Rabu, 29 Desember 2021

  1. .

    Hari Raya Siwaratri merupakan han raya berdasarkan atas pranata masa yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem Kepitu. Untuk tahun mi Malam Siwaratni jatuh pada tanggal 16 Januari 2008. Han suci Siwaratri sangat identik dengan begadang semalam suntuk serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu Tanakung.
    Aplikasi Brata Siwaratri
    Dalam Kehidupan Sehari-hari
    Oleh : I Gede Manik, S.Ag, Badung
    Hari Raya Siwaratri merupakan han raya berdasarkan atas pranata masa yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem Kepitu. Untuk tahun mi Malam Siwaratni jatuh pada tanggal 16 Januari 2008. Han suci Siwaratri sangat identik dengan begadang semalam suntuk serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu Tanakung.
    Difinisi Siwarat.ri menurut Ketut Sukartha dan kata “Siwaratri” berasal Siwa dan Ratri. Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya malam. Siwaratri berarti puncak malam. Sedangkan difinisi menurut Tjok Rai Sudharta “Siwaratri artinya malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa yang diberi nama gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi sebagai pemralina atau pelebur. Ratri artinya malam. Malam disini maksudnya kegelapan. Jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang.
    Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang sangat mendalam sebagai bahan renungan yang tak pernah habis untuk dikaji. Tidak cukup hanya dengan prosesi ritualitas semata, melainkan harus dipahami makna-makna yang terkandung didalamnya. Dengan adanya pemahaman yang benar serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka hari suci keagamaan akan sesuai dengan tujuan perayaan hari raya tersebut. Kegiatan ritual Siwaratri mesti dilaksanakan sesuai petunjuk sastra. Di samping itu juga tidak kalah pentingnva yakni merealisasikan makna-makna simbolis yang terkandung didalamnya ke dalam wujud/kehidupan sehari-hari.
    Makna Brata Siwaratri dalam kehidupan sehari-hari
    Pada waktu pelaksanaan Brata Siwaratri sebagai lambang yang bennilai sakral bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk. Menurut Tjok Rai Sudharta, brata Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata” artinya janji, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati. Brata Siwaratri dapat disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh hati melaksanakan ajaran Siwaratri. Brata Siwaratri tidak berhenti sampai pelaksanaan Hari Raya Siwaratri saja, melainkan perlu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya aplikasi/wujud dalam kehidupan sehari-hari maka hari raya itu akan tanpa makna dan akan lewat begitu saja. Brata Siwaratri dilaksanakan selama 36 jam. Brata ini mulai dan pukul 06.00 panglong ping 1 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu. Brata Siwaratri dengan melaksanakan upawasa, monobrata dan jagra.
    1. Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)
    Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk tidur semalam suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh Lubdhaka yang tidak tidur di atas pohon bila semalam suntuk. Untuk mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga dosanya terlebur. Jagra dalam pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak tidur semalam 36 jam.
    Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat diaplikasikan dengan cara selalu eling (waspada, ingat, berfikir, dll.) terhadap sang diri. Dalam kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan musuh-musuh, baik itu yang berasal dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi) maupun dari luar diri. Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan kewaspadaan yang relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh tersebut. Kewaspadaan yang tinggi tentunya diperoleh dengan menggunakan pikiran.
    Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk merenung agar selalu tetap mawas diri dan menyadari diri kita yang sejati. Sebagaimana tersurat didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa nafsu dan keinginan tidak pernah putus didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya tidur. Orang yang selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian papa sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini adalah keadaan yang selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga malas. Orang yang malas bekerja akan menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan keberadaan dirinya sendiri. Dengan demikian pikiran merupakan sumber segala yang dilakukan oleh seseorang. Baik-buruk perbuatan manusia merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan suci pikiran seseorang maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan akan bersih dan baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, berfikir buruk serta percaya dengan hukum karma.
    Dalam hidup ini semasih kita mampu, perlu diisi dengan kerja yang sesuai dengan dharma. Mengenai kerja ini dinyatakan oleh Bhagawadgita III sebagai berikut:
    III.3
    O, Arjuna, manusia tanpa noda; di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah Aku ajarkan dari jaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka yang mempergunakan pikiran dan yang lain dengan jalan pekerjaan bagi mereka yang aktif.
    III. 4
    Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak melepaskan diri orang akan mencapai kesempurnaan.
    III. 5
    Sebab siapa pun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata, tanpa melakukan pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya dengan tidak berdaya apa-apa lagi.
    III. 20
    Hanya dengan penbuatan, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kamu harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk memelihara dunia.
    Di samping untuk memelihara dunia yang kita pijak ini, kerja juga dapat menghindari kehancuran duniâ baik secara spiritual maupun material. Disamping itu juga, kerja dapat meningkatkan kedudukan sehingga menjadi manusia yang lebih sempurna. Jika kita sudah bekerja maka dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap orang lain. Disamping itu, diharapkan untuk tidak terikat dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Hasil yang diperoleh dari kerja diharapkan untuk sumbangkan kepada yang membutuhkan.
    2. Upawasa (tidak makan dan minum)
    Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan minum. Pada waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan dan minum. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan dengan cara selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh jasmani maupun rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita makan hendaknya dicari dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.
    Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam hal makan dan minum. Makanan yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh, juga nanti akan bersinergi membentuk dan merangsang pikiran, perkataan dan perbuatan. Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri Guna (sattwam, rajas dan tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak oleh orang yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan tersebut. Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan tentang suci dan cemar, bersih dan kotor serta cara penyajian makanan. Mengenai makanan dinyatakan dalam Bhagawadgita sebagai berikut:
    III.13
    Orang yang makan apa yang tersisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
    XVII. 7
    Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga. Demikian juga yadnya-yadnya, tapa dan dana. Dengarkanlah perbedaan dari semua ini.
    XVII. 8
    Makanan-makanan yang meninggikan hidup, tenaga, kekuatan, kesehatan dan suka cita, yang manis yang lunak, banyak mengandung zat-zat makanan dan rasa enak adalah yang disukai oleh orang yang baik (sattwika).
    XVII. 9
    Makanan-makanan yang terlalu pahit, masam, asin, pedas, kering, keras dan angus dan menimbulkan kesakitan, duka cita dan pen yakit disukai oleh orang yang bernafsu (rajasika).
    XVII. 10
    Makanan yang basi, hambar, berbau, dingin, sisa kemarinnya dan kotor adalah yang disukai oleh orang yang bodoh (tamasika).
    Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra agama. Minuman yang dilarang orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung penyakit sehingga mempengaruhi pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang sering mabuk prilakunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
    Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Jika dilandasi dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha. Setiap orang selagi masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu perbuatan (karma). Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam kehidupan sekarang ini berarti mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang. Orang yang sadar/eling akan berusaha dalam kehidupannya untuk berbuat yang baik berdasarkan darma. Hal ini disebabkan karena semua orang mengharapkan adanya kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dimasa-masa yang akan datang.
    3. Monobrata (berdiam diri/tidak bicara)
    Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata. Brata ini relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari berata ini yakni berkata-kata atau berbicara yang dapat menyejukkan hati orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi manusia, guna menyampaikan isi hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata kita memperoleh ilmu pengetahuan, mendapat suatu hiburan, serta nasehat nasehat yang sangat berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam Niti Sastra V. 3 disebutkan sebagai berikut:
            Wacika nimittanta manemu laksmi,
            Wacika nimittanta manemu duhka,
            Wacika nimittanta pati kapangguh,
            Wacika nimittanta manemu lmitra,
           Artinya :
                  Karena perkataan memperoleh bahagia,
                  Karena perkataan menemui kesusahan,
                  Karena perkataan menemukan kematian
                  Karena perkataan memperoleh sahabat.
    Kata-kata yang baik, benar dan jujur serta diucapkan dengan lemah lembut akan memberikan kenikmatan bagi pendengarnya. Dengan perkataan seseorang akan memperoleh kebahagiaan, kesusahan, teman dan kematian. Hal ini akan memberi arti yang sesungguhnya tentang kegunaan kata dan ucapan sebagai sarana komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
    Perkataan yang baik, sopan, jujur dan benar itulah yang perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menghindari kata-kata jahat menyakitkan, kotor (ujar ahala), keras, menghardik, kasar (ujar apergas), memfitnah (ujar pisuna), bohong (ujar pisuna) dan lain-lain yang perlu dihindari dalam pergaulan. Adanya 10 (sepuluh) pengendalian diri yang dapat dilakukan dalam kehidupan yang disebut karmaphala. Hal ini sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam Sarasamuscaya 73 sebagai berikut:
    Hana karmaphatha ngaranya, khrtaning indriya, sepuluh kwehnya, ulakena,
    kramanya : prawerttiyaning manah sakareng, telu kwehnya, ulahaning wak pat pwarttyaning kaya, telu pinda sepuluh, prawerttyaning kaya, wak, manah kengeta”
    Artinya:
    adalah karmapatha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya yang patut dilaksanakan gerak pikiran tiga (3) banyaknya, ucapan/perkataan empat (4) jumlahnya, gerak tindakan/laksana tiga (3) banyaknya, Jadi sepuluh (10) jumlahnya perbuatan yang timbul dan gerakan badan, perkataan, dan pikiran, itulah yang patut dilaksanakan.
    Dengan demikian, hakekatnya Hari Suci Siwaratri adalah sebagai media introsfeksi diri untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan Sang Diri Sejati. Siwaratri bukanlah malam penebusan dosa, tetapi malam yang disediakan secara khusus untuk senantiasa mencapai kesadaran akan Sang Diri. Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa. Mari dalam Siwaratri dan diawal tahun 2008 mulai kembali memburu kebajikan dengan membunuh musuh-musuh dalam diri dengan memohon tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Semoga ada manfaatnya.• WHD. No. 492 Desember 2008.

    Bali jangan lagi Diatur Investor
    BALI perlu pemimpin yang tahu Bali. Tak hanya mengerti budaya, tetapi paham akan apa yang dibutuhkan masyarakat Bali. Wacana ini menguat menjelang pencalonan gubernur dan wakil gubernur Bali empat bulan lalu.
    Wacana tersebut sebenarnya berangkat dari kekhawatiran akan keajegan Bali di masa mendatang. Sebab pemimpin saat ini lebih kepada pendekatan hedonis. Artinya, mereka lebih memikirkan pendapatan, investor dan pembangunan fasilitas perkantoran yang serba 'wah'. Walaupun di daerahnya semakin banyak warga yang berstatus rumah tangga miskin.
    Demikian pula para pejabat tak tahu malu pergi ke luar negeri, studi banding dan sebagainya hanya untuk melihat-lihat tanpa ada target untuk menjadikan daerahnya lebih baik. Bahkan, setelah studi banding ke luar negeri atau di dalam negeri sama sekali tak ada perubahan yang dinikmati masyarakat. Buktinya makin banyaknya rumah tangga miskin yang harus dijatah mendapat bantuan langasung tunai (BLT). Demikian pula fasilitas umum seperti jalan, gedung sekolah dan fasilitas umum lainnya banyak yang rusak parah.
    Sementara yang mengalami perubahan rata-rata menyangkut pendapatan asli daerah. Ini terasa wajar karena instansi pemungut lebih mengintesifkan pemungutan pajak, baik kepada lembaga swasta maupun perorangan. Tetapi itu tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan, sebab sebagian besar PAD hanya untuk membiayai kegiatan pemerintah termasuk pejabatnya.
    Dari fenomena tersebut, banyak komponen masyarakat mewacanakan, Bali perlu pemimpin yang memahami kebutuhan Bali. Tidak hanya menyangkut pendidikan, kesehatan, adat, lingkungan dan agama juga memahami kebutuhan manusia Bali. Mereka harus diberdayakan secara ekonomi.
    Dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemimpin Bali saat ini lebih memberi pemahaman pada penciptaan lapangan kerja dengan mendatangkan investor sebanyak-banyaknya. Alasannya, dengan datangnya investor akan menciptakan lapangan kerja dan penambah pendapatan asli daerah. Sementara kerusakan lingkungan, daya dukung Bali dan biaya sosial lainnya sama sekali tidak menjadi pertimbangan.
    Kini harapan untuk memperbaiki kondisi Bali ada pada gubernur/wakil gubernur Bali yang baru Mangku Pastika dan Puspayoga. Pasangan ini mengemban berbagai visi perubahan yang diamanatkan masyarakat Bali. Salah satunya mengangkat kesejahteraan masyarakat Bali, di samping amanat-amanat lainnya seperti menjaga keamanan Bali.
    Kehadiran pasangan dari PDI-P ini diharapkan memberikan warna baru bagi gaya kepemimpinan di Bali. Sebab Mangku Pastika telah banyak mengenyam pendidikan dan pengalaman di luar daerah dan luar negeri. Tentu akan ada adopsi-adopsi gaya kepemimpinan yang akan membawa perubahan Bali ke arah yang lebih baik.
    Kekhawatiran Bali akan tetap berada di bawah tekanan Jakarta, semestinya tidak usah terlalu dibesar-besarkan. Sebab era otonomi daerah telah mengikis anggapan tersebut. Namun yang patut dikhawatirkan adalah makin berkuasanya raja-raja kecil yang ada di kabupaten. Banyak contoh kasus, makin tak 'berwibawanya' gubernur di era otonomi ini. Walaupun Tk I masih mempunyai wewenang untuk memangkas APBD yang tak sesuai, tampaknya hal tersebut tidak bisa dijadikan senjata andalan untuk 'mengatur' kepala daerah tingkat II. Dengan berlindung di balik otonomi daerah, para pemimpin di daerah Tk II merasa berhak mengatur wilayahnya sesuai kepentingannya (entah daerah entah pribadinya).
    Inilah sebenarnya yang menjadi permasalahan Bali. Karena dengan otonomi di daerah Tk II, menjadikan Bali ini terkotak-kotak secara kewilyahan. Artinya, Bali tidak dipandang sebagai satu-kesatuan wilayah yang saling ketergantungan. Seperti pembangunan di wilayah hijau yang semestinya dilarang membangun hotel karena melanggar RTRW Bali, tetap saja diizinkan oleh bupati. Kalau fenomena itu terus terjadi, kehancuran alam Bali akan semakin di ambang pintu.
    Untuk itu, pemimpin Bali ke depan termasuk anggota DPRD TK I Bali harus memperjuangkan otonomi di tingkat satu Bali. Bukan otonomi khusus, sehingga Bali dilihat sebagai satu kesatuan wilayah yang mesti diatur peruntukannya agar Bali dapat diselamatkan.

    Bangun Persaingan yang Sehat BermartabatPrintE-mail
    Mimbar Agama  a dan lobha adalah tiga pintu neraka. Tiga hal itulah yang masih banyak dijadikan dasar bersaing dalam hidup ini, disadari atau tidak.
    Karena itu perlu mengubah persaingan hidup dari bersaing yang bernuansa asuri sampad atau bersaing yang bercorak keraksasaan, menuju bersaing yang bernuansa dewi sampad yaitu bersaing seperti para dewa saling bekerja sama untuk mewujudkan satyam, siwam dan sundharam yaitu kebenaran, kesucian dan keharmonisan. Bersaing mestilah berlomba untuk saling meningkatkan kualitas dan untuk saling menghidupkan dalam bidang yang berbeda-beda. Kalau bersaing di bidang bisnis dalam memproduksi barang dan jasa seharusnya berlomba membuat barang dan jasa yang berkualitas tinggi. Di samping itu efisien dalam biaya produksi, kemasannya praktis sehat dan indah, harga yang terjangkau, pelayanan yang ramah dan cepat serta hal-hal lainnya yang membawa citra bisnis itu menguntungkan semua pihak. Selain itu produksi yang dihasilkan tidak melanggar hukum, HAM, lingkungan dan ciri khas budaya. Dalam aspek-aspek itulah para pengusaha bersaing secara sportif. Artinya, kalau pada kenyataannya kalah dengan pihak lain harus secara kesatria mengakui kelebihan pihak lain dengan tulus. Di samping itu, kekalahan itu seyogianya dijadikan pengalaman berharga untuk dipelajari dan dianalisis dengan cerdas dan jujur untuk bangkit lagi memproses produksi barang dan jasa yang lebih baik dari sebelumnya. Bersahabatlah dengan pesaing yang menang. Timbalah berbagai hal yang mungkin dari pesaing yang menang itu dalam batas-batas etika moral yang berlaku. Itulah sesungguhnya dinamika dalam persaingan sehat bermartabat itu. Untuk memenangkan suatu persaingan janganlah mau menang sendiri. Demikian juga bersaing dalam bidang politik. Jangan karena punya power, lawan bersaing dipinggirkan secara total. Kalau lawan bersaing dikalahkan dalam jabatan eksekutif, cobalah menangkan dia dalam jabatan legislatif. Apalagi persaingan dalam bidang politik bukan persaingan merebut rezeki, tetapi untuk memenangkan ideologi dan gagasan atau kebijaksanaan untuk mengabdi pada masyarakat mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan yang adil.
    SDM yang hidup dalam dunia persaingan tidak perlu berjuang menghendaki kedudukan dengan nyikut sesama kiri-kanan. Tetap tingkatkan profesionalisme dan kualitas moral, daya tahan mental dan dedikasi sosial sesuai dengan bidang dan minat yang dimiliki. 

    Batin Khrisna atau Duryodana?PrintE-mail
    Balipost - Rabu, 29 April 2009
    Batin Khrisna atau Duryodana?
    SETIAP orang Bali yang semahyang ke pura tahu, setelah selesai sembahyang kemudian diperciki tirta (air suci), tatkala siap-siap meninggalkan tempat sembahyang semua mengucapkan kata shanti (damai) tiga kali. Sebuah pertanda sederhana, berkah spiritual yang kita bawa dari pura ke kehidupan keseharian adalah batin yang damai.

    Sekaligus memberikan cahaya bimbingan, ketika manusia Bali mau memutuskan hal-hal yang penting (apalagi yang sangat penting seperti rencana tata ruang Pulau Bali ke depan), seyogianya dibimbing oleh batin yang damai. Adu argumentasi memang tidak bertentangan dengan batin yang shanti, sejauh dilakukan untuk saling menginspirasi, bukan untuk saling menyakiti.
    Keharmonisan antara alam material dan alam spiritual adalah sebuah warisan tetua Bali yang berkontribusi tinggi terhadap Bali seperti yang kita warisi. Menyadari itu, sebelum melangkah mendalam di tataran ruang-ruang material, mungkin bijaksana bila kita mendalami ruang-ruang spiritual orang Bali.

    Boleh saja orang lain di tempat lain menggunakan pendekatan lain, namun warisan spiritual Bali mengajarkan barometer utama dalam melihat tata ruang spiritual adalah parama shanti. Seberapa damai kita dalam keseharian.
    Orang boleh menggunakan pendekatan berbeda, namun dalam pandangan spiritual, di tempat atau putaran waktu di mana keserakahan, kemarahan, iri hati, kebencian menjadi kekuatan yang mengalahkan segalanya, di sana parama shanti menjadi barang langka. Lebih dari itu, dalam kekeruhan keserakahan dan kebencian, setiap langkah semakin mendekatkan manusia pada musibah.

    Bercermin dari sinilah, mungkin pembahasan tentang tata ruang akan lebih bersih sekaligus jernih bila dilakukan secara pelan sekaligus perlahan. Serupa dengan tirta yang lagi keruh karena berisi bunga, beras, dll. hanya bila diletakkan dalam ketenangan beberapa waktu ia bisa kembali bersih sekaligus jernih. Memaksa buru-buru hanya akan memperpanjang kekeruhan.
    Entah bagaimana tetua Bali di tempat lain mengajarkan generasi penerusnya. Di Desa Tajun, Bali Utara ada tetua yang mengajarkan konsep luan-teben (hulu-hilir). Di hulu (luan) diletakkan semua kesucian, di hilir (teben) ditempatkan hal-hal yang jauh dari kesucian. Namun, apapun sebutan kepada ruang-ruang di hilir, ia senantiasa ditempatkan dalam kerangka Bhur Bvah Svah (semuanya bagian dari tubuh Tuhan yang sama). Kaki memang di bawah, kepala memang di atas. Namun tanpa kaki, kepala sangat terhambat kegiatannya.
    Kendati demikian, kepala dan kaki memiliki penutup (pelindung) yang berbeda. Kaki penutupnya sepatu. Kepala penutupnya destar. Meletakkan sepatu di kepala, atau destar di kaki akan mudah menjadi awal kekacauan kosmik (cosmic disorder).

    Kekacauan kosmik seperti inilah yang layak diendapkan dalam-dalam ketika kita harus menata ulang tata ruang. Di wilayah hulu (bila kita sepakat menggunakan pegunungan di tengah Pulau Bali sebagai acuan kaja), akan bagus sekali bila diputuskan radius di mana semua bentuk kegiatan pariwisata ditiadakan, hunian manusia dibatasi. Bilamana perlu pepohonan tua pun dilarang untuk ditebang.

    Namun, karena ini akan memberikan disinsentif merugikan kepada warga dan pemilik tanah yang hidup di sana, mungkin layak memberikan insentif agar tidak terjadi penolakan. Misalnya, memberikan mereka bibit-bibit secara gratis, harga pupuk yang lebih murah, sekaligus fasilitas memprioritaskan menampung hasil pertanian mereka di hotel-hotel di Bali.

    Pantai sebagai wilayah hilir memang tidak selalu diletakkan sebagai teben, terutama karena banyak pura suci yang ada di sana. Ini juga serupa. Segera disepakati secara jernih wilayah jangkauan kesucian pura, sehingga tatanan kosmik terjadi baik. Pola insentif (sebagaimana wilayah di pegunungan) juga layak dipertimbangkan.
    Oleh karena tanda-tanda kekacauan kosmik sudah terlihat jelas dan transparan (angka bunuh diri, perceraian, bom teroris, perkelahian dalam merenovasi pura, sulitnya membuat para elite bersatu, bahkan dalam upacara pun kedamaian sulit ditemukan), makanya saatnya diperlukan ketegasan sikap para pihak terkait, agar tata ruang dikembalikan ke posisi sebagaimana kita terima dari tetua Bali.

    Keadaannya serupa dengan Krishna yang harus turun bertempur menemani Arjuna. Dalam bagian yang amat kritis, Krishna bahkan memerintahkan Bima memukul kaki Duryodana.

    Kembali ke cerita parama shanti, bagi pekerja, damai berarti keadaan tersedianya pekerjaan. Di mata pertapa, damai adalah buah dari welas asih kita pada semua makhluk. Untuk penyembah (bakta), damai adalah keadaan batin yang sujud dan penuh bakti. Dan bagi elite, yang lahir di waktu ketika kekacauan kosmik terjadi di mana-mana, shanti adalah keberanian untuk mengembalikan tatanan ke bentuk aslinya sebagai Bhur Bvah Svah. Yang di bawah kembalikan ke bawah, yang di tengah kembalikan ke tengah, yang di atas kembalikan ke atas.
    Tidak mudah menilai ketulusan, keikhlasan seseorang, namun beberapa tahun dari sekarang, melalui kualitas shanti Pulau Bali akan kelihatan apakah elite-elite Bali yang merancang tata ruang sekarang ini batinnya lebih dekat dengan batin Krishna atau malah dekat dengan batin Duryodana? Gde Prama, - warga Desa Tajun Bali Utara.

    Benih dan Biji Buah : Kisah Sebuah PohonPrintE-mail
    Artikel Apresiasi – Balipost Minggu, 22 Maret 2009.
    Benih dan Biji Buah : Kisah Sebuah Pohon
    Memahami Esensi, Menyangga Diri, Sebuah Keniscayaan ……….
    SEPULUH tahun lalu, di dekat rumah saya yang sederhana, ada sebatang pohon beringin besar. Dahannya begitu kokoh, daun-daunnya kecil-rimbun meneduhkan. Tak jauh darinya, sebuah lapangan rumput terhampar. Ketika cuaca kering, tempat itu dipenuhi anak-anak yang bermain bola, dan beberapa lainnya memihh mengendarai sepeda, menjelajah sesemakan dan bukit-bukit kecil di sekitarnya. Tapi di musim hujan, ia selalu saja targenang air.
    Setiap senja, daun-daunnya akan berguguran, sesekali diiringi oleh biji buahnya yang kecil-kecil. Betapapun indahnya pengalaman masa kanak-kanak saya itu, ternyata baru kali ini saya menyadari, bahwa ternyata, tak ada satu pun pohon beringin lain di tempat itu. Biji buahnya yang berjatuhan, sama sekali tak mampu jadi pohon beringin lainnya.
    Bahkan juga bagi sebatang pohon, tak tarelakkan, usia tua pun akan tiba baginya. Pokok
    kayunya mulai mengeras, daun-daunnya kaku tak lagi hijau, lalu menguning sebelum akhirnya gugur diterbangkan angin. Rantingnya perlahan jadi kering, satu per satu terpisah dari cabangnya yang juga sudah tak kuat lagi. Matahari mungkin akan terasa panas - baginya, terlalu menyengat untuk dahan dan daunnya. Dan ketika badai hujan datang, ia hanya bisa pasrah bila kemudian akar-akarnya tak mampu lagi menyangga dirinya. Pohon itu pun tumbang seakan ia bukanlah sebatang pohon.
    Apa yang mungkin paling ia sesalkan bila semua itu sungguh terjadi? Kenangan akan masa lalunya? Keinginannya yang belum tercapai? Atau barangkali kebencian yang terpendam, lantaran tidak mampu membalas balik siapa atau apa saja yang telah menyakiti dirinya?
    Entahlah. Saya tak bisa menjawabnya. Sebab Anda sekalian tahu, bahwa saya kini bukanlah sebatang pohon. Dan saya ragu, apakah saya mesti merasa bersyukur karenanya. Meskipun demikian, mungkin saya Mau membayangkan kesedihan paling pedih yang dirasakan oleh pohon yang tumbang itu.
    Pernahkah Anda mengangankan, betapa inginnya pohon itu saat melihat anak-anaknya tumbuh dan menjadi tanaman yang lebih subur darinya, sebagaimana perasaan seorang ibu pada putranya? Pernahkah Anda menyadari, bahwa ternyata ada beberapa jenis pohon yang tidak pernah bertemu dengan darah dagingnya?
    Mungkin seperti itulah perasaan si beringin itu. Seperti beberapa tanaman lain, benihnya tak lain adalah serbuk sari dan bunganya yang bermekaran. Ia memerlukan bantuan hujan, serangga ataupun hembusan angin segar agar dapat terlepas dari tangkai putiknya. Si calon pohon itu hanya bisa pasrah bila kemudian ia dibawa angin, atau dilarungkan hujan. Dan sang induk boleh jadi hanya bisa menatap ke mana perginya. Dahannya berayun kecil, seolah tengah melambai untuk sang anak yang tak pernah dilihatnya lagi.
    Bila angin dan air tersebut berbaik hati, benih itu akan sampai pada tanah yang subur. Sama sekali bukan masalah baginya untuk tumbuh jadi beringin besar nan kuat. Bila badai datang, ia pun telah siap menghadapinya. Akarnya kokoh sempurna, begitu juga batang, cabang serta rantingnya. Ia seakan tak mampu ditumbangkan dengan cara apapun.
    Namun bila ternyata takdir menginginkan kisah yang lain, angin serta aliran hujan dapat saja berhenti membawa benih itu di sebuah tempat yang gersang. Gerimis tak pernah turun di sana. Udara kering, sungguh tak bersahabat. Tapi bagaimanapun juga, ia harus berusaha tumbuh, bila tidak, ia akan mati dan tak pernah melihat seperti apa dirinya nanti.
    Tapi, Anda sekalian tentu bertanya-tanya, mengapa tiba-tiba saya ingin menceritakan hal ini? Apa pentingnya memaparkan peristiwa ini, sebuah keniscayaan yang telah diketahui semua orang? Bagi saya pribadi, beringin tersebut merupakan perumpamaan yang sungguh bermakna. Bahwa, tidak semua pohon dapat melihat keturunannya sendiri. Mereka berpisah, bahkan sebelum benih itu tumbuh. Mereka tak tahu, seberapa jauh alam akan memisahkan induk-anak itu. Tak bisa juga mereka bayangkan, bahwa sang benih yang rapuh itu selalu dapat berkembang dan jadi sebatang beringin kuat lainnya.Ya, mereka pasrah. Sebab sang anak tak akan bisa kembali pulang, sedangkan induknya, hanya tinggal menunggu waktu, di mana ia akan mati dan jadi pokok kayu biasa.
    Gambaran di atas sungguh berbeda dengan kehidupan kita. Ketika masih di pucuk bunga induknya, disadari atau tidak, sang benih harus mempersiapkan diri untuk terlepas dan mengarungi kehidupan sendirian. Sementara kita, hingga usia dewasa, tak kunjung juga bisa mandiri dan memutuskan pilihan. Betapa menyedihkannya, bahkan saat usia yang matang, ternyata masih juga kita bergantung pada orangtua dan keluarga, dan selalu merasa bahwa kita adalah seorang yang patut dikasihani. Kita lupa, bahwa pada masa berikutnya, bagaimanapun juga, kita mesti siap hidup sendiri, lepas dari bantuan atau uluran tangan ayah-ibu, juga kolega lainnya.
    Dan pertanyaan yang diajukan setelah membandingkan dua ilustrasi di atas, sungguhkah manusia adalah satu-satunya makhluk yang paling sempurna secara lahir maupun bathin? Masih layakkah kita menyandang sebutan tersebut?
    Pertanyaan ini, tidak akan saya bahas secara tuntas. Baiknya, Anda sekalianlah yang mesti menyelesaikannya. Dan kemudian, akan jauh lebih bermakna pula masing-masing dan kita berupaya menilai diri, membandingkan masa lain dan menatap masa depan laiknya dalam sebuah cermin yang saling berhadapan, di mana bayangan dari diri kita dalam perbedaan masa waktu tersebut sejatinya sungguh tak berlainan.
    Yang jelas, kesadaran ini amatlah kita perlukan, justru agar kita mampu mengelola diri agar tidak sedih berlebih bila di kemudian hari ternyata tak seorang pun mau membantu dan selalu mendampingi kita. Bahwa pada hakikatnya, kita akan berjalan sendiri, dengan alur nasibnya sendiri-sendiri. Dengan demikian, kita akan menyadari bahwa kehampaan hanyalah sebagian kecil dari perasaan manusia saja. Untuk itu, tidak ada alasan bagi kita untuk larut dalam pedih kesunyian. Sebab yang mesti kita lakukan adalah — sebagaimana yang diikrarkan oleh Musashi, seorang samurai intelektual-spiritual Jepang — terus-menerus menempa diri agar siap menghadapi segala yang akan terjadi.
    Dan berikutnya, pengharapan berlebih tidak akan sedemikian kuat mengungkung diri kita. Sebab setelah memahami esensi ini kita tahu bahwa semuanya tak selalu berjalan sesuai keinginan kita. Namun, meskipun demikian, perlu waktu lama dan kemampuan yang luar biasa untuk sampai pada ‘kesadaran’ induk maupun benih pohon itu: ketika angin menerbangkannya, benih paham bahwa ia mungkin tak bisa tumbuh, dan di sisi lain, sang induk tahu bahwa biji buah yang jatuh tak mampu jadi beringin besar.
    Ya, mereka adalah sebuah ”kearifan” yang tak biasa. •Ni Made Purnamasari.

    Bentengi Diri dengan Ajaran AgamaPrintE-mail
    Jumat, 07 Agustus 2009 Balipost
    Bentengi Diri dengan Ajaran Agama
    Oleh N.N. Kerti Yasa
    Segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu mengalami perubahan. Perubahan juga sudah menyentuh orientasi atau fokus dari suatu masyarakat, termasuk orientasi masyarakat Bali yang cenderung kepada materi.
    Jumat, 07 Agustus 2009 Balipost
    Bentengi Diri dengan Ajaran Agama
    Oleh N.N. Kerti Yasa
    Segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu mengalami perubahan. Perubahan juga sudah menyentuh orientasi atau fokus dari suatu masyarakat, termasuk orientasi masyarakat Bali yang cenderung kepada materi.
    Sebenarnya masyarakat yang berorientasi materi bukanlah sesuatu yang salah. Tetapi kalau orientasi masyarakat terhadap materi itu sudah terlalu kuat, terlalu besar atau terlalu tebal, maka akan menjadi sesuatu yang tidak baik. Sebab, dalam ajaran agama Hindu, kita diberikan nasihat mencari artha berlandaskan dharma. Jadi tujuan hidup kita atau orientasi kita hidup ini tidak semata-mata mencari artha atau materi semata, tetapi tetap mengedepankan dharma.
    Perubahan orientasi pada masyarakat Bali ini tentunya diawali dengan suatu gejala atau fenomena yang tejadi di sekeliling kita.
    Kondisi ini dapat dilihat dari beberapa fenomena, antara lain:
    (1) Waktu untuk melaksanakan gotong royong di banjar-banjar makin berkurang, karena lebih banyak anggota masyarakat di Bali menghabiskan waktu untuk bekerja mencari uang, sampai-sampai di hari libur pun mereka bekerja mencari uang.
    (2) Para wanita Bali juga makin banyak yang bekerja di luar rumah untuk mencari penghasilan atau tambahan penghasilan, sehingga keuangan keluarga semakin kuat.
    (3) Masyarakat di Bali juga menilai eksistensi orang dari jumlah harta yang dimilikinya, sehingga pada umumnya orang kaya akan lebih dihormati dibandingkan orang miskin.
    (4) Masyarakat Bali juga sudah semakin pintar menilai jerih payahnya secara ekonomi semata, sehingga segala sesuatu diukur dari penghasilan dalam bentuk uang yang mereka terima.
    Perubahan kecenderungan orientasi masyarakat Bali tersebut, tentunya dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang muncul dari dalam diri individu itu sendiri, seperti nilai-nilai kebenaran yang dia pegang, yang biasanya berasal dari ajaran agama yang ditanamkan sejak dini. Yang lebih banyak mendorong perubahan orientasi masyarakat adalah faktor-faktor yang berada di luar individu itu sendiri, seperti tersedianya begitu banyak produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya (yang tentunya harus dibeli dengan uang), terjadinya globalisasi yang menyebabkan masyarakat di Bali mampu menerima informasi dari mana saja tanpa mengenal batas ruang dan waktu (yang memberikan contoh tentang berbagai kenikmatan yang harus dibeli dengan uang juga), kurangnya penanaman nilai-nilai moral yang baik atau penanaman budi pekerti di lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi.
    Solusi yang dapat ditempuh dengan membentengi diri dengan ajaran agama yang kuat. Penanaman nilai-nilai agama, moral dan budi pekerti dari SD sampai ke pendidikan tinggi harus lebih diintensifkan, dan tentunya diikuti dengan pemberian contoh oleh para guru dan orangtua, serta dilakukan evaluasi sikap siswa dalam kesehariannya dengan memberikan suatu reward and punishment. Kalau nilai-nilai baik itu sudah berhasil kita tanamkan sedari kecil dan mampu melekat dalam jiwanya, tentunya kondisi itu akan terbawa sampai mereka dewasa. Apalagi pada sekolah menengah sampai lembaga pendidikan tinggi mata pelajaran atau mata kuliah budi pekerti dan agama tetap diberikan maka individu tersebut selalu mendapat penyegaran. Proses penyegaran ini tentunya mempertebal nilai-nilai agama yang diberikan. Walaupun nantinya ada berbagai perubahan lingkungan yang memiliki dampak negatif, seperti arus globalisasi, beredarnya beragam produk yang menggiurkan, orientasi materi tersebut tetap dilandasi dengan dharma.
    Jadi apa yang menjadi tujuan hidup masyarakat Bali mencari artha berlandaskan dharma tetap dapat dipertahankan.

    BERAKHIRNYA KEINGINAN DAN KEMELEKATANPrintE-mail
    BERAKHIRNYA KEINGINAN DAN KEMELEKATANOleh : Anatta Gotama, Denpasar
    Ada Awal, Akhir dan Pertengahan
    Segala sesuatu di Mayapada ini berawal dan, tentunya, juga berakhir. Yang terlahir, secara pasti menemui kematian dan kemusnahan. Demikianlah hukumnya. Tak satu makhlukpun di semesta raya terbatas daripadanya; bahkan semestapun berawal, oleh karenanya ia juga berakhir.
    Sejak mulai pertama kita terlahir di dunia ini, kita mulai mengadakan kontak-kontak indriyawi dengan dunia luar. Kontal-kontak ini ada yang menyenangkan atau memuaskan indriya, ada yang tidak. Yang menyenangkan, kita inginkan atau harap-harapkan; yang tidak, kita tolak atau singkirkan. Kontak-kontak awal, apakah itu menyenagkan atau tidak, tersimpan berupa ‘kesan’. Nah.... demikianlah kita mengawali, yang nantinya amat menentukan bagaimana kita ‘berreaksi’ terhadap suatu kontak.
    Diawali oleh kontak, timbul kesan-kesan. Dengan kesan-kesan inilah kita ‘bereaksi’. Kwalitas reaksi, sesuai dengan kwalitas kesan. reaksi kitapun akan merupakan aksi bila terjadi kontak dengan pihak luar; yang nantinya secara beruntuk menimbulkan sejenis ‘mata rantai’ aksi-reaksi, sebab-akibat atau ‘kausalitas’-nya sendiri. Nah.... rantai kausalitas inilah yang membentuk dan menentukan kehidupan kita, oleh karenanya ia juga disebut ‘Sanghyang Swakarma’-suatu kumparan enerji kausal yang dibentuk dan dipunyai oleh setiap makhluk.
    Lewat pikiran (manas) dan nalar intelektual (buddhi), kita mengolah kesan-kesan. Mereka (pikiran dan intelek) akan mengatakan : “Hai kekasihku.... hind arilah yang tidak menyenangkan dan kerjalah yang menyenangkanmu. Kami akan membantumu untuk mewujudkannya”.
    Berdasarkan ‘hasrat’ untuk mengikuti perintah ‘sang kekasih’ itu maka kita berbuat, berusaha dan berupaya sekuat daya yang ada. Berbekal bahan bakar enerji (vayu atau bayu) kita berbuat dan terus berbuat, berdasarkan ‘hasrat’ (ambek) tersebut. Dalam perjalanan inilah batin kita berfluktuasi dalam dua kutub ekstrim, yakni :suka dan tidak suka. Dua kutub inilah yang mengombang-ambing atau mendikte ‘perasaan’, suasana hati serta secara akumulatif mengembangkan hasrat semakin luas lagi.
    Demikianlah kita mengembangkan ‘Sanghyang Swakarma’, hingga ia membentuk suatu gugus ‘makhluk astral’, bertenaga enerji kausalitas serta tumbuh dan berkembang sejalan dengan timbunan hasrat dan kinginan-keinginan kita. Secara ekstrim ia memiliki dua karakter utama - yang kita rasakan sebagai - ‘suka dan duka’ — Lewat ekspresinyalah kita menjalani hidup, hingga tibanya ajal.
    Manakala kita lebih banyak mengekspresikan karakter ‘suka’-nya, kita disebut - menurut peristilahan umum - berbahagia. Sebaliknya, menderita. Demikianlah kita terbentuk sebagai makhluk hidup, secara rohaniah. Enerji kausalitas tersebut, mendikte ‘kebahagiaan dan penderitaan’ hidup kita. Ia berawal, ia ada, hidup dan berkembang, dan iapun termusnahkan.
    Motivasi Menuju Tujuan dan Dua Kelompok Tujuan
    Ambek, seperti yang telah kita singgung sebelumnya, adalah hasrat dan keinginan-keinginan kita. Inilah yang memotivasi (hampir) semua perbuatan kita; berbuat dalam rangka mencapai tujuan’. Apakah tujuan-tujuan kita itu?
    Sesungguhnya ada dua kelompok objek yang menjadi tujuan hidup manusia, dimana pencapaian tujuan yang satu akan amat menunjang dalam pencapaian tujuan yang lainnya. Yang pertama berupa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia ini baik secara lahiriah maupun batiniah. Dalam terminologi Hindu ia disebut, Jagad Hita.
    Dalam penjabaran dan bentuknya yang paling dapat kita rasakan secara langsung, ia berupa kecukupan material (artha) serta kepuasan indriyawi (kama). Itulah dua bentuk terkasar dari pencapaian yang tercakup dalam kelompok pertama. Kepuasan indrayawi, inilah yang - dalam persepsi umum - dianggap sebagai kepuasan atau kebahagiaan batin. Mereka yang berpandangan demikian, serta madeg hanya hingga pencapaian itu desebut manusia duniawi’.
    Diketahui bahwasanya, hasrat untuk memenuhi keinginan dan kenafsuan (kama) tidak pernah habis-habisnya, dan berhenti dengan cara melunasinya. Bahkan sebaliknya, mereka yang diperbudak olehnya, tak pernah akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sebenarnya dalam kehidupannya. (Manawa Dharma Sastra dan Bhagavad Gita). Memang; senyatanya banyak yang hancur dan terpuruk hingga batas terendah sebagai manusia dalam mengejar ‘pemuasan indriyawi’ dan ‘kebahagiaan temporer nan semu’ tersebut. Lantas bagaimana sebaiknya kita menyikapinya?; tidak bolehkah menikmati kebahagiaan dan kesejahteraan hidup (Jagadhita)? Mungkin muncul pertanyaan-pertanyaan tersebut di benak kita.
    Karakter Pokok sebagai Faktor Penentu
    Di dalam mengejar ‘pemuasan indriyawi’ dan kebahagiaan temporer nan semu’, manusia menjadi melekat padanya. Manusia menjadi budak-budaknya. Dalam situasi seperti ini amatlah sulit untuk membebaskan diri dari ‘pembudakan’ ini. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pencapaian tujuan yang satu akan amat menunjang dalam pencapaian tujuan yang lainnya’; kita diharapkan untuk memanfaatkan sebesar-besarnya guna mencapai tujuan yang lainnya, yakni : Mokshartam. Bermodalkan Jagad Hita, manusia meraih Mokshartam melalui pembelajaran dan pelatihan diri menurut kaidah-kaidah ‘kebenaran sejati’ yang telah ditetapkan, yaitu : Dharma.
    Nah disinilah diperlukan bimbingan para bijak dan petunjuk-petunjuk orang-orang suci. Semua itu, sesungguhnya telah terpetakan dan terdokumentasikan secara sistematis dalam bentuk sastra; itulah pustaka-pustaka suci, kitab-kitab suci dalam berbagai bentuk sajian. Jadi, secara teoritis dan konsepsional, umat manusià telah mewarisi dari para pendahulunya. Pertanyaannya kini adalah, bagaimana penerapan dan penjabarannya dalam kehidupan kita sehari-hari?
    Manusia adalah makhluk kompleks; tidak dapat dijendralisasikan begitu saja. Secara batiniah, manusia memiliki ‘derajat ketidak-pastian yang tinggi’. Akan tetapi, untuk mengelompokkannya dalam banyak kelompok, akan terjadi kesulitan dalam merumuskan metode yang paling sesuai. Untungnya, para pendahulu umat manusia (baca: Hindu) telah menyiapkan ajaran filsafat Samkhya.
    Dalam Samkhya Darsana, disebutkan bahwa manusia atau semua makhluk berjasad, baik itu yang kasat indriya maupun yang tidak - digerakkan oleh tiga sifat utama yakni: keluhuran budi (Sattva), semangat dan ambisi (Rajas) serta kemalasan dan kebodohan (Tamas). Komposisi dari ketiganyalah yang membentuk karakter setiap manusia; berbeda -beda antara manusia satu dengan manusia lainnya. komposisi Sattva 60 %, Rajas 35 % dan Tamas 5% dan seterusnya. Nah berbagai komposisi inilah yang terekspresikan berupa berbagai ‘kecenderungan dan kegandrungan’. Sekali lagi ia bersifat spesifik, unik, atau khas untuk masing-masing individu. Inilah ‘faktor penentu’ yang mendikte darimana dan lewat jalan (metode) apa orang sebaiknya melangkah.
    Metode dan Penjabaran Praktis dalam meraih Tujuan Akhir
    Faktor penentu, yang terekspresikan berupa ‘kecenderungan dan kegandrungan’ inilah diinformulasikan ke dalam konsep metodis Empat Jalan Utama (Catur Marga) atau hanya Tiga Jalan Utama (Tri Marga).
    Karma Marga, bagi yang cenderung lebih banyak menggunakan tenaga jasmaniah dalam berbuat serta mempunyai kegandrungan terhadap hal-hal yang bersifat instan, dapat dinikmati hasilnya atau tahap-tahap pencapaiannya melalui indriya maupun persepsi yang sedikit lebih tinggi. Bhakti Marga, bagi yang cenderung mempunyai kesabaran, kepatuhan serta mememiliki kegandrungan untuk melakukan pelayanan - sesuai kemampuannya - pada orang lain; namun tidak memiliki tingkat intelek yang memadai, cenderung menggunakan pikirannya dalam memecahkan permasalahan hidupnya, lebih sesuai bila mengikuti Jnana Marga atau Dhyana Yoga. Ketiga inilah yang disebut dengan Tiga Jalan Utama.
    Mereka yang memiliki hampir semua kemampuan, kecenderungan dan kegandrungan diatas, serta ditunjang oleh ‘bakat intuitif’ yang kuat, disediakan pula Raja Marga atau Raja Yoga. Bakat intuitif ini, mereka bawa sejak kelahiran sebelumnya - berupa akumulasi kesan-kesan batin laten - yang disebut juga dengan Wasana. Apapun sebutannya untuk itu, namun demikianlah keberadaan dari Catur Marga.
    Praktek langsungnya, disebut Sadhana. Bagi maing-masing Margi atau perjalanan spiritual, tentu mempunyai masing-masing sadhana yang paling sesuai baginya. Mereka juga disebut Sadhaka. Siapa yang mengetahui sadhana yang paling sesuai bagi kita? Inilah yang kita sebut Guru atau Pembimbing Spiritual. Tempat atau ruang dimana kita dapat berlatih dan menerima didikan serta bimbingan spiritual - religius, kita sebut Ashram atau di Bali dikenal dengan ‘Pesraman’. Nah dengan demikian kita sudahi pembicaraan kita tentang ‘metode praktis’ (practical method) ini.
    Upaya Penghentian Keinginan & Melepas KemelekatanTelah disebutkan sebelumnya bahwa keinginan dan kenafsuan sulit untuk dihentikan dan hanya berbuah penderitaan saja. Telah pula kita bicarakan tentang sumber dan keinginan tersebut, Mungkinkah menghentikan segala keinginan itu? Terbersit pertanyaan demikian dalam benak kita.
    Ada disebutkan “Keinginan untuk menghentikan segala keinginan itupun juga keinginan adanya”. Jadi, ia tampak ‘mbulet’ bak lingkaran setan. Yang secara nyata dapat kita lakukan bertahap dan melalui sedhana-sedhana yang sesuai, adalah mengikis rendah - yang mengantarkan kita pada kebahagaiaan semu dan penderitaan - dan mengarahkannya kepada keinginan luhur.
    Kita menginginkan sesuatu, karena melekat pada sesuatu itu. Memenuhinya, hanya akan mempererat; demikian seterusnya. Jadi, amat erat kaitan antara keinginan dengan Kemelekatan. Kemelekatan inilah yang telah kita sebut-sebut sebagai himpunan kesan-kesan, sebelumya. Nah dalam rangka mengarah pada keinginan luhur, Buddha Avatara memberi arahan-Nya Janganlah berbuat jahat; timbunlah kebajikan sebanyak-banyaknya dan sucikan hati dan pikiran”.
    Melalui arahan itu, tampak jelas bahwa praktek latihan spiritual yang berupa berbagai bentuk dan ragam sadhana tersebut, sesungguhnya berintikan pada ketiga pokok arahan tersebut. Menimbun jasa kebajikan sebanyak-banyaknya, adalah keinginan luhur. Hasrat, mesti diarahkan sepenuhnya pada menghindari perbuatan jahat. Dan guna mensucikan hati pikiran, telah ada metode dan tuntunan praktisnya atau Marga-Nya.
    “Engkau merupakan penguasa sarana mencapai ‘Kelepasan’; dalam Veda engkau berwujud ‘pranawa mantra’, tiada lebih mulia daripada-Mu; Engkau yang dengan wujud dan tanpa wujud, sangat gaib pancaran sinar-Mu, Engkau lebih besar dan yang mahabesar’ Engkau berada dalam tumbuh-tumbuhan dan binatang melata, dan Engkau pula menjadi tujuan orang yang ingin mencapai alam ‘Sunyata’.
    Demikianlah puji-puji Bhatara Yama - ke hadapan Hyang Siva, yang tersurat didalam ‘Sivaratrikalpa’, mahakarya Mpu Tanakung itu. Siva, melalui Shakti-Nya, adalah penguasa alam spiritual. Beliaulah penguasa Yoga, beliaulah yang dituju oleh semua yogi, oleh karena Siva adalah Yang Mahasuci.
    Bila benar-benar kita telah bertekad untuk mengakhiri perputaran roda Samsara, penderitaan yang dialami dalam kelahiran yang berulang-ulang dan mencapai tujuan akhir - Moksha Marga dan Guru yang paling sesuai akan kita temukan. Dengan ini saya akhiri tulisan ini; besar harapan saya ia bermanfaat sebesar-besarnya bagi para sahabat.

    Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran.
     
    Siwarâtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu), dlam hal ini jatuh pada tanggal 3 Januari 2011. Dalam melaksanakan siwaratri humat hindu wajib melaksanakan brtata siwaratri yang terdiri dari : monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara), upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan jagra (berjaga/tidak tidur) selama 24 jam.
     
    Di SMK N 3 Denpasar, perayaan hari siwaratri dilaksanakan di padmasana sekolah (pura) yang diikuti oleh semua warga SMK N 3 Denpasar yang beragama hindu. Perayaan ini diisi dengan kegiatan sembahyang bersama yang dipimpin oleh pemangku sekolah beserta dewan guru dan pegawai. Persembahyangan ini dimulai pada pukul 17.00 wita, kemudian untuk melaksanakan brata siwaratri, para siswa dipersilahkan untuk mengikuti persembahyangan di wilayahnya masing-masing (desa adat masing-masing).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar