Dalam budaya masyarakat Bali dikenal istilah Wong Sukerta, yang artinya orang yang menyandang nasib sial atau orang yang bisa mendatangkan sial bagi orang lain, keluarga atau lingkungkan. Karena itu orang yang tergolong Wong Sukerta ini harus bayuh/diruwat untuk membersihkan aura negatip, kekotoran jiwa, atau kekuatan jahat dalam dirinya. Jika tidak, mereka akan mengalami kesulitan hidup, kesialan, dan malapetaka. Menurut ceriteranya, orang yang nandang sukerta ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala.
Istilah ruwat berasal dari kata ngruwat yang artinya mengatasi suatu kesulitan bathin, ngudari ruwet renteng (dalam bahasa Jawa), dengan jalan mengadakan pertunjukan wayang kulit dengan cerita tertentu. Biasanya ruwat dilaksanakan pada anak yang sedang sakit, anak tunggal, terkena sial, susah jodoh, hidup susah, dll. Tradisi ruwat untuk membuang sial ini biasa juga disebut ruwatan sukerta adalah sebuah ritual kuno untuk pembersihan diri yang sudah dikenal masyarakat Bali sejak jaman pra Hindu, jauh sebelum masuknya agama samawi di Indonesia.
-Ontang-anting atau anak tunggal, lelaki atau perempuan.
–Pancuran kapit sendang, tiga anak, laki-laki di tengah.
–Sendang kapit pancuran, tiga anak, perempuan di tengah.
–Uger-uger lawang, dua anak laki-laki.
–Kembang sepasang, dua anak perempuan
–Serimpi, 4 anak perempuan semua
–Mancala Putri, 5 anak perempuan semua
–Kendhana kendhini, dua anak, laki-laki dan perempuan.
–Pendhawa atau Mancala Putra, anak lima, laki-laki semua.
–Saramba, 4 orang anak laki-laki semua
–Pipilan, yaitu 5 orang anak terdiri dari 4 perempuan 1 lelaki
–Padangan, yaitu 5 orang anak terdiri dari 4 lelaki 1 perempuan.
Ada pula anak yang perlu diruwat terkait dengan kondisi saat ia dilahirkan ke dunia ini, yaitu:
-Julung wangi, yaitu anak yang lahir saat matahari terbit
-Julung pujud, anak yang lahir saat matahari terbenam.
-Julung sungsang, anak yang lahir saat tengah hari.
–Tiba sampir, anak yang lahir berkalung usus
–Lawang menga, anak yang lahir saat candikala, saat langit berwarna merah kekuningan.
Dan banyak lagi orang yang dianggap menyandang nasib sial yang lainnya. Dalam Serat Centini disebutkan ada 19 jenis wong sukerta yang harus diruwat. Serat Manikmaya menyebutkan ada 60 jenis wong sukerta, dan Murwakala menyebutkan ada 147 jenis. Sedangkan menurut Pustaka Raja Purwa ada 136 jenis wong sukerta. Sementara menurut pustaka Pakem Pangruwatan Murwakala ada 60 orang yang tergolong wong sukerta.
Ritual ruwatan untuk membersihkan kekuatan negatif yang ada dalam diri wong sukerta, sampai saat ini masih dilaksanakan oleh sebagian orang bali dan jawa. Dalam tradisi bali dan jawa, orang yang keberadaannya dianggap berada dalam dosa (nandang sukerta), maka harus diruwat agar tak dimakan Sang Batara Kala. Karena kuatnya pada keyakinan tersebut, maka tidak jarang setiap kali terjadi kesusahan atau bencana dalam rumah tangga seseorang, biasanya akan dihubung-hubungkan dengan kehadiran anaknya yang sukerta dan belum diruwat.
Tradisi ruwatan sukerta ini sering kali membawa mereka yang percaya pada situasi kejiwaan yang keadaan dilematis. Kegelisahan batin akan mengusik jiwa mereka jika upacara ruwatan untuk keselamatan anaknya. Orang Bali yang merasa gelisah hidupnya bila belum melaksanakan ruwatan terhadap anaknya yang termasuk sukerta. Ruwatan memang tradisi yang tak bisa ditawar bagi yang percaya.
Yang paling repot dalam ritual ruwatan sukerta ini adalah membutuhkan biaya yang cukup besar karena harus mengadakan pertunjukan wayang kulit dengan lakon tertentu dan dalang khusus ruwatan, berikut sesaji dan syarat-syarat lain yang diperlukan. Pertunjukan wayang kulit dalam upacara ruwatan dipergunakan oleh orang Bali sebagai sarana pembebas dari kekuatan supra natural buruk yang mengancam manusia yang nandang sukerta, sial atas keberadaanya di muka bumi ini.
Untung saja ruwatan buang sial ini bisa dilaksanakan secara perorangan atau bersama-sama (masal). Bila ruwatan dilakukan secara bersama-sama, biaya bisa ditanggung bersama. Penyelenggaranya adalah Panitia dari instansi tertentu. Berikut ini adalah prosesi ruwatan yang dilaksanakan secara bersama-sama (massal):
Laku Tarak
Tahap awal pada proses ruwatan secara bersama-sama dimulai dari rumah masing-masing peserta ruwatan. Seluruh anggota keluarga harus mendukung prosesi ini dengan hati ikhlas. Bagi peserta ruwatan yang sudah remaja bersama kedua orang tuanya dianjurkan melakukan LAKU TARAK, yaitu tidak memakan daging, ikan dan telur selama 7 hari menjelang hari pelaksanaan ruwatan.
Siram Jamas, Sungkeman, dll.
Sebelum berangkat ke tempat di mana ruwatan diselenggarakan, di rumah peserta ruwatan dilaksanakan Siram Jamas. Anak yang akan diruwat mandi keramas. Setelah itu ia melakukan sungkem, berjongkok mencium lutut orang tuanya. Minta maaf dan mohon doa restu kepada kedua orang tua atau wali. Kalau masih ada kakek dan nenek, paman atau bibi, mereka juga harus disungkemi. Setelah sungkeman selesai dilaksanakan, peserta ruwatan dengan diiringi keluarganya berangkat menuju tempat acara ruwatan dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan ruwatan ini, orang tua atau wali yang mengantar peserta ruwatan dianjurkan memakai pakaian adat (busana kejawen). Bila tak ada, boleh pakai busana apa saja, yang penting bersih dan, baik, dan sopan.
Bagi peserta ruwatan, pakaian yang wajib dikenakan dalam acara ruwatan adalah:
- Pria dewasa harus mengenakan baju lengan panjang warna putih. Celana panjang bersih warna bebas, dibalut dengan kain mori putih + 2 meter, dan ikat pinggang dari kain mori putih.
- Wanita dewasa harus mengenakan kebaya warna putih, bawahan kain mori putih 2 meter, ikat pinggang juga kain mori warna putih.
- Bagi peserta yang belum dewasa, baik lelaki atau perempuan, busana yang harus dikenakan adalah baju lengan panjang warna putih, bawahannya kain mori warna putih, dipakai seperti kain sarung (dibebet), dalamnya boleh pakai celana pendek/panjang yang bersih, warna bebas.
Ruwatan
Setelah peserta ruwatan tiba di sanggar ruwatan, tempat di mana ritual akan dilaksanakan, segera semuanya ditempatkan di area khusus, duduk berkumpul dengan peserta lainnya untuk mengikuti rangkaian acara mulai dari pembukaan sampai selesainya pagelaran wayang kulit dengan cerita Murwokolo. Dalam membawakan cerita itulah Ki Dalang menyelipkan nasehat-nasehat dan membacakan mantra keselamatan agar peserta ruwat terhindar dari marabahaya yang disebabkan oleh Batara Kala. Selama pertunjukan wayang berlangsung, peserta ruwatan diperbolehkan menyantap hidangan yang tersedia.
Setelah pertunjukan wayang selesai, dengan dipimpin oleh Ki Dalang, peserta ruwatan mengikuti serangkaian ritual berikut ini:
- Siraman Air Kembang Setaman, air yang sudah diberi mantera oleh Ki Dalang.
- Tigas Rikma (potong rambut) oleh Ki Dalang
- Menarik Kupat Luar (dilakukan oleh orang tua atau wali peserta ruwat)
- Peserta ruwatan membuka busana ruwatan (busana sukerta) dan menyerahkannya kepada Ki Dalang.
- Peserta melaksanakan sungkeman kepada orang tua/wali.
- Peserta ruwat dan orang tua/wali melaksanakan doa bersama (sujud manembah) dipimpin oleh Ki Dalang Ruwat.
- Para peserta mendapatkan sebotol Tirta Kembang Setaman untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Ruwatan akhir di rumah
Setibanya di rumah, air bunga Tirta Kembang Setaman yang didapat dari Sanggar Ruwatan, dituangkan semua ke dalam ember besar atau bak mandi yang sudah berisi air secukupnya. Setelah itu peserta ruwatan berikut orang tuanya/walinya mengguyur dirinya masing-masing dengan air kembang yang sudah dimantrai tersebut. Mulai dari kepala sampai ujung kaki, lalu dilanjutkan dengan keramas dan mandi biasa sampai bersih.
Demikianlah, acara ruwatan buang sial atau ruwatan sukerta, diakhiri dengan rasa syukur dan lantunan do’a untuk menyingkirkan segala sial, segala apes yang disandang oleh penyandang sukerta. Semoga terkabul dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar