Brahmana atau Pandita/Sulinggih adalah orang yang berperilaku suci. Secara teori Perilaku adalah tindak tanduk yang bisa diamati. Dengan demikian pengetahuan kesucian itu dipergunakan untuk menghadapi kehidupan yang suci sebagai seorang brahmana.
Dalam lontar Silakrama menyatakan tentang kemuliaan orang suci ialah :
“bahyamabhyantaram saucam dwigha proktam dwijottamah mrijalabyam smrtam bahyam manah suddhir athantaram”.
Artinya :
Orang-orang yang termulia di antara para dwijati, sauca (kebersihan, kemurnian dan kesucian) itu disebutkan dua macamnya: lahir (jasmani) dan batin (rohani). Yang lahir karena tanah liaat dan air yang berikutnya adalah kesucian pikiran.
Sloka yang harus dilaksanakan agar bisa menjadi orang suci ialah :
“Adbhir gatrani sudhyanti manah satyena sudhyati widyatopobhyam bhutatma budhir jnanema sudhyati”.
Artinya:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Disamping itu juga sebagai orang suci hendaknya memiliki kepribadian sebagai berikut :
1. Bersih,
2. Budiman,
3. Tenang,
4. Tangguh,
5. Senang memberi maaf
6. Lapang hati berdasarkan Maitri, Karuna, Mudita, dan Upeksa, serta
7. Kasih sayang terhadap sesamanya.
Oleh sebab itulah brahmana atau pandita/sulinggih merupakan orang yang telah mendapatkan penyucian melalui upacara yang disebut madiksa. Seorang walaka yang telah didiksa mendapatkan kedudukan sebagai sulinggih atau sadhaka. Sulinggih berasal dari kata Su artinya utama/mulia, linggih berarti kedudukan. Sulinggih artinya mendapat kedudukan yang utama/mulia di masyarakat. Mendapatkan kedudukan tinggi karena beliau telah mencapai kesucian lahir batin dalam tingkatan dwijati. Dwijati artinya lahir dua kali. Lahir pertama adalah dari rahim ibu. Lahir kedua adalah lahir dari weda. Lahir kedua, sebagai manusia suci tanpa cacat/cela.
Sebagai seorang dwijati, maka wujud, status, sesana yang lalu (walaka), karma wasana walakanya dianggap tidak ada atau sudah mati. Beliau lahir kembali dalam lembaran hidup baru. Sehingga wujud (penampilan), nama, status, sesana, dan karma wasana yang baru. Sehingga untuk itu dalam diksa pariksa (pemeriksaan calon sulinggih/diksawan) terlebih dahulu dinyatakan tidak cedaangga (tidak cacat), bebas masalah hukum pidana maupun perdata.
Upacara dwijati atau diksa adalah puncak pendakian spiritual seorang walaka (manusia biasa). Seseorang yang telah didiksa atau dwijati disebut Pandita atau Brahmana, Sulinggih, tanpa membedakan keturunan.
Pada tingkat ini seorang sulinggih dapat melakukan ngolakapalasraya. Diikat oleh brata pokok yang disebut catur bandana brata (sasana kawikon) yakni Amari Aran yakni berganti nama (diberi nama abhiseka). Amari Wesa berganti tingkah laku, penampilan dan atribut. Amari busana berganti tata busana, dan Amari Wisaya yakni mengubah tingkah kehidupan dan kesenangan.
Proses amari aran maka sulinggih yang suci tan cedaangga, tan keneng ujar ala, tan wenang adol-atuku, tan keneng pattita. Tan cedaangga artinya tanpa cacat, cela fisik dan mental. Bebas dari masalah hukum. Sulinggih tidak boleh lagi misalnya mengendarai mobil atau sepeda motor. Hal ini untuk mengindari terhjadinya permasalahan hukum ketika terjadi permasalahan. Tan Wenang adol-atuku, bahwa sang sulinggih tidak lagi terikat dengan urusan pamrih material seperti jual-beli. Atas dasar tersebut sulinggih bebas dari tugas sosial seperti ayahan banjar, ayahan desa, dan pekerjaan yang sifatnya fisik. Sulinggih tidak terkena cuntaka, kecuali sulinggih wanita pada saat haid. Beliau juga tidak nyuntakain (tidak menyebabkan cuntaka) karena beliau telah suci. Sehingga sulinggih ketika lebar (meninggal) boleh diupacarai jenasahnya secara nis prateka nir prabhawa tidak dikuburan.
Berdasarkan uger-uger kawikon, maka seorang sulinggih harus selalu dinyatakan jujur oleh seorang walaka. Harus dinyatakan benar oleh seorang walaka. Tidak boleh seorang walaka menyatakan seorang sulinggih salah, tidak baik, atau berbohong. Hanya sang nabe sajalah yang berhak menilai. Atau kalau sang nabe lepas tangan, maka paruman sulinggih yang berhak mempattita seorang sulinggih.
Umat wajib menjaga kesucian Sulinggih agar tidak leteh (kotor), ujar ala (disalahkan, dicaci maki, diumpat, dituduh). Sulinggih tidak boleh didebat oleh walaka. Umat hanya boleh mendengar, bertanya dan mohon petunjuk sulinggih. Hidangan makanan hendaknya sukla (bersih secara sekala/niskala).
Sulinggih dituntut keteguhan menjalankan dharmaning kawikon dan sasana kawikon, serta menerapkan dasadharma kapanditaan. Sulinggih yang melanggar sesananya, akan berakibat fatal ( asing angelung sasana angewetaken sanghara bhumi). Dalam Tutur Kasuksman, sulinggih adalah paragan (perwujudan) Sang Hyang Dharma. Beliau lambang kebenaran dan beliaulah penegak dharma di dunia. Beliau membawa tongkat (teteken) sebagai lambang dhandastra (senjata dewa Brahma). Juga sebagai simbol ketuaan dalam arti telah meninggalkan kehidupan grhasta yang penuh dengan dinamika duniawi.
Fungsi seorang sulinggih yang diketahui secara umum adalah muput karya.
Masih ada fungsi lainnya yakni Ngelokapalasraya, membimbing umat mencapai kebahagiaan rohani (sebagai guru loka). Sulinggih menjadikan diri beliau sebagai sandaran umat untuk bertanya tentang kerohanian, tuntunan rohani, petunjuk, dan muput karya yadnya atas permintaan masyarakat (menurut sesana kawikon, wiku tidak boleh meminta untuk muput karya, kalau tidak diminta). Sesuai fungsi tersebut, sulinggih (wiku) dituntut sebagai wiku pradnyan. Paham tentang weda, puja, japa, mantra, stuti dan stawa, tutur, indik, wariga, sastrawan dan mungkin mistis. Memahami weda sruti, smerti, upanisad, dharmasastra, itihasa, purana, darsana, dll.
#tubaba@griyangbang//muletingsesanalawanbhisama//garisparamparakapurusan#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar