Senin, 01 Juni 2020

PATIWANGI

PATIWANGI, ASU PUNDUNG DAN ALANGKAHI KARANG HULU DALAM SISTEM PERKAWINAN


Prosesi Pernikahan Umat Hindu
Dalam ajaran Hindu dikenal ada empat tahapan yang harus dilalui dalam hidup yang disebut dengan Catur Asrama, yaitu brahmacari (masa belajar/menuntut ilmu), grahasta ( perkawinan), wanaprasta (masa mengasingkan diri), dan sanyasin (hidup sebagai orang suci). Hendaknya keempat tahapan ini harus dilaksanakan atau dilaksanakan oleh umat Hindu.

Tahap grhasta merupakan salah satu tahap kehidupan manusia untuk membangun dan membina sebuah rumah tangga. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani, tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan tidak hanya sekedar hubungan biologis yang mendapat legalitas hukum sehingga dapat memenuhi kebutuhan biologis secara bebas, namun lebih daripada itu perkawinan identik dengan upacara yajna yang dilaksanakan dengan ritual dan disaksikan oleh tri upasaksi, yaitu Dewa saksi, Manusa saksi, dan Bhuta saksi.

Menurut tradisi adat di Bali, dikenal empat sistem perkawinan, yaitu:

Sistem memadik/meminang, yaitu pihak calon suami serta keluarganya datang ke rumah calon istrinya untuk meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telah saling mengenal dan ada kesepakatan untuk berumah tangga. Dalam masyarakat Bali sistem ini dipandang sebagai cara paling terhormat.
Sistem ngerorod/rangkat, yaitu bentuk perkawinan yang berlangsung atas cinta sama cinta antara kedua calon mempelai yang sudah dipandang cukup umur. Jenis perkawinan ini sering disebut kawin lari.
 Sistem nyentana/nyeburin, yaitu perkawinan yang berdasarkan perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan calon mempelai laki-laki berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki-laki tinggal di rumah si istri.
Sistem melegandang, yaitu bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas cinta sama cinta. Jenis perkawinan ini sama dengan Raksasa wiwaha dan Paisaca wiwaha dalam Manawa Dharmasastra.
Perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu

Perkawinan Asu Pundung atau Asu Mundung adalah perkawinan antara laki-laki ksatria, waisya atau sudra dengan perempuan (wanita) dari kasta brahmanawangsa atau kasta ksatria dalem. Arti harfiah dari kata Asu Pundung adalah menggendong anjing (seorang wanita menggendong laki-laki yang disamakan dengan anjing). Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan Alangkahi Karang Hulu adalah perkawinan,

Antara laki-laki dari kasta waisya dengan perempuan (wanita) dari kasta ksatria.
Antara laki-laki sudra dengan perempuan (wanita) dari kasta ksatria atau waisya.
Alangkahi Karang Hulu secara harfiah berarti melangkahi atau meloncati kepala pimpinan atau kepala orang yang kastanya lebih tinggi.

Sistem perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu diperkirakan dimulai pada tahun 1910, ketika raja-raja Bali mengeluarkan sebuah “Pasuara” (semacam keputusan) yang menetapkan jenis-jenis pelanggaran adat beserta sanksinya. Pasuara yang kemudian diperkuat oleh Beslit Residen Bali dan Lombok tertanggal 11 April 1927, No. 352 Jl.C.2 itu, antara lain menetapkan jenis-jenis pelanggaran yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Namun, pada tahun 1951, DPRD Bali dengan Paswara No.11/DPRD, tertanggal 12 Juli 1951, mencabut paswara tahun 1910, yang isinya menghapus sistem perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu.

Dalam pelaksanaannya, perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu dikategorikan perkawinan ngerorod atau kawin lari, karena sebagian besar perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu didahului dengan proses melarikan calon mempelai wanita untuk dinikahkan.

Perkawinan ngerorod diambil karena ada alasan yang melatarbelakangi. Perkawinan ini dipandang sebagai perkawinan yang mengutamakan rasa diantara laki-laki dan perempuan untuk berjalan bersama meniti hidup dan saling menanggung segala konsekwensi terhadap apapun secara bersama-sama mengikat diri dalam sebuah perkawinan walaupun dilakukan dengan tanpa restu orang tua.

Perkembangan saat ini dengan kesadaran dan pengetahuan tentang prinsip perkawinan yaitu saling mencintai dan tidak ada pemaksaan maka rencana perkawinan ngerorod biasanya telah diketahui oleh kedua belah pihak keluarga. Sebenarnya telah terjadi komunikasi antara pihak wanita dengan orang tuanya bahwa akan dilangsungkan proses perkawinan ngerorod, walaupun secara aturan kekerabatan yang tidak tertulis tidak mendukung proses perkawinan tersebut. Awalnya akan terjadi konflik, namun pada akhirnya proses perkawinan akan tetap berjalan seperti proses perkawinan pada umumnya.

Mengenai Asu Pundung, konferensi di Singaraja pada tanggal 15-17 September 1910 memutuskan mengenai hukuman pembuangan seumur hidup untuk pelakunya sebagai ganti hukuman labuh batu, yaitu hukuman ditenggelamkan hidup-hidup ke dalam laut. Sedangkan mengenai perkawinan Alangkahi Karang Hulu, konferensi memutuskan bahwa :

Kalau yang perempuan adalah ksatria, tetapi bukan ksatria dalem, sementara suaminya waisya atau sudra dijatuhi hukuman pembuangan atau hukuman selong selama 10 (sepuluh) tahun atau denda 80 peku = 80.000 uang kepeng atau pis bolong,
Kalau yang perempuan waisya sedangkan suaminya sudra dijatuhi hukuman pembuangan selama 5 (lima) tahun atau denda 20 peku = 20.000 uang kepeng.
Dalam kedua jenis perakawinan larangan itu, perempuan atau wanita yang bersangkutan dijatuhkan kastanya (patita wangsa), mengikuti kasta suaminya.

Hukuman bagi perkawinan Alangkahi Karang Hulu ditetapkan pengurangan hukuman sebagai berikut:

Dengan denda sebesar-besarnya 80 peku atau 100 rupiah, dan kalau tidak sanggup membayar dipenjara selama-lamanya 6 (enam) bulan bagi lelaki sudra yang kawin dengan perempuan berkasta ksatria (bukan ksatria dalem),
Dengan denda sebanyak-banyaknya 50 peku atau 50 rupiah, dan kalau tidak sanggup membayar, dihukum selama-lamanya 3 bulan bagi lelaki sudra yang kawin dengan perempuan waisya,
Dengan denda sebesar-besarnya 20 peku atau 25 rupiah, dan kalau tidak sanggup membayar dihukum penjara selama-lamanya 1,5 bulan bagi lelaki waisya yang kawin dengan perempuan ksatria (bukan ksatria dalem).
Mengenai kasta pihak perempuan, hukumannya sama dengan yang ditetapkan dalam paswara tahun 1910, yaitu diturunkan kastanya menjadi sama dengan kasta yang lelaki.

Patiwangi Sebagai Pelengkap Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu

            Patiwangi berasal dari kombinasi kata ‘pati’ yang berarti mematikan, dan kata ‘wangi’ yang berarti harus atau keharuman. Jadi upacara patiwangi bermakna menghilangkan keharuman (wangsa, nama, derajat) mempelai perempuan yang dianggap berkasta lebih tinggi yang kawin dengan laki-laki yang dianggap berkasta lebih rendah.

            Patiwangi dari dahulu dilaksanakan di bale agung, kedua mempelai diarak mengelilingi bale agung sebanyak tiga kali. Tujuan dari prosesi ini adalah menghilangkan keharuman atau status mempelai perempuan agar bisa sama dengan status suaminya. Diyakini, jika perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu tidak didahului dengan patiwangi, maka diyakini keadaan keluarga tersebut selanjutnya menjadi panas, misalnya sering bertengkar, tidak terlalu harmonis, atau anak yang kurang bisa diatur. Untuk menghindari hal tersebut, pihak keluarga melaksanakan patiwangi. Ketika sudah dilaksanakan patiwangi, perempuan sudah tidak menyandang status sebagai triwangsa, namun secara administrasi kedinasan, nama asli tidaklah hilang, hanya penyebutan nama ataupun perlakuan dalam keseharian tidaklah seperti sebelum menikah.

Patiwangi, Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu saat ini    

            Beberapa keluarga dan desa di Bali, saat ini mulai meniadakan patiwangi, dan tidak terlalu kaku dalam pelaksanaan perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Masyarakat mulai menyadari arti cinta, yang tidak memandang status sosial, dan semua bisa dikomunikasikan. Jika perkawinan Asu Pundung atau Alangkahi Karang Hulu terjadi harus dengan prosesi melarikan mempelai perempuan, demi menjaga nama keluarga pihak perempuan, pihak laki-laki akan membawa mempelai perempuan untuk dinikahkan, namun sepengetahuan orang tua perempuan, seolah-olah anaknya dilarikan. Hal ini sudah biasa ditemukan saat ini.

            Demikian juga dengan prosesi patiwangi. Jika sebelumnya patiwangi harus dilaksanakan di bale agung, saat ini banyak keluarga melaksanakan di mrajan pihak laki-laki, sebelum dilaksanakan prosesi pernikahan secara agama Hindu. Tidak jarang, beberapa perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu tidak dilaksanakan, karena sudah terjalin komunikasi yang baik antar pihak keluarga, atau pihak perempuan tidak terlalu mempermasalahkan patiwangi.

            Selain pemahaman tentang arti cinta ketika patiwangi, Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu, dalam Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat Nomor : 01/Bhisama/Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002 Tentang Pengamalan Catur Warna, poin C, dijelaskan bahwa patiwangi dihapus sejalan dengan dihapusnya Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Isi Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat tentang pengamalan catur warna, ditetapkan sebagai berikut:

C. Menegakkan sistem Catur Varna.

Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:

1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai “metode pembinaan umat Hindu” yang telah ditetapkan dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Santi.

2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat “muput” (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal “Wangsa”nya.

3. Dalam persembahyangan bersama saat “Nyiratang Tirtha” (memercikkan air suci) umat diajak untuk membiasakan menerima “Siratan Tirtha” (percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku.

4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat resmi yang patut mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang kurang wajar dalam tata penghormatan itu.

5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara “Matur Piuning” di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama.

6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk “Muput” upacara “Pawiwahan” (perkawinan) karena mempelal berbeda wangsa.

7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya “Mepandes” (Potong Gigi), orang tua sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa.

8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.

9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan

10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.

11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya saling harga-menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya. Sistem perkawinan di Bali menggunakan sistem patrilinial, yaitu suatu kelompok kelompok keturunan yang keanggotaannya diambil atau ditetapkan melalui garis keturunan laki-laki. Maka dengan menggunakan sistem seperti itu, seorang anak laki-laki menjadi sentral sebagai penerus keturunan. Karena menggunakan sistem patrilinial, secara otomatis mempelai perempuan harus mengukuti status laki-lakinya. Kedudukan perempuan dalam perkawinan lebih lemah, apalagi dalam perkawinan antar wangsa.

Upacara Patiwangi

Upacara patiwangi yang secara harfiah berarti: ”menggugurkan keharuman/kehormatan”, mempunyai makna simbolik untuk menurunkan kasta perempuan yang kawin nyerod sehingga menjadi sederajat dengan kasta suaminya, dengan begitu tidak sederajat lagi dengan kasta keluarga asalnya. 

Penurunan derajat kewangsan (kasta) ini tidak terlalu menjadi persoalan bagi si perempuan selama perkawinannya berlangsung kecuali berkait dengan hubungannya dengan keluarga asalnya yang tidak sama seperti dulu lagi, seperti soal: parid keparid, sumbah kesumbah, sor singgih basa
Tetapi menjadi persoalan yang sangat berat jika perempuan tersebut kemudian bercerai dengan suaminya. Kemana perempuan itu pulang?
Menyikapi persoalan psikologis dan sosiologis di atas, Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali dengan tegas memutuskan bahwa : 
”Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan upacara perkawinan”.
Dalam Lampiran Keputusan Pesamuan Agung III tersebut dijelaskan latar belakang keputusan ini bahwa upacara patiwangi dalam perkawinan nyerod bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.

Demikian potret perempuan Bali  disebutkan dalam hukum keluarga, di masa lalu, sekarang, dan perspektif pada masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar