Sate menyimbolkan bentuk-bentuk alat perang. Dalam buku Dharma Caruban, Tuntunan Membuat Olahan/Bebanten disebutkan ada sembilan macam sate dalam Galungan. Namanya sate penawa-sangan, yang melambangkan senjata Sang Hyang Nawa Dewata atau sembilan dewata yang berada di sembilan penjuru mata angin.
Sate Lilit merupakan lambang senjata Dewa Brahma yang berupa gada, yakni senjata pemukul berbentuk cembung seperti kubah dengan pangkal lurus sebagai pegangannya.
Konon, senjata ini bermakna perlawanan dan menghancurkan pengaruh jahat.
Dalam persiapan ritual keagamaan, Sate Lilit dibuat dan disusun secara khusus berdasarkan arah mata angin.
Sate Lilit digunakan sebagai sesaji yang biasanya dibuat oleh kaum pria.
Pembuatan Sate Lilit Bali melibatkan banyak orang mulai dari proses penyembelihan hewan, pemotongan daging, mencincang daging, pembubuan, pelilitan, dan pemanggangan.
Biasanya pembuatan sate lilit dilakukan di banjar (balai desa).
Sate Lilit selalu dibuat dalam jumlah banyak atau skala besar, bahkan bisa sampai melibatkan 100 orang pria untuk membuatnya.
Dari proses yang lebih melibatkan para pria inilah, sate lilit memiliki makna filosofi yang kuat dalam kehidupan dan kejantanan pria.
Bahkan jika ada pria yang tak bisa membuat Sate Lilit, maka akan dipertanyakan kejantanannya.
Batang atau tusuk sate pada Sate Lilit menggunakan batang serai, batang bambu atau batang kayu seperti biasa.
Istilah "lilit" dalam bahasa Bali dan Indonesia berarti "membungkus", seperti wujud asli Sate Lilit yang memang dililitkan pada tusuk sate.
Kuliner ini merupakan salah satu makanan yang digunakan sebagai sesaji dalam upacara adat di Bali. Hal ini dikarenakan kuliner ini mengandung filosofi tersembunyi. Dari daging lilitnya yang melambangkan masyarakat Bali dan tusuk satenya sebagai pemersatunya. Maksud dari filosofi ini adalah kuliner ini menggambarkan masyarakat Bali yang selalu Bersatu dan tidak akan bercerai-berai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar