Rabu, 29 Desember 2021

Siwaratri

Siwa Ratri
" Malam yang digunakan untuk japa dan dhyana kepada Siwa tanpa memikirkan soal yang lain, baik soal makan maupun tidur"

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd

“Atyantādhika ning bratanya
taya kājar denikang rāt kabeh,
manggeh ling nikang ādisastra
Shivarātri punya tan popama”

Shivarātrikalpa. 12.1.

(Sangat utama Brata Sivarātri telah diajarkan kepada dunia dan sastra-sastra utama selalu menekankan keutamaan Shivarātri tiada bandingnya)

Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran, Siwarâtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu). Tahun 2022 jatuh pada hari Sabtu tanggal 1 Januari 2022.

Merayakan Siwaratri pada hakekatnya adalah melakukan pengendalian diri. Caranya dengan upawasa (puasa), monobrata (tidak berbicara), dan jagra (bergadang,selalu terjaga). Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu dilangsungkan Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, waspada, eling atau melek. Orang yang selalu jagra atau waspadalah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap.
Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan Maha Siwa Ratri.

Ida Sinuhun pernah mengatakan tentang siwa ratri sebagai berikut: Beginilah, malam dikuasai oleh bulan. Bulan mempunyai enam belas kala atau bagian-bagian kecil. Setiap hari bila bulan menyusut, berkuranglah satu bagian kecil hingga bulan hilang seluruhnya pada malam bulan yang baru. Setelah itu setiap hari tampak sebagaian, hingga lengkap pada bulan purnama. Bulan adalah dewata yang menguasai manas yaitu pikiran dan perasaan hati. ‘Candramaa manaso jaathah’. Dari Manas (pikiran) Purusha (Tuhan) timbullah bulan. Ada daya tarik menarik yang erat antara pikiran dan bulan, keduanya dapat mengalami kemunduran atau kemajuan. Susutnya bulan adalah simbul susutnya pikiran dan perasaan hati, karena pikiran dan perasaan hati dikuasai, dikurangi akhirnya dimusnahkan. Semua sadhana ditujukan pada hal ini. Manohara, pikiran dan perasaan hati harus dibunuh, sehingga maya dapat dihancurkan dan kenyataan terungkapkan. Setiap hari selama dua minggu ketika bulan menggelap, bulan, dan secara simbolis rekan imbangnya di dalam diri manusia yaitu ‘manas’ menyusut dan lenyap sebagian, kekuatannya berkurang, dan akhirnya pada malam keempat belas, Chaturdasi, sisanya hanya sedikit. Jika pada hari itu seorang sadhaka berusaha lebih giat, maka sisa yang kecil itupun dapat dihapuskan dan tercapailah Manonigraha (penguasaan pikiran dan perasaan hati). Oleh karena itu Chaaturdasi dari bagian yang gelap disebut Siwaratri. Karena malam itu seharusnya digunakan untuk japa dan dhyana kepada Siwa tanpa memikirkan soal yang lain, baik soal makan maupun tidur. Dengan demikian keberhasilan pun terjamin. Dan sekali setahun pada malam Mahasiwaratri, dianjurkan mengadakan kegiatan spiritual yang istimewa agar apa yang Savam (jasat atau simbol orang yang tak memahami kenyataan sejati) menjadi Sivam (terberkati, baik, ilahi) dengan menyingkirkan hal yang tak berharga, yang disebut Manas.

Upawasa atau puasa didalam perayaan hari-hari suci Hindu memiliki peranan penting seperti perayaan Nyepi dengan Catur Brata penyepian,demikian pula dalam pelaksanaan Siwa Ratri dengan Brata Siwa Ratri, Brata Siwarâtri terdiri dari:

#Utama, melaksanakan: Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
Upawasa (tidak makan dan tidak minum).

Jagra (berjaga, tidak tidur).

#Madhya, melaksanakan: Upawasa.
Jagra.

#Nista, hanya melaksanakan:
Jagra.

Tentang pentingnya upawasa diuraikan didalam weda sebagai berikut;

Dengan melakukan tapa (brata) seseorang memperoleh diksa (penyucian), dengan melakukan diksa seseorang memperoleh daksina, dengan daksina seseorang memperoleh sraddha (keyakinan) dan dengan sraddha seseorang memperoleh satya (kebenaran).[Yajur Weda XX.25]

Brahma-enad vidyat tapasa vipascit (Orang yang bijaksana mengetahui Hyang Widhi dengan sarana tapa (pengendalian diri dengan penebusan dosa). [Atharwa Weda VIII.9.3]

Tapas caiva-astam karma ca-antar mahati-arna ve (Tapa dan keteguhan hati adalah satu-satunya juru selamat di dunia yang mengerikan). [Atharwa Weda XI.8.2]

Atapta-tanur na tad amo asnute (Orang tidak bisa menyadari Sang Hyang Widhi Wasa, Yang Maha Agung tanpa melaksanakan tapa). [Rg Weda IX.83.1]

Demikian sedikit tentang uraian upawasa, sehingga dalam suatu perayaan hari suci hendaknya selalu didahului atau dikuti dengan upawasa atau puasa.

#Sumber –Sumber Sastra

1. Itihasa
Dalam Itihasa, Śivarātri terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada Santi Parva, dalam episode ketika Bhisma sedang berbaring di atas anak-anak panahnya Arjuna, menunggu kematian, sambil membahas dharma, mengacu kepada perayaan Maha Śivarātri oleh raja Citrabhanu, raja Jambudvipa dari dinasti Iksvaku. Raja Citrabhanu bersama istrinya melakukan upavasa pada hari Maha Śivarātri . Rsi Astavakra bertanya: “Wahai sang raja, mengapa kalian berdua melakukan upavasa pada hari ini? Sang raja dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang rsi.

“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva dan menjatuhkannya ke tanah.

“Hari telah menjelang fajar, aku kembali pulang ke rumah dan menjual kijang tersebut, lalu membeli makanan untuk keluargaku. Ketika akan menyantap makanan untuk mengakhiri puasaku, seorang asing datang meminta makanan. Aku melayaninya terlebih dahulu, kemudian baru aku mengambil makananku.

“Pada saat kematianku, aku melihat para pesuruh deva Śiva, mereka menjemputku untuk dibawa kepada Śiva. Aku baru sadar bahwa aku secara tidak sengaja telah melakukan pemujaan suci pada Śiva, pada hari Śivarātri . Mereka memberitahuku bahwa ada linggam di bawah pohon. Daun yang kujatuhkan tepat jatuh di atas linggam itu. Air mataku pada saat menangisi keluargaku jatuh di atas linggam dan membersihkannya. Dan aku telah berpuasa sepanjang hari dan malam. Aku telah memuja Yang Kuasa tanpa sadar. Aku tinggal bersama dengan-Nya dan menikmati kebahagiaann Ilahi selamanya. Aku kini terlahir sebagai Citrabhanu.

2. Purana
Śivarātri juga dimuat dalam purana-purana, seperti berikut:

1). Śiva Purana (bagian Jnanasamhita).

Pada bagian ini memuat percakapan antara Suta dengan para ṛṣi, menguraikan pentingnya upacara Śivarātri. Seseorang bernama Rurudruha sangat kejam, namun setelah melaksanakan vrata Śivarātri akhirnya menjadi sadar akan kekejaman dan kedangkalan pikirannya. Dalam Śiva Purana juga disebutkan bahwa bagi mereka yang berpuasa siang dan malam pada hari Maha Śivarātri ini dan memuja Śiva dengan daun bilva, akan mencapai kedekatan dengan Śiva. Mereka yang melakukan vrata ini selama 12 tahun maka dinyatakan bahwa mereka akan menjadi seorang Gana yaitu pengawal Śiva.

2). Skanda Purana (bagian Kedarakanda).

Pada bagian Kedarakanda dari Skanda Purana antara lain memuat percakapan antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan kepada para rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut “kebenaran” Dalam purana ini diuraikan tentang asal mula upacara Śivarātri tersebut. Dalam Skanda Purana juga diceritakan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam Santi Parva.

3). Garuda Purana (bagian Acarakanda).

Bagian ini memuat uraian singkat tentang Śivarātri , diceritakan bahwa Parvati bertanya tentang brata yang terpenting. Śiva menguraikan tentang pelaksanaan vrata Śivarātri . Seorang raja bernama Sudarasenaka pergi berburu ke hutan bersama seekor anjing. Rangkaian kisah inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu di atas.

4). Padma Purana (bagian Uttarakanda).

Bagian ini memuat percakapan raja Dilipa dengan Wasista. Wasista menceritakan bahwa Śivarātri adalah vrata yang sangat utama, antara bulan Magha dan Palghuna. Dalam Padma Purana, pemburu itu bernama Nisadha. Berkat vrata Śivarātri yang dilakukannya berhasil membawanya ke Śiva Loka.

3. Sumber Lokal
Sumber Jawa Kuno adalah kakawin Śivarātri kalpa (di masyarakat lebih dikenal kakawin Lubdhaka), karya mahakawi Mpu Tanakung.

Karya ini ternyata bersumber dari Padma Purana. Uraian tentang Śivarātri juga terdapat dalam lontar Aji-brata serta sejumlah karya sastra kidung dan geguritan Lubdhaka. Mpu Tanakung mengarang kakawin Śivarātri kalpa pada jaman Majapahit akhir (1447 Masehi).

4. Sumber Eropa
Dalam sumber-sumber Eropa ada diuraikan tentang apa yang disebut vrata Zuiverasiri (Śivarātri ). Vrata ini dilakukan pada bulan Pebruari, dikaitkan dengan kisah seorang pemburu bernama Beri yang karena kemalaman di hutan lalu naik ke atas pohon Cuola (Bilva). Semalaman ia memetik-metik daun pohon itu yang tanpa disadarinya telah dilemparkannya kepada Zuivelingga (Śivalingga) yang berada di bawah pohon itu. Akhirnya si pemburu mendapat anugerah dari Ixora (Isvara).

6. Sumber Arab Kuno
Selain sumber Eropa juga diketemukan uraian tentang pemujaan Śiva Mahadeva di dalam kitab Sayar-ul Okul, sebuah kitab yang memuat ontologi puisi Arab Kuno; susunan Abu Amir Asmai, orang yang dihormati sebagai Kalidasanya Arab. Kitab ini memuat sebuah syair karya Umar bin Hassam, seorang penyair besar yang karya-karyanya juga dinilai sebagai karya terbaik dalam suatu simposium yang biasanya diadakan dalam perayaan tahunan Okaz (menurut Prof. Oberai, Śivarātri di Arab pada jaman Arab Kuno, disebut Okaz atau Sabhebarat). Dalam tulisannya, berjudul Influence of Indian Culture on Arabia, Oberai menyatakan informasi tersebut.
Pada bagian lain, Oberai juga memberikan keterangan bahwa nantinya setelah terjadi peristiwa tertentu di Mekah, istilah Śivarātri diganti menjadi Shabe Barat.
Puisi ini berisi:
“Orang yang menghabiskan hidupnya untuk hal-hal yang bersifat kenafsuan, jika pada akhirnya ia menjadi sadar dan ingin kembali ke jalan moral disediakan jalan ke arah itu. Walaupun ia hanya sekali memuja MAHADEVA ia bisa mendapatkan posisi yang tertinggi dalam “kebenaran”.

Keutamaan Siwa ratri
Keutamaan siwaratri diuraikan didalam berbagai susastra veda (vedic literature ) dan bahkan di Eropa dan Arab . Diantaranya didalam Padma Purana , Dituangkan dalam percakapan antara seorang Maha Rsi, yaitu Wasistha dengan seorang Raja yang bernama Dilipa. Kutipannya sebagai berikut:
“Dengarkanlah Paduka, saya akan menjelaskan kepada Anda tentang Brata Malam Siwa yang sangat utama, satu-satunya sarana untuk mencapai Siwaloka. Hari keempat belas paruh gelap bulan Magha atau Palguna, patut diketahui sebagai Malam Siwa (Siwaratri), yang menghapuskan segala papa. Anugerah itu paduka, tidak didapatkan dengan tapa, dana, japa, semadhi, tidak juga dengan upacara dan sebagainya. Brata Malam Siwa paduka, adalah yang paling utama diantara segala brata, bagi Meru diantara Gunung, Matahari diantara segala yang bercahaya, Pertapa diantara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara mahluk berkaki empat, Gayatri diantara mantra, Amerta diantara segala yang cair, Wisnu diantara laki-laki dan Arundhati diantara wanita”.

Selanjutnya kitab Shiva Purana menyatakan:
“Di antara berbagai Brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa (pertapaan) dan melakukan berbagai kegiatan Japa (mengucapkan berulang-ulang nama-nama-Nya atau mantra untuk memuja keagungan-Nya), semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Shivarātri. Demikian keutamaan Brata Shivarātri, hendaknya Brata ini selalu dilaksanakan oleh mereka yang menginginkan keselamatan dan keberutungan. Brata Shivarātri adalah Brata yang sangat mulia, agung yang dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan bathin (Shastri, Shiva Purana, Koti Rudrasamhita, XL. 99-101,Vol.3, Part III, p. 1438).

Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Shivarātrikalpa menyatakan keutamaan Brata Shivarātri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Shiva sebagai berikut :
“Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci (patìrthan), pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Shivarātri ini, semua Pataka itu lenyap”.

“Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Shivarātri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Shivarātri ) yang Aku sabdakan ini” (Shivaratrikalpa, 37, 7-8).
Banyak kalangan yang kurang setuju, jika malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.
Apabila digali berdasarkan susastra veda, dosa – dosa seseorang dapat ditebus dengan bhakti kepada Tuhan , hal ini diuraikan didalam bhagavad Gita “ Meskipun seseorang melakukan perbuatan yang paling jijik, kalau ia tekun dalam bhakti, ia harus diakui sebagai orang suci karena ia mantap dalam ketabahan hatinya dengan cara yang benar”. (BG 9.30).

Dengan sloka diatas maka benar Siwa Ratri dikatakan sebagai malam penebusan dosa. Jika memang seseorang berniat untuk melaksanakan penebusan dosa dimalam Siwa Ratri sedikitnya seseorang melaksanakan Brata Jagra, Brata Upawasa dan berjapa “Om Nama Siwa Ya ” sebanyak 108 x 16 : 1728 kali Mantram. Dengan melaksanakan Siwa Ratri dengan aturan kitab suci maka seseorang akan dituntun kepada jalan yang dharma dan lambat laun ia sadar akan hakekat jati dirinya sehingga menumbuhkan rasa Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun yang menjadi pertanyaan , sudahkah kita melaksanakan Siwa Ratri dengan benar? Faktanya perayaan Siwa Ratri hanya sebagai seremonial tanpa makna. Apalagi dikalangan generasi muda, tak jarang dimanfaatkan untuk pacaran. Malam penebusan dosa justru menjadi malam penambahan dosa

#tubaba@griyangbang#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar