Rabu, 24 November 2021

Sangkepi Petanganan Astra Mantra Jangkep Bagi Pinandita Wiwa Griya Agung Bangkasa dan Mudra Sulinggih Dwijati

Sangkepi Petanganan Astra Mantra Jangkep Bagi Pinandita Wiwa Griya Agung Bangkasa dan Mudra Sulinggih Dwijati

PENDAHULUAN

Agama Hindu mengajarkan kepada penganutnya untuk selalu berpegang teguh pada Dharma dalam mencari nafkah. Tidak satupun sloka dalam kitab Weda membenarkan cara-cara buruk untuk mendapatkan nafkah/ sumber kehidupan. Cara mendapatkan sumber kehidupan bagi umat Hindu diatur dalam Manawa Dharmasastra,  Buku ke-4 “Atha Caturtho ‘Dhyayah” antara lain pada sloka 3 berbunyi:

YATRAM ATRA PRASIDDHYARTHAM, SWAIH KARMABHIRAGARHITAIH, AKLESENA SARIRASYA KURWITA, DHANASAMCAYAM

Artinya: 

Untuk tujuan mendapat nafkah guna menunjang kehidupan, seseorang hendaknya mengumpulkan penghasilannya dengan menjalankan usaha yang tidak tercela sesuai dengan swakarma-nya tanpa membuat dirinya terlalu payah tidak menentu.

Pada sloka 18 ditulis:

WAYASAH KARMANO RTHASYA, SRUTASYABHIJANASYA CA, WESAWAG BUDDHI SARUPYAM ACARAN WICAREDIHA

Artinya: 

Hendaknya manusia hidup di dunia ini dengan penyesuaian-penyesuaian meliputi: pakaian, tingkah laku, kata-kata, pikiran, dengan kedudukan, kekayaan, pelajaran suci, dan kebangsaannya.

Oleh sebab itulah aspek utama yang sangat penting dimiliki oleh seorang pinandita wiwa/jro mangku gde adalah penampilan yakni mengacu kepada tikas (tata busana, tata lungguh, tata genan, tata magentha), Raras (Ekspresi) dan gerak tangan/petanganan (yang lebih sering dikenal dengan sebutan mudra). Dari pengalaman saya banyak pertanyaan yang diterima tentang pengertian Mudra atau petanganan, serta siapakah yang boleh menggunakan petanganan itu, apakah hanya Sulinggih Dwijati, ataukah juga dibolehkan bagi Jro Mangku Gde/Pinandita Wiwa. 

YATHA YATHA HI PURUSAH
SASTRAM SAMADHIGASCATI
TATHA TATHA WIJANATI
WIJNANAM CASYA ROCATE

(Manawa Dharmasastra, Buku ke-IV, Atha Caturtho’dhyayah, 20)
Karena semakin dalam seseorang
mempelajari ilmu itu lebih dalamlah ia mengerti semuanya dan kepandaiannya bercahaya terang pada mukanya.

Maka dari itu penggunaan tentang bentuk-bentuk mudra juga saya lihat beragam namun mereka tidak dapat menyebutkan sumber sastra yang jelas. Praktek mudra biasanya diajarkan secara visual oleh para Nabe, sehingga penyimpangan dari bentuk aslinya bisa saja terjadi, apalagi bila dikembangkan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun.

Saya mencoba mencari sumber tertulis tentang mudra, dan menemukannya pada buku-buku yang ditulis oleh Dr. C. Hooykaas dan G. Pudja, M.A, SH. Kemudian inti sarinya, ditambah dengan pengalaman saya di saat Ngaturang Puja Mantra dituangkan dalam tulisan ini.


MANTRA
Sebelum menguraikan lebih jauh mengenai mudra, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui tentang mantra, karena mudra dilakukan seiring dengan mantra. 

Pemujaan dalam upacara ritual keagamaan secara Hindu selalu memakai mantra, sehingga dapat dikatakan tiada upacara yang lengkap tanpa mengucapkan mantra. Perluasan makna ini juga mencakup penggunaan mudra yang tepat.
Mantra adalah kata-kata yang penuh arti serta suara-suara rahasia yang bersumber pada Weda Sruti. Dikatakan sebagai suara-suara rahasia, karena ada beberapa mantra yang tidak dapat diterjemahkan atau diartikan namun mempunyai kekuatan magis tertentu.
Mengapa demikian, karena jika kata-kata mantra yang diucapkan serta mempunyai arti atau terjemahan tertentu bermakna sebagai pujian dan permohonan kepada Hyang Widhi dari manusia yang ketika itu berbahasa Sanskerta, maka bagian kata-kata mantra yang bersifat rahasia merupakan cetusan dari pikiran yang tidak terbatas untuk menuju kepada Hyang Widhi yang Acintiya artinya yang maha kuasa, maha sempurna, yang tak terpikirkan, tak berwujud, dan ada di mana-mana. Beberapa contoh ucapan rahasia ini misalnya: “hrang hring sah”, “ing hring sring kpreng”, “hung hung asra”, dan lain-lain.

Dalam mantra sering dijumpai kata-kata yang tidak lengkap artinya, baik karena diucapkan dengan satu suara yang terdiri dari satu huruf swara maupun terdiri dari dua huruf yaitu huruf mati dan huruf hidup, atau lebih dari dua huruf tetapi terdiri dari satu, dua, atau tiga suku kata.

Bentuk mantra seperti itu disebut “bijamantra” dan huruf-huruf asal yang membentuk mantra itu dinamakan “bijaksara”. Satu mantra dapat diulang-ulang dua atau tiga kali menurut keperluan dan sesuai dengan penempatan sifat “rahasia” yang sudah diuraikan di atas.


SIMBOLISME
Simbolisme dalam Ilmu Filsafat Samskara disebut pula sebagai Niyasa, artinya perwujudan bentuk mental kulturil dan spiritualisme yang didasari oleh prinsip “satkarya wada” yakni keyakinan bahwa apa yang ada di dunia ini adalah sama dengan bentuk asalnya, atau dengan kata lain bentuk apapun di dunia ini adalah ciptaan Hyang Widhi.
Dari pengertian ini kemudian berkembang keyakinan bahwa unsur-unsur mikro kosmos (bhuwana alit) adalah sama dengan unsur-unsur makro kosmos (bhuwana agung). Oleh karena itu dalam falsafah Samskara diyakini pula apa yang dipikirkan manusia adalah wujud dari keragaman kekuasaan Hyang Widhi. Seterusnya apa yang dibuat manusia sesuai dengan yang dipikirkannya adalah juga ciptaan Hyang Widhi.
Dalam upacara keagamaan manusia Hindu membuat berbagai atribut, upakara, dan lain-lainnya yang tergolong niyasa. Ini adalah wujud dari kedekatan pikiran manusia memuja Hyang Widhi. Bentuk-bentuk niyasa yang dilihat sehari-hari adalah: pelinggih, patung/ arca, warna, kober, tedung, banten, huruf-huruf/ aksara/ angka suci, kidung, gambelan, tarian sakral, dan lain-lain. 
Mantra dan Mudra juga adalah niyasa.


MUDRA

Mudra, mantra, dan manah mempunyai kaitan yang erat karena ketiganya merupakan perwujudan dari Tri Pramana sebagai karunia Hyang Widhi kepada umat manusia yaitu Sabda-Bayu-Idep dalam pengertian bahwa manusia ditakdirkan mampu berkata-kata, mampu bergerak, dan mampu berpikir.

Dalam filsafat Samskara dinyatakan bahwa manusia selalu harus bersyukur karena mempunyai ketiga kemampuan itu, sehingga manusia dapat dibedakan dengan binatang yang hanya mempunyai sabda dan bayu, dan tumbuh-tumbuhan yang hanya mempunyai bayu saja.
Mantra yang diucapkan dengan mulut adalah perwujudan sabda, mudra yang dilaksanakan dengan sikap duduk dan sikap tangan adalah perwujudan bayu, dan manah atau pikiran yang dikonsentrasikan pada makna mantra adalah perwujudan dari idep. Hubungan antara mantra dengan mudra disebut sebagai Wimarsa karena mudra adalah refleksi dari mantra.
Di samping itu mudra banyak berkaitan dengan arah mata angin dan cakra. Arah mata angin yang dikenal sebagai pengider-ider Dewata Nawa Sangga mengandung pengertian bahwa Hyang Widhi berada di segala penjuru mata angin, yaitu di:

  1. Timur sebagai Ishwara
  2. Tenggara sebagai Mahesora
  3. Selatan sebagai Brahma
  4. Barat Daya sebagai Rudra
  5. Barat sebagai Mahadewa
  6. Barat Laut sebagai Sangkara
  7. Utara sebagai Wisnu
  8. Timur Laut sebagai Sambu
  9. Tengah-Tengah (Sentral) sebagai Siwa-Sadasiwa-Paramasiwa

Cakra adalah pusat-pusat kekuatan Hyang Widhi pada tubuh manusia, dikenal ada tujuh cakra, yaitu:

  1. Muladara letaknya di dubur
  2. Swadistana letaknya di kelamin
  3. Manipura letaknya di pusar
  4. Anahata letaknya di jantung
  5. Wisudhi letaknya di pangkal tenggorokan
  6. Ajnya letaknya di sela-sela alis
  7. Sahasrara letaknya di ubun-ubun

Hubungan antara mudra dengan arah mata angin dan cakra juga disebut sebagai wimarsa karena mudra juga adalah perwujudan Hyang Widhi di segala penjuru mata angin dan perwujudan Hyang Widhi dalam tubuh manusia.
Dalam makro kosmos (bhuwana agung) mudra juga berkaitan dengan tiga alam, yaitu:

  1. Alam Bhur loka yaitu kehidupan di bumi
  2. Alam Bwah loka yaitu kehidupan para Dewa
  3. Alam Swah loka yaitu kehidupan di Nirwana

Hubungan mudra dengan ketiga alam itupun disebut sebagai wimarsa karena mudra juga mewujudkan keberadaan ketiga alam itu.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa mudra adalah bentuk-bentuk gerakan tangan dan jari sebagai niyasa untuk mewujudkan Hyang Widhi dalam alam pikiran serta mempersembahkan atau memohon sesuatu kepada-Nya sesuai dengan makna mantra yang diucapkan.

PENGELOMPOKAN MUDRA  SULINGGIH DWIJATI & PENGGUNAANNYA
Mudra untuk Bhuwana Alit:

  1. Parasu mudra, penolak rintangan dan kekecewaan
  2. Hrdaya mudra, pensucian jiwa atau noda
  3. Astra mudra, penolak kesedihan
  4. Wrsada mudra, penolak racun
  5. Sikha mudra, penolak kematian atau sifat Rudra
  6. Trisula mudra, pengendali angin
  7. Kawaca mudra, penolak bisa binatang
  8. Dhanu mudra, penolak kejahatan
  9. Pratistha mudra, mempertemukan atman dengan Brahman

Mudra untuk Bhuwana Agung:

  1. Trisula mudra: timur laut, penolak kekotoran
  2. Bajra mudra: timur, terima kasih kepada Sanghyang Dharma
  3. Sangkha mudra tenggara, memberi kepuasan pada Dewa Mrtiyu
  4. Danda mudra: selatan, kepuasan pada Dewa Brahma
  5. Khadga mudra: barat daya, pensucian jiwa
  6. Nagapasa (Pasa) mudra: barat, terima kasih pada Dewa Baruna
  7. Dwaja mudra: barat laut, penolak mejik
  8. Cakra mudra: utara, pensucian kecemaran dan menghilangkan kesusahan atas anugrah Bethara Kala
  9. Padma mudra: tengah, memberi kepuasan bathin atas anugrah Dewa Siwa.

Mudra (Petanganan Astra Mantra untuk Pinandita Wiwa):

  1. Akasa
  2. Pertiwi
  3. Takep tangan
  4. Usap tangan
  5. Kepok
  6. Petik
  7. Naraca
  8. Wrsada
  9. Cakra
  10. Wyoma
  11. Astra
  12. Hrdaya

MERANGKAI MUDRA
Mudra yang mengikuti mantram merupakan satu kesatuan yang merangkai beberapa mudra. Oleh karena itu mudra tidaklah statis. Perpindahan bentuk dari mudra satu dengan yang lain merupakan seni tersendiri karena dikembangkan oleh masing-masing pemuja, namun tetap berpegang pada hasil mudra yang sudah dibakukan sesuai dengan gambar-gambar di atas. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan mudra dengan baik perlu latihan yang intensif.

MEMBACA GAMBAR & PRAKTEK MUDRA
Di atas disajikan gambar-gambar mudra dilengkapi dengan mantra yang diucapkan dan nama mudranya. Cara membacanya berturut-turut dari kiri ke kanan sehingga dalam prakteknya akan merupakan satu kesatuan.

Dalam susunan acara pemujaan sang deijati khususnya dalam kegiatan Nyurya Sewana atau Ngarga Tirta, maka mudra serta mantranya disisipkan pada urutan Puja-mantra yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan itu. Untuk para Pinandita Wiwa hanya menggunakan Petanganan Astra Mantra, sedangkan untuk Dwijati menggunakan semua mudra.


KEPUSTAKAAN

  1. Wedaparikrama, G. Pudja, MA, SH, Penerbit Setia, Jakarta 1977
  2. Surya Sevana, The Way To God Of A Balinese Siva Priest, C. Hooykaas, N.V. Noord Hollandsche Uitgevers Maatshappij, Amsterdam, 1966
  3. Weda,…., Tim Penusun Buku Direktorat Jenderal Bimbingan masyarakat Hindhu dan Budha.
  4. Mantra Pemujaan Untuk Pemangku/ Pinandita, 2004, Drs. I Gusti Ngurah Sudiana,MSi, Parisada Hindu dharma Bali Bag. Konsultasi Agama dan Adat.
  5. Cakepan Alit Paruman Pemangku/Pinandita KabupatenDaerah Tingkat II KLK,….., Pinandita Jero Mangku Datin, Parisada Hindhu Dharma I Indonesia Kabupaten daerah Tingkat II KLK.
  6. Mlaspas dan Ngenteg Linggih Maksud dan tujuan , 1998, Drs. I Nyoman Singgih Wikarman, Paramita Surabaya.
  7. Stuti dan Stawa mantra Para pandita Hindu di Bali,2004, T Gondriaan dan C Hooykaas, Paramita Surabaya.

AJI SASIKEPAN

AJI SASIKEPAN
MANTRA UNTUK MEMBENTENGI RUMAH DARI AURA YANG KURANG BAIK

Srana Uyah lan Areng sembarangakena ring umah utawi pekarangan,
Mantra :
Ong Wetan Umahkune segara,
Ong Kidul Umahkune segara,
Ong Kulon Umahkune segara,
Ong Lor Umahkune segara,
Ong Beten umahkune segara muncar,
Ong Duwur Umahkune waja mekobet, Muksah hilang gumi kabeh, Katon dening, Desti Leyak, Teluh, Trang Jana, maling, sarwa makira - kira hala, teka pada beku , teka kolok, kalebok maring samudra, teka pada nembah , teka pada asih, teka asih - teka asih - teka asih.


Mantra penangkal
Rajin sembahyang dan berjapa
orang yang bisa kena guna-guna adalah orang yang sistem kekebalan tubuhnya (baik phisik, mental, spirit) lemah.
cara paling ampuh adalah menjaga agar sistem kekebalan tubuh tetap
pit...........sembahyang dan japa.

Mudah-mudahan mantra di bawah ini dapat membantu semeton semuanya..........karena sudah saya buktikan sendiri di banyak kesempatan dan juga oleh orang yang telah menggunkannya...........sekali lagi
bukan pamer tapi semata-mata untuk pasemetonan


#Mantra Brahma Gading Sewu

Mantra ini di ambil dari lontar yang berjudul Usada Gading Sewu, nama gading
sewu ini masih belum di temukan arti sesungguhnya. Ada yang mengartikan Kelapa Gading, ada juga yang mengatakan Bambu gading, namun bila di lihat dari penggunanya lebih mendekati Kelapa gading sebab ada air kelapa gading yang di gunakan dalam usada.
Awal lontar ini bercerita tentang Mpu kuturan yang sangat hebat memiliki ilmu
pengobatan dan spiritual sehingga amat sakti dan di takuti oleh musuh serta di segani kawan-kawan beliau.
Lontar ini berbahasa Kawi Bali dan sangat di rahasiakan oleh para balian, namun
banyak yang gagal mempelajarinya di karenakan kurang peterjemah yang bagus.
Mantra Gading Sewu. 

Bunyi mantra sebagai berikut: 
Ong ngadeg sanghyang Bayu
ring tungtungin lidah, 
Ang brahma gni murub kadi kala rupa anyapuh sarwa lara,

Langkah berikutnya tarik dan tahan
nafas di NABI ( Swadistana charka ) dan hembuskan ke kelapa gading, waktu
menghembuskan nafas lidah di lipat ke lagit-langit.RAHASIAKAN !!!! 7 X Baca.

Rerajahan.
Di butuhkan tembaga tipis lalu di tulisi (rajah Angkara ) untuk di masukan dan
rendam di kelapa gading.

Mantra pengurip untuk rerajahan:
Ong Sanghyang pasupati ngadeg
ring bayu, 
Urip sarwa rerajahan, poma, poma, poma 3X

Kegunaan: 
Untuk meruwat, menghilangkan segala jenis penyakit, yang datangnya tidak di
ketahui, baik dari manusia, bhuta, dan mahkluk gaib, termasuk pepasangan, bebai, dan guna-guna.

Caranya di minum atau pakai mandi, di isi dengan kembang Pucuk bang.

#Mantra Brahma Sapu Jagat

Mantra ini juga lanjutan dari mantra yang di atas, di gunakan untuk melindung
diri, rumah, dari gangguan makhluk halus maupun roh-roh jahat.

Bunyi mantra : 
Ong brahma metu saking kidul, 
Gni bang saking netra, 
Gni petak saking cangkem, 
Gni salembang saking buana, 
Ong urip dasa gni, 12x.

Cara konsentrasi:
Lertama-tama rasakan kekuatan api dari alam masuk ke ubun-ubun, lalu kumpulkan
di pusar sambil menahan nafas, langkah selanjutnya bawa api itu dengan niat
untuk keluar dari mata dan mulut.

Kegunaan dari mantra di atas: 
Apabila mau melindungi rumah atau NYENGKER buatlah serbuk dari
beras, lalu baca mantra, taburkan serbuk itu di pekarangan keliling arah jarum
jam terbalik. Bila tidak ada serbuk beras bisa di gunakan ABU dari Dapur, caranya sama seperti yang di atas.

Mantra-mantra di atas bisa juga di baca untuk, pergi atau memasuki tempat
kuburan, dan angker, karena sesungguhnya mantra itu anugrah dari Dewa Siwa.

#tubaba@griyangbang//ajisasikepan#

Selasa, 23 November 2021

Piodalan Pura Kahyangan Darma Smerti unteng pangrastiti Menggapai Anugrah dan Kebahagiaan dalam Pandemi.

MEMATIKAN DIRI (SEDARAGA) UNTUK MEMENUHI SEBUAH PESAN KEMATIAN

Apabila kamu ‘mati’ dari makhluk, maka akan dikatakan kepada kamu, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan waranugraha-Nya kepada kamu”. Kemudian Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan mematikan kamu dari nafsu-nafsu sadripu yang ada dalam tubuh kita. Apabila kamu telah ‘mati’ dari nafsu badanniyah itu, maka akan dikatakan kepada kamu, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan anugrah-Nya kepada kamu”.

Kemudian Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan mematikan kamu dari kehendak-kehendak dan nafsu. Dan apabila kamu telah ‘mati’ dari kehendak dan nafsu, maka akan dikatakan kepada kamu, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan anugrahnya-Nya kepada kamu”. Kemudian Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan menghidupkan kamu di dalam suatu ‘kehidupan’ yang baru (dwijati).

Setelah itu, kamu akan diberi ‘hidup’ yang tidak ada ‘mati’ lagi sebelum ada yang menggantikan tugasmu. Kamu akan dikayakan dan tidak akan pernah papa lagi. Kamu akan diberkati dan tidak akan dimurkai. Kamu akan diberi ilmu, sehingga kamu tidak akan pernah bodoh lagi. Kamu akan diberi kesentosaan dan kamu tidak akan merasa ketakutan lagi. Kamu akan maju dan tidak akan pernah mundur lagi.


Nasib kamu akan baik, tidak akan pernah buruk. Kamu akan dimuliakan dan tidak akan dihinakan. Kamu akan didekati oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan tidak akan dijauhi oleh-Nya. Martabat kamu akan menjadi tinggi dan tidak akan pernah rendah lagi. Kamu akan dibersihkan, sehingga kamu tidak lagi merasa kotor.

Ringkasnya, jadilah kamu demikian, kamu boleh dikatakan sebagai manusia super atau orang yang luar biasa.


Jadilah kamu ahli waris para wiku rakawi Ki Dalang Tangsub, sang catur dasa pitra dan orang-orang yang jujur atau benar. Dengan demikian, kamu akan menjadi permata bagi segala keturunanmu, dan orang tua/orang suci yang masih hidup akan datang menemui kamu. Melalui kamu, segala kesulitan dapat diselesaikan, dan melalui tapa, brata, yoga, samadhimu, tanam-tanaman dapat ditumbuhkan, hujan dapat diturunkan, dan malapetaka yang akan menimpa umat manusia dari seluruh tingkatan dan lapisan dapat dihindarkan. Boleh dikatakan kamu adalah polisnya yang menjaga kota dan rakyat.


Orang-orang akan berdatangan menemui kamu dari tempat-tempat yang dekat dan jauh dengan membawa hadiah dan oleh-oleh dan memberikan penghormatan mereka kepadamu. Semua ini hanyalah kerana izin Ida Sang Hyang Widhi Wasa Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa jua. Perkataan/ucapan/ujaran manusia tak henti-hentinya menghormati dan memuji kamu. Tidak ada dua orang yang beriman yang bertelingkah denganmu. Wahai mereka yang baik-baik, yang tinggal di tempat-tempat ramai dan mereka yang mengembara, inilah karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

#kipasekmanuaba//sidanagingin//MEMATIKAN DIRI (SEDARAGA) UNTUK MEMENUHI SEBUAH PESAN KEMATIAN#

#tubaba@griyangbang//Ida Sang Hyang Widhi Wasa//mempunyai kekuasaan yang tiada batas#

#kipuyungtiwas//terima kasih covid-19 //karena kehadiranmu memberikan pelajaran dan stimulus dalam kehidupanku#

Kamis, 18 November 2021

PENENTUAN GELAR DAN SETATUS

Madiksa sebagai suatu upacara umat Hindu dipimpin oleh seorang Pandita Nabe untuk meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan, karena lewat kesucian diri itulah manusia dapat berhubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Apa yang diputuskan ini adalah sebuah pelestarian budaya dan panggilan hati nurani, sekaligus usaha mendamaikan dunia, lewat doa setidaknya ikut mengontrol diri dan menjadi pembawa damai bagi persaudaraan umat manusia.
Di lingkungan kita banyak yang sudah memiliki gelar atau 'ngelarang kepanditaan atau kepanditaan, baik gelar sekala maupun niskala.
Tentunya untuk mendapat pengakuan di zaman seperti ini, haruslah ada legalitas, yakni pengakuan dari Guru Nabe, pengakuan dari PHDI dan juga pengakuan dari Desa Pakraman.
Selain itu diperlukan sebuah pengakuan melalui sebuah proses sepirit dan ritualnya yakni madiksa, sehingga dipandang sah untuk menuntun dan mengantar puja atau puji melalui sebuah yadnya.
Adapun proses menjadi seorang sulinggih mealui berbagai proses diawali dengan memilih Nabe, belajar yang sederhana dari Guru Nabe dan proses pengendalian diri.
Proses memilih Guru Nabe ditentukan oleh pengalaman batin dan kedekatan spiritual yang bersangkutan. Sehingga ilmu pengetahuan dan sesana pada dasarnya diturunkan secara murni dan otentik melalui proses parampara (garis perguruan). Bukan sekedar kesepakatan atau mengikuti pelajaran di sekolah-sekolah formal. Berusaha mengerti dari sekolah-sekolah formal modern sangat baik, tetapi jika pengajaran tidak dilakukan oleh seorang guru kerohanian bonafide dan tidak berdasarkan garis penabean yang jelas dan otentik, maka proses belajar mengajar tersebut hampir dapat dikatakan sia-sia. Bukan tidak mungkin dari sistem yang salah tersebut akhirnya menyebabkan pembentukan anak didik yang mengerti Veda dan sesana secara keliru.

#tubaba@griyangbang//sebatasmececingak//hasilkesepakatan#

Selasa, 16 November 2021

Puasa

MAPUASA 
Adapun maknanya secara istilah adalah, sujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Ida Bhatara Kawitan yang disertai niat, dengan menahan diri dari makan, minum dan seluruh pembatal puasa, dimulai saat akan melakukan pawintenan sampai terbenam matahari, kemudian besoknya dilanjutkan dengan puasa mamutih selama tiga hari yang dilakukan oleh orang yang tertentu dengan syarat-syarat yang tertentu.

#tubaba@griyangbang//mlajah mapuasa#

Minggu, 14 November 2021

PUTRU CARU

Ling Bhatara duh tanayan mami Hyang Kāla, hana pasungi bapanta riko, yan hana wwang tan bhakti ring kawitanya, mwang tan bhakti ring dewa, yatika wang tadhahanta. Mwah yan hana wang tan manut ring ling ning aji, waneh wang tanpagama, anganggo salah ukur amuji kawanganya dawak, yeka wang wênang tadhahanta.

Wanéh yan hana wang salah ukur, salah krama, alpaka ring rama réna, ring sang prabhu, ring guru kunang, maka dirining sang pandhita, yeka wang tadhahanta. Kunang yan hana Pañca yadnya tan manut ring ling ning aji, wënang ika tadhahanta. Waneh yan hana graha salah ukur tekeng natar palëmahannya tan pasukat, ndan lawanganya tan pasukat, hanganggo taru rebah tan pantara, mwang taru tan mrangkung sarah, salwiring sinangguh cacad ari nging aji, yeka wang tadhahanta, sang wang kreti mangkana.

Mangke wënang kita waranugraha kang wang kabéh, tingkahing manut pakarangan, wehana galar galir ri wates palëmahan, asing wang langgyan ri warah, wënang kita nadah wang mangkana, ling Bhatara Guru mangkana.

Wawang mojar Bhatari Umà, lahya kamung Hyang Kàla, mene bapanta aweh tadhahan riko, ri sedengning kreta treta nedha ninunta, ri dwapara lawan kali aweh tadhahan ri kamu, saka phala ta kawarana tadhahan denta jemah, mangkana ling Bhatari Umà.

Suka girang buddhi Sang Hyang Kàla, amanggih phala bhoga tambeyan.

Tucapa Bhatara Guru manih, menget ri wekasan, tan kayeng dangu dangu kamet ri ya nira, an mangke katekan krodha, angapa asamanapa Bhatari Umà, matëmahan Pañca Durga, melik pwa sira ri gatra nira, kaya kaya tan mangawasakenang bhuwana, lawan sarira, mene sinanggapa nira Bhatara Guru, matëmahan Kàla Ludra Mayà rupa, lumaku ta sira maka ring maka ring desantara, mamet unggwanira Srì Parwati Pañca Rupa, ri madyaning Pañcaka, Pañca Desa tunggwa nira Srì Durgapurwa, Rajidurga Utara, Sukasmidurga Pascima, Daridurga Daksina, Dewi Durga ana ring madya, malocitta pwa sira, pada hyuni kalima, arep anggawe tetumpur agung rumacanang wisyamandhi, jeg dhateng Bhatara Kàla Rudra manembah ta Úrì Pañcadurga prasamasangga ta nira, irika Úrì Bhatari Durga ngadakaken kalika kaliku, yaksa yaksi, dengen spah, kubandha, Bhatari Rajidurga ngadakaken babahi, jukih, jin setan, bragala bragali, Bhatari Sukasmidurga ngadakaken sampung, pamala pamali, karaseta, Bhatari dewi Durgadari ngadakaken preta, sajer, Bhùta kapiragan, Bhatari Madya Dewi Durga ngadakaken Pañca Bhùta, Bhùta Janggitan, Bhùta Langkir, Bhùta Lembu Kanya, Bhùta Taruna, Bhùta Tiga Sakti.

