Linuh
Linuh adalah gempa bumi dalam bahasa Balinya, sejatinya disebutkan merupakan fenomena alam yang normal namun tetaplah perlu diwaspadai.
Terkadang menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), gempa bumi merupakan bagian dari dinamika bumi yang senantiasa akan muncul sepanjang zaman.
Ada sebuah kisah, pada zaman dahulu diceritakan, ketika awal mulanya alam ini terbentuk yang dalam mitologi caru disebutkan bahwa :
setelah yang baik-baik diciptakan, maka kemudian Bhatari Uma berubah rupa menjadi Bhatari Durgha dan Pretenjala juga berubah rupa menjadi Bhatara Kala,lalu bersama-sama menciptakan segala jenis bhuta kala dengan segala penyakit serta godaan-godaan yang ditimbulkan, sehingga di alam semesta ini terjadilah ketidak harmonisan, yang paling dahulu mengganggu ketentraman hidup manusia sebagai ciptaan Hyang Widhi Wasa yang paling sempurna dan utama itu, agar berusaha mengatasi godaan bhuta kala itu dengan menyelamatkan semuanya, karena manusia tak akan mampu untuk hidup sendiri.
Mengenai kekuatan-kekuatan bhuta kala ini, kalau dikonkritkan dapat dilihat dalam kehidupan yang nyata berupa gempa bumi, banjir, angin topan, halilintar dan lain sejenisnya, yang kalau diselusuri dengan baik semua itu terjadi akibat dari keserakahan dan kelalaian ulah perbuatan manusia itu sendiri, yang ingin mengambil dan menikmati seluruh isi alam ini dengan seenaknya saja, tanpa memperhitungkan dan mempertimbangkan untuk penjagaan dan pemeliharaan keseimbangan atau keharmonisan itu.
Tradisi lokal Bali dalam kisah berguncangnya Naga Anantaboga dan Naga Basuki pun menyuratkan bahwa gempa bumi sebagai suatu proses alami. Manusia Bali sangat mengenal mitologi bedawangnala yang menjadi dasar Gunung Mahameru.
Badawangnala itu diikat oleh dua naga yakni Naga Gombang dan Naga Gini. Dalam teks-teks sastra, naga Gombang itu disebut Ananatabhoga dan naga Gini itu disebut Basuki. Ada lagi Naga Taksaka yang berada di angkasa.
“Bila Bedawangnala itu bergerak, Anantabhoga pun bergerak. Gerakan itulah yang disebut lindu atau gempa khususnya gempa tektonik. Bila gerakan bedawangnala demikian hebat, naga Basuki pun ikut bergerak sehingga timbul tsunami,” beber Ida Sinuhun.
Sepintas kisah ini terkesan sebagai dongeng semata. Padahal jika dikupas lebih dalam, paparan itu sangat logis dan ilmiah.
Bedawangnala, merupakan simbol dari agni (api) yang ada di dasar bumi yakni magma. Dapat juga disejajarkan sebagai lempeng bumi. Naga Anantaboga merupakan simbol tanah. Ananta berarti tidak habis-habis, sedangkan bhoga berrati makanan. Anantabhoga berarti yang tidak habis-habis memberikan makanan. Yang tidak habis-habis menyediakan makanan bagi manusia tiada lain tanah atau Ibu Pertiwi yang melahirkan berbagai pala gantung, pala wija. Sementara Naga Basuki merupakan simbol air. Basuki berarti keselamatan atau kehidupan. Yang bisa melahirkan kehidupan adalah air. Di mana ada air, maka di sana ada sumber kehidupan.
Para ilmuwan modern sendiri secara sederhana membahasakan terjadinya gempa bumi akibat adanya tumbukan antarlempeng bumi, patahan aktif aktivitas gunung api atau runtuhan batuan.
Saat lempeng bumi bertumbukan, tanah pun ikut berguncang. Bila tumbukan terjadi di dasar laut dengan kekuatan di atas 6 SR dan kedalaman yang dangkal, air laut pun naik yang dikenal dengan nama tsunami.
Bukankah tidak jauh berbeda dengan gambaran kisah bedawangnala itu?
Kisah soal bedawangnala diikat Anantabhoga dan Basuki ini kemudian divisualisasikan dalam wujud pelinggih padmasana. Selain itu, dalam sejumlah ritual penting di Bali, visualisasi itu pun dapat dilihat dari sarana upacara yang dihaturkan. Pelinggih dan upacara yang kita laksanakan itu merupakan miniatur dari lapisan-lapisan bumi serta menggambarkan proses yang terjadi di alam ini.
Hindu sendiri mengenal bumi mempunyai tujuh lapisan yang dinamai sapta patala. Sapta patala itu yakni patala, atala, witala, nitala, talatala, mahatala dan sutala. Ilmuwan modern pun menyebut bumi ini terdiri dari sejumlah lapisan bumi seperti litosfer, astenosfer serta mesosfer.
Lapisan-lapisan ini senantiasa bergerak mencapai titik keseimbangannya. Dalam upaya mencapai titik keseimbangan itu tentu saja ada perubahan, pergeseran atau ada lapisan yang lepas. Karenanya, tidak ada istilah bencana. Tak pula ada cerita soal alam yang marah.
Alam tak pernah marah, malah sangat pemurah. Alam hanya berusaha mencapai keseimbangan sesuai hukum yang dimilikinya.
Bila alam tidak seimbang, maka alam sendirilah yang akan menyeimbangkannya.
Karena itulah, cara beragama masyarakat Bali tidak pernah lepas dari spirit untuk menjaga keseimbangan alam dalam konsep Tri Hita Karana.
Manusia sebagai bagian dari alam tidak bisa luput dari hukum keseimbangan alam itu.
Untuk itu, jalan satu-satunya yang harus dipilih manusia adalah menyesuaikan diri dengan alam. Alam mestilah diakrabi, disayangi, dirawat sehingga manusia pun turut dirawat dan dijaga.
Jika manusia angkuh menentang alam, maka alam akan menagihnya kembali dengan caranya sendiri.
Dalam bahasa Ida Sinuhun, Manusia jangan hanya ingat dan bisa mengambil dari alam, tetapi juga bisa memberi. Ida Sinuhun lalu mengibaratkan dengan pelinggih yang senantiasa berisi pedagingan.
Sebagai ritus-ritus dalam membuat tiang saka Bali atau pun dewasa ini diganti dengan beton, hendaknya setiap lantai beton diisi panca datu yang diyakini untuk penjiwaan dan disebutkan mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung.
Dengan Upacara Pemelepeh Linuh yang dilaksanakan juga disebutkan untuk :memohon keselamatan alam beserta isinya yang berkaitan dengan terjadinya gempa bumi (linuh) yang bertujuan untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Ananta Boga agar melimpahkan keseimbangan alam dan kesejahteraan umat manusia. Tetap mengupayakan untuk dapat menjaga hubungan kesucian dan keseimbangan alam ini yaitu dengan konsep sad kerti secara sekala dan niskala dimana satu sama lain saling berkaitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar