Mewujudkan Upacara Satwika Yajña
Yang Nis Prateka Nir Prabhawa
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
Pelaksanaan setiap yadnya dan perayaan hari raya, seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, dan Pagerwesi. Selain hal tersebut, lebih-lebih dalam pelaksanaan upacara pitra yadnya nis prateka nir prabhawa perlu juga diketahui bahwa pada prinsipnya semua yajña harus dilandasi oleh Sraddhā, ketulusan, kesucian, dan pelaksanaannya sesuai sastra agama serta dilaksanakannya sesuai dengan desa, kala, dan patra (tempat, waktu, dan keadaan). Dilihat dari kuantitasnya maka yajña dibedakan menjadi berikut:
a. Nista, artinya yajña tingkatan kecil. Tingkatan nista ini dibagi menjadi 3, yaitu :
#Nistaning nista adalah terkecil di antara yang kecil
#Madyaning nista adalah sedang di antara yang kecil
#Utamaning nista adalah terbesar diantara yang kecil
b. Madya, artinya sedang, yang terdiri dari 3 tingkatan :
#Nistaning madya adalah terkecil di antara yang sedang
#Madyaning madya adalah sedang di antara yang sedang
#Utamaning madya adalah terbesar diantara yang sedang
c. Utama, artinya besar, yang terdiri dari 3 tingkatan :
#Nistaning utama adalah terkecil di antara yang besar
#Madyaning utama adalah sedang di antara yang besar
#Utamaning utama adalah yang paling besar
Keberhasilan sebuah yajña bukan dari besar kecilnya materi yang dipersembahkan, namun sangat ditentukan oleh kesucian dan ketulusan hati. Selain itu juga ditentukan oleh kualitas dari yadnya itu sendiri.
Dalam Kitab Bhagavadgītā, XVII. 11, 12, 13 disebutkan ada tiga pembagian yajña yang dilihat dari kualitasnya, yaitu:
1. Tamasika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastra, mantra, kidung suci, daksina dan sradha.
2. Rajasika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan dengan penuh harapan akan hasilnya dan bersifat pamer serta kemewahan.
3. Satwika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan berdasarkan sraddhā, lascarya, sastra agama, daksina, mantra, gina annasewa, dan nasmita.
Pelaksanaan yajña di atas merupakan tingkatan korban suci yang dalam hal ini tergantung dari orang yang melakukan korban suci tersebut. Dari tiga kuliatas pelaksanaan yajña diatas, dijelaskan ada tujuh syarat yang wajib dilakasakan untuk mewujudkan sattwika yajña, yaitu sebagai berikut:
#Sraddhā, artinya melaksanakan yajña dengan penuh keyakinan.
#Lascarya, artinya yajña yang dilaksanakan dengan penuh keiklasan.
#Sastra, artinya melaksanakan yajña dengan berlandaskan sumber sastra, yaitu Sruti, Smrti, Sila, Acara dan Atmanastuti
#Daksina, artinya pelaksanaan yajña dengan sarana upacara (benda dan uang)
#Mantra dan gita artinya yajña yang dilaksanakan dengan melantunkan lagu lagu suci untuk pemujaan
#Annasewa, artinya yajña yang dilaksanakan dengan persembahan jamuan makan kepada para tamu yang menghadiri upacara
#Nasmita, artinya yajña yang dilaksanakan dengan tujuan bukan untuk memamerkan kemewahan dan kekayaan.
Dari unsur sarana atau upakara juga telah dijelaskan dalam kitab Bhagavadgītā, IX. 26, sebagai berikut:
Pattraṁ puṣhpaṁ phalaṁ toyaṁ, yo me bhaktyā prayacchati,tad ahaṁ bhaktyupahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ
Terjemahan:
Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daum, sekuntum bunga, sebiji buah buahan atau seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci (Pendit, 2002: 248).
Pelaksanaan korban suci yang tercantum dalam kitab suci Bhagavadgītā ini merupakan petunjuk dari sastra. Akan tetapi, mengingat bahwa ajaran Hindu bersifat fleksibel maka adanya berbagai sarana upakara yang digunakan oleh umat Hindu yang ada di Nusantara merupakan kekayaan kearifan lokal yang ada, sehingga penambahan ornamen seperti adanya canang, daksina, prayascita, durmanggala dan yang lainnya, ini merupakan produk budaya yang ada pada setiap daerah di Nusantara.
Hindu atau Sanathana Dharma memiliki banyak kitab dan sekaligus memiliki banyak variasi dalam penerapannya. Hal ini banyak dipengaruhi oleh garis parampara dan budaya setempat dalam proses perkembangannya, sehingga Konsep ajaran Hindu lebih menjadi jiwa dari berbagai varian budaya keagamaan. Seringkali dalam implementasi, orang yang belum mendalam pemahamannya dalam Hindu melihat seolah ajaran Hindu tumpang tindih dalam beberapa kitab maupun dalam beberapa tampilan budaya. Dalam kitab Manawa Dharmasastra II.6 memberikan penjelasan tentang alur otoritas Dharma, Menyebutkan :
Idanim dharma pramanamyaha;
Vedo’khilo dharma mulam
smrtisile ca tadvidam
acarascaiva sadhunam
atmanastutir eva ca
Artinya :
Sumber dari Dharma pertama adalah seluruh kitab suci Veda,kemudian kitab smrti (Dharmasastra),
kemudian tingkah laku yang terpuji, adat istiadat, tata cara kehidupan orang suci,
dan akhirnya kepuasan pribadi.
Dari kitab Manawa Dharmasastra dapat di identifikasi mengenai 5 otoritas Dharma, yang terdiri dari :
- Veda Sruti : Kitab catur Veda (Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda, Atharva Veda)
- Veda Smrti : Kitab tentang tata aturan Hidup (Manawa Dharmasastra, Gautama Dharmasastra, Samkhalikhita Dharmasastra, Parasara Dharmasastra)
- Sila : Tata tingkah laku yang baik dan terpuji
- Acara : Adat istiadat atau tata cara hidup orang suci
- Atmanastuti : Kepuasan pribadi
5 otoritas kebenaran/ Dharma mengakui bahwa kitab veda sruti, smrti, sila, acara, dan atmanastuti sebagai sumber tuntunan dalam menjalankan Dharma. Kelimanya diakui dan sekaligus digunakan sebagai rujukan dalam menentukan kebenaran/Dharma itu sendiri. Hanya saja, Veda sruti tetap dijadikan sebagai sumber rujukan kebenaran dari 4 lainnya.
Secara lebih spesifik dapat dijelaskan Pelaksanaa Upacara Satwika Yajña Yang Nis Prateka Nir Prabhawa dengan model terbalik ‘Kepuasan diri’ tidak boleh bertentangan dengan ‘adat istiadat’. ‘Adat Istiadat” tidak boleh bertentangan dengan ‘Tata tingkah laku’, ‘Tata tingkah laku tidak boleh bertentangan dengan kitab Veda Smrti, dan pada akhirnya jika ada perbedaan antara Veda Smrti dengan Veda Sruti, maka yang menjadi sumber tertinggi kebenaran adalah kitab Veda Sruti.
#tubaba@griyang bang#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar