Sabtu, 20 Juni 2020

YAYASAN WIDYA DAKSHA BALI NISKALA

YAYASAN WIDYA DAKSHA BALI NISKALA
PENDIRI
*IDA BHAWATI SUMERTA
*I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd

PEMBINA
IDA SINUHUN SIWA PUTRI PARAMA DAKSA MANUABA
KETUA
*KADEK DUWIKA


SEJARAH SINGAKAT PENDIRIAN YAYASAN WIDYA DAKSHA BALI NISKALA

Sejarah pendirian Yayasan Widya Daksha Bali Niskala bermula dari adanya fase dalam sejarah, saat umat Hindu Bali menuntut agar Hindu diakui sebagai agama, bukan sebagai suatu aliran kepercayaan.
   
Dari sejumlah pulau yang baru ditaklukkan Belanda pada awal abad ke-20, Bali adalah salah satunya. Belanda mulai menyerang Bali pada 1846 dan menaklukkannya pada 1908.

Namun, Bali sudah tenar di kalangan orientalis, para pengkaji kehidupan Timur, Eropa jauh sebelum itu. Sebagaimana disebut Michel Picard dalam "What's in a Name? Agama Hindu Bali in The Making" (2004), orientalis Eropa menjuluki Bali sebagai museum hidup peradaban Hindu-Jawa. Bali dianggap satu-satunya penerus yang hidup kala peradaban Hindu memudar di Jawa selepas masuknya Islam.

Di kalangan orientalis Eropa, berkembang pemahaman bahwa Hindu dibawa masuk Bali pada abad ke-14 oleh orang-orang Majapahit. Ketika Majapahit terdesak oleh pengaruh Islam pada waktu itu, elite Majapahit yang tidak mau masuk Islam pergi ke Bali untuk berlindung di kerajaan-kerajaan pimpinan saudaranya di Bali.

Para orientalis itu senang sebab orang-orang Bali telah melestarikan teks dan ritual Hindu, tapi mereka tidak satu suara dalam memandang sejauh mana kesesuaian praktik keagamaan di Bali dengan India. John Crawfurd dan Thomas Stanford Raffles memandang pemujaan yang dilakukan orang Bali di kuil-kuil sebagai bentuk ketakhayulan sehingga itu tidak bisa disebut Hindu. Sedangkan R.H.Th. Friederich melihat agama yang dipraktikkan di Bali adalah Hindu.

Perdebatan tersebut berlangsung pada abad ke-19. Namun, wujud lain polemik pengakuan praktik keagamaan juga terus muncul di kemudian hari, hingga masa Bali berada di bawah republik.

Hindu Bali antara Agama dan Adat
Di luar perdebatan para orientalis soal kesesuaian praktik keagamaan Bali dengan India, dalam catatan Picard, para orientalis sepakat Hinduisme adalah inti dari masyarakat, penjaga keutuhan budaya, dan inspirasi daya artistik orang Bali. Oleh karena itu, agama Bali mesti dilindungi dari pengaruh agama lain.

Pemerintah kolonial melarang misionaris beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.

Kepala Departemen Arkeologi Batavia F.D.K. Bosch dan stafnya, seorang ahli Bahasa Jawa dan Bali kuno bernama R. Goris, mengatakan dakwah misionaris akan menghancurkan kebudayaan Bali. Bagi Bosch dan Goris, agama Bali mesti diakui sebagai bagian yang sah dari Hinduisme. Sementara itu, misionaris H. Kraemer menganggap agama Bali mengandung hanya sedikit Hinduisme. Bagi Kraemer, agama Bali berisi sihir dan takhyul serupa "animisme" yang ditemui di banyak tempat di Nusantara.

Pada akhirnya, Gubernur Jenderal Hindia Belanda melarang misionaris masuk ke Bali. Namun, itu tidak bisa mencegah sepenuhnya misi Protestan atau Katolik Roma dalam menjejakkan kakinya di Bali.

Sementara itu, masyarakat Bali juga berkembang dan menyesuaikan diri dengan modernisme yang diperkenalkan Eropa. Pada warsa awal abad ke-20, pelbagai organisasi modern didirikan di Singaraja, Bali oleh pengajar dan pegawai sipil.

Selain mendirikan sekolah-sekolah dan yayasan keagamaan, organisasi ini juga menerbitkan jurnal berbahasa Melayu, lingua franca di Hindia Belanda. Pandangan mereka soal agama Bali, Hindu, dan kebudayaan Bali disalurkan lewat jurnal tersebut.

Sekurang-kurangnya ada dua majalah terkemuka pada masa tersebut yang kerap baku gagasan: Bali Adnjana dan Surya Kanta. Sebagaimana disampaikan Anak Agung Gde Putra Agung dalam Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali Utara (2001) bahwa perdebatan antara keduanya menyoal sistem kasta di Bali.

Meskipun keduanya berbeda ideologi, Picard mencatat pimpinan Surya Kanta dan Bali Adnjana sama-sama ingin mempertahankan fondasi identitas Bali. Lewat kedua majalah, orang Bali memandang diri mereka sebagai entitas tunggal, "kita bangsa Bali". Siapakah bangsa Bali itu? Yang jelas, mereka menafsirkan identas ke-Bali-an berdasarkan agama dan adat, sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Bali Adnjana didirikan oleh organisasi Santi dan kemudian mendapat dukungan Tjatoer Wangsa Derja Gama Hindoe Bali. Ia mewakili suara triwangsa atau tiga kasta tertinggi di Bali: Brahmana, Ksatria, dan Waysia. Kaum triwangsa ingin pembaharuan dijalankan perlahan dengan tetap mempertahankan sistem kasta. Dalam anggaran dasarnya, Santi didirikan untuk "menegoehkan Agama Hindoe" juga "menegoehkan Adat dan Agama".

Sedangkan Surya Kanta didirikan I Ktoet Nasa. Dia sebenarnya menjadi salah satu pendiri Santi. Namun, dia ingin lebih menyuarakan kepentingan golongan Sudra atau Jaba. Surya Kanta punya tujuan "menegoehkan Agama dan merobah adat istiadat jang bertentangan dengan keamoean zaman". Adat yang dimaksud ialah yang bikin rugi orang-orang Jaba di Bali.

Tapi mana yang disebut "agama" dan mana yang "adat"? Bagi Surya Kanta, orang Bali tidak akan memahami agamanya sepanjang mereka tidak tahu nama agama mereka. Mereka menganggap praktik dan keyakinan keagamaan di Bali yang amat beragam sebenarnya tidak masuk agama tapi adat. Sedangkan Bali Adnjana, melihat keragaman itu sebagai suatu yang biasa sebab pada dasarnya Hinduisme bukan agama yang seragam.

Tidak heran bila kemudian Tjakra Tanaja, tokoh faksi triwangsa di Santi sekaligus pendiri Bali Adnjana, mengajukan usulan agar agama yang mereka anut disebut "Agama Hindu Bali". "Nama Hindoe Bali jaitoe jang bererti menegoehkan Agama Hindoe yang soedah ada dan dipeloek olih wong Bali" sebut Bali Adnjana (edisi 1926, 3/17:2).

Sedangkan I Ktoet Nasa dan orang-orang Jaba mengusulkan nama "Agama Bali Hindu". Bagi mereka, orang-orang Bali ialah penganut Hindu. Supaya benar-benar menjadi Hindu, orang-orang Bali mesti meninggalkan hal-hal yang sebenarnya tambahan saja dalam praktik keagamaan. Menanggapi ini, Bali Adnjana menuding Surya Kanta ingin Hinduisme dalam bentuk "murni" diterapkan di Bali.

Pada 1936 sebuah majalah bernama Djatajoe didirikan organisasi Bali Darma Laksana. Redaksi majalah ini berisi eks Bali Adnjana, Surya Kanta, dan Bhawanagara. Isu keagamaan orang Bali dan seruan untuk mereformasinya pun mendapat ruang berpolemik di majalah ini sejak awal. Namun, sekali lagi, perdebatan ini tidak pernah tuntas, bahkan menjadi semakin rumit sebab orang-orang Bali juga mesti menghadapi pandangan kabur pribumi pulau lain, penganut agama lain, yang menganggap mereka memuja berhala pun animis.

Setelah Indonesia Merdeka
Pada akhirnya istilah "Hindu Bali" diakui sebagai "agama". Namun, untuk menuju ke sana, jalannya berliku.

Ketika tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama, tembok pemisah agama dan aliran kepercayaan benar-benar dibangun. Menurut Peraturan Menteri Agama 9/1952 Bab VI, aliran kepercayaan diartikan "suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa."

Sedangkan "agama" didefinisikan seturut garis pemahaman Judaeo-Kristiani-Muslim yang monoteistik. Bila suatu komunitas ingin diakui "beragama", mereka mesti menganut akidah monoteistik yang diakui secara internasional; yang diajarkan seorang nabi melalui kitab suci.

Pada 1952, Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) mengakui hanya tiga agama yang dipeluk rakyat Indonesia: Islam, Protestan, dan Katolikisme. Semua yang di luar itu diakui sebagai orang yang belum beragama. Semua tradisi di Nusantara, termasuk kebatinan Jawa digolongkan sebagai aliran kepercayaan kesukuan. Menariknya, kebatinan Jawa sebenarnya menganut akidah monoteistik.

Bagaimana dengan Bali? Berdasarkan peninjauan pada 1950, Departemen Agama menyimpulkan kehidupan beragama di Bali berisi praktik politeistik dan animisme yang beragam. Sebab itu, agama orang Bali digolongkan sebagai aliran kepercayaan dan dianggap sebagai "orang yang belum beragama".

Tokoh masyarakat Bali tidak terima dengan itu. "Para pemimpin organisasi reformasi agama yang berkembang pesat di Bali setuju untuk belajar ke India agar mendapat pengertian umum tentang prinsip dan praktik keagamaan mereka, menyesuaikan garis kriteria yang ditetapkan Departemen Agama Indonesia," sebut Martin Ramstedt dalam "Negotiating identities - Indonesian ‘Hindus’ between local, national, and global interests" (2004).

Beberapa cendekiawan muda Bali dikirim belajar ke Shantiniketan Vishva Bharaty University, Banaras Hindu University, dan International Academy of Indian Culture.

Pada 14 Juni 1958, petisi bersama diajukan guna menuntut pembentukan seksi Hindu-Bali dalam Departemen Agama. Petisi ini berdalih Hindu-Bali tidak bertentangan dengan Pancasila.

Presiden Sukarno yang sangat mendukung "kesatuan" tentu menyambut baik petisi tersebut. Pada 1 Januari 1959, pemerintah membentuk Bagian Urusan Hindu Bali dalam Departemen Agama. Pada tahun yang sama, semua organisasi keagamaan besar di Bali melebur menjadi satu badan bernama Parisada Dharma Hindu Bali.

Pada 1963, Biro tersebut berganti nama menjadi Biro Urusan Agama Hindu Bali. Setahun berikutnya, Parisada Hindu Dharma Bali mengganti namanya menjadi Parisada Hindu Dharma.

Periode 1966-1980, banyak orang Jawa di Jawa Tengah dan Timur seperti Orang Tengger di kawasan Bromo, Jawa Timur; orang Bugis To Wani To Lotang, Toraja-Mamasa, Toraja Sa'dan di Sulawesi Selatan; sebagian orang Karo di Sumatera Utara; dan orang Ngaju dan Luangan di Kalimantan Selatan menyatakan diri mereka sebagai Hindu.

Pada 1986, Parisada Hindu Dharma berganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia, agar dapat menaungi komunitas tersebut. Pembentukan organisasi ini menjadi bagian perjalanan dari perjuangan umat Hindu Bali menuntut Hindu sebagai agama bukan sebagai suatu aliran kepercayaan. 

Mengingat adanya fase dalam sejarah, saat umat Hindu Bali menuntut agar Hindu diakui sebagai agama, bukan sebagai suatu aliran kepercayaan itulah dibentuknya Yayasan Daksha Bali Niskala


VISI DAN MISI YAYASAN WIDYA DAKSHA BALI NISKALA


MOTTO

MENDIDIK DAN BEKERJA SEMATA-MATA UNTUK BERDOA KEPADA IDA SANG HYANG WIDHI WASA

SLOGAN

Membangun Bali Dengan Keterampilan Ilmu Pengetahuan Secara Sekala-Niskala Bermodalkan Asa


VISI

Mewujudkan Lembaga Hindu yang Unggul dalam Melayani Umat di Bidang Sosial, Budaya, Pendidikan dan Keagamaan untuk Membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang Berkarakter dan Bermoral Mulia.

MISI

1. Meningkatkan Pendidikan yang bermutu dan Pengajaran yang berkualitas
2. Membangun Pusat Pasraman, Sosial dan Pendidikan yang Berbasis Pada Pemberdayaan Masyarakat.
3. Menyelenggarakan Berbagai Layanan Sosial dan Budaya dalam Membantu Pemberdayaan Umat Hindu.


TUJUAN

1. Meningkatkan SDM dan Fasilitas Pendidikan yang Memiliki Keunggulan Kompetitif dan Komparatif yang handal.

2. Mengembangkan Ajaran Agama Hindu melalui Pasraman di Masyarakat Demi Terciptanya Manusia yang Unggul, dalam meningkatkan SRADHA BHAKTINYA DAN IPTEK

SRADHA BHAKTI merupakan bentuk prilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-Nya dan dengan sesama manusia. Maka dari itu, kita harus menjalankan atau mengamalkan apa yang sudah menjadi dasar kepercayaan para leluhur orang Bali lewat filosofi-filosofi yang sudah ada. Sehingga kepercayaan-kepercayaan terdahulu tidak hilang dan akan terus ada sampai menurun ke anak cucu kita nanti.

3. Membantu Pemerintah dalam Mewujudkan Wajib Belajar (WAJAR ) Dikdas

4. Untuk melestarikan adat budaya tradisi Hindu Bali, Yayasan Widya Daksha Bali Niskala juga membangun kaderisasi pakar di bidang usada Bali, belajar ilmu kanuragan seperti pawang hujan dan sebagainya yang ada kaitannya dengan ilmu tradisional agar tetap lestari turun temurun.

STRATEGI

1. Mendirikan dan Mengembangkan Sarana dan pra sarana yang Menjadi Unit yang dibawah naungan Yayasan;
2. Membekali dan mencetak tenaga pendidik yang Profesional;
3. Menjalin Kerjasama dengan Pemerintah, Swasta, Yayasan Widya Daksha Dharma dan Lembaga Lain;
4. Memberikan Santunan Beasiswa Terhadap Anak Yatim dan Fakir Miskin;
5. Membangun Usaha Lain yang Bermanfaat bagi Umat Hindu.


SEKILAS ULASAN MAKNA LOGO YAYASAN

Semeton Kabupaten Singaraja mulai  membentuk Yayasan Widya Daksha Bali Niskala dengan mengembangkan usaha dan kegiatan ekonomi berdasarkan filosofi dan pemahaman akan pengertian Sosial Budaya Bangsa secara sekala - niskala. Generasi yang akan datang niscaya perlu mengetahui historis, filosofis, politis dan sosio-kultural.

Yayasan Widya Daksha Bali Niskala dengan sejarah perkembangannya perlu mengemukakan gambaran historis kemajuan bidang-bidang usahanya, dengan karya-karya yang didasarkan pada filosofi dan visi yang sesuai dengan Budaya Bali.

Usaha ini dimaksudkan menjadi bekal berusaha untuk kesejahteraan di dunia dan mendambakan hidup langgeng, damai tentram di alam sekala maupun niskala.

Logo Yayasan Widya Daksha Bali Niskala divisualisasikan sebagai Bunga Teratai Mekar lengkap dengan aksara pangider bhuwananya yang dilindungi dengan lingakaran berlapis. Ditengahnya berisi gambar manusia yang sedang mengambil sikap padmasana, dengan tetap menjaga keheningan suara badjara dan kesucian aksara ongkara. Teratai tidak bisa tenggelam dan selalu berada diatas permukaan air baik dalam keadaan pasang ataupun surut, tidak hanyut walaupun tertiup angin kencang, tidak terguncang oleh ombak, tidak terpisahkan karena selalu saling bertaut. Hal ini mencerminkan watak yang istiqomah, tidak mudah goyah."

Makna dari lambang tersebut adalah :

* Bulatan atau lingkaran yang berlapis dengan aksara pengider bhuwananya/penjuru cakra bewarna kuning emas

Melambangkan cita-cita pendiri Yayasan agar tetap berputar terus sepanjang masa dengan mengacu pada persatuan dan kesatuan kekuatan unsur bawah-atas, samping kiri-kanan dan segala penjuru secara bergantian yang mengandung makna cita-cita luhur, yaitu 

"Krtam me daksine haste
Jayo me savya ahitah
Gojid bhuyasam asyajid
Dhanamjayo hiranyajit"

Terjemahan:
"Ketekunan semoga ada di tangan kanan dan kejayaan ada di tangan kiri. Semoga kami mendapatkan sapi-betina, kuda, kekayaan dan emas".

* Sikap duduk padmasana dan badjra bewarna kuning emas dalam lingkaran dengan aksara pangider bhuwana

Memberikan makna bahwa dalam melakukan putaran usaha untuk mencapai cita-cita luhur Yayasan, dilaksanakan dengan saling menjaga keseimbangan dan salinh mengisi, secara sekala niskala, baik untuk masa kini maupun masa mendatang yang akan berjalan sesuai arah putaran jarum jam dengan kaderisasi pimpinan dengan tahapan sebagai berikut :

Kader Muda = Aksara Bang bawah
Kader Madya = Aksara Sang samping kiri
Kader Utama = Aksara Ang atas
Kader Werdatama = Aksara Tang samping kanan

Sedang putaran terakhir dari Werdatama menjadi Werdaparipurna yang menyatu dengan Kader Muda yang berfungsi sebagai “Tutwuri Handayani”.

* Lingkaran opal dengan aksara Ah di atas dan aksara Ang dibawah bagaikan sepasang bunga teratai mekar bewarna merah (aksara Ah di atas) dan Aksara Ang dibawah sebagai  daun berwarna hijau

Melambangkan tekad bersama yang berlandaskan pada “hidup yang saling menghidupi” dengan watak bunga teratai yang selalu mampu menyesuaikan diri dengan memperindah lingkungannya baik dalam pasang maupun surut dari suatu gelombang yang dihadapi dan selalu berdiri tegak.

* Lapisan lingkaran garis dan lingkaran titik bersambung dengan warna putih dan hijau berjumlah tujuh lapisan lingkaran

Rangkaian lingkaran garis dan lingkaran titik yang terjalin merupakan makna dari ketekunan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Tujuh lingkaran melambangkan jumlah dari tujuh lapis-lapisan tanah maupun akasa/niskala

* Sikap kedua tangan membentuk mudra terbuka sebagai simbol pendidikan

Menerangkan bahwa yayasan memiliki cita-cita luhur dalam ikut mengembangkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui bentuk usaha pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tingkat tinggi baik pendidikan yang reguler (SMK-PT) maupun pendidikan agamis (pesraman).

* Badjra warna kuning dan aksara ongkara yang terbuka dari cakra jantung/dada sebagai simbol sosial budaya

Merupakan lambang dari usaha yayasan lainnya dalam kegiatan sosial dan berbudaya sebagai sarana kegiatan dharma bakti yang memberikan manfaat bagi keluarga besar Yayasan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

* Tulisan “Yayasan Widya Daksha Bali Niskala”

WIDYA=Ilmu Pengetahuan
DAKSHA=terampil, ahli, terlatih, cakap (Daksa adalah nama kapurusan griya agung bangkasa)

BALI=nama pulau Bali dengan sebutan Bali Dwipa, yang merupakan kata jadian dari bahasa Sansekerta yaitu Bali yang berarti persembahan, kembali, atau sesaji, sedangkan kata Dwipa sendiri mempunyai arti pulau.

NISKALA=tidak berwujud; tidak berbeda; mujarad; abstrak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar