Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran).
Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai - nilai agama.
Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk
Dijelaskan, Tumpek Landep merupakan hari raya pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu.
Jadi, setelah memperingati Hari Raya Saraswati sebagai perayaan turunnya ilmu pengetahuan, umat memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau memberi ketajaman pikiran dan hati.
Pada rerainan Tumpek Landep juga dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan besi.
Sebagian besar krama Hindu di Bali merayakan Tumpek Landep ini dengan ngotonin motor, mobil hingga berbagai benda elektronik. Sehingga banyak krama Hindu di Bali menyebut Tumpek Landep sebagai otonan motor. Benarkah demikian?
Sebelumnya, penulis mengajak pembaca untuk mengupas tentang Tumpek Landep. Konon kata Tumpek berarti tumpel atau tepat. Tumpel atau tepat ini maksudnya tepat bertemunya akhir dari Sapta Wara yang terakhir yakni rahina Saniscara dengan hari terakhir dalam Panca Wara (Keliwon).
Tumpek Landep adalah wuku kedua dari tiga puluh wuku yang masing-masing wuku umurnya tujuh hari.
Terkait dengan nama-nama wuku tersebut, leluhur Hindu Bali telah sedemikian cerdasnya karena telah mewariskan tradisi penamaan wuku yang secara total terbagi dalam 210 hari. Banyak kemudian upacara atau yadnya di Bali yang digelar berdasarkan wuku atau pawukon.
Sumber lain menyebutkan, kosa kata “Tumpek” berasal dari kata “Tampa”. Kata tampa ini mendapat sisipan um hingga menjadi kata “Tumampa” yang kemudian mengalami perubahan konsonan, menjadi kata “Tumampak” yang artinya berpijak. Ini kemudian mengalami perubahan menjadi kata keterangan keadaan sehingga menjadi kata “Tumampek” yang mengandung arti dekat. Kata Tumampek mengalami persenyawaan huruf “M”, maka menjadilah kata “Tumpek”.
Didalam 30 wuku yang terbagi menjadi perputaran 210 hari tersebut terdapat lima Tumpek. Yakni Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Krulut, Tumpek Uye dan Tumpek Wayang. Tumpek Landep sendiri merupakan Tumpek pertama dari perputaran 210 hari dan jatuh pada hari terakhir di wuku yang kedua.
Kembali keawal, benarkah Tumpek Landep sebagai hari otonan motor, mobil ataupun otonan bagi benda-benda elektronik? Untuk mendapat jawaban yang benar mari kemudian dilihat makna dari Tumpek Landep tersebut.
Sebelum mengupas makna Tumpek Landep, ada baiknya penulis mengajak pembaca berlogika. Karena berlogika juga sangat penting dalam berkeyakinan.
Begini, perayaan Tumpek Landep telah berlangsung dari berabad-abad silam, meskipun sejarah pasti perayaan pertama Tumpek Landep belum penulis temukan. Pada kisaran waktu berabad-abad lampau tersebut kendaraan berupa motor, mobil dan berbagai benda elektronik lainnya tentu belum ada di Bali.
Penulis perkirakan, motor, atau mobil dan benda-benda elektronik mulai ada di Bali sekitar akhir abad 18 atau awal abad 19.
Kemudian “Landep” sendiri bermakna tajam atau runcing. Penganut Hindu, khususnya penganut Hindu di Bali dalam menjalankan keyakinannya banyak menggunakan simbol. Demikian pula tradisi mengupacarai keris, tombak ataupun sarwaning landep atau segala benda tajam adalah simbolisasi terhadap ketajaman alat kehidupan manusia yang sangat penting, yakni pikiran.
Ketajaman berpikir itulah manusia mampu menciptakan berbagai alat atau sarana untuk mempermudah kehidupannya.
ManifestasiNya yang dipuja pada Tumpek Landep konon Ida Sanghyang Siwa Pasupati. Dengan kata lain, Tumpek Landep merupakan hari untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Ida Sanghyang Siwa Pasupati.
Jadi jelaslah bahwa Tumpek Landep merupakan hari suci untuk memohon kerahayuan sekaligus juga untuk memohon kekuatan berpikir atau peningkatan kecerdasan diri.
Termasuk pula kecerdasan dalam berspiritual sehingga menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup dan berkehidupan.
Lalu salahkah ngotonin motor, mobil atau benda-benda elektronik saat Tumpek Landep? Maaf penulis tidak berani dan tidak mau membenarkan atau memvonis salah.
Karena beragama adalah persoalan keyakinan dan penulis tidak mau mempengaruhi, menggugat atau bahkan menyalahkan keyakinan orang lain meskipun orang lain itu sama-sama nyama Bali dan juga sebagai umat se-Dharma.
Hanya saja, penulis mencoba menekankan bahwa beragama jangan mameteng dan dalam berkeyakinan sangat penting berlogika. Berikutnya, yang juga sangat penting digarisbawahi bahwa tidak ada yadnya yang sia-sia.
Maksudnya, wajar-wajar saja saat ketika Tumpek Landep dibarengi dengan mengupacarai motor, mobil atau benda-benda elektronik selain mengupacarai senjata-senjata warisan leluhur seperti keris dan tombak sepanjang itu sebagai ungkapan syukur atas aungerahNya memberi kemudahan hidup dan bukan mendewakan motor atau mobilnya.
Mungkin tidak sedikit umat Hindu dalam merayakan Tumpek Landep salah satu rangkaiannya diisi dengan melakukan persembahyangan.
Lucunya, saat umat melakukan persembahyanhan ini justru menghadap ke motor atau mobil sehingga terkesan motor menjadi benda suci atau terkesan sebagai simbol salah satu manifestasiNya. Benarkah demikian? Mari berkeyakinan yang berlogika, sehingga tidak ada kesan mubazir dalam beryadnya. Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru arah.
Sesungguhnya, senjata yang paling utama dalam kehidupan ini adalah pikiran, karena pikiranlah yang mengendalikan semuanya yang ada. Semua yang baik dan yang buruk dimulai dari pikiran. Maka dari itu dalam perayaan hari Tumpek Landep ini, hal mendasar dan utama yang semestinya kita harapkan adalah agar senantiasa mampu menajamkan pikiran lewat kecerdasan dan mengendalikan pikiran lewat pengalaman-pengalaman yang ada. Jadi, setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam. Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih teliti melakukan analisa, serta lebih tepat dalam mengambil keputusan.
Hanya saja patut disadari, mengasah, dan menajamkan pikiran (idep/citta) saja belum cukup, wajib disertai dengan mengaluskan budhi, agar tidak dikuasai pengaruh ahamkara (ego), yang apabila dibiarkan bisa menjerumuskan pikiran ke arah kesesatan. Jika sesat jalan bisa diselamatkan dengan banyak bertanya, tetapi jika pikiran dikuasai kesesatan, akan terjadi pengkhianatan terhadap amanat dharma, lalu menjelma menjadi pengikut adharma.
Mencegah pikiran menjadi sesat, kitab Manusmrti, V.109 memberi tuntunan: ‘jika tubuh dibersihkan dengan air, maka pikiran dibersihkan dengan kejujuran, lalu roh dengan ilmu dan tapa, dan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan".
Banyak umat yang justru mensalahartikan makna dari Tumpek Landep. Banyak titiang lihat di jalan-jalan membuat upakara besar di haturkan di depan mobil dan motor yang sebenarnya makna inti dari Tumpek landep bukan itu.
Inti dari upakara ini berada di Sanggah Kemulan, dimana menghaturkan Banten Sesayut Pasupati sebagai symbol memohon anugrah ketajaman pikiran dari Sang Hyang Pasupati yang turun pada Hari Tumpek Landep.
#tubaba@griyang bang#
Terimakasih Jro, niki artikel yang mencerahkan. Suksme hatur tityang
BalasHapusTerimakasih Jro, niki artikel yang mencerahkan. Suksme hatur tityang
BalasHapusMtr suksma Jero Gede Atu Baba,antuk pencerahannya, banget mabuat pisan.
BalasHapus