PUISI BAGI SEMETON PASEK YANG MASIH DI PERSIMPANGAN JALAN
Oleh: Tubaba
Hamba hanya tersesat
Hamba tidak terlambat
Hamba hanya tersesat di bilik harapan
Penantian yang ke sekian
Tersesat membuat hamba terasa pengap
Hamba harus terus merayap
Hingga segala rasa terhisap
Maju terus pantang mundur
Entah apa yang terngiang di otak ku?
Entah apa yang tersirat di benak ku?
Ku mencoba mencari makna semua ini,
Tapi, Kosong, Tak jua ku dapati
Oh Hyang Bhatara Kawitan,
Semunafik itu kah hamba?
Se keji itukah kelakuanhamba?
Atau hadir hamba hanya untuk menyakiti?
Hamba tak mengerti,
Logika pun lelah untuk menerka,
Hamba serahkan semua pada titik kecil dalam hati,
Yang hamba sendiripun tak tau apakah dia sanggup memahami?
Bimbang? Resah? Gekisah? Atau mungkin galau?
Entahlah apa namanya,
Semua begitu samar, tak jelas,
Kabut itu menutupi jalan ini,
Jalan yang hamba tempuh,
Hingga sampai hamba di persimpangan jalan,
Dan hamba putuskan, selangkah hamba tlah berbelok ke alur sebelah,
Namun hamba tersontak,
Kabut dibelakang berteriak, menarik dan memaksa hamba menatap kegelapan,
Kaki hamba pun kaku,
Terdiam sejenak ke merasuk ke kisah masa itu,
Nostalgia yang hampir membuar hamba gila,
Seketika,
Sebuah cahaya mengacaukan lamunan hamba,
Hamba ingin beranjak meraih cahaya itu,
Namun,
Hasrat hamba berat,
Dan akhirnya,
Hamba tetap terdiam, dan memutuskan,
Terdiam dengan tubuh hamba yang berdiri,
Hamba tinggalkan hati dan cinta hamba,
Di persimpangan jalan ini.
#griyang bang#
Menemukan Makna Di Persimpangan Jalan
Seorang tokoh PASEK bercerita kepada beberapa para yowana Pasek tentang arti kehidupan, iapun menuturkan sebuah kisah :
Ada seorang pengembara yang melakukan pengembaraan. Ia berjalan melalui gurun sahara yang terkenal sangat tandus dan gersang. Pengembara ini membawa bekal yang dirasanya cukup banyak sebagai sebuah persiapan. Namun ternyata bekal yang dimilikinya habis hanya dalam beberapa hari perjalanan.
Ia pun mulai berusaha mencari sumber air untuk menghilangkan dahaga yang mulai datang, namun yang ia temukan hanyalah hamparan pasir yang mengkilat menyerupai air karena diterpa sengatan panasnya matahari.
Ia semakin merasa kepayahan, perutnya perih menahan lapar, tenggorokannya kering menahan haus, matanya mulai berkunang-kunang dan tenaganya telah habis disergap panas yang menyengat.
Ia berharap ada orang yang lewat atau ia bisa menemukan sesuatu yang dapat menghilangkan penderitaannya. Ketika ia merasa sudah tak sanggup lagi untuk bertahan, tiba-tiba ia melihat dikejauhan ada sebuah tas yang terbuat dari kulit.
Betapa gembiranya ia membayangkan bahwa didalam tas itu ada beberapa kerat roti dan air yang dapat diminumnya.
Dengan sisa tenaga yang ada ia bergegas menuju tas kulit tersebut, sejenak dipeluknya tas itu sepenuh bahagia dan tak sabar segera dibukanya dengan penuh semangat…
Namun betapa kecewanya si setelah melihat isinya, dengan lelehan airmata duka dilemparkannya tas itu kembali.
“Aku tidak membutuhkan ini!!” Ucapnya lemah, “Yang kubutuhkan adalah air dan sedikit makanan!!” ia menggerutu kesal.
Kita punya bekal yang bernama dunia, ada rumah, kendaraan, keluarga, harta dan fasilitas lainnya. Kita menyangka bekal itu cukup memadai untuk sampai menuju stasion akhir kehidupan, namun ternyata semua bekal itu akan sirna, hilang ditelan waktu.
Tiba saatnya kita kebingungan, karena tak satupun bekal yang ada mampu menolong kita.
Saat kita mulai kebingungan kepada siapa meminta pertolongan. Lalu berharap agar anak-anak yang telah kita besarkan mampu menolong atau kekayaan yang dulu kita banggakan mampu menyelamatkan atau mungkin pangkat dan jabatan yang dulu pernah kita duduki mampu menyelesaikan semua masalah yang dihadapi hari ini.
Ternyata semua binasa, diam dalam kebisuan abadi. Tak ada satupun yang mampu berbuat, kecuali tirtha amertha Ida Hyang Bhatara Kawitan. Dan tirtha itu akan diberikan oleh beliau kepada siapa yang dikehendakiNya saja, betapa kasihannya jika ternyata kita tidak termasuk dalam golongan itu.
Saat di dunia janganlah berjalan dengan sombong. Karena Kesombongan hanya milik beliau, dan Dia pasti akan menghinakan orang-orang yang sombong.
Saat kita dalam kondisi berbhakti, jangan pernah meremehkan dan memicingkan mata kepada orang yang sedang bermaksiat, karena siapapun tidak pernah tahu akhir perjalanan dari hidup seseorang.
Begitu juga saat kaya, jangan pernah menghardik dan mencemooh orang orang yang tak punya. Dunia ini berputar dan kita tidak pernah tahu bagaimana putaran kedepannya?
Jangan salahkan warna hitam, karena tanpanya putih tak bermakna, manusia tidak akan pernah tahu hakikat kebenaran tanpa melihat arti sebuah kesalahan.
Seperti halnya kita tidak akan dapat membayangkan keindahan surga tanpa membayangkan pedihnya siksa neraka. Biarkan Ida Bhatara Kawitan yang mengatur kehidupan manusia, tidak usah ikut-ikutan menilai dan menghakimi makhluk Tuhan.
Jangan pernah merasa benar sendiri, karena sesungguhnya kebenaran sejati hanya milik beliau.
Ia adalah rasa, ia adalah jiwa yang mengantarkan seseorang kehadapan Ida Bhatara Kawitan. Jika kesempatan untuk sadar untuk kembali pada dimiliki oleh siapa saja, lalu kenapa masih ada orang-orang yang bersikap sebagai ‘HAKIM’ yang suka menetapkan hitam dan putih dalam kehidupan?
Tidak akan ada istilah jalan yang lurus jika tak ada jalan yang bengkok. Hanya orang-orang tersesat yang akan terus berusaha mencari jalan keluar dari keterpurukan dan gelapnyakehidupan.
Jadi, biarkan seseorang memaknai hidup sesuai dengan garis yang telah ditetapkan. Sekarang tugas kita adalah, KOREKSI DIRI SENDIRI dan BERBENAH, siapa tahu di simpang jalan kita temukan sebuah arti kehidupan.
#tubaba@koreksi diri sendiri dan berbenah#
Semeton PASEK Di Persimpangan Jalan : Jangan Takut Memilih...!
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
20 Juli 2020 11:45
Ini kisahku.
Ketika kutersesat dalam pilihan hidup.
Dipersimpangan jalan ini aku berdiri.
Tertegun sembari bertanya.
Hendak kemana kaki ini kulangkahkan.
Kutatap sekelilingku yang senyap.
Kucari dan kunanti pejalan kaki lain yang mungkin lewat.
Telah jenuh kumenunggu.
Namun tiada jua aku temukan.
Kembali kubuka peta perjalanan hidup ini.
Kucari dimana tempat kuberada saat ini.
Di sebuah persimpangan hati.
Terdapat tiga arah yang harus kupilih.
Depan, kanan atau kiri.
Semua arah masih samar, hanya memberikan arah, tanpa kutahu terjal dan liku yang mungkin kuhadapi.
Peta perjalanan yang kubuat masih terasa belum tuntas.
Masih samar.
Dan aku pun masih tertegun.
Masih berharap ada petunjuk lain.
Sedangkan harapan untuk bertemu pejalan kaki yang lain telah musnah, dan hari pun semakin beranjak sore.
Lalu kutatap penjuru angin.
Mungkin disana ada jawaban.
Atau sekedar pertaruhan, agar aku dapat tentukan arah mana yang akan kujalani.
Tapi sang penjuru angin tetap diam.
Aku lelah dengan diamku.
Aku lelah dengan rasa takutku.
Aku lelah dengan kebimbanganku.
Sedangkan sandaran harap tak jua ketemukan. Pada angin, pada awan, pada hujan semua diam.
Berharap ada yang datang, tak jua terwujud, bahkan seekor jangkrik pun enggan meyapaku.
Sungguh, ku terasing dalam kesendirian yang beku.
Amarahku membuncah.
Lalu kuambil peta arah hasil karyaku, sepertinya dia tidak berguna lagi.
Lalu kusobek-sobek jadi kepingan kecil.
Belum juga puas, sambil berteriak lantang kuinjak-injak sampai rata dengan tanah.
Masih juga ada dendam dihatiku.
Lalu kuambil korek api disakuku, lalu kubakar.
Dan jadilah dia seonggok abu.
Lalu kuambil abu tersebut, kugenggam.
Lalu kuhembus.
Dan abu itu menjadi debu yang berserakan terhempas semilir angin.
Lega hatiku.
Lalu kutatap semua penjuru yang ada di persimpangan ini, kutatap langit yang menertawakanku.
Dan akhirnya kusapa hati kecilku.
"Kemanakah gerangan kita akan melangkah?".
Lalu kuputuskan untuk mencoba memilih.
Lalu kupejamkan mataku.
Akhirnya kudapati sebuah pilihan hatiku.
Inilah jalan yang harus kupilih.
Akhirnya kuputuskan untuk memilih jalan yang ada disamping kiriku.
Kutelusuri jalan ini.
Terasa indah awalnya, bahkan begitu indah.
Entah dengan apa aku mewakili kata indah ini dengan kata lain.
Namun akhirnya mulai kurasakan getir, pahit dan pedih.
Menyeruak menghampiriku.
Kutertatih berjalan melewatinya, berharap segera sampai ke ujung.
Sampai ketujuan.
Entah berapa kali badai menerpaku, tak gentar ku hadapai, kuyakin dengan pilihan ini.
Pilihan hatiku.
Kulihat seberkas cahaya putih kemerlap disana.
"itulah cahaya yang kucari, itulah yang kuingin" desahku dalam hati.
#tubaba@kebenaran hati kecil#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar