam anatomi tubuh halus itu, terdapat juga nadi-nadi tempat aliran energi, yang memiliki hubungan khusus dengan masing-masing cakra itu. Disebut Ida atau pingala. Kedua nadi ini, terdapat di sebelah kanan dan kiri tulang punggung.

Disebutkan bahwa, pengetahuan tertinggi tertutupi oleh maya sehingga pengetahuan tertinggi tetap tersembunyi. Yoga adala jalan untuk menyingkapkan maya dan membuka pengetahuan tertinggi itu. Grehanda Samhita mengatakan, “ Tidak ada ikatan yang melebihi kekuatan maya, dan tidak ada kekuatan melebihi yoga untuk membasmi ikatan-ikatan itu”. Dia yang tekun berlatih yoga akan mendapatkan bermacam-macam siddhi atau kekuatan gaib.

Badan ini adalah sakti, keperluan badan adalah keperluan sakti. Segala yang terlihat dan berbuat itulah sakti. Seluruh badan dan pekerjaannya adalah penjelmaan sakti itu. Untuk menyadari hal ini orang harus menyempurnakan dirinya.

Penempatan Dewa dalam bagian-bagian tubuh tertentu, menyimbolkan adanya upaya membuka, mengaktifkan dan mengharmonisasikan cakra. Semua cakra harus terbuka dan berfungsi menghisap dan memancarkan energi (prana), mengatur, mempertahankan, dan mengelola aspek fisik, emosional, mental dan kejiwaan. Sejalan dengan itu, semakin pandai seseorang memahami kedudukan Dewa di dalam dirinya, berarti ia semakin mahir mengatur gerakan cakra di dalam tubuhnya, sehingga gerakan cakra itu semakin harmonis dan sempurna. Seorang siswa Kanda Pat Dewa dalam melakukan olah meditasi, yoga atau Samadhi harus mampu memasukkan energi (prana) ke tubuhnya secara teratur, agar pengembangan batinnya berjalan dengan baik. Dengan demikian, gerakan cakra semakin harmonis dan sempurna, sehingga menghasilkan 1energi (prana) yang semakin besar. Energi (prana) yang dihasilkan itulah merupakan modal untuk menjadi Manusia Setengah Dewa Sakti Manderaguna.


#Leluhur Bali memang hebat#
#Tubaba@Griyang Bang#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar