Kamis, 04 Maret 2021

PENGABENAN NISPRATEKA NIR PRABHAWA

PENGABENAN NISPRATEKA NIR PRABHAWA
Olih : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
Pendahuluan 

Konsep dasar dalam penerapan ajaran 
agama Hindu, dapat dipilah menjadi tiga jenis; Tattwa, Susila dan Upacara (Ritual). Secara ilmu dapat digolongkan seperti tersebut, tetapi sesungguhnya ketiga unsur Tattwa, Susila dan Upacara merupakan satu kesatuan yang utuh, 
tidak bisa berdiri sendiri. Bagaikan sebutir telur; ada kulit, bagaikan ritual, putih telur bagaikan Susila dan kuning telur bagaikan Tattwa. Ketiga bagian telur menjadi satu kesatuan, saling melengkapi sehingga telur bisa menetas. Jika telah terpisahkan tidak mungkin bisa menetas. Diantara 
ketiga bagian tersebut, yang paling nampak adalah kulit telurnya, demikian juga dalam melaksanakan ajaran Agama Hindu, yang dapat dilihat secara 
kasat mata adalah ritual agama. Pelaksanaan Agama, sering dilihat dari 
unsur Upakara dan Upacaranya, tanpa dimaknai oleh nilai – nilai filsafatnya. Lebih banyak melaksanakan upacara berdasarkan gugon tuwon, tradisi yang diwarisi secara turun temurun, tetapi 
diyakini memberikan makna dan kepuasan batin bagi yang melaksanakan ritual tersebut. Ada yang beranggapan semakin besar ritualnya, semakin memberikan makna, berkah dan kesucian dalam 
hidup ini. Kesemarakan dalam ritual dianggap dapat mengangkat prestise, seperti halnya upacara Ngaben sampai menghabiskan miliadan rupiah. Membuat upacara perkawinan yang berlebihan, harus dilaksanakan di hotel yang berbintang. Upacara melaspas biayanya hampir sama dengan biaya bahan bangunannya. Pelaksanaan ritual yang dilandasi dengan ketulusan hati, sesuai dengan kemampuan, ditinjau dari segi positifnya, dapat menggerakkan 
ekonomi kerakyatan. Bahan upakara berupa hasil pertanian, peternakan diambil dari masyarakat, sehingga menumbuhkan lapangan kerja. Perputaran ekonomi semakin cepat. Salah satu contoh Upacara Piodalan di Pura Semeru Agung, 
Lumajang, Pura di Gunung Salak Bogor, dirasakan membawa rejeki dan berkah bagi masyarakat. Demikian pula halnya dengan Upacara yang diselenggarakan di Bali dapat menggerakkan ekonomi kerakyatan. Orang kaya bagaikan gunung 
es, jika esnya mencair, pasti akan menutupi lembah – lembah disekitarnya. Masyarakat akan menikmati dari proses pelaksanaan ritual tersebut. Apakah ritual yang serba besar, meriah dan semarak perlu dipertahankan ? Ini yang perlu 
dikaji bersama.

Pembahasan
1. Landasan Pelaksanaan Yadnya.
Yadnya adalah korban suci yang 
dilaksanakan dengan hati penuh kesadaran secara tulus ikhlas, merupakan salah satu kewajiban bagi umat Hindu tanpa mencari keuntungan di balik yadnya tersebut. Upakara dan Upacara 
merupakan salah satu bagian dari yadnya sebagai dasar pengembalian tiga hutang manusia, hutan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan Bhuana Agung dan Bhuana Alit, hutang kepada orang tua / Leluhur, yang telah 
melahirkan kita, dan hutang kepada para Rsi, yang telah menyempurnakan hidup dengan ilmu pengetahuan dan kesucia (Tri Rna). Upakara dan Upacara sepintas mempunyai makna yang sama, tetapi jika dicermati memiliki pengertian yang berbeda. Upakara berasal dari kata Upa dan Kara. Upa artinya hubungan dengan, Kara berarti tangan. Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan 
dengan pekerjaan tangan (jejahitan / banten). 

