Pasek dan Pacek, kedua kata ini kadang dipersamakan artinya, kekeliruan ini memang sudah lama. Keduanya mengacu pada satu soroh yang mayoritas di Bali. Kata Pacek identik dengan pasak, pakis dan paku. Kata-kata ini mengacu pada jabatan birokrasi traditional di Nusantara., khususnya di Jawa. Kata paku, misalnya, dipersamakan dengan jabatan tertinggi raja dan dilekatkan dengan gelar kebangsawanan. Paku Alam di Yogyakarta dan Paku Buwono di Solo.
Pasek di Bali berkonotasi dengan nama orang atau soroh. Apabila membaca atau mendengar kata pasek, dapat dipastikan orang tersebut adalah ketururnan dari Sang Panca Pandita atau Panca Tirta. Boleh dikatakan kata pasek mengacu pada geneologis atau hubungan darah karena kelahiran seseorang.
Orang Bali banyak yang menggunakan kata pasek di awal atau di akhir namanya. Hal itu sebagai kenangan atau rasa baktinya terhadap leluhurnya yang menjadi brahmana di Jawa atau di Bali, dengan gelar dwijati “Mpu” sekarang bergelar "Ida Panditha Mpu". Kita juga harus bangga, menjadi soroh pasek, warga yang mayoritas di Bali.
Ada beberapa hal yang merupakan identitas umum dari warga pasek di Bali. Kata pasek menempel pada nama seseorang member petunjuk pada orang tersebut dari warga pasek. Warga pasek yang harus bangga mencantumkan kata pasek pada identitasnya. Tentu sangat baik, karena identitas itu sudah menjadi cerminan umum dari sebuah kebanggaan terhadap warisan genealogis leluhurnya. Sebuah ungkapan realitas kalau warga pasek bukanlah sebuah kumpulan orang orang yang disudrakan oleh sekelompok orang. Kelompok-kelompok yang dalam sejarahnya menganggap diri sebagai manusia-manusia berkelas, baik dalam srata social maupun dalam hubungannya dengan tata beragama. Banyak naskah yang dengan jelas mengatur adanya diskriminasi antara Tri Wangsa dengan kelompok yang disudrakan dalam konsep yadnya di Bali. Aturan itu bahkan diwariskan sampai sekarang. Andaikan kemajuan teknologi informasi tidak terjadi, maka selamanya akan terjadi kerancuan pemahamam tentang Catur Warna dan penerapannya di antara warga pasek. Ada dimensi kesetaraan yang sengaja dihilangkan oleh kelompok minoritas dalam rangka melanggengkan dominasi structural dan statusnya.
Ciri lain yang sangat kental mengenai warga pasek dapat dilihat pada sturktural pelinggih, baik dalam Pura Paibon, Pura Panti dan Pura Dadya. Bangunan Meru Tumpang Tiga yang posisinya dari arah Timur menghadap ke Barat, ataupun dari Utara menhadap ke Selatan, dapat memastikan kalau pura tersebut ada kaitannya dengan warga pasek. Bangunan Meru Tumpang Tiga sesuai dengan keputusan Mpu Kuturan yang termuat dalam Lontar Padma Buana Prakempa. Keputusan mengenai Meru Tumpang Tiga untuk warga pasek juga termasuk dalam Lontar Raja Purana. Dari posisi Meru Tumpang Tiga bisa juga ditengarai tentang soroh paseknya. Misalnya, jika bangunan Meru Tumpang Tiga posisinya di Timur menghadap ke Barat, kebanyakan menunjukan identitas Pasek Tohjiwa. Jika isinya utuh, maka dalam meru tersebut akan dijumpai prasasti dengan keropak prasasti yang berbentuk Kijang Putih dilengkapi pacanangan yang berbentuk Singa Bersayap. Biasanya juga dilengkapi dengan sebuah atau lebih Genta sebagai simbul kebrahmanaan. Ciri-ciri tersebut sudah dibuat di Pura Dadya Agung Pasek Tohjiwa. Dalam pandangan almarhum Jro Gde Ketut Soebandi, warga Pasek Tohjiwa seharusnya tidak membuat attribute leluhurnya dengan bentuk Naga Kahang, karena bentuk tersebut lebih menekankan pada peran kesatria. Bentuk Naga Kahang sebagai Kropak Prasasti dominan digunakan oleh soroh Pasek Gelgel, ditempatkan pada Meru Tumpang Tiga yang berposisi di Utara menghadap ke Selatan. Pedoman menggunakan Kijang Putih, Singa bersayap dan Genta sepatutnya dijadikan acuan oleh soroh Pasek tohjiwa yang membuat Pratima. Standarisasi dalam simbol-simbol terkait dengan sejarah leluhur serta alur bakti warga pasek, khususnya Pasek Tohjiwa sangat diperlukan untuk membangun ketunggalan simbol dan pemahaman.
Warga Pasek di Bali juga sangat dikaitkan denga Pura Catur Prahyangan yaitu Pura Lempuyang Madya di bukit Lempuyang, Karangasem, Pura Catur Lawa Ratu Pasek di Besakih, Pura Silayukti di Padangbai, Karangasem dan Pura Catur Parhayangan Ratu Pasek Pundukdawa Klungkung. Pura Catur Prahyangan merupakan pura-pura untuk memuja Sang Panca Pandita atau Lima Pendeta Agung yang berasal dari Jawa yang sangat berjasa menata orang Bali dalam melaksanakan tatwa agama Hindu. Keberadaan Pura Catur Parahyangan menjadi sangat penting dalam rangka bakti kepada leluhur yang terkait dengan keturunan dan sejarah warga pasek di Bali. Dalam konteks Pura Catur Parahyangan, warga pasek juga mesti mengetahui kesujatian asal usulnya. Oleh karena ada kesalahan sejarah yang sangat fatal di antara warga pasek mengenai sejarahnya.
Ada anggapan yang sangat keliru, bahwa Pura Dasar Buana Gelgel adalah pusat bukti dari warga pasek di Bali. Jika mereka sudah mengenal dan pernah sembahyang di Pura Dasar Buana Gelgel, maka sudah menganggap baktinya terhadap leluhur sempurna. Pura Dasar Buana dianggap pusat dari warga pasek. Padahal Ida Betara Mpu Gana yang dipuja pada Meru Tumpang Tiga paling utara di Pura Dasar Buana selama hidupnya menjalankan Sukla Brahmacari. Artinya Mpu Gana tidak mempunyai keturunan langsung. Oleh sebab itulah Ida Sinuhun Parama Daksa Manuaba, Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal-Badung bersama semeton Pasek yang memiliki pemikiran modern, membuatkan linggih baru di Desa Pundukdawa untuk tetap menghormati Ida Bhatara Mpu Gana. Satu-satunya yang mengadakan keturunan langsung adalah Mpu Gnijay. Ida Betara Mpu Gnijaya berstana di Pura Lempuyang Madya. Puncak bakti warga pasek di Bali adalah di Pura Lempuyang Madya.
Adapun rasa bakti yang dilaksakan di Pura Ratu Pasek Besakih, Pura Silayukti dan Pura Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa merupakan perwujudan bakti kepada saudara-saudara dari Mpu Gnijaya. Hal itu dibuktikan dengan Bhisama dari Ida Betara Kawitan, warga pasek yang melaksanakan upacara Pitra Yadnya harus memohon tirta utama yang disebut Tirta Tunggang di Pura Lempuyang Madya. Tirta tersebut merupakan “Banyu Baga Purusa” dari Ida Betara KAwitan yang akan membantu mengantar yang diupacarai menuju alam Sunya Loka. Tirta Tunggang hanya ada di Pura Lempuyang Madya.
Tirta Tunggang dalam fungsinya sebagai “ Pengentas” tidak perlu lagi dimantrai oleh pemangku, pinandita ataupun pendeta. Kedudukannya sudah sangat suci dan tinggi dalam konsep tirta. Tirta Tunggang juga sangat bertalian dengan penggunaan aksara kepatian yang harus ditulis dalam daun Pisang Kaikik. Bagi warga pasek yang meninggal, apakah langsung diabenkan atau tidak, wajib dilengkapi daun Pisang Kaikik untuk pembungkus mayatnya. Kewajiban itu jelas tertulis dalam kutipan Bhisama: “…Rikala kepatianta dateng, wenang dinungkus dening daun Pisang Kaikik…”. Dalam kaitannya dengan Bhisama yang diyakini, pelanggaran terhadap petunjuknya akan menuai pahala yang buruk, baik terhadap yang masih hidup maupun yang diupacarai.
Bertalian dengan aksara kepatian, warga pasek telah mewarisi formatnya yang termuat dalam Kajang Pasek. Susunan itu tidak boleh diubah dengan alasan apapun, atau oleh siapa pun, Seperti Tirta Tunggang, wajib hukumnya bagiwarga pasek yang sudah meninggal pada saat diaben menggunakan Kajang Pasek sesuai dengan statusnya. Maksudnya, jenis kajang yang dipakai sangat terkait dengan jabatan soroh pasek yang meninggal. Kajang bagi warga pasek biasa berbeda dengan mereka yang menjadi pandita atau pendeta selama hidupnya.
Penggunaan Kajang Pasek tidak dapat diganti dengan kajang lain, apalagi yang dikutip dari kajang soroh lain. Penggunaan kajang yang tidak sesuai dengan Kajang Pasek akan mengubah identitas sang mati dan bertentangan dengan Tirta Tunggang. Kedua simbol Tirta Tunggang dan Kajang Pasek sudah merupakan kesatuan harmoni yang sangat sacral. Tirta Tunggang adalah purusannya, sedangkan Kajang Pasek menjadi predananya. Jika salah satu ditiadakan, maka hasilnya tidak akan sempurna bagi yang meninggal.
Kekeliruan yang juga sangat mendasar bertalian dengan Kajang Pasek adalah tradisi minta Kajang Pasek di Pura Dadya ataupun pura-pura yang kedudukannya lebih rendah dari Pura Dadya Agung, dengan jarak yang sangat jauh dari tempatnya mengadakan upacara Pitra Yadnya. Dalam anggapannya, ada perbedaan Kajang Pasek dari masing-masing soroh pasek di Bali. Kajang Pasek Gelgel seolah-olah berbeda dengan Kajang Pasek Tohjiwa. Menilik pada acuannya, tidak ada Kajang Pasek Gelgel, Kajang Pasek Tohjiwa atau Kajang Pasek lainnya, yang ada adalah Kajang Pasek. Tradisi ini pula telah mendorong terjadinya penyimpangan bagi pemangku di pura tersebut. Banyak pemangku yang berani melaksanakan upacara pasupati terhadap kajang tersebut. Mereka mengucapkan mantra-mantra yang sebenarnya tidak menjadi haknya. Padahal upacara pemelaspas kajang dan pemasupati hanya boleh dilaksanakan oleh pendeta/Ida Panditha Mpu dalam setatusnya sebagai Siwaning jagat. Karena, dalam tatacara pemasupatian ada mantra-mantra atama yang sangat berhubungan dengan perjalanan atma, dan oleh sebab itulah hanya orang yang telah melalui proses sedaraga dwijati boleh melakukan pamasupatian kajang. Kesalahan dalam penerapan mantra akan berpengaruh terhadap perjalanan atma menuju alam sunya.
Jangankan pemangku, dalam lontar Gong Wesi telah ditegaskan bahwa pendeta/Sulinggih yang belum paham dengan jati dirinya, tentang keluar masuknya atma yang ada pada dirinya, tidak boleh untuk muput ngaben. Jika pendeta seperti itu yang muput, maka roh yang diupacarai akan kesasar masuk neraka. Petunjuk seperti ini harus diyakini oleh semua warga pasek sebagai kebenaran suci. Kajang dalam simbolisnya sebagai aksara kepatian bisa diminta pada Ida Pandita Mpu yang terdekat, atau Ida Pandita Mpu yang ditugaskan muput Pitra Yadnya.
Kajang yang diperlukan memang bisa juga disurat oleh pemangku pura masing-masing sepanjang sudah tahu yang mesti dipakai dengan tuntunan buku Kajang Pasek. Seharusnya semua pemangku dilingkungan Pasek Tohjiwa bisa menggambar dan menulis kajang untuk saudaranya yang meninggal, sehingga tidak tergantung terus kepada orang lain. Pemasupatian kajang diserahkan pada sang sulinggih yang muput yadnya. Hal yang sangat perlu dari Pura Dadya Agung adalah tirta untuk mengantar sang atma dalam perjalanannya menuju Sang Hyang sangkan Paran. Tirta Ida Betara Kawitan merupakan restu dan petunjuk jalan bagi atma-atma yang akan menuju Sunya Loka. Dalam berbagai sumber sastra diceritakan, leluhur akan ikut menjemput dan mengantar atma-atma yang diupacarai. Untuk itu, kedekatan dalam wujud bakti dengan leluhur memegang peran penting dalam perjalanan sang atma menuju Sang Hyang Parama Atma, selain karma yang diperbuatnya ketika masih hidup.
Keyakinan orang Bali sangat kuat terhadap campur tangan leluhur dalam proses kehidupan di alam niskala dan sekala. Cerita Sang Jarat karu memberikan gambaran yang sangat gamblang bagaimana pentingnya hubungan antara mereka yang sudah meninggal dengan mereka yang masih hidup. Lalai bakti terhadap leluhur diyakini akan tertimpa kutuk bagi mereka yang masih hidup, dan kesengsaraan bagi mereka yang sudah meninggal. Setinggi apapun tingkat spiritual seseorang harus tetap ingat pada leluhur, bakti terhadap leluhur merupakan swadharma yang berdasarkan Rna atau utang terhadap leluhur. Prabu Dharmawangsa salah satu titisan Dewa Dharma di Panca Pandawa yang sangat tinggi kesuciannya, juga melakukan yadnya suci untuk membebaskan Sang Pandu ayahnya dari neraka. Prabu Dasa Rata ayah Sri Rama yang sangat ahli Catur Weda juga melaksanakan Pitra Yannya untuk membebaskan leluhurnya dari segala karma buruk yang dibuatnya selama hidupnya.
Berhubungan dengan Tirta Tunggang, ada Pandita Mpu di Bali menstanakan Tirta Tunngang di Merajan Grianya dengan alasan kalau pitra yadnya waktunya sangat mepet, tirta itu digunakan. Di balik tujuan untuk meringankan efisieansi yang melaksanakan ngaben, Ida Pandita Mpu tidak bermaksud menjauhkan warga pasek dari Ida Betara Kawitan di Pura Lempuyang Madya. Tetapi hendaknya suatu hari tertentu bisa pedek tangkil pada Ida Betara Mpu Gnijaya dan Ida Betara Manik Gni yang berstana di Pura Lempuyang Madya di Karangasem, merupakan Betara Betari yang paling penting dalam struktur Betara Kawitan di lingkungan warga pasek. Hal itu dimaksudkan yang meninggal atau keluarga yang meninggal mengetahui siapa yang menurunkan Tirta Tunggang dan dimana tempatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar