Senin, 14 Desember 2020

SURA DIRA JAYANING RAT LEBUR DENING PANGASTUTI

SURA DIRA JAYANING RAT LEBUR DENING PANGASTUTI

“Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti" adalah ungkapan bahasa Jawa yang paling saya sukai. Maknanya kurang lebih: Keberanian, kedigdayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan panembah. Segala sifat angkara, lebur dengan kesabaran dan kelembutan. Kata-kata bijak ini bisa kita baca dimana-mana, bahkan ditempel dimana saja, mungkin juga yang menulis atau menempel tidak terlalu paham artinya. 

"Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti" adalah bagian dari salah satu bait "Pupuh Kinanthi" dalam "Serat Witaradya" buah karya R Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) pujangga besar Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan R Citrasoma, putra Sang Prabu Aji Pamasa di negara Witaradya. 


PEMAHAMAN MAKNA TEMBANG




Selengkapnya "Pupuh Kinanthi" tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Jagra angkara winangun;
(2) Sudira marjayeng westhi;
(3) Puwara kasub kawasa;
(4) Sastraning jro Wedha muni*);
(5) Sura dira jayaning rat;
(6) Lebur dening pangastuti
*) ada yang menulis (4) “Wasita jro wedha muni”

Terjemahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut: 
(1) Jagra: Bangun (dalam pengertian “melek”); Angkara: Angkara; Winangun: Diwujudkan (Wangun: Wujud);
(2) Sudira: Amat berani; Marjayeng: Jaya ing, menang dalam ... ; Westhi: Marabahaya;
(3) Puwara: Akhirnya; Kasub: terkenal, kondang; Kawasa: Kuasa;
(4) Sastra: Tulisan, surat-surat, buku-buku; Jro: Jero, Di dalam; Wedha: Ilmu pengetahuan, Kitab-kitab ilmu; Muni: berbicara;
(5) Sura: Berani; Dira: Berani, kokoh; Jaya: menang; Ningrat: Bangsawan, tetapi Ning: Di; Rat: Jagad;

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut: 
Baris ke 1 sd 3 menunjukkan orang yang karena keberanian dan kesaktiannya ia tidak pernah terkalahkan, akhirnya tidak kuat memegang kekuasaan dan tumbuh sifat angkara. Sedangkan baris ke 4 sd 6 menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab ilmu pengetahuan, sifat angkara tersebut dapat dikalahkan dengan kelembutan.

Di bawah adalah kisah pendukung “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” yang dapat dibaca pada Serat Witaradya, tentang kesetiaan seorang istri yangt dapat mencegah niat buruk laki-laki dengan “pangastuti” 

KISAH NYAI PAMEKAS 

Alkisah sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama Nyai Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak hanya cantik lahiriyah tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung sedang dinas luar, beliau mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk menyatakan maksud hatinya yang mabuk kepayang

Dengan tutur kata lembut dan "ulat sumeh" Nyai Pamekas berupaya menyadarkan R Citrasoma dari niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat seorang ksatria dan melanggar norma-norma kesusilaan, tetapi sang Pangeran tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan mengingatkan bahwa ada banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma, kecuali di"sirep" (dibuat tidur dengan ilmu sirep)

Bagi seorang yang sakti mandraguna seperti R Citrasoma, tentu saja me"nyirep" orang bukan hal besar. Ketika semua orang tertidur, kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua orang yang belum tidur yaitu Nyai Pamekas dan R Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada satu lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan R Citrasoma, yaitu Gusti yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

R Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai Pamekas berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga kalau keras dilawan keras justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan kekerasan. 

YUDISTIRA DAN CANDRABIRAWA 

Menjelang akhir perang Bharayuda, Yudistira dipasang untuk melawan Prabu Salya yang sakti mandraguna dan memiliki aji-aji Candrabirawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh akan hidup lagi bahkan jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bima dan Harjuna sudah kewalahan. Dipukul gada atau dipanah, tidak mati malah bertambah banyak. Akhirnya Candrabirawa berhadapan dengan Yudistira, raja yang dikenal berdarah putih, tidak pernah marah apalagi perang. Raksasa raksasa Candrabirawa tidak dilawan.Bahkan didiamkan saja. Raksasa-raksasa Candrabirawa pun kembali ke tuannya.

KELEMBUTAN MAMPU MENGUASAI JAGAD 

Orang lemah lembut sering dianggap lemah. Ini masalahnya. Sehingga lebih banyak orang yang berupaya menunjukkan kekuasaan dengan pamer kekuatan yang bermanifestasi sebagai tindak angkara. Ia lupa bahwa sikap memberikan “pangastuti” mampu melebur tingkah yang “sura dira jaya ning rat”  Masih dalam Serat Witaradya, pupuh Kinanti R Ng Ranggawarsita menjelaskan seperti apa manusia yang sudah mampu mengendalikan menata hawa nafsunya sebagai berikut: 

(1) Ring janma di kang winangun; 
(2) Kumenyar wimbaning rawi; 
(3) Prabangkara dumipeng rat; 
(4) Menang kang sarwa dumadi; 
(5) Ambek santa paramarta; (6) Puwara anyakrawati 

Terjemahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:
(1) Ring (Maring: Kepada); Janma: Manusia; Di (Adi: baik); Kang: Yang; Winangun: Ditata; 
(2) Kumenyar: Bercahaya; Wimba:Seperti; Rawi: matahari
(3) Prabangkara: Matahari; Dumipeng: Sampai ke; Rat: Jagad 
(4) Menang: Mengalahkan; Kang: Yang; sarwa: serba; Dumadi: Semua makhluk 
(5) Ambek: Sifat; Santa: sabar; Paramarta: Adil bijaksana 
(6): Puwara: Akhirnya; Anyakrawati: Memerintah

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:

Pada  orang utama yang sudah mampu menata hawa nafsunya (tidak bersifat angkara murka); Bercahaya seperti sinar matahari; Sinarnya menerangi jagad; menguasa seluruh isi jagad; wataknya sabar, adil dan bijaksana; Akhirnya bisa menguasai jagad (maksudnya pemerintahan).
Pangastuti (panembah) disini dapat diartikan dengan penerapan laku-linggih dan solah muna-muni (perilaku dan ucapan) dalam penerapan Basa Basuki.

Itulah "Sura dira jayaning rat, lebur dening pangastuti", yang mampu mengalahkan sifat yang mengarah ke “Adigang Adigung Adiguna”. Sebuah ajaran yang patut kita renungkan pada abad ke 21 ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar