Senin, 31 Januari 2022

De Nak Mula Keto

Jangan Nak Mule Keto, Pahami Filosofi Bunga Gemitir

Tersirat pertanyaan “Bukankah dalam Bhagavadgita disebutkan, kalau persembahan itu adalah patram, puspam, phalam, toyam, tetapi mengapa di Bali bunga gemitir “diharamkan” untuk persembahan, bukankah ia tergolong puspam (bunga) juga?”

Menanyakan hal tersebut kepada orang tua dahulu pasti akan mendapat jawaban “nak mule keto”, (conclusion without solution) yang artinya memang sudah demikian atau dari dulu sudah begitu. Jawaban yang membingungkan yang bertanya yang justru membuat pembodohan berkelanjutan. Mungkin karena orang tua dulu tidak mengetahui secara pasti jawabannya atau malas menjelaskan.

Menanggapi pertanyaan tersebut perlu diketahui, bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu, bunga merupakan sarana ritual yang sangat penting. Malah, dapat dikatakan, bunga merupakan sarana persembahan pokok bagi umat Hindu selain api dan air. Namun, tidak segala jenis bunga bisa dipersembahkan atau digunakan sebagai sarana dalam persembahyangan.

Tradisi pelaksanaan agama Hindu di Bali menyebut sejumlah jenis bunga yang pantang untuk dipersembahkan. Dalam kitab suci umat Hindu, Bhagavadgita Mandala IX, sloka 26, disebutkan unsur-unsur pokok persembahan yang ditujukan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah bunga, di samping daun, air dan buah-buahan.

Adapun bunyi sloka tersebut adalah: Pattram puspam phalam puspam phalam toyam. Yome bhaktya prayaccati. Tad aham bhaktyu pakrtam Asnami prayatat asnamah.

Artinya:
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci, Aku terima.

Secara prinsip, bunga yang tidak disarankan untuk digunakan sebagai sarana persembahyangan yakni bunga yang pusuh (belum kembang), bunga yang sudah layu, bunga yang jatuh dengan sendirinya atau sudah gugur, bunga yang tumbuh di kuburan serta bunga yang dimakan semut atau ulat.

Pantangan menggunakan bunga-bunga tersebut sebetulnya lebih didasari pada konsep bunga sebagai persembahan ke hadapan Tuhan sehingga mestilah bunga tersebut suci, bersih, mekar dan harum.

Dalam kitab Jnana Sidhanta, disebutkan bunga mekar dan wangi itu sebagai lambang aksara suci. Adapun bunyi slokanya adalah:
Nkana ring antahhrdaya karonan bhatara siwa. Pujanta sira satata maka karana Sang Hyang Catur Dasaksara. Catur Dasaksara ngaranya Sang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang Ang Ung Mang Om. Sirata Sang Hyang Catur Dasaksara ngaranira Sira kaharan puspa, sumekar, sugandha mawangi nirantara, ya ta pamujantara ring Bhatara Sada Kala.

Artinya:
Di sana di dalam inti hati beradanya Bhatara. Hendaknya Beliau, engkau puja selalu dengan sarana empat belas aksara suci. Empat belas aksara suci namanya: sang bang tang ang ing nang mang sing wang yang an gung mang om. Beliaulah Sang Hyang Catur Dasaksara namanya. Beliau disebut pula dengan bunga mekar, berbau wangi tiada batas.

Khusus untuk bunga yang dimakan semut atau ulat, alasannya sebetulnya sangat logis. Bunga yang dimakan ulat dan semut tentu tidak bersih lagi. Mungkin di bunga itu ada kotoran dari semut atau ulat yang memakannya. Begitu pula bila bunga itu disumpangkan di sela telinga, nanti telinga bisa kemasukan ulat atau semut.

Bunga yang dikenal tidak patut digunakan untuk sarana banten yakni bunga gemitir. Dalam lontar Kunti Yadnya, disebutkan bahwa bunga gemitir disebut berasal dari darah Dewi Durga (sakti Dewa Siwa). Namun, setelah mendapat penglukatan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan dalam Lontar Aji Yanantaka, bunga gemitir boleh digunakan untuk persembahan.

Akan tetapi, hanya yang kembangnya bagus dan berwarna kekuning-kuningan. Bunga gemitir yang warnanya merah tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai sarana upakara. “Selain itu, bunga gemitir juga tidak baik dipakai sarana memercikkan tirtha, karena cepat busuk dan mengundang bibit penyakit,”

Hal tersebut senada dengan pendapat dari Ida Pedanda Made Gunung tentang Bunga Mitir kurang lebih mengatakan sebagai berikut, ”Bersumber dari sastra atau cerita Tebu Sala dalam epos Mahabrata/pewayangan.

Diceritakan pada saat Dewi Dhurga di supat / di lebur menjadi Dewi Uma (sebagai simbol pelepasan kekotoran duniawi) oleh Sang Nakula, organ-organ tubuh Dewi Dhurga menjadi tumbuh-tumbuhan, yang salah satunya darah beliau membasahi bunga mitir, sehingga setelah Dewi Dhurga menjadi Dewi Uma, beliau bersabda jika membuat banten/canang untuk dihaturkan ke Pura Dalem maka tidak diperbolehkan menggunakan bunga gemitir. Namun jika digunakan untuk persembahyangan di merajan atau selain Pura Dalem maka hal itu diperbolehkan.”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bunga merupakan sarana upacara bagi umat Hindu yang sangat penting, namun perlu diperhatikan bunga yg bagaimana dan jenis apa saja yang boleh dipergunakan, jadi mengenai tidak diperbolehkannya menggunakan bunga mitir sebagai sarana upacara di Bali dapat kita ketahui jawabannya secara pasti.

Bunga mitir atau bunga gumitir sudah jelas dijelaskan di atas boleh dipergunakan sebagai sarana upacara namun harus yang kembangnya utuh dan warnanya kekuning-kuningan. Serta alasan tidak diperbolehkannya menggunakan bunga gumitir untuk dijadikan penyiratan tirta karena bunga mitir jika terkena air akan cepat busuk dan akan bisa mengundang bibit penyakit. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar