#Salah satu ajaran dari Panca Sraddha adalah Widhi Sraddha, yakni meyakini tentang adanya Tuhan. Jika Tuhan memang ada, seperti apa rupa Tuhan menurut Hindu sehingga keberadaannya alayak dipercayai
Dalam ajaran agama Hindu, tidak ada pandangan bahwa Tuhan itu berbeda, antara yang dipuja umat agama yang satu dan lainnya. Konsep dasar memahami Ketuhanan dalam agama Hindu adalah, bahwa Tuhan itu satu dan dipuja dengan berbagai cara dan jalan berdasarkan etika. Sastra Veda dalam Upanisad IV.2.1. menyebutkan: Ekam Ewa Adwityam Brahman (Tuhan itu hanya satu, tidak ada duanya). Sementara dalam Narayana Upanisad ditegaskan: Eko Narayana Nadwityo Astikacit (Hanya satu Tuhan, sama sekali tidak ada duanya).
Dalam mewujudkan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan sifat-Nya yang Acintya (tidak dapat terfikirkan), manusia dengan sifatnya yang Awidya (tidaksempurna) memuja Tuhan dengan berbagai rupa, nama dan sebutan, serta berbagai interprestasi. Ini seperti tertuang dalam kitab suci Weda: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti (Hanya satu Tuhan, namun orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama).
Ketika ada orang yang mengatakan bahwa kamu memiliki Tuhan yang berbeda dengan saya; atau mengatakan Tuhan yang saya sembah lebih bagus dari Tuhanmu dan kamu harus menyembah Tuhan yang saya sembah, jika tidak kamu adalah manusia yang tidak berTuhan; sesungguhnya itu adalah pernyataan keliru. Kita memuja Tuhan dengan berbagai manifestasi-Nya, karena sesungguhnya Tuhan meresapi seluruh yang telah ada, yang ada dan yang akan ada. Tuhan berada di semua ciptaan-Nya dan secara bersamaan berada juga di luar ciptaa-Nya, tidak terbatas oleh ruang dan waku dan ada di mana-mana, bahkan di dalam diri kita.
Tuhan bersifat Acintya atau tidak terfikirkan oleh manusia. Artinya, manusia tidak dapat menggambarkan Tuhan dengan sempurna. Sebagai makhluk yang dikarunia akal dan fikiran, manusia memiliki cara untuk mewujudkan bhaktinya kepada Sang Penguasa Alam Semesta dengan berbagai cara berdasarkan nilai-nilai dharma (kebenaran).
Kita sebagai manusia tidak dapat menggambarkan Tuhan secara utuh. Kita hanya dapat menggambarkan Tuhan seperti apa yang kita pikirkan dan untuk diri kita sendiri. Karena definisi Tuhan menurut saya akan berbeda dengan definisi Tuhan menurut anda. Namun kebenaran yang mutlak itu adalah Tuhan itu satu tunggal adanya.
Kita seperti orang buta yang meraba gajah dalam menggambarkan keagungan Tuhan. Orang buta pertama, ketika diberi kesempatan meraba gajah dan yang diraba adalah kaki gajah, maka dia akan memberikan definsi berdasarkan pengalaman indrawinya; bahwa gajah itu seperti tiang-tiang yang kokoh. Selanjutnya, orang buta kedua yang meraba telinga, maka akan mendifinisikan bahwa gajah seperti kipas yang besar. Demikian juga orang buta ketiga yang meraba ekor gajah, maka dia akan memberikan kesimpulan bahwa gajah itu seperti cambuk cemeti.
Demikian juga kita dalam memahami Tuhan. Tidak ada satu orangpun di dunia ini yang dapat menggambarkan Tuhan dengan utuh. Mereka memuja Tuhan dengan cara yang berbeda. Jadi Pujalah Tuhan itu berdasarkan keyakinan yang mendalam yang tumbuh dari hati sanubarimu yang terdalam. Karena kebenaran itu muncul dari hati sanubari kita yang terdalam. Maka tanamkan nilai-nilai keTuhanan itu ke dalam diri kita masing-masing. Ketika nilai-nilai Ketuhanan yang ada dalam diri kita tumbuh subur, maka tidak ada kesengsaraan, karena yang ada hanya kedamaian.
#Antara karmaphala dan punarbhawa ada saling keterkaitan. Apa dan bagaimana keterkaitannya? Apakah memungkinkan seseorang yang tetap berkarma tidak menyebabkan adanya punarbhawa?
Hubungan karma dan punarbhawa memang sangat erat dan tidak terpisahkan. Ibarat mata uang yang satu sisi berisi karma dan sisi lainnya berisi punarbhawa. Kata punarbhawa terdiri dari dua kata Sanskerta yaitu"punar" (lagi) dan "bhawa" (menjelma). Jadi Punarbhawa ialah keyakinan terhadap kelahiran yang berulang- ulang yang disebut juga penitisan atau samsara.
#Apakah memungkinkan seseorang yang tetap berkarma tidak menyebabkan adanya punarbhawa?
Tidak, tapi sebelum kita menjwabnya hendknya kita tinjau melalui memahami konsep punarbhava itu sendiri. Kalau kita tidak mengalami konsep atma dan hukum karma, maka reinkarnasi sebagai suatu kepercayaan adanya kelahiran yang berulang-ulang dalam agama hindu agak meragukan, sebab kenyataan yang kita lihat adalah manusia lahir hanya sekali dalam hidupnya. Reinkarnasi, punarbhava tidak terlepas ruang dan waktu,karena di dalam roh tidak di kenal dengan roh arab, india, china dan bali. Yang ada hanyalah roh besar, yang akan mengecil ketika mengisi wadag yang kecil, seperti semut misalnya: dan ia akan menjadi besar ketika mengisi wadag seperti gajah. Roh tidak mengenal masa lampau, masa sekarang atau masa depan: karena roh tidak terpengaruh oleh ke tiga masa itu. Pedanda menegaskan bahwa punarbhava tidak selalu terjadi di lingkungan keluarga saja atau berasal dari leluhur. Punarbhawa bias terjadi dari seluruh, manusia di permukaan bumi ini. Bahkan punarbhava bisa terjadi dari makhluk-makhluk lain selain manusia.
#Salah satu narasi besar yang disajikan oleh Hindu mengenai Sraddha adalah bahwa Tuhan itu mesti diselidiki dan kemudian ditemukan, tidak cukup hanya diyakini, sehingga Hindu lebih menonjolkan pada sebuah penelitian bhatin. Ajaran mana yang menyatakan demikian dan bagaimana narasinya?
Ajaran panca srada sebagai narasi besarnya, sebab Sarada menentukan tingkat Bhakti seseorang dimana Bhakti dapat dilakukan melalui proses yadnya. Yadnya itu sendiri dibentuk oleh dua unsur yaitu sepirit atau jiwa dan ritual atau prosesi, dimana ritual memberikan keyakinan terhadap sifat ketuhanan tentang apa yang terjadi dan ada di dunia, dimana ritual membangun dua hal di Bali yaitu upacara dan upakara, dimana salah satu sloka di dalam bagawad Gita menjadi landasan dasar terjadinya proses tersebut (ritual, persembahn atau Yadnya) yaitu barang siapa yang menikmati sesuatu tanpa pernah mempersembahkannya terlebih dahulu adalah seorang pencuri.
#Salah satu komponen pokok dalam Hindu adalah guru. Apa signifikasi dari keberadaan guru tersebut? Seperti apa pengandaian guru tersebut dalam Hindu?
Dalam agama Hindu, terdapat ajaran yang dapat kita aplikasikan di masa pandemi ini. Salah satunya adalah Catur Guru. Catur Guru adalah empat guru yang harus dimulyakan, dihormati, dan dipatuhi. Keempat guru tersebut yaitu:
Pertama, Guru Swadaya. Yaitu, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Dialah penguasa tiga alam semesta: Bhur, Buah, Svah Loka. Dalam Sloka Bhagavadgita, Bab XI, Sloka 40 berbunyi:
Namah Puras tas atha prstha taste. Mamostute sarvata eva sarva. Ananta virya mitavikramastvam. Sarvam samapnopsi tto’si sarvah. (Hormat pada-Mu pada semua sisi, O Tuhan, Engkau adalah semua yang ada tidak terbatas dalam kekuatan, tak terbatas dalam keperkasaan, Engkau memenuhi segala. Karena itu, Engkau lah segala itu).
Dari sloka tersebut, kita dapat memetik bahwa Ida Shang Hyang Widhi Wasa adalah penguasa alam semesta. Dia tidak terbatas. Dialah segalanya. Mari kita selalu berserah diri dan berdoa memohon keslamatan kepada-Nya. Percayalah, di balik wabah ini ada rencana baik-Nya untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Kedua, Guru Rupaka. Yaitu, Orangtua. Peran Orangtua sangat penting. Mereka adalah orang yang pertama kali mengajarkan tentang kehidupan. Mereka mendidik kita sejak masih kecil dan selalu memberikan nasehat. Apalagi di kondisi pandemic seperti ini, mereka tidak pernah lelah untuk mengingatkan kita untuk selalu waspada dan berhati-hati.
Ketiga, Guru Pengajian. Yaitu, guru yang ada di sekolah. Mereka tidak hanya memberi pelajaran, tapi juga mendidik kita menjadi orang yang berbudi luhur dan berakal sehat mulia. Sehingga, kita dapat membedakan mana hal yang baik dan mana hal buruk atau yang disebut Wiweka. Dengan demikian, kita bisa lebih bijak dalam menerapkan edukasi beliau umtuk menghadapi masa pandemi.
Keempat, Guru Wisesa. Yaitu, Pemerintah. Cara kita untuk menghormati guru wisesa adalah dengan selalu mematuhi anjuran Pemerintah, dengan menerapkan protokol kesehatan, menaati Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan melakukan vaksinasi.
Tuhan/Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber ilmu pengetahuan tetap di-puja oleh umat Hindu dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Aji Saraswati, dilambangkan dengan wanita cantik bertangan empat, dengan masing-masing tangan beliau memegang atribut seperti berikut.
Bunga Teratai sebagai lambang bahwa ilmu pengetahuan itu suci.
Keropak sebagai lambang tempat menyimpan ilmu pengetahuan.
Genitri sebagai lambang ilmu pengetahuan tidak habis-habis dipelajari.
Gitar sebagai lambang seni budaya yang agung.
Simbol-simbol tersebut merupakan satu kesatuan yang sangat terkait yaitu pentingnya ilmu pengetahuan suci yang harus dimiliki dan tidak akan habis di-pelajari, maka orang suci kita mengemas dalam sebuah keropak dengan isi berbagai aspek keilmuan. Apabila semua aspek keilmuan itu kita padukan, maka akan mewujudkan suatu seni budaya yang sangat agung dan mempunyai tempat yang sangat terhormat.
Demikianlah keagungan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sebagai Guru Swadyaya. Dalam Buku Dainika Upasana disebutkan salah satu pemujaan terhadap Guru Swadhyaya:
“Om Guru Brahman, Guru Wisnu, Guru Dewa Maheswaram, Guru Saksat Param Brahman, Tasmai Sri Guruwe namah.”
Terjemahan:
"Oh Tuhan Guru Brahman, Guru Wisnu dan Guru Maheswara, semua Guru bagaikan Tuhan, kami hormat kepada semua Guru mulya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar