Rabu, 02 Juni 2021

MULA KETO

Mule Keto
Ajaran Tanpa Ujaran

Gugon Tuhon memang menjadi filosopi yang memperkuat kerangka adat, namun disaat Gugon Tuwon disederhanakan artinya menjadi nak mule keto, apakah ceritanya akan tetap sama?

“Mula keto” kemudian akan menjadi jawaban untuk semua pertanyaan, bukan jawaban yang merefleksikan ketidakmampuan, namun jawaban yang melampaui dangkalnya ceruk pikiran sadar dan mengantarkan pada luasnya pemahaman.
Namun tidak semua orang akan mendapat “pemahaman” dari jawaban ini (sebagaimana tidak semua orang akan mendapat pemahaman dari jawaban yang dibungkus dengan konsep dan kata-kata), sebab untuk mendapat pemahaman mendalam dari sebuah pertanyaan yang dijawab dengan “nak mula keto” anda ditantang untuk berhenti memikirkan 
atau menuntut jawaban (dengan pikiran sadar semata), dan membiarkan diri anda mengalami jawaban tersebut dengan sumber kebijakan lain yang tersimpan dalam diri anda.

Dikesankan bahwa mule keto adalah sebuah kebodohan , ketidak tahuan atau ketidak mampuan memahami makna dari sebuah laku agama. Sering dicemoh sebagai beragama buta makna.
Sabarlah dulu,maknanya tidak demikian adanya maaf sekali .
“ Mule keto ” ........  memang begitu
                                   adanya .
“ Depang keto ” .... biarkan saja begitu.
 Memang sudah dari asalnya begitu, mau diapakan lagi. Sesuatu yang sudah final dan diyakini kebenarannya. Suatu ketetapan dan kesepakatan  yang tak perlu diutak-atik lagi titik .

Mule keto bukan sebuah “ kebodohan ” seperti apa yang seringkali dicibir ,pada prinsipnya merupakan sebuah “ketulusan hati ” dalam menerima kebenaran ajaran leluhur. Para Leluhur dengan kerendahan hati pula menerima dari leluhur sebelumnya. Leluhur dari para leluhur adalah Sanghyang Sangkan Paraning Dumadi dari Bhatara Hyang Guru bahwa “mule keto” adalah suatu kebenaran yang mesti diterima, walau kerapkali nalar tak bisa mengupas tuntas kedalaman maknanya karena jauh didalam .
Ketulusan dan kerendahan hati sajalah yang mampu menerima penjelasan makna dari laku agama Mule Keto. Tanpa ketulusan dan kerendahan hati, akan muncul “ego spiritual” yang cenderung meremehkan laku Mule Keto sebagai sebuah rutinitas tanpa makna.  
Insan-insan yang bijak justru meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Dengan menjalankan saja berarti sudah berada di jalur kebenaran, jauh dari sesat dan terhindar dari bahaya. 
Kita yang awam dengan tattwa agama, tak usah risau terhadap usikan “ Gama mule keto”. Jalankan saja apa yang menjadi “mule keto”. Nak mule saje keto orang memang benar demikian adanya . Semua sudah ditetapkan begitu, tak perlu digugat lagi jalani aja jgn terlalu susah lagi berpikir perihalah warisi mule keto .

Tak perlu gusar ketika tetangga sebelah tampak gagah menampilkan kehebatan filsafat agamanya. Membandingkan lalu memperdebatkan apalagi saling menyalahkan satu dengan yang lainnya kacau jadinya . Tapi ingat, ia hanya bisa meneriakkan apa yang ia tahu. Sadarilah bahwa manusia penuh keterbatasan, tak semua rahasia alam mampu dipahami. 

Gama leluhur bukanlah agama kotbah kebanyakan melakukan praktek dari pada teori  Lebih pada keteladanan, menyeimbangkan keluhuran pikiran perkataan dan perilaku. Penyelarasan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dan Hyang .

Memahami makna setiap laku agama memang penting. Tetapi mari pahami sebisanya dalam kepatutan, yang mana boleh dan yang mana tidak boleh( sesana anut linggih) Karena “Mule Keto” adalah ajaran tanpa ujaran tanpa merusak yg disamping . Ada sisi-sisi tertentu yang tak harus dibuka, karena ia adalah ilmu rahasia, dimana kedalaman maknanya yang tak mampu dijangkau nalar dgn pengertian sesuatu yang tak harus diperdebatkan lagi.

Gama Mule Keto seperti berjalan di atas rel kereta api. Para penumpang tak pernah melihat rel ketika berjalan, tetapi rel itu sudah pasti mengarahkan kereta ke tempat tujuan karena sebelumnya rel itu sudah dibuat sebelumnya oleh leluhur kita, ikuti dan jalankan saja pasti sampai di tujuan .

Mule keto menanam itu hukum tarik menarik ( Low atraksion ). Apa yang ditanam itu yang dipanen. 
Hukum kekal semesta alam berjalan .

"Nak Mule Keto" sebuah kalimat yang terdiri dari 3 kata yakni : Nak, Mule dan Keto. Dimana kata ini bisa juga diartikan sebagai sebuah jawaban universal bagi masyarakat Bali semenjak, entah sudah berapa lama kata ini telah dipergunakan. Yang pasti jawaban ini adalah final solution bagi kebanyakan masyarakat Bali (terutama dari kalangan orang tua), saat dihadapkan kepada sebuah pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab. 

Nak mule keto kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia maka akan menjadi : Memang sudah demikian atau Dari dulu sudah begitu.Sebenarnya jawaban ini tidak hanya membingungkan sang penanya tapi juga dapat membuat apa yang bisa Admin sebut sebagai PEMBODOHAN BERKELANJUTAN dari satu generasi ke generasi selanjutnya amat disayangkan apabila kalau para generasi tua malas untuk memberikan jawaban/menjelaskan sesuatu maka mereka akan menjawab NAK MULE KETO. Jadi bisa kita simpulkan bahwa NAK MULE KETO. merupakan sebuah Konklusi tanpa solusi yang jelas (Conclusion without solution)

Akan menjadi sangat disayangkan apabila banyak pengetahuan akan warisan budaya leluhur hilang begitu saja tanpa diketahui oleh kita/generasi muda. Maka dari itulah mari kita mulai menghilangkan kebiasaan berujar "NAK MULE KETO"(Apabila kita memang mengatahui jawabannya). 

Nak mula keto” merupakan pengingat untuk meneriman batasan logika, mengingatkan kalau tidak semua pertanyaan perlu dijawab dengan kognisi sehingga memberi ruang untuk sumber kebijakan lain—yang lebih besar—untuk memberikan jawabannya.

“Nak mula keto” menjadi sebuah cara untuk merendahkan hati dan menghentikan kegilaan-kegilaan kognisi, memberi waktu keluar dari hutan rimba ide, konsep, fislosofi dan hal-hal sejenis dan memberi ruang untuk hati untuk merasa, memberi waktu untuk tangan dan kaki menjalani sedikit pengetahuan yang sudah sempat dimiliki, bukan malah terlalu asik mengumpulkan jawaban namun lupa menjalaninya.

“Nak mula keto” merupakan pengingat untuk meneriman batasan logika, mengingatkan kalau tidak semua pertanyaan perlu dijawab dengan kognisi sehingga memberi ruang untuk sumber kebijakan lain—yang lebih besar—untuk memberikan jawabannya. Kognisi, logika dan penalaran memang merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan, namun tidak lantas hal itu kemudian kita jadikan alasan untuk melupakan sumber-sumber kebijakan lain yang sudah “dibekalkan” pada kita, sumber jawaban yang jawabannya memang tidak dipahami logika—dan karenanya tidak memuaskannya—namun memberi jawaban yang lebih mencerahkan.

“Nak mula keto” adalah cara untuk memberi ruang agar segala sesuatu dalam hidup bisa dinikmati sebagaimana adanya, bukan sebagaimana “dikonsepkannya”. Sudah menjadi kecenderungan dan tugas pikiran untuk memberi label dan penilaian terhadap segala hal—mulai dari melabel dan menilai diri sendiri, orang lain, keadaan dan bahkan Tuhan pun tidak luput dari berbagai macam label dan penilaian manusia—dan karena kita terlalu sibuk dengan konsep-konsep mental kita, kita jadi lupa melihat, menerima dan menghargai segala sesuatu sebagaimana adanya.

“Nak mula keto” ibarat pagar yang menjaga kuda-kuda pikiran kita tidak menjadi terlalu liar, tersesat kemana-mana dan malah dimangsa hewan buas. Selain pagar tersebut, kuda-kuda tersebut juga diikat dengan tali kekang bernama “eda ngaden awak bisa”, sebagai sebuah prinsip yang menjaga kita agar tidak terbawa oleh bahaya keangkuhan saat terus belajar.
Jangan merasa diri hebat, biarkan orang lain yang memberi penilaian, kitanya sibukkan diri belajar saja, karena bagaikan menyapu yang setiap hari disapu setiap hari juga ada sampah dan debu, demikian pula saat satu kebingungan disapu bersih dengan pemahaman, pertanyaan lain akan meggantikannya.

Ki Dalang Tangsub 
Rahayu rahayu rahayu.

#Mule Keto@Gama Bali//Hindu Bali//Gama Tirtha#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar