Implementasi Brata Siwaratri
Dalam Kehidupan Sehari-hari
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
KEHIDUPAN itu ibarat dawai yang bergetar.
Setiap jiwa ialah partikel yang hanyut dalam gelombang nada.
Pada setiap renik partikel diri, terekam informasi semesta.
Demikian juga pada setiap detak suara, terpantul nyanyian alam.
Pada setiap helaan napas, terurai energi jagat besar.
Memahami rahasia keluasan alam raya bisa dilalui dengan menyelami kedalaman diri di malam Siwaratri.
Sang Pencipta tak pernah menampakkan diri dalam sesuatu apa pun sebagaimana perwujudan-Nya dalam diri manusia.
Manusia ialah mahkota penciptaan.
Tercipta dari cahaya Tuhan, manusia ialah rahasia Tuhan, sedangkan Tuhan ialah rahasia manusia.
Tuhan jadikan manusia sebagai kendaraan-Nya, dan Dia jadikan seluruh isi alam sebagai kendaraan manusia.
Saat ini, agama cenderung larut dalam formalisme, diekspresikan dalam kebisingan.
Jauh dari sunyi yang agung dan mulia, kebatinan mikrokosmos melebarkan diri dalam kebatinan makrokosmos dalam menyelami kedalaman spritualitas.
(1 Januari 2022)
Hari Raya Siwaratri merupakan hari raya berdasarkan atas pranata masa yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem Kepitu. Untuk tahun ini Malam Siwaratni jatuh pada tanggal 1 Januari 2022. Hari suci Siwaratri sangat identik dengan begadang semalam suntuk serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu Tanakung.
Difinisi Siwaratri berasal dari kata Siwa dan Ratri. Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya malam. Siwaratri berarti puncak malam. Sedangkan difinisi menurut Tjok Rai Sudharta “Siwaratri artinya malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa yang diberi nama gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi sebagai pemralina atau pelebur. Ratri artinya malam. Malam disini maksudnya kegelapan. Jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang sangat mendalam sebagai bahan renungan yang tak pernah habis untuk dikaji. Tidak cukup hanya dengan prosesi ritualitas semata, melainkan harus dipahami makna-makna yang terkandung didalamnya. Dengan adanya pemahaman yang benar serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka hari suci keagamaan akan sesuai dengan tujuan perayaan hari raya tersebut. Kegiatan ritual Siwaratri mesti dilaksanakan sesuai petunjuk sastra. Di samping itu juga tidak kalah pentingnva yakni merealisasikan makna-makna simbolis yang terkandung didalamnya ke dalam wujud/kehidupan sehari-hari.
Makna Brata Siwaratri dalam kehidupan sehari-hari
Pada waktu pelaksanaan Brata Siwaratri sebagai lambang yang bennilai sakral bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk. Menurut Tjok Rai Sudharta, brata Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata” artinya janji, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati. Brata Siwaratri dapat disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh hati melaksanakan ajaran Siwaratri. Brata Siwaratri tidak berhenti sampai pelaksanaan Hari Raya Siwaratri saja, melainkan perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya implementasi/wujud dalam kehidupan sehari-hari maka hari raya itu akan tanpa makna dan akan lewat begitu saja. Brata Siwaratri dilaksanakan selama 36 jam. Brata ini mulai dan pukul 06.00 panglong ping 14 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu. Brata Siwaratri dengan melaksanakan upawasa, monobrata dan jagra.
1. Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)
Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk tidur semalam suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh Lubdhaka yang tidak tidur di atas pohon bila semalam suntuk. Untuk mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga dosanya terlebur. Jagra dalam pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak tidur semalam 36 jam.
Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat diimplementasikan dengan cara selalu eling (waspada, ingat, berfikir, dll.) terhadap sang diri (menyelami sang diri). Dalam kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan musuh-musuh, baik itu yang berasal dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi) maupun dari luar diri. Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan kewaspadaan yang relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh tersebut. Kewaspadaan yang tinggi tentunya diperoleh dengan menggunakan pikiran.
Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk merenung agar selalu tetap mawas diri dan menyadari diri kita yang sejati. Sebagaimana tersurat didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa nafsu dan keinginan tidak pernah putus didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya tidur. Orang yang selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian papa sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini adalah keadaan yang selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga malas. Orang yang malas bekerja akan menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan keberadaan dirinya sendiri. Dengan demikian pikiran merupakan sumber segala yang dilakukan oleh seseorang. Baik-buruk perbuatan manusia merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan suci pikiran seseorang maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan akan bersih dan baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, berfikir buruk serta percaya dengan hukum karma.
Dalam hidup ini semasih kita mampu, perlu diisi dengan kerja yang sesuai dengan dharma. Mengenai kerja ini dinyatakan oleh Bhagawadgita III sebagai berikut:
III.3
O, Arjuna, manusia tanpa noda; di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah Aku ajarkan dari jaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka yang mempergunakan pikiran dan yang lain dengan jalan pekerjaan bagi mereka yang aktif.
III. 4
Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak melepaskan diri orang akan mencapai kesempurnaan.
III. 5
Sebab siapa pun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata, tanpa melakukan pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya dengan tidak berdaya apa-apa lagi.
III. 20
Hanya dengan penbuatan, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kamu harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk memelihara dunia.
Di samping untuk memelihara dunia yang kita pijak ini, kerja juga dapat menghindari kehancuran duniĆ¢ baik secara spiritual maupun material. Disamping itu juga, kerja dapat meningkatkan kedudukan sehingga menjadi manusia yang lebih sempurna. Jika kita sudah bekerja maka dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap orang lain. Disamping itu, diharapkan untuk tidak terikat dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Hasil yang diperoleh dari kerja diharapkan untuk sumbangkan kepada yang membutuhkan.
2. Upawasa (tidak makan dan minum)
Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan minum. Pada waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan dan minum. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan dengan cara selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh jasmani maupun rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita makan hendaknya dicari dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.
Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam hal makan dan minum. Makanan yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh, juga nanti akan bersinergi membentuk dan merangsang pikiran, perkataan dan perbuatan. Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri Guna (sattwam, rajas dan tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak oleh orang yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan tersebut. Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan tentang suci dan cemar, bersih dan kotor serta cara penyajian makanan. Mengenai makanan dinyatakan dalam Bhagawadgita sebagai berikut:
III.13
Orang yang makan apa yang tersisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
XVII. 7
Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga. Demikian juga yadnya-yadnya, tapa dan dana. Dengarkanlah perbedaan dari semua ini.
XVII. 8
Makanan-makanan yang meninggikan hidup, tenaga, kekuatan, kesehatan dan suka cita, yang manis yang lunak, banyak mengandung zat-zat makanan dan rasa enak adalah yang disukai oleh orang yang baik (sattwika).
XVII. 9
Makanan-makanan yang terlalu pahit, masam, asin, pedas, kering, keras dan angus dan menimbulkan kesakitan, duka cita dan pen yakit disukai oleh orang yang bernafsu (rajasika).
XVII. 10
Makanan yang basi, hambar, berbau, dingin, sisa kemarinnya dan kotor adalah yang disukai oleh orang yang bodoh (tamasika).
Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra agama. Minuman yang dilarang orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung penyakit sehingga mempengaruhi pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang sering mabuk prilakunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Jika dilandasi dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha. Setiap orang selagi masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu perbuatan (karma). Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam kehidupan sekarang ini berarti mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang. Orang yang sadar/eling akan berusaha dalam kehidupannya untuk berbuat yang baik berdasarkan darma. Hal ini disebabkan karena semua orang mengharapkan adanya kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan dimasa-masa yang akan datang.
3. Monobrata (berdiam diri/tidak bicara)
Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata. Brata ini relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari berata ini yakni berkata-kata atau berbicara yang dapat menyejukkan hati orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi manusia, guna menyampaikan isi hati dan maksud seseorang.
#tubaba@griyangbang//menyelamisangdiri#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar