Penulis: Tubaba (Ki Wimuda Apunggung)
Sebagian besar umat Hindu di Bali akrab dengan kata me-Siwa, me-Sisya dan meYadnya. Namun Siwa yang dimaksudkan ini bukan salah satu nama dewa, melainkan sebuah istilah bagi semacam guru rohani bagi sebuah keluarga.
Umumnya merujuk pada sebuah griya. Misalnya keluarga I Gede Suara mesiwa di Griya A, B, C, D........ Nah untuk membedakan Siwa yang dimaksudkan ini dengan Siwa yang merupakan Dewa Pelebur, untuk selanjutnya penulis menulisnya dengan awalan huruf kecil, yakni siwa.
Hingga saat ini terlihat antara siwa dan sisya terjalin hubungan yang sangat erat. Terutama ketika berurusan dengan yadnya. Dipastikan, sisya tidak mampu melepas dirinya dari peran siwa.
Sehingga pada titik ini, siwa bagi sisya ibaratnya seperti sebuah lembaga konsultan yadnya yang dipandang mampu memberi solusi bagi kebutuhan umat.
Lebih luas lagi khususnya dewasa ini, dalam tahap eksekusi atau dalam melakukan suatu yadnya kembali sisya terkesan “ketergantungan” dengan siwanya. Yakni ketika sisya membutuhkan upakara untuk menyukseskan yadnya yang digelarnya.
Umumnya, ditengah berbagai kesibukan krama banjar atau umat maka dalam menggelar sebuah yadnya tidak lagi dibuat dengan sistem matulungan/ ngayah atau gotong royong. Melainkan dengan cara nunas di siwa atau griya. Nunas yang sebenarnya berarti meminta inipun sejatinya hanya kata penyamaran dari numbas yang berarti membeli. Kata nunas dari numbas upakara ini kemudian muncul hanya untuk menutup-nutupi biar tidak adanya kesan bisnis bagi sebuah siwa atau griya yang seringkali didalamnya melibatkan sulinggih. Khan aneh, masa sulinggih yang sudah medwijati dan sangat disucikan berbisnis seperti maklar.
Maklar upakara lagi. Duh, dewa ratuuuu….
Tetapi kenyataannya memang ada siwa atau griya bahkan to the point, sulinggih yang menjadi maklar upakara, eh maaf, bisnis upakara.
Setidaknya itu terungkap dari keluhan keluarga penulis sendiri atau keluhan dibeberapa krama yang merasa dalam menggelar yadnya merasa “terjajah” oleh kerakusan siwa, griya atau sulinggihnya. Terutama terjajah karena harga upakara yang mencekik rekening tabungan.
Disatu sisi umat atau sisya sangat membutuhkan upakara, tetapi untuk membuatnya harus tergantung kepada siwa.
Mirisnya lagi, pada beberapa griya atau siwa atau sulinggih justru cenderung mengarahkan agar sisya yang bermaksud menggelar suatu yadnya untuk nunas (baca: numbas) upakara. Bukan dengan cara membuat secara gotong royong. Ini tentu sangat memperjelas bahwa sebagian siwa atau griya atau sulinggih ternyata telah dengan sengaja melakukan pembodohan terhadap umat.
Pembodohan umat ini dikarenakan siwa mengarahkan sisyanya membeli upakara, bukan membuat secara gotong royong. Padahal ketika upakara dibuat secara gotong royong oleh krama, biaya upakara sangat mungkin bisa lebih ditekan. Selain juga didalamnya ada proses pembelajaran bagi krama.
Terhadap upaya siwa dalam mengarahkan sisya membeli upakara dan “menghambat” gotong royong krama untuk membuat upakara maka makin jelaslah bahwa siwa atau griya yang berprilaku seperti itu adalah griya atau siwa yang sedang mempertahankan eksistensi dirinya sebagai pebisnis atau bahkan maklar upakara.
Griya atau siwa yang demikian sejatinya telah nyata membunuh Bali karena tabiatnya yang sengaja melakukan pembodohan terhadap umatnya. Sementara umat justru akan semakin tercekik karena griya atau siwa seakan menjadi pembenar bahwa beragama Hindu di Bali ternyata memang benar-benar berbiaya mahal.
Mirisnya lagi, ketika sisya merasa semakin terjajah dengan peran siwa-nya dan ingin merdeka dalam meningkatkan spiritualitas diri dengan ajaran ke-Hindu-annya, disebagian umat meyakini atau juga karena ulah griya menyebutkan sisya tidak boleh pindah siwa.
Bukan sebagai penyejuk atau pelayan umat ketika umat ingin cerdas dalam beragama atau ketika umat ingin meningkatkan kwalitas dan spiritualitas dirinya dengan meyadnya, griya justru mengajak umat melayang-layang dalam pemahaman-pemahaman menyesatkan.
Bagi penulis, siwa atau griya dengan sulinggihnya ibaratnya sebuah sekolah dan guru atau dosen.
Kenyataannya memang demikian, griya memang sebuah sekolah bagi sisyanya. Yakni sekolah untuk mencerdaskan umat dalam pemahaman beragama Hindu. Nah, dengan ibarat sebagai sekolah tentu kwalitas pendidikan termasuk kwalitas gurunya tidak sama.
Terlebih lagi disuatu griya dalam menobatkan sulinggih lebih dikarenakan tradisi. Sehingga sulinggih yang dinobatkan tersebut lebih karena untuk melanjutkan tradisi adanya sulinggih di griya tersebut tanpa dibekali dengan kemampuan pemahaman agama dan bekal sastra yang mumpuni.
Ini konon benar adanya, kononnya lagi ada lho beberapa sulinggih yang “terpaksa melinggih” tidak bisa nyurat dengan aksara Bali yang menjadi kebutuhan penting bagi sulinggih dalam menjadi “konsultan” ataupun “pebisnis” upakara.
Halo umat Hindu, khususnya umat Hindu di Bali. Mari kita membuka mata lebih lebar lagi dengan keberadaan lembaga umat, yakni parisadha yang selama ini mungkin keberadaan dan perannya agak diabaikan umat. Mengapa? Karena ketika umat membutuhkan konsultasi dalam beragamanya lebih memilih tangkil ke griya atau siwa dan jarang mau “singgah” ke rumah umat atau sekretariat PHDI. Sebaliknya, ketika ada persoalan-persoalan tertentu, umat dengan cepat memvonis PHDI tidak berperan atau perannya lambat. Ingat, PHDI akan mampu berperan hebat ketika umat juga memberikan kepercayaan. Sehingga pada akhirnya ketika umat mendapatkan informasi keumatan yang benar dari siwa atau griya yang kwalitasnya mumpuni serta arahan yang terarah dari PHDI, maka gambaran era kebangkitan Hindu pasca runtuhnya Majapahit akan menjadi sebuah kenyataan. Atau setidaknya ketika umat meyadnya akan merasa shanti dengan biaya upakara yang tanpa mencekik rekening hingga umat harus jual warisan leluhurnya. Mari kedepan cerdas beragama, efisien dalam meyadnya dan bebaskan diri dari upakara-upakara yang membuat umat terasa terjajah oleh lingkaran setan pebisnis upakara.
Perlu diingat juga bahwa: Siwa kita yang terdekat adalah orang tua. Siwa yang dekat tapi tidak tampak adalah sanggah Kemulan kita. Sanggah Kamulan berasal dari dua kata yaitu: sanggah (sanggar) yang artinya tempat pemujaan dan kamulan artinya (mula) artinya akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Kamulan juga sering disebut kamimitan dari kata (wit) yang artinya sumber atau asal darimana manusia ada. Jadi sanggah kamulan merupakan tempat pemujaan asal atau sumber (Siwa itu sendiri).
#tubaba@jangan beragama dalam kegelapan//hilangkan pembodohan#