Pada dasarnya dalam pelaksanaan Panca Yadnya, dapat dilaksanakan dengan lima cara, yaitu :
Drewya Yadnya
Dalam Bhisma Parwa, disebutkan :
Hana drewya yajna, ngaranya, yajna maka sadhanang drewyopakarana, salwiring saji
Ada namanya Drewya Yadnya, yaitu yadnya yang berbentuk benda termasuk semua jenis bebanten
Drewya artinya Materi atau Benda. Drewya Yadnya berarti pemujaan dengan menggunakan bebanten atau upakara. Sesungguhnya upakara atau bebanten itu merupakan konkritasi dari Karma Marga. Upakara artinya segala sesuatu yang dibuat dengan tangan atau dengan kata lain adalah suatu sarana persembahan dari hasil jerih payah bekerja.
Banten juga artinya Wali. Kata wali mengandung tiga jenis pengertian : wali berarti wakil; wali berarti kembali dan wali berarti Bali. Wali berarti wakil, mengandung arti simbolik filosofis, bahwa banten merupakan wakil dari pada alam semesta yang diciptakan oleh Hyang Widhi.
Wali yang berarti kembali, mengandung makna bahwa segala yang ada atau alam semesta adalah ciptaan Beliau. Ciptaan Beliau itulah dipersembahkan kembali oleh manusia, sebagai pernyataan rasa terimakasih.
Wali berarti Bali atau Banten, adalah sebutan umum di Pulau Bali, sedangkan di India tidak disebut Banten, melainkan dinamai Wedya. Banten adalah suatu bentuk persembahan yang spesifik Bali, yang berlandaskan prinsip-prinsip ajaran Weda. Banten itu banyak jenisnya dan banyak pula bentuknya serta bermacam-macam bahannya. Sepintas banten itu kelihatan amat rumit dan unik, tetapi kalau diselidiki secara mendalam, maka akan dapat dimengerti, bahwa banten itu mengandung nilai simbolik filosofis, serta berpadu dengan nilai seni rupa yang mengagumkan. Faktor seni dalam bebanten adalah sangat penting, karena seni dapat menuntun pikiran ke arah keindahan menuju kepada ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa merupakan faktor yang penting untuk mencapai pemusatan pikiran dalam menuju Hyang Widhi. Maka itu faktor seni dalam keagamaan adalah fositif, karena berperan sebagai faktor penunjang pelaksanaan upacara agama untuk memantapkan perasaan.
Agama Hindu adalah agama yang flexible, artinya dapat dilaksanakan secara luwes, yaitu : kecil, sedang dan besar, menurut tempat, waktu dan keadaan, Dalam keluwesan ini ada suatu prinsip yang patut dipegang, jangan sampai menghilangkan yang bersifat prinsip dalam upacara agama. Patutlah dimengerti, mana yang prinsipil dan mana yang merupakan tambahan. Demikian pula mana yang konsepsional dan mana yang tradisional. Kongkritnya, bilamana sesuatu keadaan tidak memungkinkan untuk melakukan upacara agama secara sedang, apalagi secara besar-besaran, sehingga memilih upacara yang kecil, maka perlu diperhatikan agar upakara dan upacara yang prinsipil tetap bisa terlaksana dan jangan sebaliknya melakukan upacara secara besar-besaran, tetapi upacara yang prinsipil itu diabaikan.
Hal yang prinsipil dalam beryadnya, adalah persembahan itu didasari oleh perasaan yang tulus ikhlas dan suci bersih. Melakukan upacara adalah dengan perasaan yang hikmat. Banten harus berisi canang, karena canang itu berfungsi sebagai pengurip atau penyempurna dalam bebanten. Dalam sembahyang pikiran harus terpusat kepada yang disembah. Mengenai hakekat yadnya ada disebutkan dalam Bhagawadgita XVII; 11, 12, 13, sebagai berikut :
Persembahan menurut petunjuk-petunjuk kitab suci, dilakukan orang tanpa mengharapkan pahala dan percaya sepenuhnya upacara itu sebagai tugas kewajiban, adalah satwika.
Tetapi yang dipersembahkan dengan harapan dengan semata-mata untuk keperluan kemegahan belaka, ketahuilah hai putra terbaik dari keturunan Bharata, itu adalah upacara rajasika.
Upacara yang tidak menurut peraturan dimana makanan tidak dihidangkan tanpa ucapan mantra, tanpa daksina dan tanpa kepercayaan, dinamakan tamasika.
Demikianlah Drewya Yadnya, merupakan yadnya yang paling populer serta kongkrit di masyarakat dan sekaligus merupakan aktivitas dari pada agama Hindu, lebih-lebih bagi umat Hindu di Bali.
–
Tapa Yadnya
(Hana ta mwah tapa yajna ngaranya, yajna maka sadhanang tapa = Ada pula yang disebut Tapa Yadnya, yakni yadnya dengan jalan bertapa).
Tapa Yadnya adalah memuja Hyang Widhi dengan menjalankan tapa. Tapa mengandung arti melatih diri dengan mempersatukan tujuan untuk mencapai cita-cita yang tertinggi, yakni bersatunya atman dengan Brahman, mengatasi gelombang hidup, menjauhkan diri dari berbagai macam godaan. Tapa dapat dilakukan dengan mengendalikan hal-hal yang bersifat tidak baik, seperti : Sapta Timira, yakni tujuh kegelapan. Dhana = kegelapan karena kekayaan (materi); Yowana = kegelapan karena masih muda, remaja; Guna = kegelapan karena kepandaian; Kulina = kegelapan karena keturunan bangsawan; Surupa = kegelapan karena ketampanan atau kecantikan; Sura = kegelapan karena keberaniaan; Kasuran = kegelapan karena memiliki kedudukan atai derajat yang tinggi.
–
Yoga Yadnya
(Hana ta yoga yajna, ngaranya waneh lwihing yoga yajna waneh = Ada lain yang disebut dengan Yoga Yadnya, lebih mulia dari yadnya yang lainnya).
Yoga Yadnya adalah suatu persembahan atau kebaktian, dengan cara melaksanakan yoga, yaitu memusatkan pikiran dalam keadaan samadhi, tertuju kepada Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/i.
–
Swadhyaya Yajna
(Haneng Swadhyaya ring sarwa sastra = Swadhyaya yadnya yakni dengan jalan mendalami kitab-kitab suci).
Swadhyaya Yadnya adalah suatu persembahan atau kebaktian kepada Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/i, dengan jalan mengorbankan diri untuk mempelajari kitab-kitab suci, mendidik diri sendiri, ke arah kesucian serta melaksanakan persembahyangan setiap hari, hal ini antara lain dapat dilakukan dengan Puja Tri Sandhya dan Asuci Laksana setiap hari.
–
Jnana Yajna
(Kunang sinangguh Yajna, bheda saking kasamyajnana yajna ngaranya, yatika inabhyasa sang wiku sang angangge brata ika ta kabeh,ikang jnana yajna juga lwih = Adapun yang disebut yadnya yang berlainan dengan yang di atas, asalnya dari pada yadnya yang meliputi serba tahu, yang dibiasakan oleh Pandita, orang yang menjalankan brata , hanya jnana yadnya itu juga yang mulia).
Jnana Yadnya adalah suatu persembahan atau kebaktian kepada Hyang Widhi, Dewa Bhatara/i, dengan menekankan pengorbanan dengan mengamalkan ilmu pengetahuan keagamaan dan juga ilmu pengetahuan lainnya kepada sesama mahluk. Tujuannya untuk membimbing sesama mahluk agar mencapai kesadaran tinggi dalam berbakti dan memuja Hyang Widhi dengan manifestasi-Nya, sebagai landasan untuk menghubungkan diri dengan Beliau. Oleh karena itu Jnana Yadnya mengandung nilai yang amat tinggi, karena persembahan tenaga dan pikiran yang suci untuk maksud yang suci pula.
Kalau dilihat dalam kenyataan sehari-hari di kalangan umat Hindu, orang yang malaksanakan Jnana Yadnya, adalah para Pandita dengan Anglokapalasraya/Anglokaparasraya, yaitu memenuhi permintaan masyarakat dalam hal-hal keagamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar