Selasa, 29 Desember 2020

PURA TEGAL SUCI PAYOGAN IDA BHATARA LINGSIR

PURA TEGAL SUCI PAYOGAN IDA BHATARA LINGSIR

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M. Pd
Sejarah berdirinya pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir
menurut teks tertulis dan menurut keyakinan masyarakat desa Sandakan sebagai pengempon (pemilik dan pelestari) pura 
adalah sesuai prasasti (nama ini 
sesuai dengan nama pura tempat prasasti 
itu disimpan), yang diperkuat dengan 
penuturan sesepuh pura, kaki ........ (almarhum), yang didukung oleh 
bendesa adat desa Sandakan, perbekel Desa Sandakan, serta warga desa lainnya yaitu: 
1. 
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir dulunya merupakan sebuah petirtan, tempat 
pemandian atau payogan bhagawan atau rsi yang ikut mengungsi setelah kerajaan Mengwi hancur. Di tempat itu terdapat pesraman serta tempat permandian yang terdiri dari 7 pancuran yang bertingkat, dengan tingkatan paling tinggi ada di sebelah timur berdekatan dengan pura puseh desa Sandakan. 

Rsi yang mendirikan pesraman di 
kawasan itu (sekarang kawasan pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir) adalah salah satu rsi yang ikut 
mengungsi ke kawasan hutan (yang 
sekarang bernama desa Sandakan) setelah runtuhnya kerajaan Mengwi. Yang mengungsi saat itu terdiri dari jro penyarikan nyoman, rsi, dengan 
beberapa rakyat kerajaan. Mereka lari 
kearah selatan, setelah kerajaan 
Mengwi hancur diporakporandakan. Setelah sampai dihutan tersebut, mereka mulai kelelahan dan 
akhirnya memutuskan untuk menetap 
dikawasan hutan tersebut, dan mendirikan sebuah kawasan pertapaan (pemujaan) 
dengan dilengkapi oleh tempat pemandian yang akhirnya merubah kawasan hutan 
menjadi kawasan pesraman atau tempat 
belajar mendalami ajaran Tuhan. 
Salah satu panjak (pengikut) sang rsi adalah pedagang yang saat badai melanda akhirnya meruntuhkan keraton kerajaan, 
sedang menjajagan dagangannya di 
kawasan kerajaan Mengwi, yaitu di 
kawasan Bencingah. 

Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Linhsir berada di sebelah Utara Tukad Ngongkong desa Sandakan, dengan luas areal sekitar 5 are, yang bentuknya seperti 
kotak. Di sebelah timurnya adalah jalan, sebelah barat aliran sungai tukad ngongkong, selatannya adalah tanah atau rumah penglingsir Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir dan di sebelah utara pura adalah tanah penduduk desa adat (warga yang memperoleh tanah pekarangan karena merupakan krama negak dalam jajaran desa adat Sandakan). 
Secara empiris, pura ini pada 
dasarnya adalah sebidang tanah lapang 
yang sangat rata dengan hiasan rumput, yang pada awalnya tanpa ada tempat pemujaan (pelinggih sama sekali). 
Bahkan tembok pura juga tidak ada, yang membatasi areal pura dengan kawasan pemukiman dan jalan hanya pohon dapdap (turus) yang ditanam secara berjejer. Menurut masyarakat setempat, 
keberadaan pesraman ini lama kelamaan 
mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi 
desa terdekat. 

Sebagai wujud hormat dan mengenang pertapaan dan rsi yang berstana disana, maka setiap Tahun diadakan upacara (piodalan sang hyang aji saraswati) di kawasan tersebut, yang hingga saat ini terus dilakukan dan dipertahankan oleh masyarakat desa Sandakan. 
Piodalan di Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir dilakukan setiap tahun (kecuali terjadi leteh desa/ada orang meninggal).

Terdapat sesuatu yang unik terkait dengan sesajen yang dihaturkan oleh masyarakat 
desa saat mecacahin (puncak piodalan di 
pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir), yaitu dimana sate atau ulam 
bantennya tidak boleh menggunakan daging babi, dengan sesajen yang diwadahi dungki (anyaman bambu yang berbentuk kerancang) besar seperti layaknya para pengembara timur tengah yang biasanya diletakkan di punggung unta atau kudanya. 

Menurut para tokoh masyarakat Desa 
Sandakan, pola dan sistim ritual upacara 
piodalan (upacara enam bulan sekali) 
sebagaimana yang ada di Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir, sangat berbeda dengan pura-pura lainnya 
yang mereka sungsung (gawangi dalam 
segala aktivitasnya). Mereka meyakini 
bahwa sistim dan peralatan upacara 
tersebut tidak terlepas dari pengaruh luar 
Hindu, yang diyakini dibawa oleh salah satu panjak (pengikut) sulinggih yang mengungsi ke daerah tersebut di jaman dahulu. 

Upacara di Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir , dilakukan hanya dalam satu hari, dan tidak 
ada upacara pendahuluan, seperti layaknya upacara di pura-pura Kahyangan Desa yang ada di desa Sandakan. Setelah metlamping dan muat emping (upacara yang bertalian dengan menjelang panen padi gogo) bagi masyarakat desa Sandakan, maka akan dilakukan upacara piodalan di pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir, yang disebut dengan mecacahin (sesajen ditaruh sedemikian rupa, dan bertebaran di areal tanah pura tanpa pelinggih atau tempat upacara khusus). 

Kondisi ini menyerupai pola 
persembahyangan kaum muslim (agama 
islam), dimana posisi antara pemimpin 
upacara dan masyarakat lainnya sejajar, 
dengan tanpa ada tempat pemujaan sama 
sekali. Namun mulai lima tahun terakhir, 
bakti desa (sesajen desa adat) yang berupa petirtan dan segala iringannya) dibuatkan lapan (tempat dari turus dapdap berbentuk segi empat, dengan ukuran sekitar 1.5 m x 3 m. Sementara sesajen masyarakat dan jro panglingsir pura ada di bagian depan, kemudian diikuti oleh masyarakat lainnya di samping 
sesajen yang mereka persembahkan. 
Kegiatan upacara piodalan biasanya 
dilakukan mulai pukul 18.00 wita, yang 
didahului dengan isyarakat kulkulan (bunyi kentongan 21 kali, sebagai penanda bahwa upacara akan segera dimulai. Setelah bunyi kulkul (kentongan desa), maka masyarakat mulai berdatangan ke areal pura dengan sesajennya masing-masing. Kegiatan upacara biasanya berakhir sebelum tengah malam (pukul 24.00), dan setelah itu, sebelum masyarakat keluar dari areal pura 
(tanah Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir), maka masyarakat 
secara sendiri-sendiri akan ngajum kepada para leluhur, khususnya ide sri begawan (sulinggih) yang berstana di kawasan pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir, dengan menyisakan sedikit bahan-bahan 
sesajen di tanah dengan alas canang. Hal 
ini tidak jauh berbeda dengan apa yang 
dilakukan oleh umat muslim pada saat 
menjelang hari raya lebaran, dengan nyekar ke kuburan keluarganya masing-masing dengan membawa sejumlah peralatan tertentu. Menurut keyakinan masyarakat desa Sandakan, lokasi pura, kontur pura, dan sistim serta peralatan sembahyang yang digunakan di pura tersebut. Namun setelah ditanyakan apakah ada catata tertulis, atau 
prasasti dan sejenisnya yang memuat 
tentang hal itu, mereka menyatakan sejak 
mereka ingat sebagai manusia dan ngayah sebagai desa adat, sudah demikian adanya, dan informasi yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran diperoleh dari pitutur anak lingsir (tuturan orang tua yang diwarisi dan diyakini secara turun temurun).

Keterkaitan pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir dengan intensitas pengaruh Islam terhadap emigram 
Majapahit gelombang pertama yang
menetap di Bali adalah diperoleh fakta 
bahwa, sampai saat ini tidak ada satu bukti tertulispun yang mereka dapat tunjukkan terkait dengan keberadaan pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir, 
dan sistim upacara yang harus mereka 
lakukan setiap enam bulannya. Mereka menyatakan bahwa, ada prasasti yang bertalian dengan sejarah desa Sandakan termasuk sejarah Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir, namun sampai saat ini mereka tidak berani menggalinya, karena telah tersimpan secara rapi di pura tersebut (sebuah pura kahyangan desa yang diyakini sebagai penyimpanan). Hal ini sejalan dengan nama pura tersebut, yaitu Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir yang maknanya tidak jauh berbeda 
dengan sandakan/sandekan atau pamereman (tempat beristirahat untuk melakukan permandian ataupun beryoga) dengan suatu tujuan tertentu.

Sebagai tempat suci, selain dipuja 
Pesandekan/pemereman juga perlu dijaga 
keberadaannya, agar manfaat dari adanya 
pemereman ini selalu dapat dirasakan oleh pengunjung dari umat Hindu maupun 
Muslim dan masyarakat di sekitar 
pemereman yaitu masyarakat Desa 
Pakraman Sandakan. Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh umat Hindu maupun 
Muslim untuk menjaga keajegan payogan/pesandekan/pemereman antara lain menjaga kondisi fisik pemereman (Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir), membuat ritual secara berkala, 
membuat awig¬awig, mengembangkan 
mitos untuk menumbuhkan rasa hormat, dan mengembangkan cerita tentang 
keajaiban/kejadian-kejadian gaib.
Terkait dengan upaya menjaga 
kondisi fisik Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir, salah satu cara yang dilakukan oleh pemangku/juru kunci pemereman (Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir) adalah menjaga kebersihan Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir dengan menyapu dan mengepel, menyiapkan bunga untuk sembahyang dan menghias Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir, menyemprotkan pengharum yang berbentuk spray, mengisi cecepan, penastan dengan air dan menyiapkan air yang digunakan sebagai tirta. Selain pemangku yang selalu melaksanakan kebersihan ada juga pihak Desa Pakraman Sandakan yang sering mengadakan ngayah mebersih-bersih atau kerja bhakti di Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir.

Masyarakat Desa Pakraman Sandakan
sebagai masyarakat yang seluruhnya 
menganut agama Hindu menerima akan 
adanya perbedaan mengingat bahwa Desa Pakraman Sandakan merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Kedatangan umat Muslim di Desa Pakraman Angantiga, awalnya membuat terkejut masyarakat karena ada juga yang memuja Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir selain umat Hindu. Hal tersebut 
tidak memberikan pengaruh negatif kepada kehidupan masyarakat. Dari adanya perbedaan inilah masyarakat belajar untuk memahami perbedaan meskipun menyangkut hal yang bernilai religi.

Keberadaan Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir di Desa 
Pakraman Sandakan memang memberi 
kebanggaan tersendiri terutama umat Hindu Desa Pakraman Sandakan karena mereka selalu merasa dilindungi dan dijaga oleh roh suci rsi/sulinggih yang bersemayam di Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir. Tidak 
hanya sebatas itu Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir juga 
memberikan kekuatan lahir batin, 
ketenangan, kesabaran dan menjadikan 
Desa Pakraman Sandakan lebih terkenal ke luar Kecamatan dan ke luar Kabupaten.

Bahwa Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir menyimbolkan pembauran antara umat Hindu yang ada di Desa Pakraman Sandakan dengan umat Hindu dari luar Desa Pakraman Sandakan juga pembauran antara umat Hindu dengan umat Muslim. Pembauran antara umat Hindu yang ada di Desa Pakraman Sandakan dengan umat Hindu 
dari luar Desa Pakraman Sandakan tercermin pada, saat dilaksanakannya piodalan di Pura Tegal Suci Payogan Ida Bhatara Lingsir selama sehari. Saat itu hadir umat Hindu dari Desa Pakraman Sandakan dan dari luar Desa Pakraman Sandakan, mereka bersama-sama 
melakukan persembahyangan.
Pembauran antara umat Hindu 
dengan umat Muslim. Saat umat Hindu dan Muslim melakukan kegiatan agama secara bersama mereka akan bertemu pada saat Saniscara Kliwon Wuku Watugunung (waktu yang baik untuk 
bersembahyang bagi umat Hindu) 
bertepatan dengan hari Saraswati (merupakan hari turunnya ilmu pengetahuan). Dan besoknya adalah hari banyu pinda weruh (air yang diumpamakan sebagai air pengetahuan) 

#tubaba@griya agung bangkasa//cipta yang diterima di pura kahyangan dharma smrti//tanggal 29 desember 2020#


Tidak ada komentar:

Posting Komentar