Upacara berasal dari kata Upa dan Car. Upa artinya berhubungan dengan, Car artinya gerak, prosesi. Upacara adalah prosesi pelaksanaan Yadnya. (Hasil Pesamuan Agung 2007: 64)

Landasan pelaksanaan yadnya dalam 
bentuk upacara dan upakara, banyak dijumpai dalam kitab suci (Sruti, Semerti, Itihasa, Purana, Lontar) pada intinya semua menegaskan bahwa landasan utama dalam pelaksanaan yadnya adalah 
ketulusan hati, tanpa pamrih, sesuai dengan kemampuan, utamanya tidak ada paksaan dari pihak manapun, termasuk memaksakan kehendak sendiri. Landasan pelaksanaan Yadntya, salah satu dikutip dari sloka Bhagawadgita dinyatakan 
sebagai berikut: 

karmaṇy evadhikāras te mā phaleṣu kadācana, 
mā karma-phala-hetur bhūr mā te saṅgo stv akarmaṇi. 
 (Bhagavadgītā II.47)


Artinya:
Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu (yang kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tanpa kerja 

Aphalakan ksibhir yajna, Vidhi – drsto ya ijyate
Yastawyam e veti manah, Samadhaya sa sat-
tvikah (XVII, 11)

Artinya;
Lakukan yadnya berdasarkan Widhi Drsta 
(Catur drsta), tanpa mengharapkan keuntungan (pahalanya) dan diyakini sepenuhnya bahwa yadnya ini sebagai tugas dan kewajiban yang bersifat Sattwika. Berdasarkan sloka tersebut, memberikan landasan dalam pelaksanaan Yadnya, bahwa upakara dan upacara yang dilaksanakan harus sesuai dengan Kitab Suci (Sastra drsta). Kenyataannya yadnya yang dilaksanakan umat Hindu di seluruh dunia, mempunyai bentuk yang berbeda-beda, walaupun fungsi dan maknanya 
sama. Bentuk upacara dan upakara tersebut diwarisi secara turun temurun, serta diyakini sebagai suatu kewajiban (Purwa drsta). 

Yadnya dapat juga dilaksanakan menyesuaikan dengan wilayah, sosial budaya, kondisi sosial ekonomi 
masyarakat setempat (Desa drasta). Banyak pula yadnya yang dilaksanakan berlandasan pada yadnya masa lalu, seperti upacara pengabenan, landasan yang dipergunakan adalah jenis upakara 
dan upacara yang dilaksanakan oleh leluhurnya, diikuti sebagai landasan pelaksanaan Ngaben (Kuno Drasta). Diantara Catur Drsta manakah yang dijadikan landasan pelaksanaan Yadnya? 

Sesungguhnya pelaksanaan yadnya pada dasarnya selalu berpegang pada Kitab Suci (Sastra Drsta) sebagai acuan menganalisis bentuk, fungsi dan maknanya. Pelaksanaan selanjutnya, diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun temurun, akhirnya dirasakan sebagai gugon tuwon (Purwa Drsta), demikian pula pelaksanaan Desa Drsta dan Kuno Dresta.

Landasan utama dalam penyederhanaan 
ritual, dijelaskan dalam Bhagawadgita IX.26, dinyatakan bahwa :
Patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayascchati,
Tad aham bhaktya upahrtam asnami prayatat-manah.

Artinya;
Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada KU, dengan mempersembhakan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, seteguk air, akan KU terima sebagai ujud bhakti dari orang yang berhati suci.

Bhakti sebagai pelaksanaan Upakara dan 
Upacara Yadnya, pada prinsipnya dilandasi dengan ketulusan, kesucian dan keikhlasan lahir dan bhatin, yang didorong oleh kesadaran sebagai suatu kewajiban dharma. Pelaksanaan yadnya bertujuan untuk meningkatkan Sradha dan 
Bhakti, sebagai pengejewantahan pelaksanaan Dharma, melalui bentuk simbol – simbol (Nyasa) agar mudah dihayati dan dilaksanakan oleh umat 
Hindu dalam upaya meningkatkan kemampuan diri dalam melaksanakan ritual. Keberhasilan sebuah yadnya berdasarkan sloka IX.26 tadi jelas 
dinyatakan bukan karena kemegahan, kebesaran jenis yadnya, tetapi ketulusan dan kesucian bhatin, walaupun sangat sederhana mempunyai nilai dan makna yang sama pula.

Landasan sastra dari pengabenan Nis Prateka Nir Prabhawa yaitu termuat dalam BHAGAWADGITA (BG IX.26) disebutkan :

TAD AHAM BHAKTYOPAHRTAM, ASNAMI PRAYATATMANAH.

Yang maksudnya : 
bukan tingkatan besar-kecilnya persembahan menjadi ukuran, melainkan kesungguhan keikhlasan dan kesucian hati.

Secara global tatanan pelaksanaan Atiwa Tiwa atau cara pengabenan disebutkan sebagai berikut :
1.      APRATIWA (WAHYA NGESENG BYANTARA NGIRIM)
Maksudnya : pembakaran dilakukan sesuai dewasa harinya nuju Beteng, ngirim buang abu dilaksanakan hari esoknya disebut kajeng atau byantara.

2.      TANDANG MANTRI (BYANTARA NGESENG BYANTARA NGIRIM)
Maksudnya : pelaksanaan pembakaran dan buang abu dalam satu hari. Upacara nyekah dan ngelinggihang bisa diambil keesokan harinya.

3.      TUMANDANG MANTRI (BYANTARA NGESENG BYANTARA NGIRIM LANJUT NYEKEH NGERORAS)
Maksudnya : pembakaran dan buang abu dilaksanakan  dalam satu hari, dilanjutkan upacara nyekeh serta ngelinggihang pada hari itu juga, puput sadina disebut ngelanus.

Dari ketiga cara pengabenan tersebut, dalam kaitannya atas mayat yang akan diaben, senantiasa diawali dengan prosesi MRETEKA SAWA.

Kegiatan itu meliputi : memandikan, menyucikan sawa ditiwakin tirtha pebersihan, pemanahan dan sarana lainnya, sampai sawa dibungkus digulung dengan pengulung yang disediakan. Setelah mayat terbungkus atau dilelet sebagaimana mestinya, lalu dinaikkan ke atas bale-bale yang terbuat dari bambu dan diletakkan pada sebuah bangunan BALE GDE atau SAKANEM, dapat pula pada BALE TIANG SANGA yang khusus dibangun untuk kegiatan upacara agama dan diadakan upacara tarpana (pemberian suguhan pada Pitra).
        
Susunan karya pengabenan yang dinamakan APRATIWA.
Selanjutnya TANDANG MANTRI dan TUMANDANG MANTRI, kiranya akan dapat terpikirkan sebagaimana perbedaan-perbedaannya. Disamping ada perbedaan tersebut, dan mengingat upacaranya diselesaikan dalam satu hari, maka prosesi mreteka sawa atau ngeringkesnya dapat disederhanakan yaitu ngeringkes di PATULANGAN juga tidak membutuhkan : angenan, ukur, tatukon, pisang jati, pengawak, dammar kurung, pelengkungan, wadah dan balai buncal. Peleletan dilaksanakan MIN SATU HARI PENGABENAN. Adanya penyederhanaan tersebut akan merupakan jawaban awal bagi yang kurang beruntung dan tidak perlu berkecil hati. Nis Prateka pada upacara pengabenan dan menuai hasil yang Nir Prabhawa pada upacara Penyekahannya merupakan upacara pitra yadnya yang sangat relevan dilaksanakan.

Selain tatanan Pitra Yajna ngaben yang disebutkan di atas, masih ada cara atau indik ngaben yang mengacu pada lontar PURWA YAMA TATTWA.
ITI SASTRA PURWA YAMA TATTWA :  
Sedeng Bhatari Durgha hana ring gaganantara, tumon atma sasaring kawah gni sara, wastu ksana hapalih warna bhatari harupa Sang Hyang Yamadipati, sira hang gamel hala hayuning hatma. 
Waneh pwa sira halungguh ring Yamaniloka, tumedun maring Wantipura nitibhumi, dadya ta somya nira hawarna Bhatari Huma, sira Hyangning Kahyangan Dalem huluning setra.
Kunang kalanira ring madhyaning setra agung rumaga sira Bhatari Durgha Dewi, hnengakna.
Mangke wasitaakna PANDYA SANG HATAPA HENDER, jumujuging palinggihira bhatari sedheng awarna Durgha Dewi, dadya kagiat bhatari, mangrak mangrik aptya manadaha sang pandya.
Saksana dateng Bhatara Brahma sumurup suksmeng brahmaangga sang pandya, apan sang Brahmana hinangken putra de Bhatara Brahma, hirika linesu gelengire Bhatari, ksana Sang Hatapa Hender haminta nugraha Bhatari, bwat kasidyaning adnyana kreta siksa, humilangakna letuh hatmaning wang mati, siddha mulihing swarga  bhawana.
Mangkana bhatari hapalih warna harupa SANGHYANG YAMADIPATI, maha krura rupa Rudra Murti tulya, tandwa hasung warah-warah ring Sang Pandya sapari kramaning pangaci sawaning wang mati, hala ayu, ikang yogya lawan tan yogya.
Yata nimitaning hana SASTRA PURWA YAMA TATTWA, kabyakta de sang Sadaka ri kuna-kuna ring bhumi Pasuruan Blambangan Jawadwipa katekeng BALI RAJYA.


NIHAN PAWARAH IDA BHATARA HYANG SINUHUN SIWA PUTRA PARAMA DAKSA MANUABA :
Maka siddhaning tingkah angupakara sawaning wang mati, agung-alit/nistha madyotama maka pamatuting ulah, kewala mati bener, haja pinendem, gesenge juga presiddha mulih maring Bhatara Brahma, apituwi Nis Prateka Nir Prabhawa swastaakna ring Sanghyang Agni putusa dening tirtha pangentas, dulurana daksina sanunggal, canang pitung tanding kunang beras catur warna maceper.
Riwus geseng bhasmi sawa ika, reka harengnya laju Sang pandya pamutus karya hanggelar sakramaning puja tarpana pakiriman, praline mituduhang nuli hanyut mareng we pangrarungan.
Wekasan sekama-kama wenang ngeroras nyekeh, sidha pada hanemu hayu, bhatara sama sukha mahiyang ring sapanagara Sri haji.

Dari pawarah tersebut di atas, khusus dalam pengabenan Nis Prateka Nir Prabhawa, tampak memang sangat sederhana pelaksanaannya. Pada hari dewasa pengabenan sawa dimandikan dibersihkan dengan sarana atau eteh-eteh pasiraman, metoya pebersihan wang mati, mapangulung tikeh lante, rurub sekar sinom masih di pepaga ayabin punjung. Kemudian sawa dibawa ke setra, di tempat pembakaran ditiwakin tirta pengentas, beserta sarana daksina satu, canang tujuh tanding, beras catur warna sebagaimana disebutkan di atas, lalu dibakar. Menjelang berakhir pembakaran haturi saji geblagan, diterapkan sarana penyeheb berupa : menyan astanggi, air kelapa gading, gadang, kelapa dhanta dan toya penyeheb. Setelah abunya dipunggut, disirami air kumkuman lalu direka dengan kwangen pangrekaan, lanjut Sang Sulinggih yang meminpin upacara menggelar puja tarpana pakiriman, sebagaimana biasanya NGUTPTI, STITI, MRELINA mituduhang dan berakhir dengan buang abu.
            Untuk patokan dalam pengabenan Nis Prateka Nir Prabhawa, penataan bantennya sebagai berikut :
  1. DI SANGGAR SURYA DAN PRAJAPATI, masing-masing suci satu soroh.
  2. DI SOR SURYA, gelar sanga dan segehan.
  3. DI SANDING PITRA, peras idehan, sodayan, katipat pesor, perangkatan, ajengan dahar sai, pendetan, bayuan dan blonyoh.
  4. BANTEN TEBEN, jangkep peras, angkeb, bubuh pirata, banten gowak, geledegan, panjang ilang matah-rateng, panjang penyenuk, peras cucu.
  5. PANGRESIKAN, kerik kuramas, lis, buhu, toya siram, tehenan, rantasan, palukatan, padudusan, sibuh pepek, sekarura.
  6. HAREPAN PAMUTUS KARYA, suci, daksina, canang, punia.
  7. AYABAN TUMPENG 11
  8. PENGAYUT, banten pejatian.
Lain halnya dengan pengabenan yang disebut  APRATIWA, dimana prosesinya berhari-hari meliputi utpti, stiti dan prelina yang berulang kali, maka akan membutuhkan upakara banten berulang kali juga.
Selanjutnya, dalam menguraikan susunan jalannya upacara ngaben, akan banyak mempergunakan kata-kata atau bahasa Bali, disamping sebagai proses pembelajaran pengenalan istilah-istilah dalam kegiatan Pitra Yajna.     


Penutup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar