Selasa, 15 Desember 2020

SEKAPUR SIRIH YADNYA UNTUK BELAJAR IKHLAS AGAR MUDAH LEPAS

SRKAPUR SIRIH 
YADNYA UNTUK BELAJAR IKHLAS AGAR MUDAH LEPAS 
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd

Agama Hindu, atau Agama Veda, tidak hanya sekedar suatu Agama. Ia adalah jalan spiritual dan cara hidup. Veda diwahyukan bersamaan dengan kesadaran manusia akan kemampuannya berpikir. Hyang Widhi yang dalam Rg-Veda disebut sebagai Prajapati, telah ber-Yadnya menciptakan semesta dengan inti manusia sebagai ciptaan-Nya yang utama.

Diantara mahluk-mahluk hidup, manusialah yang mempunyai kemampuan berpikir sehingga kepada manusia ajaran-ajaran Veda diwahyukan agar kehidupan semesta dapat terwujud sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia.

Hyang Widhi telah melakukan Yadnya sebagai suatu bentuk pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas. Dengan demikian maka manusiapun melakukan yadnya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Pengorbanan itu dapat berwujud dan dapat pula tidak berwujud.

Pengorbanan yang berwujud berupa benda-benda dan kegiatan, sedangkan pengorbanan yang tidak berwujud adalah berupa “tapa” atau pengekangan indria dan pengendalian diri agar tidak menyimpang dari ajaran Veda.

Pentingnya ber-yadnya bagi manusia, tersirat dari Bhagawadgita Bab III.9:

YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, 

LOKO YAM KARMABANDHANAH, 

TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, 

MUKTASANGAH SAMACARA

Artinya: Selain kegiatan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat oleh hukum karma. Oleh karenanya lakukan tugasmu ber-yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan; lakukan yadnya tanpa memikirkan hasil, dengan tulus ikhlas dan untuk Tuhan.

Juga dalam Bhagawadgita Bab IV pasal 19 ada disebutkan tentang hal ini:

YASYA SARVE SAMARAMBHAH, 

KAMA SAMKALPA VARJITAH, 

JNANAGNIDAGDHA KARMANAM, 

TAM AHUH PANDITHAM BUDHAH

Artinya: Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya dan ia yang kepercayaannya dinyalakan oleh api pengetahuan, diberi gelar Pandita oleh orang-orang yang bijaksana.


Sebuah Yadnya, yang dimaksud menurut sastra memiliki pengertian korban suci, pengorbanan yang suci, suci karna ia murni dan tak ternoda. Dalam yadnya tidak hanya sebatas persembahan yang selama ini terlihat megah, mewah dan terkadang yang menunjukkan ego.

Yadnya dimaksud adalah sebuah jalan dan pelajaran. Jalan untuk mencapai-Nya, dan pula yadnya sebagai jembatan penghubung, menghubungi siapa? Siapa lagi antara kita dan Dia, Dia sebagai yang mengadakan, yang melindungi dan yang mengembalikan.

Kembali pada Yadnya, tidak sebatas itu, yang kita lihat hanya sebagai simbol penghubung. Jika mampu terhubung tanpa simbol masih perlukan kita dengan simbol itu?.

Manusia lahir dengan keterbatasan yang teramat lebih dari kelebihannya untuk berwiweka atau menimbang. Yadnya dipengaruhi tiga sifat yang melingkupi manusia. Ia disebut sifat satwam, rajas dan tamas.

Yadnya yang dilakukan dengan penuh pengetahuan yang dilandasi keiklasan disebutkan bersifat satwika yadnya, yadnya yang dilakukan yang didorong oleh sifat rajas dan tamas cenderung hanya untuk eksistensi diri dihadapan orang. Mau yang mana? Manusia bisa memilihnya!.

Lalu apa landasan kita beryadnya? Kurang lebih yang utama adalah keiklasan. Dengan yadnya manusia diberikan pengetahuan untuk iklas. Diharapkan jika sudah terbiasa dengan rasa iklas itu, seorang nantinya dibebaskan dari keterikatan, terikat oleh berbagai macam hal.

Yadnya yang diterjemahkan umum adalah korban suci, mencakup semua jenis pengorbanan yang sifatnya suci, lalu korban yang tak hentinya siapakah yang mencatatnya?, apakah kita perlu sekretaris pribadi untuk mencatatkan apa saja korban suci yang kita lakukan?. Tidak, tidak perlu hal semacam itu, karna semesta mencatatnya dengan alam itu sendiri yang sering kita sebut sebagai Karma, karma yang pastinya berpahala, artinya setiap hal yang kita lakukan memiliki pahala.

Lalu kalau kita terikat oleh pahala yang didapat dengan melakukan yang suci, bukankah itu juga namanya mengikatkan diri kita pada keterikatan pahala.

Tak perlu dipikirkan, karena bukan kita yang mesti memikirkan, ada memori maha agung yang menghitungnya dan mencatat.

Dengan demikian kesimpulan tulisan titiang ini kembali pada judulnya, Yadnya mengajari kita untuk memiliki sifat iklas dan tulus, karena dasar dari yadnya adalah Tulus dan Iklas.

Jika tak mampu tulus iklas paling tidak jangan perhitungan terhadap kebaikan yang kita lakukan, yang nantinya suatu saat, kita harus iklas melepaskan jiwa kita dari tubuh kita, yang pastinya memerlukan keiklasan maha tinggi.

Maka semasih bernafas belajarlah Iklas agar mudah lepas dari hela nafas.

Oleh karena itu lakukanlah Yadnya Nis Prateka Nir Prabhawa, sehingga yadnya nista, madya dan utama itu akan terlaksana berbarengan sekaligus. 

#tubaba@griyangbang//yadnya//sebuah karya dengan inspirasi keiklasan#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar