Sangkepi Petanganan Astra Mantra Jangkep Bagi Pinandita Wiwa Griya Agung Bangkasa dan Mudra Sulinggih Dwijati
PENDAHULUAN
Agama Hindu mengajarkan kepada penganutnya untuk selalu berpegang teguh pada Dharma dalam mencari nafkah. Tidak satupun sloka dalam kitab Weda membenarkan cara-cara buruk untuk mendapatkan nafkah/ sumber kehidupan. Cara mendapatkan sumber kehidupan bagi umat Hindu diatur dalam Manawa Dharmasastra, Buku ke-4 “Atha Caturtho ‘Dhyayah” antara lain pada sloka 3 berbunyi:
YATRAM ATRA PRASIDDHYARTHAM, SWAIH KARMABHIRAGARHITAIH, AKLESENA SARIRASYA KURWITA, DHANASAMCAYAM
Artinya:
Untuk tujuan mendapat nafkah guna menunjang kehidupan, seseorang hendaknya mengumpulkan penghasilannya dengan menjalankan usaha yang tidak tercela sesuai dengan swakarma-nya tanpa membuat dirinya terlalu payah tidak menentu.
Pada sloka 18 ditulis:
WAYASAH KARMANO RTHASYA, SRUTASYABHIJANASYA CA, WESAWAG BUDDHI SARUPYAM ACARAN WICAREDIHA
Artinya:
Hendaknya manusia hidup di dunia ini dengan penyesuaian-penyesuaian meliputi: pakaian, tingkah laku, kata-kata, pikiran, dengan kedudukan, kekayaan, pelajaran suci, dan kebangsaannya.
Oleh sebab itulah aspek utama yang sangat penting dimiliki oleh seorang pinandita wiwa/jro mangku gde adalah penampilan yakni mengacu kepada tikas (tata busana, tata lungguh, tata genan, tata magentha), Raras (Ekspresi) dan gerak tangan/petanganan (yang lebih sering dikenal dengan sebutan mudra). Dari pengalaman saya banyak pertanyaan yang diterima tentang pengertian Mudra atau petanganan, serta siapakah yang boleh menggunakan petanganan itu, apakah hanya Sulinggih Dwijati, ataukah juga dibolehkan bagi Jro Mangku Gde/Pinandita Wiwa.
YATHA YATHA HI PURUSAH
SASTRAM SAMADHIGASCATI
TATHA TATHA WIJANATI
WIJNANAM CASYA ROCATE
Karena semakin dalam seseorang
mempelajari ilmu itu lebih dalamlah ia mengerti semuanya dan kepandaiannya bercahaya terang pada mukanya.
Maka dari itu penggunaan tentang bentuk-bentuk mudra juga saya lihat beragam namun mereka tidak dapat menyebutkan sumber sastra yang jelas. Praktek mudra biasanya diajarkan secara visual oleh para Nabe, sehingga penyimpangan dari bentuk aslinya bisa saja terjadi, apalagi bila dikembangkan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun.
Saya mencoba mencari sumber tertulis tentang mudra, dan menemukannya pada buku-buku yang ditulis oleh Dr. C. Hooykaas dan G. Pudja, M.A, SH. Kemudian inti sarinya, ditambah dengan pengalaman saya di saat Ngaturang Puja Mantra dituangkan dalam tulisan ini.
MANTRA
Sebelum menguraikan lebih jauh mengenai mudra, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui tentang mantra, karena mudra dilakukan seiring dengan mantra.
Pemujaan dalam upacara ritual keagamaan secara Hindu selalu memakai mantra, sehingga dapat dikatakan tiada upacara yang lengkap tanpa mengucapkan mantra. Perluasan makna ini juga mencakup penggunaan mudra yang tepat.
Mantra adalah kata-kata yang penuh arti serta suara-suara rahasia yang bersumber pada Weda Sruti. Dikatakan sebagai suara-suara rahasia, karena ada beberapa mantra yang tidak dapat diterjemahkan atau diartikan namun mempunyai kekuatan magis tertentu.
Mengapa demikian, karena jika kata-kata mantra yang diucapkan serta mempunyai arti atau terjemahan tertentu bermakna sebagai pujian dan permohonan kepada Hyang Widhi dari manusia yang ketika itu berbahasa Sanskerta, maka bagian kata-kata mantra yang bersifat rahasia merupakan cetusan dari pikiran yang tidak terbatas untuk menuju kepada Hyang Widhi yang Acintiya artinya yang maha kuasa, maha sempurna, yang tak terpikirkan, tak berwujud, dan ada di mana-mana. Beberapa contoh ucapan rahasia ini misalnya: “hrang hring sah”, “ing hring sring kpreng”, “hung hung asra”, dan lain-lain.
Dalam mantra sering dijumpai kata-kata yang tidak lengkap artinya, baik karena diucapkan dengan satu suara yang terdiri dari satu huruf swara maupun terdiri dari dua huruf yaitu huruf mati dan huruf hidup, atau lebih dari dua huruf tetapi terdiri dari satu, dua, atau tiga suku kata.
Bentuk mantra seperti itu disebut “bijamantra” dan huruf-huruf asal yang membentuk mantra itu dinamakan “bijaksara”. Satu mantra dapat diulang-ulang dua atau tiga kali menurut keperluan dan sesuai dengan penempatan sifat “rahasia” yang sudah diuraikan di atas.
SIMBOLISME
Simbolisme dalam Ilmu Filsafat Samskara disebut pula sebagai Niyasa, artinya perwujudan bentuk mental kulturil dan spiritualisme yang didasari oleh prinsip “satkarya wada” yakni keyakinan bahwa apa yang ada di dunia ini adalah sama dengan bentuk asalnya, atau dengan kata lain bentuk apapun di dunia ini adalah ciptaan Hyang Widhi.
Dari pengertian ini kemudian berkembang keyakinan bahwa unsur-unsur mikro kosmos (bhuwana alit) adalah sama dengan unsur-unsur makro kosmos (bhuwana agung). Oleh karena itu dalam falsafah Samskara diyakini pula apa yang dipikirkan manusia adalah wujud dari keragaman kekuasaan Hyang Widhi. Seterusnya apa yang dibuat manusia sesuai dengan yang dipikirkannya adalah juga ciptaan Hyang Widhi.
Dalam upacara keagamaan manusia Hindu membuat berbagai atribut, upakara, dan lain-lainnya yang tergolong niyasa. Ini adalah wujud dari kedekatan pikiran manusia memuja Hyang Widhi. Bentuk-bentuk niyasa yang dilihat sehari-hari adalah: pelinggih, patung/ arca, warna, kober, tedung, banten, huruf-huruf/ aksara/ angka suci, kidung, gambelan, tarian sakral, dan lain-lain.
Mantra dan Mudra juga adalah niyasa.
MUDRA
Mudra, mantra, dan manah mempunyai kaitan yang erat karena ketiganya merupakan perwujudan dari Tri Pramana sebagai karunia Hyang Widhi kepada umat manusia yaitu Sabda-Bayu-Idep dalam pengertian bahwa manusia ditakdirkan mampu berkata-kata, mampu bergerak, dan mampu berpikir.
Dalam filsafat Samskara dinyatakan bahwa manusia selalu harus bersyukur karena mempunyai ketiga kemampuan itu, sehingga manusia dapat dibedakan dengan binatang yang hanya mempunyai sabda dan bayu, dan tumbuh-tumbuhan yang hanya mempunyai bayu saja.
Mantra yang diucapkan dengan mulut adalah perwujudan sabda, mudra yang dilaksanakan dengan sikap duduk dan sikap tangan adalah perwujudan bayu, dan manah atau pikiran yang dikonsentrasikan pada makna mantra adalah perwujudan dari idep. Hubungan antara mantra dengan mudra disebut sebagai Wimarsa karena mudra adalah refleksi dari mantra.
Di samping itu mudra banyak berkaitan dengan arah mata angin dan cakra. Arah mata angin yang dikenal sebagai pengider-ider Dewata Nawa Sangga mengandung pengertian bahwa Hyang Widhi berada di segala penjuru mata angin, yaitu di:
- Timur sebagai Ishwara
- Tenggara sebagai Mahesora
- Selatan sebagai Brahma
- Barat Daya sebagai Rudra
- Barat sebagai Mahadewa
- Barat Laut sebagai Sangkara
- Utara sebagai Wisnu
- Timur Laut sebagai Sambu
- Tengah-Tengah (Sentral) sebagai Siwa-Sadasiwa-Paramasiwa
Cakra adalah pusat-pusat kekuatan Hyang Widhi pada tubuh manusia, dikenal ada tujuh cakra, yaitu:
- Muladara letaknya di dubur
- Swadistana letaknya di kelamin
- Manipura letaknya di pusar
- Anahata letaknya di jantung
- Wisudhi letaknya di pangkal tenggorokan
- Ajnya letaknya di sela-sela alis
- Sahasrara letaknya di ubun-ubun
Hubungan antara mudra dengan arah mata angin dan cakra juga disebut sebagai wimarsa karena mudra juga adalah perwujudan Hyang Widhi di segala penjuru mata angin dan perwujudan Hyang Widhi dalam tubuh manusia.
Dalam makro kosmos (bhuwana agung) mudra juga berkaitan dengan tiga alam, yaitu:
- Alam Bhur loka yaitu kehidupan di bumi
- Alam Bwah loka yaitu kehidupan para Dewa
- Alam Swah loka yaitu kehidupan di Nirwana
Hubungan mudra dengan ketiga alam itupun disebut sebagai wimarsa karena mudra juga mewujudkan keberadaan ketiga alam itu.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa mudra adalah bentuk-bentuk gerakan tangan dan jari sebagai niyasa untuk mewujudkan Hyang Widhi dalam alam pikiran serta mempersembahkan atau memohon sesuatu kepada-Nya sesuai dengan makna mantra yang diucapkan.
PENGELOMPOKAN MUDRA SULINGGIH DWIJATI & PENGGUNAANNYA
Mudra untuk Bhuwana Alit:
- Parasu mudra, penolak rintangan dan kekecewaan
- Hrdaya mudra, pensucian jiwa atau noda
- Astra mudra, penolak kesedihan
- Wrsada mudra, penolak racun
- Sikha mudra, penolak kematian atau sifat Rudra
- Trisula mudra, pengendali angin
- Kawaca mudra, penolak bisa binatang
- Dhanu mudra, penolak kejahatan
- Pratistha mudra, mempertemukan atman dengan Brahman
Mudra untuk Bhuwana Agung:
- Trisula mudra: timur laut, penolak kekotoran
- Bajra mudra: timur, terima kasih kepada Sanghyang Dharma
- Sangkha mudra tenggara, memberi kepuasan pada Dewa Mrtiyu
- Danda mudra: selatan, kepuasan pada Dewa Brahma
- Khadga mudra: barat daya, pensucian jiwa
- Nagapasa (Pasa) mudra: barat, terima kasih pada Dewa Baruna
- Dwaja mudra: barat laut, penolak mejik
- Cakra mudra: utara, pensucian kecemaran dan menghilangkan kesusahan atas anugrah Bethara Kala
- Padma mudra: tengah, memberi kepuasan bathin atas anugrah Dewa Siwa.
Mudra (Petanganan Astra Mantra untuk Pinandita Wiwa):
- Akasa
- Pertiwi
- Takep tangan
- Usap tangan
- Kepok
- Petik
- Naraca
- Wrsada
- Cakra
- Wyoma
- Astra
- Hrdaya
MERANGKAI MUDRA
Mudra yang mengikuti mantram merupakan satu kesatuan yang merangkai beberapa mudra. Oleh karena itu mudra tidaklah statis. Perpindahan bentuk dari mudra satu dengan yang lain merupakan seni tersendiri karena dikembangkan oleh masing-masing pemuja, namun tetap berpegang pada hasil mudra yang sudah dibakukan sesuai dengan gambar-gambar di atas. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan mudra dengan baik perlu latihan yang intensif.
MEMBACA GAMBAR & PRAKTEK MUDRA
Di atas disajikan gambar-gambar mudra dilengkapi dengan mantra yang diucapkan dan nama mudranya. Cara membacanya berturut-turut dari kiri ke kanan sehingga dalam prakteknya akan merupakan satu kesatuan.
Dalam susunan acara pemujaan sang deijati khususnya dalam kegiatan Nyurya Sewana atau Ngarga Tirta, maka mudra serta mantranya disisipkan pada urutan Puja-mantra yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan itu. Untuk para Pinandita Wiwa hanya menggunakan Petanganan Astra Mantra, sedangkan untuk Dwijati menggunakan semua mudra.
KEPUSTAKAAN
- Wedaparikrama, G. Pudja, MA, SH, Penerbit Setia, Jakarta 1977
- Surya Sevana, The Way To God Of A Balinese Siva Priest, C. Hooykaas, N.V. Noord Hollandsche Uitgevers Maatshappij, Amsterdam, 1966
- Weda,…., Tim Penusun Buku Direktorat Jenderal Bimbingan masyarakat Hindhu dan Budha.
- Mantra Pemujaan Untuk Pemangku/ Pinandita, 2004, Drs. I Gusti Ngurah Sudiana,MSi, Parisada Hindu dharma Bali Bag. Konsultasi Agama dan Adat.
- Cakepan Alit Paruman Pemangku/Pinandita KabupatenDaerah Tingkat II KLK,….., Pinandita Jero Mangku Datin, Parisada Hindhu Dharma I Indonesia Kabupaten daerah Tingkat II KLK.
- Mlaspas dan Ngenteg Linggih Maksud dan tujuan , 1998, Drs. I Nyoman Singgih Wikarman, Paramita Surabaya.
- Stuti dan Stawa mantra Para pandita Hindu di Bali,2004, T Gondriaan dan C Hooykaas, Paramita Surabaya.