Mangkana lingnia, ikang semasana wënang ingaranan Pañcaka, apan unggwanira Bhatari Pañca Durga saha ardhanareswari mwang Bhatara Kàla Rudra. Lagi Mahà sireng Catuspata, masanggata mwah sira ngadakaken catur Bhùta, sang Drambamoha, Sang Kàla Ngadang, Sang Kàla Wingsa, Sang Kàla Katur. Lagi sira tumameng Salwa Agung, pinalih aranira, Bhatari Durga, maka ngaran Sang Kalika Mayà, Bhatara Kàla Rudra, maka ngaran Sang Juta Srana, masanggata sirengkana, mijil Sang Kàla Tiga, maka ring Sang Bhùta Raja, Sang Kàla Putih, Sang Kàla Bang, Sang Kàla Kuning,

Sang Kàla Ireng, lawan Sang Bhùta Pung, Sang Bhùta Dadu, Sang Bhùta Kwanta, Sang Bhùta Ijo, waneh Sang Bhùta Tasuwat, Bhùta Walang Kerik, mwang Bhùta Sañcaya, akweh yan wuwusën.

Asuwiya ta angen angen Sang Hyang Tri Samayà, i lampahira Bhatara Guru, winastunggwanira matëmahan Kàla Rudra krura rua, malo citta pwa sira, katiga, maka nimita somya rupa Bhatara Guru maluya jati Siwa, angringgit rakwa sira, waluya tinatah nira, mintonaken Mayà rupa Bhatara Guru, lawan detya kabéh, mwang Sang Hyang Kàla Nucara, ginerahita Mayà Bhatari, i telas mangkana, umahà Sang Hyang Tri Semaya mamet unggwanira Sang Susuhunan, amurungaken manadah manusa, kapanggih Sang Hyang Kàla Rudra aronrowan lawan Bhatari maswana ring buwat Salwa Agung mapanjang, Bhatara Kàla Rudra maka nama Sang Juti Srana, Bhaþari Durga maka nama Sang Kalika Mayà, mangkana gopita Bhatara Bhatari.

Meruh Sang Hyang Tri Semaya, lumaris mares ri Bhatari pati, majaraken lampahira Sang Sasuhunan, kinon Srì Aji Galuh mangarpanaken saji nira, ikang caru Pañca Siya mwang rah dagingnia tasak mentah, jangan lawan asem, carbaka mwang mulaphala, pinuja de Sang Mahà Pandita, maka phala tan ruganing naga reng Galuh, tekapira Sang Kàla Rudra, sira nimitaning hana caru ring Yawa Dwipa, masinggih Srì Bhatari Pati, kadi ling Bhatara Tiga, kunang cihnaning Sang Ratu Subagyawirya, tan wilambi ta Umàdang pada sanaha, Bhagawan Siddha Yoga mangalyaning Pañca Siya nira, pinten lwirnia, sinasar ring lemah, ri arepaning Salwa Agung, ginaweyaken Panggung Sang Hyang Tri Semaya, kumenaken kelir ningawayang, Bhatara Ìswara udipan, rinaksa de Sang Hyang Brahma Wisnu, ginamelan dening kecapi, rinoruwad pamancang, mwang gulaganti, sinamening langon-langon winahyaken lampah Bhaþara kalih, Sang Hyang Kàla Rudra lawan Bhatari Durga, sira puwekaning hana ringgit ring yama mandala, tinonton ring wang akweh.

Somya ta ambek Bhatara Guru mula tilalakon Sang Hyang Ìswara, kinon pwekang Bhùta kabéh mamukti caru , merang pwa sira Bhatara Bhatari, sampun tinagga Pañca siya Úrì Bhatari pati, i rika wadwa cara nira kabéh, salwiring Bhùta Kàla dengen, mawaraguwaregan padha somya rupa, tan wanya mambek irupya, dinulur kasaktining japa mantra nira sang Rsi Siddhayoga, sinagara tang sarwa Bhùta, kinon mantuk ring sunyata, waluya Siwa Jati rupa, mintur Sang Hyang Kàla Rudra mwang dewi nira, keranging wadocara nira sadaya.

Mwah ana pamanggahan kidul wetaning nagara Galuh, sema kaliasem ngaranya, patamputing pamasaran sawaning wang mati saloring gunung, lawan wetaning gunung, ngirika ta unggwan Bhatari Durga lawan Sang Hyang Kàla Rudra kawapita de Sang Hyang Tri Semaya ri Srì Bhatari Pati, mwah sira mangutus ngarpanaken tadhah saji nira kayeng lagi, mwah rah daging sarwa mangsa, saha panggung ning ngawayang, mwang angringgit Sang Hyang Ìswara, tumuturaken lampah Bhaþara nguni, tan duwa somya wit ta Bhaþara Kàla Rudra, malwi Siwa rupa, mintur swa sira umegil ring wadwa dusun dusun, tinuduh de Bhatara Tri Semaya, magawe pwa sira methen, Bhatara Ìswara dadi Swari, Bhatara Brahma dadi Peret, Bhaþara Wisnu dadi Tekes, tumandang angigelsira, angidung mbandagina, lagia tumuturaken lampah Bhaþara Kàla Rudra, ndah suksma sira mantukeng Siwa Loka, walwi Bhatara Guru sira.

Ndah paramagarjit angen angen Sang Hyang Tri Semaya, maka phalang jerembana kriya nira, sira nimitaning hana wayang mwang menmen nguni katekeng mangke

Kunang Bhatari Pañca Durga, kari haneng Sema Kaliasem, sarwa daksa sira, keringin Bhùta Kàla kabéh, padha nara mangsa nitya Kàla sukan sukan, hametwaken Mahà Berawa, ndah henengaken ikang kata sekareng.

Tucapan Sang Hyang Kàla mabayangan lampahira kateka tekeng bhumi yawa nira, Mayà Mayà rupa nira, tan wareg ta sira Umàngan sarwa mambekan, sakweh sesining alas muwang wadwa dusun, pira kunang nwehing wang padha weruh i tekaning patinia, hanan pejahing rahina ana ring wengi, sapuluh pejah sapisan, satus eled kapisan, binuru de Sang Hyang Kàla, len wang mati tiba ring jurang, hana kalebu ri walahar, padha kasyasih manangis masambatan prasama astawa Sang Hyang Widhi, sigra tumurun Sang Hyang Tunggul, mabhawa manusa wredha stri lilu, angalangana Sang Hyang Kàla amangan wang.

Gumanti Sang Hyang Widhi marupa Suku Tunggul, amara walampah Sang Hyang Kàla, tan duwa krodha Sang Hyang Kàla, angalangi laku nira, ping pat ping lima katekan ping satus, sinikepi nenga Mayà nira Sang Hyang Tunggul, sadra umelek kukusi de sira Sang Hyang Kàla, umangan ikang sato suku Tunggul, mwah sinambut nira tekeng wang stri wredhah, ping sapta inele nira, umer juga sira ri arep Sang Hyang Kàla.

Kemengan manah Sang Hyang Kàla, manangis makidupu manembah ring jöng wang stri wreddah, aminta sanmata kaluputan lampahira, irika tumingal tekang wang kabéh, numudeg ala ayu manonton gati nira Sang Hyang Kàla, kadi wang siwosiwopa katonia, padha sahur manuk ikang wang kabéh, sinengguh iccha Sang Hyang Widdhi, padha nembah makidupu haminta jiwita, jeg datëng Bhatara Guru mwang Bhatari Umà, ngaku waning wija nira Sang Hyang Kàla, ngampuni kang luputaning tanaya nira, ri jongira Sang Hyang Tunggul, ndan kapwa inuduhira para wang kabéh. Laki biha sulung sulung sumuyug datëng manembah, ri suku nira Bhatara tiga, ndan ling nira Bhatara Widdhi kabéh.

Lahyang kita wang kabéh, aywa kita nedha tan menget ri kami, kami mulaning sariranta, kami Sang Hyang Guru Reka, angreka sesining rat kabéh, kami sinangguh Bhatara Widdhi, dewa hyang kawitanta kabéh, kami manunggal ri Sang Hyang Siwa Umà Kàla, kami masarira Sang Hyang Brahma Wisnu Ìswara, menget kita kabéh.

Mangke wang kita samuha, magawe kita sanggar kawitan tiga srana, saduluk saduluk pawetuwanta kabéh, apan mabeda beda swakawitaning wang, pada mijiling Pañca Siwa, yang paramartha tekeng kami, kami utepeti stithi linaning wang, aywa kita korupamoh, ri tataning Pañca paramartha, maka nguni kita manembah saswiring mapindha sarwa sato, kami waranugraha, apan kami wang marupa sato, hengetakena aywa lupa.

Maka hetu bhaktinta ring kawitan, mwah yang kita tatan stithi bhakti ring kawitanta, Sang Hyang Kàla pinaka tadhaneng kita, ring tataning Pañca yadnya, ana weh prabedaning jagat, hirika kiwa sitwa, wang magawe ala ayuning jagat, mangke kinon kung lahya kena subha asubha phalaning Pañca yadnya kabéh, dewa Kàla anggon wani tyasa, kunang tekaning yuganing bhumi, Kaliyuga sariranta yan mangkana, wang kita magawe sanggar ring rat, sumurup ri manahing wang, kita pinaka lingganing catur yuga.

Kunang mangke ana wang pinakastrinta, wijanirayamaloka, makebu Bhatari sadhana, we kaliku buwana ngaran ika, yatika amet anta rowanganta dresti stri tilinaning jagat, ndan weruh swa kita amanggehaken swadharmaning jagat, aywa alangana kita, tasmat tan waluya dewa muwah, samangkana ling

Bhatari hyang Widdhi, manembah ta Hyang Kàla, mur data ri hyang tanpamengan.

Tumangga manah nira Sang Hyang Kàla, saha nembah amwit lumariseng yamaloka, angayap ri Sang Hyang Dharmaraja, padha prati patitambek, samabuhayah, suksma Bhatara Guru, mwang Bhatari Umà, nuladeng Mahàmeru sira. 

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Jumat, 12 November 2021

UPACARA PUJA BHAKTI RING SANG HYANG AGNI

UPACARA PUJA BHAKTI RING IDA SANG HYANG AGNI
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S.,M.Pd

Agama Hindu merupakan salah satu agama besar yang diakui diseluruh dunia dan merupakan agama tertua yang berdiri di atas pondasi Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, yakni Tattva atau filsafat agama Hindu, Susila atau etika agama Hindu, dan Upacara atau ritual agama Hindu. Tri Kerangka Dasar Agama Hindu ini diibaratkan seperti sebutir telur, dimana kuning telurnya merupakan tattva, putih telurnya adalah susila serta kulit telurnya diibaratkan sebagai upacara. 

Upacara atau ritual inilah merupakan bagian dari Tri Kerangka Dasar agama Hindu yang dapat dengan mudah dilihat dan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam ritual agama Hindu dilaksanakan oleh umat, salah satunya adalah upacara puja sang hyang agni. 

Sanghyang Agni adalah dewa penguasa api sebagai salah satu dari asta dewata yang biasanya pemujaan dan persembahannya dilaksanakan dengan sarana dan upacara sebagai berikut :
  • Dalam upacara Agni Pralina yang bertujuan untuk mengembalikan unsur unsur panca maha bhuta yang melekat dalam badan kasar dan halus dari roh bersangkutan.
  • Dengan sarana Damar Kurung sebagai permohonan kepada Sanghyang Agni yang bertujuan untuk menyempurnakan prosesi ngaben dalam pelaksanaan upacara pitra yadnya dan juga agar cuntaka dapat berkurang.
  • Upacara puja bhakti pada sang hyang agni sebagai perantara manusia berhubungan dengan Tuhan dan dengan para Dewa.
  • Beliau juga disebutkan, menurunkan ajaran Agni Purana kepada Rsi Vasistha yang dituangkan dalam kitab Mandala VII Rg Weda sebagai wahyu yang paling pertama dihimpun.
Sang Hyang Agni (Dewa Api) adalah juga dewa yang terpenting dan dianggap sebagai perantara manusia dan dewa-dewa, karena dia penerus pujian-pujian dan korban bakar kepada para dewa, dan dia juga yang mendatangkan para dewa ketempat-tempat sesajian dengan bunyi-bunyian dalam api. Disetiap rumah orang Hidu biasanya mempunyai tiga macam api yaitu api untuk upacara harian, api untuk upacara tengah bulanan dan api untuk pemujaan arwah leluhur. Disamping itu ada upacara setiap empat bulan sekali dan upacara pengangkatan altra api yang disebut ‘Agni Cayana’.

Dalam beberapa sumber lontar seperti halnya Lontar Kotaraning Sembah dan Lontar Weda Parikrama Sarahiota Samaptadijelaskan bahwa Api selalu menjadi pokok landasan dasar pelaksanaan upakara karena api dalam sarana pamuspan disebutkan sebagai simbol Sang Hyang Widhi dengan Prabhawa Sang Hyang Agni atau Brahma,
yang merupakan sumber dari Widya (Pengetahuan) dengan saktinya yaitu Dewi Saraswati. Api juga sebagai sumber kekuatan pembakaran yang menghanguskan kekotoran dan kebutaan spiritual di Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung.
Puja Sang Hyang Agni adalah upacara persembahan kepada Deva Agni yang  kerap disebut dengan istilah Agini Hotra atau Vedic ritual atau juga disebut Vedic Fire Ceremony. Upacara Puja Bhakti ring Ida Sang Hyang Agni dari dulu dilakukan oleh orang Bali dengan memadukan dengan adat budaya Bali/dresta Bali. Meskipun di Jaman ini Puja Sang Hyang Agni dengan istilah agnihotra terdengar asing ditelinga umat Hindu, namun pada dasarnya simbolisasi dari agnihotra ada dalam setiap ritual keagamaan di Bali yakni dalam bentuk pasepan. 

Upacara Puja Sang Hyang Agni  sendiri memiliki beberapa fungsi yang berkaitan juga dengan fungsi api itu sendiri sebagai bagian terpenting dari upacara Puja Sang Hyang Agni atau agnihotra. Adapun fungsi dari upacara upacara Puja Sang Hyang Agni antara lain : sebagai inti yajna, upacara Puja Sang Hyang Agni sebagai perantara pemuja dengan yang dipuja, upacara Puja Sang Hyang Agni sebagai penyucian, upacara Puja Sang Hyang Agni sebagai penerangan, upacara Puja Sang Hyang Agni sebagai sumber energi, upacara Puja Sang Hyang Agni sebagai sarana peningkatan spiritual serta upacara Puja Sang Hyang Agni untuk keharmonisan.

Upacara upacara Puja Sang Hyang Agni merupakan upacara yang bersumber langsung dari Veda, dimana upacara upacara Puja Sang Hyang Agni adalah sebuah aktivitas keagamaan dimana dalam pelaksanaannya memakai api sebagai media kepada Dewa Agni yang merupakan salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Selain itu, juga sebagai simbol kekuatan, seperti adanya api penimpug, api tekep, api dupa, api yang lain seperti api linting pada banten pengelepasan AUM dan lain-lain. 

Komponen penyelenggara upacara 
upacara Puja Sang Hyang Agni, yaitu Api sebagai simbol Deva Agni, pelaku upacara meliputi pinandita hotri, sang yajamana, sarati banten, sekha geguntangan, sekha shanti "kidung suci" dan para semeton pemilet pangubhaktian ring Ida Bhatara Sang Hyang Agni. 

NUNAS ICHA

NUNAS ICHA PAUNGU ATUR MENETRALISIR KARANG PANES

1. Ngaturang Pejati di Merajan/ Kemulan berisi bungkak nyuh gadang atau nyuh gading. Nyuh gadang simbul tirta durmanggala, Nyuh gading simbul tirta prayascita. Upakara ditujukan kepada Ida Bhatara Guru saha leluhur sami. Mantra Guru stawa, atau gunakan sesontengan dengan bahasa sendiri utk memohon kerahayuan jagat dan kesehatan. Setelah ngaturang bhakti, nunas tirta dari bungkak Nyuh gadang/nyuh gading tersebut.

2.  Masegeh dihaturkan di natar merajan segehan putih, ring natar segehan brumbun, ring dalem karang segehan selem dan di lebuh yaitu pintu masuk rumah yg menghadap ke jalan, segehan brumbun. Upakara ditujukan kepada Sang Dhurga Bhucari saha para butha bhuti rerencang ida bhatara sami. Kurang lebih tetandaingan segehannya demikian, tidak perlu ditambah apa-apa lagi (kecuali ada petunjuk khusus tambahan dari sulinggih). Sesontengan dapat menggunakan bahasa sendiri, intinya mohon keselamatan dan penangluk gering, sabsab merana lan pemalinan karang. Diakhiri dengan kata "Poma poma poma". Maknanya semoga tenang/terberkati.

Upakara sudah dapat mulai dihaturkan mulai pukul 17.00 wita.

Nunas ica ring Ida Bhatara sami mangda sami nemu rahayu, jagat sida sukerta kadi jatimula.

#tubaba@griyangbang//mogirahayushanti#


Selasa, 09 November 2021

Griya Bangkasa Lahirkan 13 Sulinggih Warga Jepang, Disudhi Widani Sebelum Madiksa

Griya Agung Bangkasa mencatat sejarah dalam perkembangan Agama Hindu di Bali.

Sebanyak 13 warga Jepang disahkan menganut Agama Hindu, kemudian didiksa menjadi seorang sulinggih.

Sebanyak 13 warga negara Jepang tampak kusyuk mengikuti prosesi madiksa di Griya Agung Bangkasa, Desa Bongkasa, Abiansemal, Badung, Senin (14/1) malam.

Mereka pun kini terlahir sebagai orang yang disucikan.

Sebelum melakukan proses madiksa, ke-13 warga asal Jepang itu sudah disahkan sebagai penganut Agama Hindu.

Mereka melalui proses Sudhi Widani di Griya Agung Bangkasa pada beberapa tahun lalu. Selanjutnya menjadi bhawati atau pemangku hingga tahap tertinggi yakni madiksa.

“Sami sampun Masudhi Widani, sebelum melakukan proses madiksa,” ujar putra mendiang Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba, I Gede Sugata Yadnya Manuaba, Selasa (15/1).

Sugata Yadnya Manuaba mengatakan, proses madiksa terhadap warga Jepang tersebut serupa dengan diksa pada umumnya.

Termasuk prosesi seda raga yang menjadi tahapan yang ditunggu-tunggu.

Saat seda raga ini, sang diksita konon akan mendapatkan pengalaman spiritual yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Sejumlah warga asal Jepang dengan kusyuk mengikuti proses madiksa untuk menjadi sulinggih di Griya Agung Bangkasa, Desa Bongkasa, Abiansemal, Badung, Senin (14/1) malam.

“Pengalaman itu terkadang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata yang tepat. Sebenarnya mereka sadar dengan dirinya. Bahkan aliran napasnya mereka rasa, tapi apa yang dialaminya, hanya mereka yang paham,” paparnya.

Menurut Ida Pandita Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba yang terlibat dalam padiksaan itu, sebelum proses diksa dilakukan proses dwijati yang sangat sakral.

Dwijati adalah kelahiran kedua kali bagi seorang manusia. Kelahiran pertama, yakni dari rahim ibu atau biasa disebut istilah kelahiran biologis.

Sementara kelahiran kedua dari pengetahuan yang diturunkan sang nabe atau disebut kelahiran dari segi ideologis

“Proses menghidupkan inilah yang namanya dwija. Dwija itu menghidupkan kembali. Jadi sulinggih ini di-seda raga dulu, dimatikan. Kemudian dihidupkan kembali oleh nabe-nabe. Ini yang disebut dengan dwija. Ada juga pengertian dwijati, setelah lahir dari ibu, kemudian lahir Weda, pengetahuan dari nabe-nabe,” paparnya.

Mereka yang didiksa menjadi sulinggih mendapat gelar sesuai konsep amari aran.

Mereka adalah Ida Pandita Mpu Minako Wira Raga Manuaba, Ida Pandita Mpu Naoko Siwa Paraga Manuaba, Ida Pandita Mpu Akiko Kusuma Daksa Manuaba, Ida Pandita Mpu Junichi Wiswa Mitra Manuaba, Ida Pandita Mpu Kumi Yawakerta Parama Manuaba, dan Ida Pandita Mpu Yoshinori Kamya Yoga Manuaba.

Kemudian ada Ida Pandita Mpu Chikako Sanaka Dharmita Manuaba, Ida Pandita Mpu Tokina Daksa Vigneswara Manuaba serta Ida Pandita Mpu Yusaka Mudgalya Daksa Manuaba.

Selanjutnya Ida Pandita Mpu Chie Astra Wakra Manuaba, Ida Pandita Mpu Norihiko Soma Parama Daksa Manuaba, Ida Pandita Mpu Eiko Dattatreya Manuaba, dan Ida Pandita Mpu Kumi Gangga Daksa Manuaba. Sedangkan satu bhawati atas nama Megumi Suzuki.

Sementara selaku Nabe Tapak Sulinggih adalah Ida Pandita Mpu Sinuhun Siwa Putri Prama Daksa Manuaba. Nabe Saksi, Ida Pandita Mpu Siwa Buddha Daksa Darma Darmita.

Sedangkan Nabe Waktra yaitu Ida Pandita Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba. Selaku Nabe Tapak Bhawati Ida Pandita Mpu Tri Daksa Nata.

Adapun sulinggih yang ikut serta dalam prosesi sakral dan bersejarah ini di antaranya Ida Pandita Mpu Siwa Wyasa Prama Daksa Manuaba dan Ida Pandita Mpu Putra Prama Daksa Buddha Yoga Manuaba.


#griyaagungbangkasa//rangdilangitteguhwanabangkasa#

MAKNA KUNINGAN

MAKNA SIMBOL PERLENGKAPAN DALAM BANTEN KUNINGAN. 
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S.,M.Pd
Hari Raya Kuningan yang kali inu jatuh pada hari Sabtu/Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, tanggal 20 November 2021. Setelah melaksanakan Hari Suci Galungan, sepuluh hari kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan hari Suci Kuningan. Pada hari ini umat Hindu identik membuat Nasi Kuning. Namun, apa sejatinya makna Perayaan Hari Sci Kuningan?. 

Kata Kuningan berasal dari kata Kuning. Warna kuning selalu dikaitkan dengan keceriaan, kebahagiaan, dan rasa optimis. Warna Kuning, perlambang Ida Bhatara Hyang Putrajaya sebagai refleksi dari kehidupan kita dalam hal menegakkan kekuasaan, kewibawaan dan kecerdasan, yang banyak hubungannya dengan keamanan dan ketertiban. Warna kuning kerap kali digunakan dalam terapi untuk meredakan stres atau sebagai pengendali emosional. Selain warna dalah amertha. Selain itu, ada beberapa yang mengatakan kuningan berasal dari kata Keuningan yang mengandung makna ingat atau Kepradnyanan.


Dapat disimpulkan bahwa Kuningan merupakan tonggak umat Hindu untuk memohon amertha kepradnyanan dan ingat pada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Mahadewa serta Ida Bhatara Hyang Putrajaya sebagai refleksi dari kehidupan kita dalam hal menegakkan kekuasaan, kewibawaan dan kecerdasan.

Pelaksanaan Hari Kuningan hendaknya tidak melebihi pukul 12.00 siang. Karena ketika telah melewati waktu tersebut para Dewata-Dewati sudah kembali ke Kahyangan.

Dalam lontar sundari gama menyebutkan pelaksanaan hari Suci Kuningan menggunakan Uperengga (perlengkapan banten) yang berbeda dari hari lainnya. Beberapa di antaranya yakni Tamiang, Andong, Tebog, sampian Gantung dan Salanggi. 

Perlengkapan banten tersebut memiliki bentuk yang hampir sama dengan senjata dan alat-alat perang. Seperti halnya Tamiang, Tamiang berasal dari kata Tameng, yang jelas merupakan sarana perlindungan terhadap musuh. Musuh dalam hal ini adalah diri sendiri dan aura negatif yang kemungkinan muncul dari luar. Tamiang biasanya  dipasang pada pojok-pojok rumah dan Palinggih.

Tamiang juga sering diibaratkan sebagai perputaran roda alam atau Cakraning Panggilingan yang merujuk pada pemahaman kehidupan yang diibaratkan sebagai roda yang berputar. Konsep Dewata Nawa Sanga juga sangat melekat dalam pembuatan Tamiang.

Uperengga selanjutnya adalah Endongan. Endongan dimaknai sebagai alat atau wadah untuk menempatkan perbekalan. Dimana dalam menjalani kehidupan manusia harus memiliki perbekalan yang cukup. Bekal manusia tersebut disimbolkan dengan panah. Namun hal itu adalah simbolis, senjata manusia yang digunakan sebagai perbekalan mengarungi kehidupan adalah ketajaman pikiran dan ilmu pengetahuan.

Lain halnya dengan Sampian Gantung memiliki makna sebagai Penolak Bala.

Selain itu pada hari Kuningan Umat Hindu biasanya membuat Tebog. Tebog adalah salah satu Uperengga yang di dalmnya terdapat Nasi Kuning yang merupakan simbol Amertha, Kacang Botor sebagai simbol Tapa, Daun Intaran sebagai simbol kemakmuran, Caling-calingan sebagai simbol kepradnyanan, Daging Calon sebagai simbol kewibawaan, dan Wayang-wayangan sebagai simbol manifestasi Sang Hyang Widi.

Uperengga selanjutnya adalah Selanggi, yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Tri Purusa yang bersifat Satyam, Siwam dan Sundharam, yaitu menganugrahkan Keteguhan iman, kesucian dan kemakmuran kepada umat manusia. Dengan demikian, hari Suci Kuningan memiliki makna filosofis yang mendalam sehubungan dengan kehidupan semua makhluk di alam semesta ini. Lebih tepatnya adalah ucapan rasa syukur Umat kepada pencipta atas segala berkat dan karunianya di Dunia. Serta senantiasa memberikan kemakmuran kepada umat.

Hal inilah pulalah yang mendasari mengapa upacara untuk kendaraan dan segala karunia Tuhan dilaksanakan pada Hari Kuningan.


PENAMPAHAN KUNINGAN

Hari suci Kuningan diawali dengan penampahan Kuningan yang jatuh hari ini, Jumat, Wage Wuku Kuningan, tanggal 19 November 2021.

Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebuah kutipan. 

"Sapuhakna malaning jnyana" yang artinya hilangkalah kekotoran pikiran.

Hal ini sesuai dengan arti kata penampahan, terdiri dari kata 'tampah' yang artinya menyembelih atau memotong, dan kata ini mendapat konfiks pe-an yang berarti menjadikan sesuatu hal. 

Arti harfiah dari kata penampahan, adalah menjadikan sesuatu hal itu dipotong atau dipangkas.

Apa yang dipotong atau dipangkas? Secara makna filsafatnya yang dipotong atau dipangkas adalah hal-hal yang bersifat ahamkara, momo angkara, sifat-sifat kegelapan yang ada dalam diri sebagai umat manusia.

Semua sifat itu harus dipotong atau dipangkas dengan jalan upacara 'mabyakala' secara nyata, tetapi secara tidak nyata kita harus mulat sarira atau koreksi diri agar tidak memunculkan sifat-sifat keraksasaan dan diubah dijadikan sifat-sifat kemanusiaan sehingga mempunyai hati nurani. 

Di samping itu, menurut lontar Sundarigama arti filsafat hari suci penampahan Kuningan adalah 'pamyakala kala malaradan' artinya menghilangkan atau memusnahkan sifat-sifat kebinatangan/ keraksasaan yang ada pada diri manusia.

#tubaba@griyangbang//penampahankuningan#


Senin, 08 November 2021

Refleksihatimenerangidiri

Refleksi Hati Menerangi Diri
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S.,M.Pd
Pada kekinian jarang-jarang ada yang  menyediakan waktu dalam kesunyian untuk menyepi, 
Tempat ramai yang selalu dicari
Kalau pun ada yang mau menyepi sebab lagi frustasi
Ada pula yang menyepi demi untuk mencari inspirasi, 
Atau hanya melampiaskan imajinasi

Saat ini bisa mencari waktu untuk menyepi merupakan tantangan tersendiri, 
Menyepi bukan sembarangan mencari sepi, 
Atau sekadar mencari inspirasi duniawi, 
Namun dalam menyepi untuk menemukan sesuatu yang berarti

Dalam keheningan menyepi di puncak sunyi,
Hanya ada cahaya dan suara Ida Hyang Widhi,
Menyelam sampai ke samudra hati yang benar-benar sepi,
Berkilauan cahaya nurani yang penuh maha mengerti,
Waktu khusus untuk introspeksi diri

Sejatinya menyepi menjadi ritual setiap hari,
Bukan ritual basa-basi atau aktualisasi diri,
Menyepi dalam puncak kesunyian demi untuk menemukan hakekat diri sejati


Ritual menyepi menemukan jati bisa jadi dianggap basi
Menyepi untuk hal duniawi atau mencari sensasi lebih menarik hati,
Lebih antusias menyepi demi tujuan mendapat banyak materi,
Soal menemukan jati diri urusan nanti

Setahun sekali menemukan waktu untuk menyepi pun sudah cukup berarti,
Dalam kebersamaan menyatukan jiwa suci,
Mengabarkan kepada sesama untuk berjalan kembali ke rumah sejati,
Hingga memahami akan hakekat hidup ini

Sebab dalam keramaian manusia suka lupa diri,
Dalam hiruk-pikuk duniawi manusia lebih memilih menjadi tuli,
Tidak mendengarkan suara nurani untuk menyadarkan diri,
Sebab ego berkuasa dengan tinggi hati dan membenci sunyi dalam keheningan nurani

#tubaba@griyangbang//refleksihatimenerangidiri#


Sesayut Pamiyak Kala Laramalaradan Ring Penampan Galungan

Sesayut Pamiyak Kala Laramalaradan Ring Penampan Galungan

Oleh: I GEDE SUGATA YADNYA MANUABA, S.S, M.PD


Sehari sebelum hari raya Galungan umat Hindu di Bali umumnya menyiapkan perayaan Galungan dengan memotong hewan seperti ayam dan babi untuk pesta perayaan Galungan. Pengertian itu sesungguhnya suatu pemahaman yang sangat awam, namun hal itulah yang jauh lebih mentradisi daripada arti sesungguhnya Penampahan Galungan itu.
Penampahan Galungan dalam wujud ritual dirayakan dengan upacara Natab Sesayut Penampahan atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan. Makna dari prosesi ritual ini adalah untuk mengingatkan umat agar membangun kekuatan Wiweka Jnyana atau membangun kekuatan diri untuk mampu membeda-bedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buru. Mana yang patut dan mana yang tidak patut.

Dengan demikian secara tegas dapat kita menghindar dari
kesalahan-kesalahan yang dapat membawa kita pada kehidupan yang adharma. Jadi penyembelihan ayam dan babi itu sesungguhnya sebagai simbol untuk menyembelih sifat-sifat serakah suka bertengkar seperti sifat buruk dari ayam dan sifat-sifat malas pengotor seperti babi. Karena binatang itu juga memiliki sifat-sifat baik secara instingtif. Tentunya akan menjadi mubazir kalau perayaan hari Penampahan ini kita rayakan hanya dengan pesta-pesta. Hendaknyalah disertai renungan untuk dengan sungguh-sungguh kita berusaha untuk menyembelih sifat-sifat malas dan serakah yang mungkin masih melekat dalam diri kita. Dengan demikian saat Galungan berikutnya kita sudah menjadi lebih baik dari Galungan sebelumnya.

Pamiak Kala adalah lambang penyucian yang bersifat lahiriah dan merupakan kebalikan dari prascita sebagai lambang penyucian rohaniah yang biasanya digunakan sebagai persembahan kepada Sang Bhuta Pemali sebagai penguasa tata ruang atau tempat yang bertujuan untuk dapat menghindari keadaan yang tidak wajar, alamat buruk atau sebuah kemalangan.
Tetandingan Banten Sesayut Pamiak (Pamyak) Kala puniki Medasar antuk aled sesayut duwur nyane dagingin nasi mawadhah ceper, nasine mapiyak dados 4 belatin antuk don pandan, maulam bawang jahe, kawangen 4, sesangananraka-raka sejangkep yane, panyeneng alit 1, pras alit 1, sampyan nagasari, canang pahayasan.

Sesayut puniki ka-anggen rikala upacara Bhuta yadnya mwang manusa yadnya.

Sedangkan saat Penampahan Galungan disebutkan sesayut ini sebagai perlengkapan dalam upacara Natab Sesayut Penampahan atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan.

Mantra: SESAYUT LAN TEBASAN

OM PAKULUN SANG HYANG GUTU REKO TANAYA,

MANUSANIRA ANGATURAKEN TARPANA SESAYUT

KATUR RING AJENG PADUKA BATARA – BATARI

OM SUDA PARI SUDA YA NAMAH SWAHA

OM ANG AH AMERTA SANJIWANI YA NAMAH SWAHA

#OM NADAYA SAMA DAYA,

SAMA ANEDE GAMA SARWA LAKWA DUUR ADITYA,

ANGRUATE DASA MALA,

MALA TRIJAN IPUN SANG

TINEBAS TEBASAN LAN SESAYUT..........  ,

SAKE LWIKING LARA WIGNA

PAPA KLESA PATAKAN IPUN SANG TINEBAS TEBASAN LAN SESAYUT.......... SUMELAHA RING SANG HYANG BIKSAN TARI


OM MANG UNG LANG ANGRUATE MALA,

OM SANG, BANG, TANG, NANG, MANG, SING WANG, YANG

OM ANG – AH AMERTA SANJIWANI YA NAMAH SWAHA


Puja Pemali
Pakulun kaki pemali,
Ni pemali ingsun angundurang pemali agung,
Mapesengan I Gular Bumi.
Paramantrining pemali, mangaran I Guyangati.
Perbekel ipemali ngaran : I Tunjakati
Sedaan ipemali ngaran : I Sanriati.
Penyarikan ipemal ngaran : I Tumbak api.
Kasinoman ipemali ngaran : I Tuwek wesi.
Bujangganing ipemali ngaran: I Muyang-Maying.
Juru candek ipemali ngaran : I pular-Palir
Dewaning pemalai ngaran : Sang ratu Mejaya.
Panjak pemali ngaran:
Pemali bantang.
Pemali tunggak.
Pemali tunggek.
Pemali paek.
Pemali jengat.
Pemali brahma.
Pemali wisnu.
Pemali pulung.
Pemali suket.
Pemali jalinjing.
Pemali tukad.
Pemali sawah.
Pemali seme.
Pemali desti
Pemali teluh.
Pemali moro.
Pemali amgin.
Satus kutus ananing pemali,
teke kita kabeh pada patuh lingkup,
asanak ring punanu,
sangadruwe caru punika ana ganjaran nira
katur ring kaki pemali, nini pemali paingkup agung,
asung anugraha, amukta ya sari lawan sama kira kabeh,
wehana wado cara samodaya,
sampun sira malih anggeringin,
jadma manusa punanu wehana urip waras,
dirgayusa tekaning anak putu nira kabeh,
amukti ta sari ring kahyangan sira suang-suang.
Ong sarwa pemala-pemali byoswaha.
Apan aku umawak sang Hyang Brahma Jati.

Pengasih Buta Muang Dewa.

Ingsun angadepana sang Hyang Tunggal,
Rumasuk ring sariraning ingsun,
trinadi sama baktya, dewa mantaramasya,
buta wigraha masya, mausya sidya masya,
apan aku Sang Hyang Tunggal,
amatuha tri nadi, sing teke patuh ikup
ingkup ingkup ingkup. 



#tubaba@griyangbang//sesayut//penyucianlahiriah#

MAKNA SATE

Brahmana Pandita Ketut Tangsub

Ketika Ketut Bungkling atau Dalang Tangsub/Dalem Tangsub Mendapatkan Gelar Brahmana Pandita dari Sang Guru (I Gede Bhawa) 

KENDATI berasal dari warga biasa yang hidup mengembara, Ketut Bungkling memiliki kecerdasan di atas rata - rata. Hal ini terlihat saat Ketut Bungkling semakin beranjak dewasa dan berguru kepada ayahnya sendiri "I Gede Bhawa", seorang brahmana pandita agama Hindu kala itu.

Ketut Bungkling sendiri bukanlah nama asli dari dirinya. Melainkan pemberian nama oleh sang guru. Ketut Bungkling sendiri bukanlah nama aslinya, melainkan julukan atau gelar kehormatan, tapi bukan karena silsilah melainkan karena keluhuran budinya. Hal ini terungkap dalam pustaka "Pasek Manuaba Bangkasa".

Gelar kehormatan ini diberikan kepada seseorang karena kemuliaan atau keluhuran budi pekertinya. Kemudian kata Dalem Tangsub sendiri merupakan pemberian nama dari seorang Raja Mengwi saat itu, karena keberhasilan Ketut Tangsub mengobati Istri Raja Mengwi kala itu.

Dikisahkan pemberian nama Brahmana Pandita/Wiku Rakawi diberikan setelah Ketut Tangsub mampu dan berani mengutarakan pendapat, pengetahuan dan kritiknya terhadap kaum brahmana, lebih-lebih yang tersurat maupun yang tersurat dalam geguritan prembon Ki Dalang Tangsub. Padahal Ketut Bungkling sendiri datang dari golongan sudra atau kasta terendah dalam agama Hindu.

Ketut Tangsub dikisahkan pernah memberikan pengetahuan dan kritiknya dihadapan I Dewa Manggis di tengah para Wiku Rakawi lain dan anak-anak Ida Pedanda Sakti Manuaba. Ketut Tangsub sendiri adalah nama yang berarti 'pembangun' , ketika ia diberi nama oleh mahagurunya ini menandakan bahwa Tangsub telah lulus sebagai brahmana.

Meski dalam waktu yang tergolong singkat, Ketut Tangsub berhasil lulus dengan capaian yang cukup tinggi. Ketut Tangsub berhasil lulus mendahului para Wiku lainnya yang terlebih dahulu menimba ilmu.


#tubaba@griyangbang//sekelumitbabadkipasekmanuaba//danprimbon#


Minggu, 07 November 2021

Hari Raya Galungan

Hari Raya Galungan yang tahun ini jatuh pada Rabu (10/11/2021), merupakan momen di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya.

Perayaan Galungan dimaksudkan agar seluruh umat Hindu mampu membedakan dorongan hidup antara adharma dan budhi atma (dharma:kebenaran) di dalam diri manusia. Kemudian kebahagiaan dapat diraih tatkala memiliki kemampuan untuk menguasai kebenaran.

Galungan sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya menang. Selain itu, kata Galungan juga memiliki makna yang serupa dengan Dungulan yang berarti menang. Galungan memberikan sebuah pemahaman bahwa niat dan usaha yang baik selalu akan menang, jika dibandingkan dengan niat dan usaha yang buruk.

Sementata itu, jika dlihat dari sisi upacara, Galungan adalah sebagai momen umat Hindu untuk mengingatkan baik secara spiritual maupun ritual agar selalu melawan adharma dan menegakkan dharma.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa inti dari Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar umat Hindu mendapat pendirian serta pikiran yang terang, yang merupakan wujud dharma dalam diri manusia.

#tubaba@griyangbang//ngegalung//kipasekmanuaba#

Jumat, 05 November 2021

Hidup Itu Proses, Bukan Tujuan

Sebuah proses memang sulit, seperti halnya kupu-kupu yang membutuhkan waktu ketika menjadi kepompong sebelum menjadi makhluk yang indah.

Kebijaksanaan bukanlah bawaan dari lahir, melainkan tercipta dari sebuah proses pembelajaran yang sangat dalam.

Belajar adalah proses penemuan secara terus-menerus, tanpa akhir

Hidup adalah proses terus-menerus memperbaiki diri.

Segala sesuatu itu berproses, maka jalani setiap proses dengan senyum dan sabar.

Semua itu butuh proses karena yang terbaik itu tidak tercipta secara instan.

Hidup adalah proses pengembaraan bukan tujuan.

Belajar menghargai proses untuk sebuah perubahan.

Keberhasilan bukan terletak pada hasilnya, tetapi keberhasilan terletak pada prosesnya.

Perjuangan menjadi berharga ketika kita mampu melihat pada proses dan bukan pada hasil.

Hidup adalah proses untuk menjadi; yaitu menjadi lebih baik, lebih besar, lebih kuat, dan lebih berpengaruh.

Terkadang untuk mendapatkan sesuatu yang baik perlu melalui proses yang panjang.

Jangan bandingkan proses kita dengan orang lain, karena bunga tidak mekar dalam waktu bersamaan.

Setiap manusia mempunyai keinginan hidup yang bahagia, sehat jasmani dan rohani, hidup sejahtera dan damai, aman, tentram dan penuh kebaikan. Lumrah dan rasional jika keinginan itu menjadi harapan bagi seluruh umat manusia. Siap yang tidak ingin bahagia, hidup senang dan apa yang diinginkan terpenuhi.  

Tidak ada masyarakat atau salah satu orang atau seseorang yang ingin hidupnya miskin, susah, dan berbagai kehidupan yang sengsar. Tidak ada pula seseorang mempunyai cita-cita yang tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya, misalnya bercita-cita menjadi orang yang gagal, orang yang hidupnya penuh dengan kesedihan dan lain sebagainya. 

Kebahagiaan dan kebaikan adalah menjadi salah satu tujuan bagi hampir seluruh lapisan masyarakat. Baik masyarakat lapisan atas, masyarakat menengah maupun masyarkat dari lapisan bawah. 

Sekalipun dalam faktanya bahwa manusia itu tidak bisa didikotomi atau di kelompokkan oleh apa pun dan oleh siapa pun. Manusia itu mempunyai jalan dan takdirnya sendiri-sendiri dan tidak boleh di pisahkan atau dipaksa untuk membuat gap. Tetapi usaha, berserah diri, kesabaran, ketabahan, pasrah diri, maupun yakin atas seluruh apa yang terjadi adalah kehendak Ida Sanghyang Widhi Wasa, maka sejatinya manusia itu akan menemukan kebahagiaan di dalamnya.

Ada yang kaya dan miskin. Ada kebahagiaan pasti ada kesedihan. Dan hukum Rwa Bhineda atau kausalitas lainnya yang menjadi gambaran bagi seluruh manusia untuk berpikir akan kekuasaan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Meyakini bahwa apa pun yang terjadi di muka bumi ini adalah atas ke-Maha Agungan beliau, akan menjadikan diri kita semakin dekat dengan beliau. 

Melalui kedekatan dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa niscaya akan menerima segala apa pun dalam kehidupan ini melalui keyakinan atas kehendak beliau.

Maka dengan demikian, sejatinya atas perbedaan yang sudah digariskan oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam kehidupan umat manusia dijadikan sebagai jalan menuju surga. Yang miskin dan yang kaya harus saling membantu dan memberi, saling menghargai dan mencintai, saling mengisi satu sama lainnya agar kehidupan ini berjalan stabil dan seimbang. 

Perbedaan kedudukan, keberadaan, maupun perbedaan yang lainnya menjadi proses yang dapat menyeimbangkan sistem dan tatanan kehidupan di muka bumi ini, dan itu hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan segala kesempurnaan debagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa.  

Oleh karena itu, untuk meraih kesuksesan, keberhasilan, kebahagiaan, tentu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak mudah dan penuh dengan tantangan dan rintangan. Tidak sedikit, pun tidak mudah. Perjuangan dan pengorbanan itu harus dibayar dengan harga yang mahal, memeras keringat, dan bahkan ada yang sampai taruhannya adalah nyawa. 

Harus memeras otak dengan cara berpikir kreatif, inovatif dan inspiratif agar konsep dan hasil pemikirannya dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dapat diterima, sehingga mempunyai nilai yang harus dibayar. Dan berbagai perasan-perasan kehidupan lainnnya yang dapat memberikan nilai keberhasilan atas perjuangan dan pengorbanan seseorang dalam kehidupannya.

Biasanya perjuangan dan pengorbanan itu diikuti oleh ujian yang juga tidak mudah, berat dan pahitnya membutuhkan penyelesaian yang rumit. Disitulah Ida Sanghyang Widhi Wasa menyuruh manusia untuk membaca dan berpikir. Karena di dunia ini adalah universitas kehidupan sesungguhnya. Untuk meraih sebuah sarjana akhirat dan kebahagiaan surga, moksartam jagat hita ya caiti dharma, tidak bisa didapat secara instan dan mudah.

Ida Sanghyang Widhi Wasa mengujinya sesuai dengan kemampuannya sebagai bentuk kasih sayang dan cinta Ida Sanghyang Widhi Wasa kepada hamba-Nya. Disitu pulalah Ida Sanghyang Widhi Wasa mengajarkan tentang bagaimana berproses dengan baik. Karena sesungguhnya yang terpenting adalah bukan hasil dari apa yang dijanjikan oleh-Nya, tetapi bagaimana proses yang dilakukan oleh hamba-Nya atas segala perintah dan larangan-Nya. 


#Selalu ada proses untuk menjadi indah#

#tubaba@griyangbang//pulang, jadi kata paling nyaman setelah proses pencarian panjang//kipasekmanuaba#