Senin, 21 Desember 2020

DIKSA PARIKSA

Diksa Pariksa PHDI: 

Apakah Berhak Tak Meluluskan Calon Pandita?



Masalah keterlibatan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota/Kabupaten yang melakukan Diksa Pariksa terhadap calon sulinggih, dalam hal ini ketika calon sulinggih itu berstatus Ida Bhawati. Praktek di lapangan selama ini, Diksa Pariksa PHDI Kota/Kabupaten itu dilakukan dengan sistem ujian. Calon sulinggih diuji oleh pengurus PHDI atau yang ditunjuk. Calon sulinggih mendapat pertanyaan yang harus dijawab dan kemudian diberi nilai. Setelah semua pertanyaan dijawab, PHDI kemudian mengumpulkan nilai itu, lalu keluar keputusan; “Lulus”. Atau “Tak Lulus”.

Saya tak tahu, bagaimana kalau misalnya calon sulinggih itu “tak lulus”, apakah pediksan dibatalkan atau ditunda? Saya pernah mendengar selentingan -- tapi tak jelas di mana itu -- bahwa PHDI Kabupaten pernah tak meluluskan calon sulinggih, tetapi upacara pediksan tetap saja berlangsung karena banten dan rentetan upacara sudah disiapkan. Pertanyaannya, apa artinya kata “tak lulus”, lalu bukankah wibawa PHDI jadi dilecehkan karena tak ada arti apa-apa dari konsekwensi Diksa Pariksa itu?

Ketika calon diksita menjalani Diksa Pariksa, tim dari PHDI ( ada unsur berhalangan), sehingga membuat dalam hati kecil calon diksita muncul pertanyaan: bagaimana kalau calon diksita “dipermainkan” lalu dinyatakan tak lulus? 


Inti dari Bhisama tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati tahun 2005 ini adalah, diksa merupakan salah satu kewajiban umat Hindu yang sebaiknya dilaksanakan pada waktu kehidupan di dunia ini sebagai wujud tahapan hidup dan peningkatan kualitas sradha, bhakti dan yasa kerti. Jadi, tak ada diksa dilakukan pada saat orang itu sudah meninggal dunia.

Dalam lampiran bhisama ini dijelaskan dengan rinci tentang kedudukan dan fungsi diksa. Saya tak ingin memerinci masalah ini. Juga yang sangat penting diuraikan di sini adalah kedudukan Guru Nabe (acharya) dengan calon diksita atau murid atau sisya. Dikutip berbagai kitab suci, terutama Atharwa Weda yang menjelaskan hubungan spiritual antara Guru Nabe dan calon diksita.

Apa kesimpulannya? Saya kutip seutuhnya: “Dalam lembaga diksa dwijati, kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya agar tak terjadi pengingkaran terhadap sasana atau dharmaning kawikon”.

Hak prerogatif di sini mencakup kapan calon diksita itu akan didiksa. Kapan seorang Ida Bhawati -- kalau dalam sitem aguron-aguron -- siap untuk diksa dwijati menjadi sulinggih. Artinya, lulus dan tidaknya calon sulinggih itu tergantung Guru Nabe.

Nah, meski pun Guru Nabe punya hak prerogatif, dalam pelaksanaan diksa, PHDI Pusat menyerahkan sepenuhnya hak itu kepada sistem aguron-guron. Disebutkan dalam lampiran bhisama itu (lampiran ini merupakan penjelasan), segala persyaratan khusus dan mekanisme pelaksanaan diksa, atribut serta abhiseka kepanditaan sepenuhnya diserahkan kepada sistem aguron-guron yang diikuti oleh calon diksita.

Jadi, tak ada lembaga apapun yang bisa mencampuri pelaksanaan diksa ini, di luar aguron-guron itu. Jika seorang Guru Nabe merasa perlu seorang calon diksita diuji (diksa pariksa), maka yang berhak menguji dan meluluskan atau tidak adalah lembaga di dalam sistem aguron-guron itu. Di kalangan Paiketan Daksa Dharma Sadhu, Guru Nabe dengan rendah hati menyerahkan calon diksita untuk di-diksa pariksa, dan ini telah kita setujui bersama. Saya setuju hal ini dipertahankan, meski hak prerogatif itu ada pada Guru Nabe, sebagai lembaga aguron-guron PDDS melalui Sabha Pandita wajib melakukan seleksi atau menguji calon diksita. Bagaimana pun juga, seorang Guru Nabe adalah manusia biasa yang belum sempurna.


Lalu, apa peran PHDI? Saya kutip lengkap lampiran bhisama ini bagian peran PHDI itu. “Dalam proses pelaksanaan diksa dwijati, PHDI berkewajiban memberikan dukungan administrasi dalam rangka diksa pariksa dan rekomendasi setelah pelaksanaan diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau yang ditunjuk, serta menerbitkan sertifikat setelah ada pernyataan dari Guru Nabe.”

Tidak ada disebutkan PHDI melakukan ujian atau test terhadap calon diksita. Diksa Pariksa yang dilakukan PHDI adalah dalam arti yang sebenarnya, “memeriksa kelengkapan diksa” dalam hal administrasi. Misalnya, apakah sudah ada keterangan dari kepolisian bahwa calon diksita tak pernah melakukan tindak pidana, apakah ada surat keterangan sehat, apakah pemberitahuan ke lembaga-lembaga adat dan agama sudah dilakukan. Jadi hanya sebatas administrasi dan kemudian jika itu sudah lengkap, PHDI memberikan rekomendasi bahwa pelaksanaan dwijati bisa dilakukan.

Jika perlu -- begitu ide awal bhisama ini -- kalau calon diksita kekurangan biaya untuk urusan pediksan, PHDI sebagai majelis dan pengayom umat akan mencarikan jalan keluar. Ini hal yang umum, karena PHDI satu-satunya majelis umat Hindu yang anggarannya bisa dimasukkan APBD dan APBN. Di luar Bali sudah umum dalam pelaksanaan diksa ini pemerintah kabupaten dan provinsi memberikan bantuan. Umat yang mau mediksa dwijati dan memenuhi syarat oleh Guru Nabe dan aguron-aguronnya, seharusnya jangan malu meminta bantuan biaya dari pemerintah melalui PHDI, karena tugas pemerintah dan PHDI adalah mengayomi umat. Cuma banyak yang ricuh. 

Demikianlah kedudukan bhisama PHDI Pusat yang digagas Sabha Walaka bersama Sabha Pandita PHDI di Denpasar pada tahun 2005 itu, yang sangat menghormati sekali sistem aguron-guron dan tak ingin mencampuri urusan diksa dwijati. Karena PHDI menyadari kalau urusan ini dicampuri akan menjadi masalah besar. Persoalannya, apakah bhisama ini sudah disosialisasikan di masyarakat? Kenapa PHDI Kota/Kab masih melakukan ujian (tes) sehingga masih dimasukkan dalam alur “Prosedur Menjadi Sulinggih”? Kalau demikian, apa gunanya ada bhisama?


Mari kita hormati bhisama Parisada karena kita sebagai warga tak bisa lepas dari Parisada sebagai majelis umat. Apalagi bhisama itu juga ditandatangani oleh wakil Dharma Adhyaksa yang merupakan Pandita yang kita hormati di kalangan warga umat Hindu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar